Seminggu kemudian, Sekolah Menengah Keenam Kota Cangnan.
"Ei, lihat! Orang itu siswa sekolah kita? Kenapa matanya ditutupi kain hitam?"
"Dia pakai seragam sekolah kita, pasti siswa sini."
"Dia pegang tongkat penuntun, kayaknya orang buta."
"Aneh, sebelumnya tidak pernah melihatnya."
"Mungkin murid baru kelas 10?"
"Jujur saja, dengan beberapa lapis kain hitam di mata, terlihat cukup tampan."
"Tapi bagaimana orang buta bisa sekolah? Sekolah kita kan tidak ada kelas khusus."
"Entahlah."
“……”
Seperti diduga, begitu Lin Qiyue melangkah masuk gerbang sekolah, langsung menarik perhatian banyak orang.
Tapi untuk scene seperti ini, Lin Qiye sudah terlalu sering mengalaminya. Dengan sikap tak peduli sekeliling, dia berjalan melewati jalan maple sekolah, menuju arah gedung sekolah.
Sebenarnya, sebelum datang ke sini Lin Qiye sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi para duri kepala itu. Bagaimanapun juga, seperti di banyak novel bodoh yang klise, dalam kondisi seperti ini pasti akan muncul beberapa "preman sekolah" yang tolol dan mulai menyindirnya dengan nada sinis, sebagai foreshadowing untuk adegan dia berpura-pura jago dan memukul wajah mereka nanti...
Namun, tipe-tipe yang subuat masalah itu tak kunjung muncul. Malah banyak murid yang aktif mendekat dan menawarkan bantuan padanya.
Hal ini membuat Lin Qiye merasa sedikit kecewa tanpa alasan yang jelas di dalam hati.
Kalau dipikir-pikir lagi, mereka semua adalah siswa modern yang sudah melalui sembilan tahun pendidikan wajib. Mana mungkin ada banyak pengacau yang tak tahu diri? Lagipula, sekalipun ada geng-geng kecil, sekarang mereka lebih mementingkan "solidaritas dunia persilatan". Membantu saudara menyelesaikan urusan dan melepaskan emosi itu masih bisa dimaklumi, tapi kalau benar-benar berani menindas penyandang disabilitas, besoknya pasti akan diterjang ombak kecaman sampai reputasinya hancur lebur.
Lin Qiye naik melalui tangga dan segera menemukan ruang kelasnya: kelas 2 SMA (2). Dia sudah menempuh satu tahun kelas 1 SMA di sekolah khusus, dan sekarang setelah pindah sekolah, statusnya adalah siswa pindahan.
Menurut sebagian besar karya film, drama, dan novel, siswa pindahan biasanya identik dengan pengabaian, isolasi, dan kesengsaraan. Bagaimanapun juga, dalam satu tahun kelas 1 SMA, berbagai kelompok kecil sudah terbentuk. Kalau tidak mengambil inisiatif sendiri, sulit untuk benar-benar menyatu dengan kelas.
“Lin Qiye sangat paham, dirinya bukan tipe orang yang proaktif.”
“Bahkan seandainya sejak kelas 1 SMA dia sudah bergaul dengan mereka, dengan aura 'jangan mendekat' yang dipancarkannya, besar kemungkinan sampai sekarang pun dia tetap sendirian.”
“Tapi kesendirian juga bukan hal buruk, setidaknya Lin Qiye sendiri menikmati mood ini - tak ada yang mengganggu, hati tenang membina diri, fokus pada urusan sekolah...”
“Kalau dipaksakan harus menjalin hubungan baik dengan orang lain, malah bukan gayanya.”
“Berdiri di pintu ruang kelas, Lin Qiye menarik nafas dalam-dalam, menenangkan pikiran, lalu melangkah masuk.”
“Begitu Lin Qiye masuk ke dalam kelas, riuh rendah suara yang semula ramai langsung terhenti seketika, udara tiba-tiba menjadi sunyi senyap...”
“Satu detik, dua detik, tiga detik...”
“Tepat ketika Lin Qiye hendak berbicara, kelas langsung meledak marah!”
“Kamu pasti siswa Lin Qiye kan? Kursimu sudah disiapkan, di sana.”
“Lin Qiye, apakah kamu tidak bisa melihat? Aku akan antarkan.”
“Teman, jalan pelan-pelan, di lorong banyak barang berserakan... Eh si Anu, cepat tarik kembali tasmu!”
“……”
“Sebelum Lin Qiye menyadari situasi, beberapa teman sekelas sudah mendekat dengan hati-hati mengantarnya ke kursi, sementara seorang siswa pria tinggi besar langsung menerima tas Lin Qiye dan mengangkatnya di bahu.”
“Dikelilingi banyak orang, Lin Qiye akhirnya 'selamat' sampai di kursinya.”
“Lin Qiye: ...?”
“Ini kok tidak sesuai skenario?”
“Teman sekelas Lin Qiye, aku Jiang Qian ketua kelas ini. Ada apa-apa bisa cari aku.” Seorang gadis berponi ekor kuda menepuk dadanya berkata.
“Namaku Li Yifei, kalau mau makan panggil aku, nanti aku anterin.” Pria yang membawakan tasnya tersenyum.
“Ada aku juga, namaku Wang Shao...”
“……”
Banyak orang mengelilinginya, menyambut dengan antusias.
Lin Qiye sejenak merasa bingung.
Sejujurnya, ini sangat berbeda dari bayangannya.
“Kalian... kenal aku?” Ekspresi Lin Qiye terlihat aneh.
“Wali kelas sudah cerita tentangmu,” jawab ketua kelas Jiang Qian. “Tapi yang paling berkesan itu bibimu. Waktu itu dia bawa keranjang telur, berdiri di sini, bagi-bagi telur satu per satu sambil minta kami menjaga kamu...”
Seakan tersambar petir, Lin Qiye membeku di tempat.
Ucapan teman-teman sekelas berikutnya sudah tak lagi terdengar. Matanya terpaku pada ruang kelas ini, bayangan wanita paruh baya berpostur bungkuk membawa keranjang telur rebus menghunjam di benaknya.
“Tolong ya, keponakanku penglihatannya kurang bagus, wataknya dingin. Tolong perhatikan dia...”
“Dik, kamu cantik sekali. Keponakanku juga ganteng, pasti kamu suka...”
“Qiye ini, sebenarnya dingin di luar tapi hangat di dalam. Asalkan kalian akrab dengannya, pasti bisa rukun……”
“……”
Entah sejak kapan, pita hitam itu mulai sedikit basah.
“Bibi……” dia bergumam.
Saat semua sibuk berdiskusi, seorang guru perempuan menjepit buku masuk. Melihat Lin Qiye duduk di barisan depan, dia menghampiri untuk menanyakan kabar sebentar, lalu memperkenalkannya secara singkat ke kelas sebelum mulai mengajar.
“Buka halaman 91. Hari ini kita akan mempelajari sejarah dan kesulitan Da Xia modern……”
Mungkin karena kehadiran Lin Qiye, guru hari ini melewatkan proses membaca buku teks dan langsung menjelaskan isinya.
“Seratus tahun lalu, ada lebih dari 200 negara di tujuh benua dan empat samudera dengan budaya beragam. Meski teknologi belum maju, kita tetap bisa naik kapal ke berbagai negara untuk merasakan benturan budaya……”
“Namun pada 9 Maret, kabut misterius tiba-tiba muncul di Antartika dan menyebar dengan cepat. Dalam 24 jam, menelan 98% permukaan bumi.”
“Gedung pencakar langit, hutan purba, lautan dalam tak berdasar… Semua diselimuti kabut. Puluhan negara lenyap tanpa kabar.”
“Namun, kabut tidak masuk akal yang hampir menyerbu wilayah Da Xia ini... berhenti tiba-tiba.”
“Tak ada yang tahu alasannya, tetapi ia berhenti dengan cara yang begitu aneh.”
“Selama seratus tahun, puluhan teori dan dugaan diajukan. Ada yang mengatakan kabut ini sebenarnya makhluk hidup yang berhenti di sekitar Da Xia setelah melahap 98% bumi dan merasa kenyang; Ada yang berpendapat posisi strategis Da Xia memiliki medan magnet khusus yang menghalangi perluasan kabut; Juga ada yang meyakini ini adalah warisan selama lima ribu tahun peradaban kami yang melindungi negeri ini...”
“Komposisi kabut ini sepenuhnya melampaui pemahaman manusia. Baik cahaya, suara, gelombang listrik, maupun metode deteksi lainnya tak mampu menembusnya. Tak seorangpun tahu apakah negara-negara yang ditelan kabut seabad lalu masih eksis di balik tabir ini...”
“Menurut prediksi ahli, kemungkinan bertahan hidup dalam kabut ini sangat rendah. Karena baik terhirup ke paru-paru maupun kontak dengan permukaan kulit... semuanya mematikan!”
“Dalam seratus tahun terakhir, negara kami telah mengirimkan tim eksplorasi berperlengkapan lengkap ke dalam kabut, namun tak satu pun kembali.”
“Lima puluh tahun lalu, satelit pertama kami yang sukses diluncurkan mengirimkan gambar dari angkasa: seluruh bumi telah berubah menjadi abu-abu pucat, hanya menyisakan Da Xia sebagai tanah suci terakhir.”
“Da Xia kini bagai pulau terpencil di planet ini, dan kita... mungkin adalah penghuni terakhir yang tersisa.”
“Oleh karena itu, hari ketika kabut muncul, yaitu setiap tanggal 9 Maret, disebut 'Hari Selamat'.”
