Zhao Fucheng mencoba bertanya:
"Apakah kamu mendapat kabar pasti bahwa putrimu berada di wilayah Xuzhou Kabupaten Wan'an?"
Nenek Meng mengangguk-angguk.
Dia tenggelam dalam kenangan, lama tak berbicara. Raut wajahnya sesekali memancarkan kelembutan, lalu berubah menjadi kesedihan.
Beberapa saat kemudian, dia menyadarkan diri dari lamunan dan menatap Zhao Fucheng:
"Tuan percaya pada saya?"
Saat mengucapkan ini, wajahnya menunjukkan kegelisahan.
Zhao Fucheng mengangguk tegas:
"Aku percaya!"
Ekspresi ini membuat Nenek Meng tertegun, lalu wajahnya menjadi rumit:
"Saya belum menjelaskan masalahnya, tapi Tuan sudah percaya?" Air mata mengalir deras dari matanya:
"Dulu saat saya cerita ini, semua orang menganggap saya gila."
Keluarga suaminya bahkan menasihati: Shen Yishu memang sejak lahir lemah, sudah diramal tak akan hidup sampai 18 tahun. Nenek Meng berjuang melawan takdir, dengan hati-hati membesarkan putrinya. Kini sang putri hilang, mereka menganggap anak keluarga Shen ini memang tak berjodoh, bahkan menyarankan dia dan suami yang masih muda agar segera punya anak lagi.
"Jika bukan karena peristiwa itu kemudian, mungkin hidup saya akan sangat berbeda——"
Suara Nenek Meng semakin melemah, dia menghela napas pelan, berusaha menahan isak tangisnya.
Saat mengangkat kepala kembali, bekas air mata di wajahnya sudah dihapus bersih, lalu berkata pada Zhao Fucheng:
"Tuan begitu tulus padaku, aku pun tak berani menyembunyikan apapun. Bukankah aku pernah bilang, dua tahun pertama setelah putriku hilang, seluruh keluarga kami mencari?" Melihat Zhao Fucheng mengangguk, dia terkekeh pahit:
"Tapi tak ada hasil. Lama-kelamaan, semangat mencari pun mengendur."
"Di zaman seperti ini——"
Dia menghela napas dalam-dalam:
"Laki-laki saja sulit bertahan, apalagi gadis yang dibesarkan di balik tirai kamar."
Semua sudah punya dugaan terburuk.
Saat itu, Nenek Meng pun sudah menyerah.
"Tapi suatu malam, tiba-tiba aku menerima sepucuk surat dari rumah."
Saat mengatakannya, raut wajahnya menampakkan ekspresi yang sangat aneh.
Entah mengapa, bulu kuduk Zhao Fucheng langsung meremang.
Bahkan sebelum sempat bereaksi, secara naluri dia langsung ingin memanggil Hantu Pengemis, mengaktifkan kekuatan hantu gentayangan.
Tapi kekuatan Hantu Pengemis sama sekali tak bergerak, seolah ditekan oleh kekuatan misterius yang tak dikenal, membuatnya tetap tertidur pulas hanya dengan mendengar perkataan Nenek Meng.
"Surat dari rumah?!"
Baru kemudian Zhao Fucheng menyadari bahwa Hantu Pengemis mungkin sedang 'takut'.
"Sama seperti Zheng He yang mengendalikan hantu pengemis yang mengeluarkan uang logam pembeli nyawa, saat ini hantu pengemis yang dikendalikannya langsung tertidur ketika mendengar perkataan Nenek Meng."
"Hantu tidak memiliki memori, pikiran, tidak mengenal takut atau emosi. Daripada mengatakan mereka takut, lebih tepat dikatakan mereka sepenuhnya ditekan."
"Surat apa yang sebenarnya diterima Nenek Meng? Hanya dengan berbicara saja bisa menahan roh jahat - terlebih lagi hantu pengemis ini setelah operasi pembersihan di Desa Huanggang sudah mencapai tingkat bencana atau lebih tinggi."
Saat Zhao Fucheng sedang membuat hipotesis dalam hati, Nenek Meng menyahut:
"Mmm."
Dia berkata:
"Malam itu, aku tertidur lelap. Secara tak terduga merasa ada yang menyodorkan surat. Setelah bangun, benar saja ada surat tergeletak di samping bantal."
Nenek Meng saat itu sangat terkejut.
Suaminya tidur nyenyak di sebelahnya. Rambut di pelipisnya sudah beruban, setelah seharian bekerja keras, dia tidak terbangun oleh gerakan istrinya.
"Dia sama sekali tidak tahu ada yang masuk malam itu, ada yang mengirim surat, juga tidak tahu sang istri sudah duduk tegak."
"Aku tidak menyalakan lampu. Sinar bulan malam itu sangat terang, menerobos masuk melalui jeruji jendela."
Dia mengingat situasi saat itu dengan wajah tenang dan suara datar, namun peristiwa ini sendiri sudah terasa sangat mistis dan aneh.
"Kulihat amplop surat itu tanpa nama pengirim, warnanya hitam--"
Nenek Meng tiba-tiba menggelengkan kepala:
“Tidak, bukan hitam, seharusnya merah, itu darah yang mengering dan mengeras.”
Tenggorokan Zhao Fucheng terasa sesak, perasaan merinding itu kembali menghantuinya.
Ia menggosok lengan yang berdiri bulu kuduknya, gesekan baju dengan kulit yang merinding menimbulkan suara halus.
Tatapan waspada Kuaai Manzhou seperti kucing yang bulunya mengembang, kepalanya terus menoleh ke sekitar sambil mendengus gelisah.
“Itu surat keluarga untukku, Tuan, pengirimnya adalah putriku sendiri——”
Tenggorokan Zhao Fucheng semakin tercekat, ia sudah merasakan tekanan supernatural hantu gentayangan itu, dengan susah payah bertanya:
“Apa yang tertulis di surat itu?”
“Suratnya basah kuyup darah, aku tak bisa melihat jelas.” Di luar dugaan Zhao Fucheng, Nenek Meng tiba-tiba menggelengkan kepala.
“……” Zhao Fucheng terpaku.
Awalnya ia mengira keberanian Nenek Meng meninggalkan suami dan merantau ke kabupaten asing di zaman kacau ini pasti karena ada petunjuk tertentu.
Petunjuk tentang hilangnya putrinya itulah yang diyakini membuatnya bertekad bulut.
Tapi kini Nenek Meng malah bercerita tentang surat aneh tengah malam yang tak terbaca tulisannya.
“Aku tahu ini terdengar absurd.”
Nenek Meng terkekeh pahit:
“Saat itu ketika aku mengatakannya, tak ada yang percaya padaku.”
Inilah alasan dia awalnya bertanya pada Zhao Fucheng apakah percaya padanya.
Sampai di sini, dia kembali menatap Zhao Fucheng:
“Tuan masih percaya padaku sekarang?”
“Percaya!”
Zhao Fucheng mengangguk-angguk.
Nenek Meng benar-benar terpaku:
“Tuan masih mempercayaiku?”
“Percaya.” Zhao Fucheng menjawab.
Melihat ekspresi Nenek Meng yang terharu, dia serius berkata:
“Ini bukan emosi semata. Aku sungguh mempercayaimu. Karena saat kau menyebut surat berdarah di tengah malam itu, aku sudah merasa ada yang tidak beres.”
Usai bicara, dia menoleh ke nona kecil:
“Man Zhou juga merasakan keanehan, bukan?”
Anak kecil itu belum bisa menjelaskan dengan baik, hanya mengangguk-angguk saat ditanya demikian.
“Hantu Pengemisku tertekan oleh ucapanmu. Aku merasakan bahaya.” Zhao Fucheng menjelaskan terus terang.
Bibir Nenek Meng bergetar, air mata kembali menggenang:
“Jika Tuan berkata demikian, pasti benar adanya. Bukan mimpiku, bukan pula khayalanku——”
Dia menunduk menangis dalam diam, lama sekali baru tenang, lalu melanjutkan:
“Malam itu suratnya samar. Saat kupegang, darah di kertas itu seolah hidup kembali, mengalir——”
Sensasi itu sungguh misterius.
Tapi Nenek Meng saat itu tak merasa takut. Dari surat itu tercium aroma putrinya.
“Bau anyir darahnya samar, tapi ada aroma permen obat.”
“Permen obat.” Tekannya:
“Putri saya lemah fisiknya, sejak kecil obat dijadikan makanan. Saya takut mulutnya pahit, terus mencari resep dengan berbagai cara untuk merebus gula bersama obat, agar rasa pahitnya hilang.”
Permen obat itu rasanya unik, karena dia tahun-tahun merebusnya, sekali hirup langsung tahu.
“Saat itu saya memegang surat itu, melihat surat berubah menjadi darah, mengaliri tangan dan seluruh badan saya. Entah bagaimana, saya seperti linglung lalu tertidur.”
Tidur kali ini sangat nyenyak tak seperti biasa, bangun sudah pagi buta.
Suami juga di rumah hari itu, begitu dia bangun, sebuah pikiran tiba-tiba muncul di benaknya: pergi ke Kabupaten Wan'an, Xuzhou.
“Seumur hidup saya jarang bepergian jauh.” Dia menghela nafas, “Tahu ada sembilan provinsi di dunia, juga tahu tempat seperti Xuzhou ada, tapi Kabupaten Wan'an sebelumnya benar-benar tidak tahu.”
Dia diam sejenak, lalu melanjutkan:
“Saya rasa ini diberitahu lewat surat putri saya, tapi anehnya, setelah bangun surat itu hilang tak ditemukan.”
Di ranjang atau bantal tidak terlihat darah, dan saat menyebutkan ada yang mengantar surat malam itu ke suami, suami mengira dia terlalu khawatir siang hari sampai bermimpi di malam hari, jadi dianggap gila.
“Tengah malam, pelayan rumah semua bilang tak ada yang masuk. Palang pintu kamar saya juga terkunci dari dalam, tak ada yang membuka, tak ada pengantar surat.”
Yang utama suratnya hilang, perkataannya tak ada yang percaya.
Setelah itu dia teringat Kabupaten Wan'an Xuzhou, lalu timbul keinginan untuk ke Xuzhou.
Begitu ide ini muncul, tentu saja keluarga menghalang-halangi.
Antara Tongzhou dan Xuzhou terpisah sangat jauh, satu di selatan dan satu di utara, ditambah kondisi jalan yang buruk. Saat itu perampokan marak terjadi, bahkan keluarga terpandang pun harus menyewa pengawal saat bepergian, belum tentu bisa sampai dengan selamat, apalagi seorang perempuan seperti dia?
Sungguh tidak tahu ukuran langit dan bumi!
Keluarga mencemoohnya, tapi Nenek Meng merenungkan baik-baik, akhirnya memutuskan berangkat sendiri.
"Sebelum berangkat, aku hanya tahu Xuzhou, sama sekali tidak tahu Kabupaten Wan'an. Sepanjang jalan hanya bertanya-tanya arah."
Bekal perjalanan habis tak lama kemudian, pernah dirampok, ditipu orang, mengemis dan meminta-minta saat tak punya uang, menahan lapar dan kedinginan.
"Bisa dibilang dua tahun pertama merantau, aku merasakan semua penderitaan yang tak pernah kualami seumur hidup." Tapi anehnya dia tidak tewas.
Dia tak punya tempat tinggal tetap. Beberapa kali di musim dingin menyaksikan korban bencana tak berumah tewas kedinginan di pinggir jalan, tapi Nenek Meng tetap bersabar.
"Kupikir Langit tidak mengambil nyawaku pasti karena putriku masih menungguku." Perlahan dia bertahan, kemudian menyusuri kabar masuk ke wilayah Xuzhou, sampai di Shangyang Jun, mencari-cari cara bekerja serabutan.
"Karena jadwal kerja yang padat, aku tak sempat mencari putriku. Setelah menabung cukup, aku berhenti kerja, membeli peralatan masak, buka warung kecil menjual sup murah."
Kemampuannya memasak dan merebus sup ini diasah saat merawat putrinya dulu.
"Sup dijual murah, dia juga tidak mengejar uang, asal bisa cukup mengenyangkan perut. Jika bertemu pengelana tak berduit, cukup ceritakan hal-hal dari luar."
"Lebih baik lagi jika ada yang tahu Kabupaten Wan'an di wilayah Xuzhou, kadang dia bertanya-tanya."
"Tapi betapa luasnya dunia ini, mana mudah mencari kabar?"
"Namun keberuntungan memihaknya. Tahun itu dia bertemu orang asal Kabupaten Wan'an yang tak sengaja membocorkan informasi: Di Wan'an ada Yaofan Hutong, tempat berkumpulnya berbagai kalangan. Penculik dan penyihir mengirim anak kecil serta istri-istri yang diculik ke sana, kemudian dijual ke pembeli besar dari berbagai daerah."
"Benar-benar ada Kabupaten Wan'an yang nyata!"
Nenek Meng menutupi wajahnya sambil menghela nafas:
"Tuan, tahukah Anda? Batu besar yang menggantung di hati saya akhirnya jatuh saat itu."
Setelah mengetahui Xuzhou memang memiliki Kabupaten Wan'an, Nenek Meng bertekad pergi ke sana.
Karena Yaofan Hutong di Wan'an menjadi pusat para penculik, dia memutuskan mencari kabar putrinya di sana.
Dari hilangnya Shen Yishu hingga Nenek Meng menetap di depan Yaofan Hutong Wan'an, telah berlalu lebih dari 30 tahun.
Dia menyederhanakan ceritanya, tapi selama puluhan tahun ini dia meninggalkan kehidupan nyaman, meninggalkan suami dan keluarga, mengembara dalam kesepian dan lingkungan keras, entah berapa penderitaan yang ditanggungnya.
Saat Zhao Fucheng sedang terkesima, Nenek Meng melanjutkan:
“Sejujurnya Tuan, seiring bertambahnya usia saya dalam pencarian putri, ada satu hal yang cukup aneh.”
“Kejadian aneh apa?” Zhao Fucheng menekan gejolak pikiran dalam hati, bertanya.
Nenek Meng menjawab:
“Ketika saya menerima surat berdarah itu dulu, darah di surat itu bangkit, bukankah saya sama sekali tak bisa membaca tulisannya?”
“Setuju.” Zhao Fucheng mengangguk-angguk, lalu hatinya berdesir:
“Jangan-jangan kamu akhirnya——”
“Benar.”
Nenek Meng kembali menunjukkan ekspresi keibuan seperti biasa, tersenyum menjawab:
“Surat itu seolah berakar dan bertunas di pikiran serta tubuh saya, lambat laun saya mulai bisa mengingat isinya.”
“Surat itu memang dari putri saya, tapi konten yang disebutkan dalam surat——”
Zhao Fucheng melihatnya tiba-tiba berhenti bicara dengan raut wajah bingung, lalu bertanya lembut:
“Apa isi suratnya tidak sesuai?”
“Ada sedikit keanehan.” Jawab Nenek Meng.
Zhao Fucheng bertanya lagi:
“Bukan tulisan putrimu?”
Kali ini Nenek Meng menggelengkan kepala:
“Tidak, memang tulisan putri saya. Hanya isinya terlalu ganjil, seolah surat ini terdiri dari dua bagian yang disusun.”
Ia berpikir sejenak, lalu berkata:
“Tuan ini orang bijak, saya ceritakan, tolong bantu analisis.”
Zhao Fucheng mengangguk:
“Baiklah, ceritakanlah.”
Nenek Meng mengumpulkan keberanian, mulai bercerita:
“Putriku di paruh pertama surat mengatakan, dia diculik orang dan dibawa ke Kabupaten Wan'an, tapi bertemu seorang yang baik yang menyelamatkan nyawanya. Lama-kelamaan akhirnya timbul perasaan cinta, dan dia ingin menikah dengannya.”
Perkataan ini membuat Zhao Fucheng tertegun——dia sama sekali tidak menyangka surat berdarah ini justru menyembunyikan kabar yang begitu tidak masuk akal.
“Ditulis oleh Lao Cai Wu?”
Secara naluriah dia melontarkan pertanyaan itu. Setelah mengatakannya, Nenek Meng diam saja. Zhao Fucheng sendiri hampir tertawa.
“Lalu apa isi paruh kedua suratnya?”
Begitu Zhao Fucheng bertanya, Nenek Meng dengan serius menjawab:
“Meminta tolong padaku, memintaku menyelamatkan nyawanya.”
Setelah berkata demikian, raut wajahnya menunjukkan kelelahan.
“Belakangan ini, aku sering bermimpi melihat putriku mengenakan pakaian pengantin merah menyala, muncul di hadapanku——” Suaranya terdengar ragu-ragu di akhir kalimat.
Perubahan emosi halus ini langsung ditangkap oleh Zhao Fucheng.
“Apakah ada perubahan dalam situasi mimpimu?” tanya Zhao Fucheng.
Nenek Meng menghela napas:
“Tuan memang bijaksana, belum sempat kusebutkan tapi sudah bisa menebaknya semua.”
Dia diam sejenak sebelum melanjutkan:
“Dalam mimpiku, Yishu hanya muncul dari kejauhan. Tapi sejak Tuan menyebutkan Kasus Hantu Desa Huanggang padaku dan aku bergabung dengan Zhenmo Si, aku merasa dia perlahan mendekatiku.”
Sosok Shen Yishu berbaju pengantin dalam mimpi itu semakin jelas terlihat.
