Merasakan gelombang energi pedang yang menakutkan dari depan, semua pejabat tinggi diam-diam menelan ludah.
He Xingwen mematung menatap sosok muda itu, juga aura kuat yang samar terpancar dari tubuhnya, seluruh tubuhnya membeku di tempat...
Bukannya Zhou Ping sudah menebas dewa dan menghilang?!
“Kenapa kamu muncul di sini lagi?！”
“Apa ini intel palsu yang ditinggalkan Ye Fan？”
Bukan hanya mereka, bahkan Zuo Qing yang berdiri di sebelah Zhou Ping pun terkejut bukan main.
Dia baru saja kembali dari Kedai Masakan Sederhana Sanjiu. Awalnya dia mengira setelah menyampaikan pesan Ye Fan, Zhou Ping akan pendiam tinggal di sana menghabiskan sisa hidupnya. Tapi siapa sangka, baru sebentar ini, dia sudah mengayun pedang menerjang markas Penjaga Malam dan terang-terangan meminta dirinya menjadi wakil Sang Panglima?！
Ini tidak sesuai dengan yang dia bayangkan!
“Zhou Ping, ini urusan internal Penjaga Malam. Kau tidak seharusnya...” He Xingwen menelan ludah, berusaha menegaskan Zhou Ping tidak berhak ikut campur. Tapi baru setengah kalimat terucap, pandangan tenang itu sudah menghantamnya.
Mata Zhou Ping menyipit tipis, memancarkan aura pembunuhan.
Seluruh tubuh He Xingwen bergetar!
Seketika, otaknya mendadak kosong. Gelombang Pasang Energi Pedang tak berujung membanjiri pikirannya. Kesadarannya bagai daun kering di tengah lautan, tercabik-cabik gila-gilaan oleh energi pedang tanpa daya melawan.
Dia tersiksa sampai hampir mati lemas!
Untung tatapan Zhou Ping hanya bertahan setengah detik, lalu beralih ringan ke orang lain.
Terlepas dari neraka energi pedang itu, wajah He Xingwen pucat pasi. Punggungnya basah oleh keringat. Kedua kakinya lunglai, tubuhnya ambruk di kursi seperti orang kehabisan tenaga.
Semua orang melihat He Xingwen langsung lumpuh di tempat, serentak tersadar akan kondisi yang tidak menguntungkan. Kecuali Shao Pingge dan seorang pejabat tinggi muda lainnya, yang lain tidak berani menatap mata Zhou Ping.
Zhou Ping berkata dengan datar, "Aku tanya sekali lagi... siapa yang menentang?"
Ruang rapat sunyi senyap bagai kuburan.
He Xingwen yang baru saja dibuat limbung oleh tatapan Zhou Ping, sama sekali tidak punya tenaga untuk berbicara lagi. Sementara pejabat tinggi lainnya, melihat betapa kerepotannya He Xingwen, secara natural menghilangkan niat untuk ikut-ikutan gila bersamanya. Mereka tetap duduk di kursi masing-masing dengan jujur, tanpa sepatah kata.
Zhou Ping mengangguk, "Kalau begitu, sudah diputuskan seperti ini."
Setelah selesai berbicara, dia berbalik arah dan meninggalkan ruang rapat.
Zuo Qing tertegun di tempatnya beberapa saat, baru tersadar dan segera menyusul Zhou Ping.
Sejak sebelum datang ke rapat, Zuo Qing sudah memprediksi bahwa faksi keras kepala mungkin akan main kotor. Untuk itu dia bahkan menyiapkan siasat cadangan. Tapi tak disangka, sebelum sempat menggunakan caranya, Zhou Ping masuk dan dengan ringan mengucapkan dua kalimat - posisinya sebagai pelaksana tugas Sang Panglima langsung dikukuhkan.
Untuk menghindari para pejabat tinggi, mereka berdua terus berjalan sampai ke atas gedung. Barulah Zuo Qing tidak tahan bertanya:
"Kenapa kamu kembali lagi?"
"Bukannya kau bilang, aku boleh melakukan apa yang kuinginkan?" jawab Zhou Ping. "Ini yang ingin kulakukan."
Ekspresi Zuo Qing berubah aneh, "Yang kau inginkan... adalah menjadikanku pelaksana tugas Sang Panglima?"
"Itu hanya bonus sambil lalu."
Zhou Ping memandang matanya, "Karena Ye Fan memilih mempercayaimu, aku juga akan mempercayaimu. Saat ini kamu masih sedikit kurang untuk naik ke tingkat langit-langit. Sebelum itu, aku akan menjadi penyokongmu... seperti dulu, Ye Fan menjadi penyokongku."
Zuo Qing diam sejenak, "Terima kasih."
"Tak perlu berterima kasih. Tampaknya, pihak berwenang Penjaga Malam kalian juga bukan blok besi yang solid. Meskipun aku penyokongmu, aku tak bisa terlalu ikut campur dalam urusan Penjaga Malam. Semua ini harus kau selesaikan sendiri."
"Aku paham." Sorot mata Zuo Qing memancarkan kilatan kejam, "Beberapa orang terlalu nyaman di posisi tinggi sampai lupa identitas mereka... Dulu cara Ye Fan terlalu ringan, tapi aku tak akan demikian. Setelah aku mengambil alih Penjaga Malam, akan kusingkirkan mereka satu per satu."
"Asalkan kau sudah mengerti di hati."
"Ngomong-ngomong, seandainya tadi benar-benar ada yang menentang, apa yang akan kau lakukan?"
"Menentang? Biarlah menentang." Zhou Ping mengangkat bahu, "Aku tak mungkin membunuh mereka di markas Penjaga Malam."
“……”
Zuo Qing melanjutkan pertanyaannya, "Lalu apa rencanamu selanjutnya?"
Zhou Ping mengangkat kepala memandang ke kejauhan, lama terdiam, lalu berbicara pelan:
"Masuk kabut."
"Masuk kabut? Mau melakukan apa?"
"Mencari murid-muridku." Kata Zhou Ping dengan tenang, "Aku sudah dengar kabar tentang mereka. Karena mereka hilang di dalam kabut, aku harus pergi mencari mereka satu per satu."
"Tapi kau bahkan tak tahu di mana mereka."
"Saat mereka menerobos kabut untuk menyelamatkanku dulu, mereka juga tak tahu di mana aku."
"Kabut seluas ini, ke mana harus kau cari?"
“Mereka menghilang di sekitar perbatasan Da Xia, pasti ulah dewa asing.” Sorot mata Zhou Ping dipenuhi tekad baja, "Kalau sudah melibatkan dewa asing, aku akan telusuri satu per satu kerajaan dewa. Sampai ke ujung dunia sekalipun, aku akan membawa mereka pulang."
"Menerobos kerajaan dewa?" Kilatan keheranan muncul di mata Zuo Qing. Setelah beberapa saat, dia bertanya lagi, "Bagaimana jika... mereka sudah..."
Zhou Ping diam membisu.
Tapi dari sorot matanya memancar niat membunuh yang mengerikan.
"Jika mereka sudah terbunuh..." Suaranya mengguntur, "...maka seluruh kerajaan dewa itu akan kubabat habis sebagai tumbal."
Zuo Qing menutup mulutnya rapat-rapat.
Zhou Ping memandangnya sebentar, "Perjalananku ini tak diketahui kapan kembali. Penjaga Malam kuserahkan padamu."
"Tenang, akan kukelola dengan baik." Zuo Qing menarik napas dalam, kedua tangan menyusun hormat, "Semoga lancar perjalanannya."
Zhou Ping mengangguk halus. Satu langkah diinjakkannya ke arah cakrawala.
Ding——!!
Tubuhnya menjelma kilau pedang, menerobos dimensi ruang, melesat tak kenal takut menuju tepian kabut.
……
Kabut.
Olympus.
Di bawah langit muram, ribuan kilat menggeliat di balik awan bagai ular-ular raksasa, gemuruhnya menggema menakutkan.
Beberapa sinar petir menyambar-nyambar, menerangi sudut sempit langit. Di atas gelombang laut yang mengamuk, terpantul bayangan pegunungan raksasa yang terombang-ambing antara ilusi dan kenyataan, pucat pasi bagai mayat.
Di kedalaman pegunungan ini, sebuah Singgasana Emas berdiri tegak dengan kokoh di puncak gunung-gunung.
Di atas Singgasana Emas ini, seorang pria tua bertelanjang dada dengan otot-otot berisi yang eksplosif tiba-tiba membuka matanya lebar-lebar, memandang ke suatu arah di antara langit dan bumi!
Tongkat kekuasaan emas di telapak tangannya mulai bergetar hebat!
Ikut bergetar bersamanya, seluruh Gunung Olympus.
Di suatu tempat di ufuk langit, senja merah tua sedang menggerogoti seluruh langit dengan kecepatan yang mengerikan, bagaikan pedang yang datang dari kegelapan, di mana ujung pedangnya mengarah tepat ke Olympus.
Di bawah senja merah tua itu, seorang wanita berjubah gaun bertabur bintang sambil memegang pedang berdengung, menginjak udara kosong dan perlahan mendekat.
Ia menatap pegunungan megah di kejauhan, di dalam sorot matanya api balas dendam berkobar-kobar.
Bibirnya yang merah merekah bergerak pelan, bergumam:
"Olympus... Aku kembali."
Jilid Kedua,《Senja Merah Tua》, Tamat.
Jilid berikutnya,《Kota Terkutuk》.
Chapter 0589 Ringkasan Akhir Jilid 2
Akhirnya Jilid Kedua selesai ditulis.
Masih sesuai peraturan lama, mari kita rangkum sekilas jilid ini. Teman-teman yang tidak ingin membaca keluhan San Jiu bisa langsung melewati～
Awalnya kupikir jilid ini tidak akan terlalu panjang, setidaknya tidak melebihi
550 ribu karakter di Jilid Pertama. Tapi selama menulis, baru kusadari tanpa terkira sudah hampir 700 ribu karakter... Agak panjang tapi tidak bertele-tele.
Baiklah, setidaknya menurutku tidak bertele-tele... Setiap alur atau dialog memiliki maksud keberadaan, saling terkait satu sama lain, bisakah ini disebut bertele-tele? (gambar anjing)
Banyak hal yang ingin diungkapkan, semuanya masih ada di sini.
Seperti yang sudah dijelaskan dalam kesimpulan akhir Jilid Pertama, di sini kita akan langsung melewatinya dan masuk ke bagian rangkuman.
Tema Jilid Pertama adalah "Dewa", Serafim, Yang Jian, Xiao Heilai, Yuan Shi Tianzun, Poseidon, Hades, Loki... Inilah awal dari segalanya, sebuah kisah tentang "dewa" yang melindungi "manusia";
Namun.
Jilid Kedua berbeda.
Inti dari jilid ini bukan lagi para "dewa" penguasa alam, melainkan "manusia-manusia" biasa namun mulia satu per satu.
Lao Gou Wu yang berpura-pura sakit menghindari dunia, Li Deyang yang menjaga perbatasan sendirian, Chen Han yang masih hijau, Bai Li Pangpang yang terlahir kembali dari keputusasaan, Miao Su satu-satunya Penjaga Malam di Kota Guangshen, Anggota Kesembilan yang menyusup ke 【jemaat】, dan para langit-langit manusia...
Siapa bilang dunia ini pasti membutuhkan dewa?
Dalam keputusasaan dan kegelapan, mereka yang berani berdiri di depan berjuta-juta manusia, memancarkan cahaya yang lebih gemilang daripada para dewa.
Dalam jilid ini, yang benar-benar ingin ditulis San Jiu hanyalah empat karakter, yaitu harapan terpendam Ye Fan:
Manusia pasti menaklukkan langit.
Tidak tahu apakah ada pembaca yang menyadari, lima langit-langit manusia semuanya adalah personifikasi dari "kemerataan".
Pelayan Zhou Ping, kurir Lu Wuwei, satpam Da Xia Ye Fan, programmer Guan Zai, Guru Chen...
Profesi mereka bisa ditemui di mana-mana dalam kehidupan, tapi bukan berarti mereka tidak berarti. Setiap orang yang berbalut "kesederhanaan" mungkin menyimpan hati murni seperti 【Liuli Chizixin】.
Saat krisis datang, pahlawan sejati justru berasal dari "orang biasa", bukan dari yang "dimuliakan" atau "kaya raya".
Mungkin mereka bukan superhero, bukan Iron Man, tak bisa menyelamatkan bumi. Yang bisa mereka lakukan sangat sedikit, tapi kenapa harus dipusingkan?
Menyelamatkan orang putus asa yang ingin bunuh diri, mengangkat pejalan kaki yang tak sengaja jatuh ke sungai, mengusir preman yang membuntuti gadis remaja, menyelamatkan anak yang hendak diculik pedagang manusia... Dibanding menyelamatkan dunia, hal-hal ini mungkin memang kecil. Tapi bagi yang diselamatkan, merekalah pahlawan.
Setiap dari kita adalah Chen Han.
Tanpa latar belakang Li Deyang, tanpa bakat Zhou Ping, sederhana namun mulia - inilah sosok 'Penjaga Malam' yang sebenarnya.
Inilah yang ingin kutulis di jilid ini.
Mungkin masih banyak bagian yang kurang sempurna, tapi secara keseluruhan San Jiu cukup puas.
San Jiu masih baru di dunia novel web. Dari buku pertama sampai sekarang baru setahun. Masalah pasti ada, jarak dengan penulis senior masih jauh. Tapi San Jiu akan terus memperbaiki diri.
Jilid berikutnya... Ya... Jangan bocorin plot!
Sekali lagi, jika kalian merasa tulisan San Jiu masih bisa diterima, buku ini cukup layak dibaca, lebih baik bantu promosikan promosikan. Di sini San Jiu khusus ingin berterima kasih kepada para pembaca setia yang selalu mendukung dan berubah menjadi maniak promosi.
Kalian semua, satu per satu, bisa menggosok Zhou Ping si fobia sosial ke tanah!
Cantik!
Terakhir diingatkan sekali lagi, usahakan jangan menumpuk buku bacaan ya～
Membentuk hati dengan jari～ ？（′？？？‘）
……
Chapter 0590 Doa Kematian
Di bawah langit biru cerah, ombak bergelora menghantam permukaan karang hitam pekat, menyipratkan bunga ombak putih salju. Dengungan deburan ombak bagai gemuruh guntur, bergema di tebing terjal.
Jalan sempit sepi yang melingkari gunung hijau ini berjarak sekitar 80 meter lebih dari permukaan laut di bawahnya. Melangkahi pembatas rendah di pinggir jalan raya, berjalan beberapa langkah lagi, seseorang bisa berdiri di tepi tebing untuk melihat cakrawala biru tua di kejauhan.
Saat ini, di ambang tebing itu berdiri seorang gadis kecil berpakaian kimono compang-camping.
Sebuah geta akar patah menghiasi satu kakinya, sementara sepatu di kaki satunya telah hilang entah ke mana. Rambut hitamnya yang berminyak digelung menjadi sanggul bakso, diikat dengan tusuk rambut kristal sakura pink terang. Helai rambut berantakan di pelipisnya beterbangan ditiup angin.
"Gadis ini baru berusia dua belas tiga belas tahun, mungil dan kekanak-kanakan, wajahnya yang penuh bekas air mata menatap laut di kejauhan, kedua tangan kecilnya menggenggam erat ujung kimono, bibirnya terkunci rapat, menyimpan kesedihan dan kekecewaan yang tak terucapkan."
Setelah waktu yang lama, dia mengeluarkan ponsel flip tua dengan stiker Pikachu menguning yang menempel di bagian belakang.
Dia memutar sebuah nomor telepon.
"Halo..." suaranya terdengar ragu-ragu.
"Ini Kantor Polisi Yokohama, ada yang bisa kami bantu?"
"Kalian... bisa membantu mengurus jenazah orang?"
"Maaf, Anda bilang apa?"
"Mengurus jenazah." Gadis kecil itu melirik ombak bergelombang di bawah kakinya, "Lima menit lagi, di tebing dekat Jalur Machiyama... Bisakah kalian datang untuk mengurus jenazahku?"
Suara di telepon terdengar berhenti sejenak, diselingi bunyi ketukan keyboard samar, sepertinya sedang mencari informasi.
Bersamaan dengan itu, di bahu gadis itu, sederet angka putih kecil berbinar pelan.
Suara di telepon tiba-tiba menjadi serius:
"Anda adalah warga generasi keempat, nomor 42857494 Yuzurina, benar? Anda tahu bunuh diri adalah tindakan penghinaan terhadap dewa yang tak termaafkan? Harap Anda mengurungkan niat tersebut, petugas patroli akan segera datang..."
Du——!
Yuzurina memutuskan telepon.
Lengan yang menggenggam ponselnya pelan-pelan terkulai, bibirnya digigit keras, berbisik pelan:
"Tidak mau mengurus jenazahku... ya sudah."
“Dia melemparkan ponselnya, melangkah menuju tepi tebing menghadap angin laut. Di kimono hitamnya, beberapa kelopak sakura beterbangan seperti menari liar ditiup angin.”
“Dia berdiri di tepi jurang, tinggal selangkah lagi akan terjatuh. Di bawahnya, ombak ganas menyembunyikan karang-karang tajam. Jika melompat dari sini, tubuhnya akan hancur berkeping-keping dalam sekejap.”
“Seharusnya... tidak akan terlalu sakit ya?”
“Diam cukup lama, dia mengulurkan kedua tangan membuat gestur doa di depan dada.”
“Dewa Fukujin Daikokuten yang murah hati dan perkasa, ini terakhir kalinya aku berdoa pada-Mu. Engkau dewa perang dari seberang, penghancur segala kejahatan, pembawa kedamaian dan kebahagiaan, pengusir nasib buruk dan kemalangan... Ampunilah dosa bunuh diriku, berikanlah aku kelegaan dan harapan. Semoga cahaya keberuntungan-Mu menyinari bumi.”
“Dengan lembut melepaskan genggaman, pandangannya tertuju pada hamparan laut luas di bawahnya. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia bersiap untuk melompat!”
“Tiba-tiba tubuhnya membeku di tempat.”
“Dia mengusap mata kemerahannya, memandang ke permukaan laut tak jauh dari sana. Ekspresi terkejut muncul di wajah kecilnya.”
“Di permukaan laut bawah tebing, siluet hitam terapung seperti kayu gelondongan di antara buih ombak. Mirip mayat, tapi anehnya meskipun diterjang ombak, lengannya sama sekali tidak bergerak seperti patung lilin...”
“Mayat hidup?”
Yuzuna mengedipkan matanya dengan kuat, berusaha melihat kondisi mayat itu, tapi belum sempat melihat lebih lama, mayat yang seperti kayu apung itu sudah terbawa ombak ke karang di bawahnya, tersangkut di bagian paling bawah tebing.
Yuzuna merasa kesal.
Kenapa mayat itu tidak hanyut ke tempat lain saja, nekat hanyut ke lokasi yang akan dia gunakan untuk melompat? Bagaimana jika setelah melompat dia malah menabrak mayat itu dan tidak langsung mati?
Betapa sakitnya itu!
Dan bahkan jika dia mati, mungkin akan tersangkut di sana juga, terjerat dengan mayat pria asing itu di antara karang...
Tidak, sama sekali tidak!
Semakin dipikir, semakin kesal dia.
Dia menghentakkan kakinya marah, air mata mulai berkaca-kaca di matanya.
Kenapa nasibnya selalu sial? Susah payah mengumpulkan keberanian untuk bunuh diri dengan melompat ke laut, memilih tempat yang terlihat paling layak, eh malah didahului orang lain.
Tempat ini tidak boleh diserahkan begitu saja padanya!
Yuzuna menguatkan tekad, melemparkan sandal kayunya ke laut, lalu berlari ke lereng yang lebih landai di sisi lain jalan raya. Dengan kaki telanjang, dia berjalan hati-hati menuju air laut di bawah.
Dia menyusuri pesisir berbatu menuju laut. Airnya dingin menggigit, tapi dia tetap mengatupkan rahang erat-erat, berenang dengan tekun menuju siluet berbaju hitam yang tersangkut di karang.
Siluet itu semakin dekat dengannya.
Akhirnya dia berenang sampai ke area karang, menarik kasar kerah bajunya pria berbaju hitam itu, lalu menyentak dengan kencang!
Mayat itu tergelincir dari karang.
Wuah——！
Sebuah ombak menghantam tubuh mereka, langsung menyapu Yuzuriha yang mungil beserta pria itu kembali ke beting berbatu di samping. Dalam prosesnya, Yuzuriha bahkan terhempas ke air laut dan menelan banyak air asin.
Meski bisa berenang, kemampuan renangnya tidak terlalu baik. Lagipula sesuai peraturan di sini, semua warga dilarang keras menginjakkan kaki di perairan—baik berenang, mengemudi kapal, memancing, maupun terbang—semua mutlak dilarang.
Kemampuan renangnya dipelajari saat masih kecil di anak sungai di kampung halaman Osaka.
Setelah terhempas ke beting berbatu, dia berjuang bangkit dari tanah. Kimononya basah kuyup, lalu terjatuh sambil batuk-batuk hebat.
Setelah berhasil memuntahkan semua air dari paru-paru, barulah dia menarik napas lega. Dengan tubuh goyah, dia berdiri dan berjalan mendekati mayat yang terhempas bersamanya tadi.
Baru sekarang ada waktu untuk mengamati orang ini dengan teliti.
Tak lama, alisnya berkerut.
Ini pria muda berusia sekitar dua puluhan, cukup tampan. Yang aneh, meski sudah lama mengambang di laut, tak setetes pun air menempel di tubuhnya. Rambutnya kering. Sorot matanya terbuka lebar, memandang sesuatu dengan ekspresi seolah sedang berpikir tapi juga waspada...
Waktunya seolah dijeda.
“Mayat yang aneh……” Yuulina bergumam.
Dia berdiri, bersiap kembali ke tempat yang menjadi miliknya, melanjutkan untuk mengakhiri hidupnya.
Dia baru saja menelepon kantor polisi. Pihak lawan sepertinya melacak posisinya melalui kode yang dia berikan, dan sudah mengirim petugas ke sini. Jika dia tidak bisa bunuh diri sebelum mereka menangkapnya, diperkirakan akan langsung dikurung di penjara, seumur hidup tidak akan bisa keluar, apalagi bunuh diri di dalam sel.
Di sini, bunuh diri adalah kejahatan berat.
Saat baru saja berdiri, dia melihat mayat yang terbaring di tanah, matanya seolah berkedip.
Dia tertegun, menggosok matanya, lalu menatap kembali.
Pada momen berikutnya, mayat pria berbaju hitam itu tiba-tiba duduk dari tanah, sorot matanya penuh kengerian. Mulutnya terbuka lebar sambil terengah-engah.
