Lin Qiye yang mengenakan jas lab putih baru saja keluar dari lorong, sebuah siluet langsung berjalan menghampirinya.
Nyx mengenakan gaun bertabur bintang, berjalan perlahan. Meskipun menggendong benang hitam dan jarum rajut, aura aristokrat yang memancar dari tulang sumsumnya tetap tak terbendung. Saat melihat Lin Qiye, senyum lembut mengembang di bibirnya.
“Selamat pagi, Ibu.” Lin Qiye menyapa dengan senyuman.
“Selamat pagi, Aku sedang mencarimu, Thanatos.”
“Ada masalah apa?” Lin Qiye tertegun.
“Ikutlah, sebentar lagi kau akan tahu.” Nyx tersenyum lembut, membawa Lin Qiye menyusuri sisi lain lorong.
Lin Qiye yang semula hendak menginterogasi 【Sang Pengintai】 di ruang bawah tanah ragu sejenak, akhirnya melangkah mengikuti. Mereka menaiki tangga dan langsung memasuki ruang rawat Nyx.
Nyx masuk ke ruangan, meletakkan jarum rajut di meja, lalu membentangkan gulungan benang hitam itu. Di bawah sinar matahari, dia mengibaskan kainnya perlahan.
Baru saat ini Lin Qiye bisa melihat utuh bentuk benang tersebut.
Itu adalah mantel rajutan berwarna hitam.
Sejak lama, Nyx sudah jarang berbicara dengan botol-botol dan guci-gucinya, juga tak lagi melamun sendirian di kursi goyang. Kira-kira tahun lalu, gulungan benang hitam mulai muncul di tangannya...
Setiap hari dia duduk di halaman, berjemur sambil merajut sweater.
Persis seperti nyonya besar yang sedang bersantai.
“Lin Qiye awalnya mengira, wanita itu hanya mencari kesibukan untuk menghabiskan waktu. Sampai akhirnya mantel ini terpampang di hadapannya, membuatnya tertegun mematung di tempat.
“Ini… untukku?” Lin Qiye melihat ukuran yang familiar itu, lalu mengangkat kepala memandang Nyx.
Nyx tersenyum lembut. Ia menggenggam jahitan bahu mantel itu, menempelkannya di depan tubuh Lin Qiye, lalu dengan serius mencocokkannya dengan postur pria itu.
“Tentu saja.” Nyx menjawab sambil tersenyum, “Bukankah wajar seorang ibu membuatkan baju untuk anaknya?”
Lin Qiye menatap Nyx tertegun lama, lalu menunduk melihat mantel rajutan di hadapannya. Aliran kehangatan mengalir dalam hatinya.
Orang terakhir yang merajut baju untuknya dengan tangan sendiri adalah bibinya.
Kira-kira saat ia berusia delapan tahun. Saat itu bibi baru saja bercerai. Untuk menghidupi dia dan A Jin, bibi menghemat hingga ke tingkat tertinggi. Setiap musim dingin, setelah kedua anak itu tertidur, bibi akan duduk di tepi jendela. Dengan cahaya lampu yang redup, ia merajut sedikit demi sedikit.
Meski bajunya tidak bisa dibilang cantik, tapi nyaman dipakai. Memberi rasa tenang yang tak terkatakan.
Lin Qiye tak pernah melihat sosok ibu kandungnya. Ia juga tak tahu seperti apa rupanya. Seluruh pemahamannya tentang kasih sayang ibu berasal dari bibinya.
Tapi kini, dari wanita yang tersenyum lembut di hadapannya ini, ia kembali merasakan kehangatan familiar nan mengharukan itu.
“Ukuran pas, selanjutnya tinggal menarik jarum.” Nyx mengangguk puas, melipat mantel rajut dan meletakkannya di samping.
“Terima kasih, Ibu.” Lin Qiye berkata dengan tulus.
“Tak perlu berterima kasih, Thanatos. Kau anakku. Aku pernah bilang, aku bersedia melakukan apapun untukmu.” Nyx berkata lembut, “Atau, jika sempat, maukah kau tinggal makan siang bersamaku?”
Lin Qiye ragu sejenak, “Hari ini mungkin tidak bisa. Sebentar lagi ada evaluasi penting...”
“Tak apa, lain kali saja.” Nyx tersenyum, “Sibuklah dengan urusanmu. Kurasa kau kemari bukan cuma untuk jalan-jalan, kan?”
Lin Qiye menggaruk kepalanya malu-malu, “Kalau begitu aku pamit dulu.”
Ia berbalik meninggalkan Ruang Rawat Nomor 1, berjalan langsung menuju Ruang Direktur.
Nyx berdiri sendirian di lorong, menatap punggung Lin Qiye yang menjauh sambil menghela napas pelan.
“Mengapa tidak langsung kau minta dia tinggal lebih lama?”
Merlin membawa termos, bersandar di pintu ruang belajar dan berbicara dengan tenang.
Nyx menggeleng, “Dia punya urusannya sendiri. Aku tak bisa selamanya mengurungnya di sisiku.”
“Tapi waktumu juga tak banyak.” Merlin menatapnya, sorot matanya memancarkan kilau misterius, “Kau sudah hampir tak bisa menahan diri, bukan?”
Nyx yang berbalut gaun bertabur bintang tetap mempatung di tempat, diam membisu.
“Kamu bisa menekan sampai sekarang, itu sudah luar biasa. Harus dikatakan, pantaslah sebagai salah satu dewa pencipta India.” Merlin berhenti sejenak, “Tapi dengan menenun sebagian kekuatan ilahimu menjadi baju untuknya, itu akan melukai jiwamu. Saat membentuk kembali tubuh dewa, kondisimu tidak akan bisa pulih ke puncak.”
“Aku tidak peduli.”
Nyx berbicara pelan, sorot matanya berkedip samar menyiratkan kepedihan. Perlahan ekspresinya mengeras, “Aku... hanya punya dia satu-satunya janin sekarang.”
Dia menoleh ke Merlin, “Jangan lupa janji kita.”
Merlin menghela napas, menggaruk-garuk rambutnya yang semakin menipis, bergumam, “Perawatan selama ini... sia-sia lagi...”
……
Lin Qiye mengenakan kacamata hitam besar, melintasi sel-sel sempit yang gelap satu per satu, akhirnya berhenti di depan sebuah sel.
Di dalam sel, bayangan hitam berdiri diam di pusat ruangan. Sebuah bola mata merah menyala di atas kepalanya mengangkat pandangan, menatap Lin Qiye di balik jeruji, sorot matanya memancarkan senyum.
Bayangan itu membungkuk perlahan, tangan kanan diletakkan di dada, memberi hormat dengan khidmat.
“Direktur Lin, akhirnya Anda datang menjenguk saya.”
"Mendengar panggilan itu, mata Lin Qiye menyipit. 'Kamu sudah sejak lama tahu keberadaan tempat ini, juga paham bahwa setelah dibunuh olehku, jiwa akan datang ke sini... Karena itulah kamu bersembunyi di dunia selama dua belas tahun, tapi kebetulan muncul tepat di saat ini. Tujuanmu adalah tempat ini... Benar kan?'"
"Ternyata, tak ada rahasia yang bisa lolos dari pengamatan Anda." Bayangan hitam bermata merah tidak menyangkal.
"Bagaimana kamu tahu tentang tempat ini?"
Lin Qiye menatap bayangan hitam bermata merah itu, ekspresinya menunjukkan keseriusan.
Keberadaan Rumah Sakit Jiwa Para Dewa selalu menjadi rahasianya. Dia tidak pernah memberitahu siapapun. Lalu bagaimana makhluk ini bisa mengetahuinya?
Bahkan, makhluk itu tahu bahwa setelah dibunuh, jiwanya akan datang ke sini... Jika bukan karena penemuan tak terduga, hal ini tidak akan diketahui Lin Qiye yang baru saja mengendalikan rumah sakit jiwa.
Yang paling krusial, dua belas tahun lalu Lin Qiye bahkan belum dipilih oleh Serafim. Rumah Sakit Jiwa Para Dewa juga belum muncul di pikirannya. Saat itu dia hanyalah siswa SD biasa.
Apakah saat itu makhluk ini sudah tahu semua ini?
"Semua tindakanku berasal dari bimbingan Sang Maha Agung." Bayangan hitam bermata merah berbicara dengan hormat. "Sebelum aku turun ke dunia ini, Nya sudah merencanakan semuanya. Aku hanya perlu mengikuti petunjukNya dan menjalankan tugasku."
"Siapa Nya?"
Chapter 0529 Aku Menang
“Nama Nya, saya masih belum bisa memberitahu Anda sekarang, ini juga nasihat Nya.” Bayangan Mata Merah berkata serius, “Tapi Anda tidak perlu khawatir, karena Nya dan Anda sepenuhnya berada di pihak yang sama, bahkan jika seluruh dunia menjadi musuh Anda... Nya, akan selalu berdiri di sisi Anda.”
Alis Lin Qiye berkerut.
Dia tidak menyukai perasaan dikendalikan seperti ini.
"Nya" yang disebutkan Bayangan Mata Merah sepertinya telah memahami segalanya, bahkan memasukkan dirinya sendiri ke dalam papan catur Nya. Meski terus-menerus mengatakan bahwa Nya tidak akan merugikannya, tapi perasaan bahwa nasibnya seolah sudah dikendalikan orang lain membuatnya sangat tidak nyaman.
Siapa kamu? Apa kita kenal dekat?
“Berdasarkan apa kamu berpikir, aku tidak akan menghancurkan jiwamu sampai habis di sini?” Lin Qiye berbicara dengan wajah muram, “Nya merasa sudah menguasai segalanya, bagaimana kalau aku sengaja menggagalkan rencana Nya...”
“Anda tidak akan.” Bayangan Mata Merah menjawab tenang, “Karena, aku akan menukar nyawaku dengan sebuah informasi.”
Alis Lin Qiye terangkat.
“Apa kamu yakin informasi ini bisa meyakinkanku?”
“Tidakkah Anda ingin mendengarnya dulu?”
Lin Qiye menatap matanya dengan tenang, menunggu kelanjutan cerita.
Di dalam sel, Bayangan Mata Merah melangkah mendekati hadapan Lin Qiye.
Ia mengulurkan tangan, menempelkan ujung jari dengan lembut di dada Lin Qiye. Sorot mata merah menyala itu menatap tajam ke mata Lin Qiye, lalu berucap pelan:
“Dia... mau mati.”
Lin Qiye membeku di tempat.
……
Di dalam pesawat.
Lin Qiye tiba-tiba membuka lebar-lebar matanya.
Tangannya meraba-raba ke arah dadanya sendiri...
Ujung jarinya menyentuh sesuatu yang keras, membuat seluruh tubuhnya bergetar halus.
Beberapa saat kemudian, dari dalam dekapan bajunya, dia mengeluarkan sebatang sumpit kayu.
Memandangi sumpit kayu itu, Lin Qiye bagai patung batu yang membeku di tempat.
……
Kabut.
Di dalam kota bercahaya suram.
Dentuman ledakan memekakkan telinga bergemuruh dari langit. Seluruh kota melayang yang rusak parah itu bergetar hebat.
Debu-debu beterbangan dari atap parkiran, berhamburan di atas kompor yang menyala. Suara gedung runtuh di kejauhan bergema seperti gemuruh guntur. Di balik barrier energi kehijauan, kilatan pedang dan sinar hijau berkedip-kedip di antara awan.
Aura menggentarkan memenuhi seluruh jagad raya.
“Senior... Senior Chen Han...” Lu Yu mematung menatap langit di atasnya, “Ini... ini kondisi apa?”
Chen Han juga terpana menyaksikan kilatan-kilatan pedang itu, ragu-ragu berucap: “Sepertinya... ini Perang Dewa?”
“Orang itu... sedang berkelahi dengan Dewa Angin?!” Mulut Lu Yu menganga lebar, “Lalu dia...”
Chen Han menatap langit untuk waktu yang lama, lalu berbicara pelan: "Dia seharusnya adalah Santo Pedang dari Da Xia yang termasuk dalam langit-langit manusia."
Selain langit-langit manusia, tidak ada orang yang bisa bertarung melawan dewa.
Tapi masalahnya, kenapa Santo Pedang bisa berada di Kabupaten Anta?
Apakah ini kebetulan? Atau...
Chen Han teringat suatu kemungkinan, pandangannya yang tertuju pada siluet di langit dipenuhi keterkejutan.
"Mengapa Santo Pedang ada di sini? Apakah sejak awal ada urusan di Kabupaten Anta?" Lu Yu bertanya dengan bingung, lalu menggelengkan kepala sendiri, "Tidak mungkin, kalau Santo Pedang ada di sini sejak awal, Dewa Angin tidak mungkin berhasil menculik kita keluar dari kabut..."
Bibir Chen Han gemetar, suaranya terdengar serak:
"Dia menerobos kabut untuk menyelamatkan kita."
Dor——!!
Di langit suram, suara mengerikan terus bergema. Kilau pedang yang menyilaukan melintas di cakrawala, bagaikan matahari terik yang merobek-robek langit. Aura pedang yang menyeramkan seperti ombak laut menerobos udara, meski diterangi cahaya suram Fengdu, mata telanjang tetap tak sanggup memandangnya.
Chen Han dan Lu Yu serentak menunduk, mengalihkan pandangan dari langit, ekspresi mereka penuh kekhawatiran.
Terhalang cahaya suram yang membatasi pandangan, mereka sama sekali tak bisa melihat kondisi pertarungan di langit. Hanya melalui aura pedang atau angin kencang yang memenuhi udara, mereka bisa menilai siapa yang unggul.
Saat kilau pedang ini muncul, tekanan wibawa Dewa Angin tertekan seluruhnya. Kemudian terdengar suara ledakan dahsyat, seluruh kota yang retak ini kehilangan penopang dan mulai terjatuh dengan cepat ke bawah!
Sensasi jatuh bebas yang intens menyelimuti pikiran semua orang!
Kompor pemanas yang bertebaran di garasi bawah tanah mulai terangkat ke udara, mobil-mobil di jalanan pun melayang secara bersamaan. Chen Han dan Lu Yu langsung menggenggam tiang di samping mereka, hati mereka serasa tercekat di kerongkongan.
Jika jatuh dari ketinggian ini, kota ini beserta seluruh kehidupan di dalamnya akan terlempar dan hancur berkeping-keping!
Tiba-tiba, seluruh kota kembali bergetar. Semua objek yang melayang jatuh kembali ke posisi semula. Untungnya sensasi melayang ini tidak berlangsung lama. Meskipun barang-barang berserakan agak berantakan, para warga yang terbaring tak sadarkan diri di lantai tidak terluka.
Mobil-mobil yang melayang jatuh dengan keras, suara alarm yang saling bersahutan menusuk kesunyian maut kota, bergema dalam kegelapan.
Chen Han dan Lu Yu bangkit dari lantai secara bersamaan, dengan tegang menengadah ke langit.
Di atas cahaya kehijauan yang samar, kilau pedang dan cahaya hijau yang tadi bertarung sengit telah menghilang tanpa jejak. Segalanya kembali sunyi, seolah kejadian tadi tak pernah terjadi.
"Senior Chen Han, apakah Santo Pedang ini... menang atau kalah?" tanya Lu Yu dengan ragu.
Chen Han menggelengkan kepala, "Aku juga tidak tahu..."
Keduanya berdiam diri di pintu masuk parkiran, sorotan senter mereka menyapu jalanan yang gelap gulita, berharap bisa kembali melihat siluet pria berbaju hitam dengan kotak di punggung itu...
Dalam keheningan, aura tegang menyebar di udara.
Santo Pedang... Jangan sampai ada apa-apa.
Mereka berdoa dalam hati.
Tiba-tiba, suara batuk terburu-buru dan lemah terdengar dari ujung jalanan.
“Hukh hukh hukh hukh...”
Keduanya serentak menoleh, melihat siluet seorang yang berlumuran darah berjalan tertatih-tatih dari kegelapan di ujung jalan.
Kemeja hitamnya terkoyak beberapa garis tebasan, garis darah yang membuat hati bergetar membelur di sekujur tubuh. Rambut hitam bernoda darah menutupi dahinya yang tertunduk, wajahnya pucat pasi sambil terus batuk hebat...
Kedua tangannya kosong, telapak tangan gemetar tak terkendali. Pedangnya... hilang.
“Santo Pedang Senior!!!” Lu Yu berteriak gembira melihat siluet itu, lalu bersama Chen Han berlari mendekat untuk menopangnya.
Tangan Chen Han memegang pergelangan tangan Zhou Ping, cahaya putih mengalir dari tubuhnya ke luka Santo Pedang. Wajahnya langsung berubah tegang.
“Senior, lukamu...” Chen Han menatap mata Zhou Ping, sepertinya ingin mengatakan sesuatu.
“Hukh hukh hukh hukh...” Zhou Ping batuk paroksismal, bibirnya agak memucat. Ia melambaikan tangan, “Aku tidak apa-apa.” suaranya serak.
“Senior, siapa yang akhirnya menang antara Anda dengan Dewa Angin?” Lu Yu tidak tahan bertanya.
Zhou Ping terdiam beberapa saat, "Dia mundur, jadi... seharusnya ini dianggap sebagai kemenanganku."
Menang？
Lu Yu yang mendengar kalimat ini membelalakkan matanya tak percaya.
Meski terus berdoa untuk hasil ini, saat Zhou Ping mengakuinya secara terbuka, dia masih terkejut luar biasa.
Santo Pedang memaksa Dewa Angin mundur？
Itu adalah salah satu dari Sembilan Dewa Mesir yang sejati!
Makhluk yang bisa mencabut separuh kota beserta akarnya, lalu melewati kabut dan mengangkutnya ke Kota Matahari Mesir.
Apakah dia masih manusia？
"Senior Santo Pedang... Lalu, sekarang kita..." Lu Yu gagap memulai pembicaraan.
Zhou Ping mengangkat wajah pucatnya, menatap tenang ke arah timur, "Pulang."
