Chen Muye melotot ke Wen Qimo.
Wen Qimo berkata serius: “Nyonya, begini. Awalnya Lin Qiye mendaftar ke Qiqi Ha'er, tapi kemudian menuruti penugasan ulang ke Wulumuqi.”
Bibi masih ragu, “Bagaimana dengan dokumennya?”
Wen Qimo mengeluarkan setumpuk dokumen dari tas kantor, menyusunnya di meja lalu mendorongnya ke hadapan bibi.
“Semua prosedur Lin Qiye ada di sini. Silakan disimpan.” Wen Qimo berpikir sejenak, melanjutkan: “Kemungkinan masih ada dokumen lanjutan nanti, kami akan berkunjung lagi saat itu.”
“Bibi memicingkan matanya, mengambil dokumen dengan jarak jauh, membaca setiap kata satu per satu, khawatir melewatkan informasi penting apa pun.”
Setelah lama, barulah dia meletakkan dokumen itu, menghela napas panjang.
“Dia ini baru saja sembuh matanya, aku takut selama masa wajib militernya nanti terjadi masalah lagi...”
“Tenang saja, kami sudah melakukan pemeriksaan menyeluruh pada mata Lin Qiye, tidak akan ada masalah lagi, dia sangat sehat.” Suara Wen Qimo semakin lembut, “Selain itu, anak-anak sudah besar, harus kita biarkan melepaskan diri dari sayap keluarga untuk berlatih, bukan begitu?”
Bibi membuka mulutnya, sepertinya ingin mengatakan sesuatu, akhirnya hanya bisa menghela napas pasrah.
“Nyonya, ini adalah subsidi wajib militer Lin Qiye, silakan terima.” Chen Muye mengeluarkan amplop tebal dan mendorongnya ke hadapan bibi.
Bibi menyibak sudut amplop itu, seluruh tubuhnya gemetar, menatap mereka berdua dengan terkejut:
“Ini... ini terlalu banyak?!”
“Sekarang kesejahteraan prajurit negara sangat baik, apalagi pasukan tempat Lin Qiye tergolong khusus, subsidi juga relatif lebih banyak dibanding tempat lain.” Wen Qimo menjelaskan.
“Khusus? Tidak berbahaya kan?” Wajah bibi berubah pucat.
“Tidak mungkin. Yang dimaksud khusus di sini... lokasinya cukup jauh.” Wen Qimo berbicara serius meski mengarang, “Dari sini ke Urumqi butuh waktu lama.”
“Ternyata begitu.” Bibi memegang amplop di tangannya, gelisah tidak bisa duduk tenang.
Ini pertama kalinya dia melihat uang sebanyak ini.
“Kawan, bisakah kalian membantu mengirimkan uang ini untuknya?” Bibi membuka percakapan dengan kekhawatiran, “Dia pergi sendirian ke tempat yang jauh, bagaimana jika tidak punya uang? Lagipula menyimpan uang sebanyak ini di rumah... Aku juga tidak tenang!”
“Di pasukan tidak perlu uang sebanyak ini, dan kami memiliki peraturan. Uang ini untuk keluarga, harap Anda menerimanya.” Mata Wen Qimo menyipit sedikit, suaranya semakin serius, “Untuk keamanan... Tenang saja, selama kami masih ada, tidak ada yang berani menyentuh kalian.”
“Kalau dia pergi seperti ini, kapan harus kembali?”
“Sepuluh tahun.” Chen Muye tiba-tiba berbicara, matanya penuh kesungguhan, “Sepuluh tahun kemudian, dia pasti akan kembali.”
“Sepuluh tahun...” Bibi mengulangi dua karakter itu, menoleh melihat Yang Jin, bergumam pelan: “Sepuluh tahun lagi, Ah Jin seharusnya sudah kuliah ya...”
Wen Qimo dan Chen Muye menemani bibi mengobrol sebentar, ketika waktunya sudah cukup, mereka pun berpamitan.
“Ngomong-ngomong, bisakah menelepon ke tempat kalian?” Bibi teringat sesuatu.
“Tentu bisa.” Wen Qimo mengangguk, “Nanti saya beri nomor telepon, asalkan bukan waktu latihan, Anda bisa menghubunginya.”
“Baik, baik-baik.”
Bibi mengantar mereka pergi, lalu berdiri sendiri di pintu beberapa saat, sebelum perlahan kembali ke dalam dan duduk, memandang ruangan milik Lin Qiye dengan tatapan kosong.
Matanya mulai memerah.
“Bu... Kakak pergi jadi tentara, ini hal baik.” Yang Jin menggendong Xiao Heilai mendekat, menghibur.
“Ibu tahu.” Bibi mengusap sudut matanya, “Anak sudah dewasa, harus pergi melihat dunia. Berlatih di pasukan memang hal baik. Saat dia kembali, statusnya akan jadi prajurit pensiunan. Nanti saat Ibu mencari menantu untuknya, pasti banyak yang berebut!”
Yang Jin: ...
“Ibu hanya... tak bisa tenang.” Bibi menatap ke luar jendela, melamun tak sadar.
……
“Sudah waktunya pergi.”
Chen Muye turun tangga, menampar Lin Qiye yang sedang mengintip lewat jendela, berkata.
Lin Qiye tak berkedip memandang Bibi di balkon, bertanya lembut, “Bagaimana?”
“Dia percaya.”
“Bagus... Uang sudah diberikan?”
“Sudah.” Chen Muye berhenti sejenak, “Itu semua tunjanganmu dan gaji setahun yang dihabiskan. Kalau semuanya diberikan ke mereka, bagaimana denganmu?”
“Selama ini aku menyimpan sedikit uang. Dengan berhemat, bisa bertahan setahun.”
Melihat ini, Chen Muye diam sesaat lalu menambahkan: “Kalau ada waktu luang, datanglah makan di kantor.”
Lin Qiye tertegun bertanya: “Anggota sementara kan tidak dapat makan menginap?”
“Anggota sementara memang tidak dapat fasilitas, tapi...” Chen Muye menepuk bahunya, berjalan ke mobil van tak jauh, “Makanan masakanku adalah pengecualian.”
Lin Qiye tertegun, senyum mengembang di bibirnya.
Dring-dring——!
Persis saat itu, dering ponsel baru di saku Lin Qiye berbunyi.
“Halo?”
“Xiao Qi? Xiao Qi?”
“Ini aku, Bibi.”
“Nak, pergi jadi tentara sendiri kenapa tidak bilang sama bibi? Kalau memang mau pergi... Bibi juga tidak akan melarangmu! Apa kamu tidak menganggapku sebagai bibi lagi? Ya?”
“Maafkan bibi... Aku, aku salah.”
“Hah... Sudah di kereta?”
“Ya.”
“Berapa lama baru sampai?”
“Katanya dua hari, kereta hijau kecil agak lambat.”
“Setelah sampai kamp militer, harus banyak makan! Jangan sampai kelelahan!”
“Aku tahu, Bibi.”
“Dan juga, subsidi ini semuanya sudah bibi terima. Bibi akan menyimpannya dulu, nanti kalau pulang bisa dipakai untuk nikahimu.”
“Bibi, fasilitas tentara kita bagus. Setiap tahun dapat banyak uang, uang itu bibi pakai saja dulu.”
“Dasar anak tidak tahu hemat! Uangmu itu simpan baik-baik. Harus hidup layak, dengar tidak?”
“Dengar, Bibi.”
“Ya, tidak ada urusan lain. Bibi tutup telepon dulu.”
“Baik, sampai jumpa Bibi.”
“Oh iya... Setelah sampai di Qi Qihar, jangan lupa kabari bibi kalau sudah selamat.”
“Pasti, sampai jumpa Bibi.”
Ponsel terdiam lama, suara serak bibi baru kembali terdengar.
“Ya, sampai jumpa...”
Dung... dung... dung...
Bunyi sibuk menggema di ujung telepon. Bibi menggenggam erat ponselnya, duduk membatu seperti patung.
Langsung setelah itu, dua aliran air mata panas mengalir dari kelopak matanya.
“Dia perlahan menindih meja, menanamkan wajah ke bahunya, menangis dalam keheningan...”
Di sampingnya, Yang Jin menghela napas pelan, menoleh ke jendela, bergumam:
“Kak, kamu ini orang bodoh...”
……
Di luar kawasan permukiman tua.
“Qiye, saatnya pergi.” Chen Muye menoleh, berkata dengan tenang.
Lin Qiye menyimpan ponselnya, melirik terakhir ke rumah rendah di kejauhan, mengangguk.
Angin kencang mulai bertiup.
Rambut hitam di dahi Lin Qiye tertiup angin, dia mengencangkan kerah bajunya, berbalik melangkah dalam tiupan angin.
Ujung baju mereka berkibar-kibar keras!
