Apa yang terjadi?
Tang Ji seluruh tubuhnya berlumuran darah segar, menggenggam pisau bedah yang tajam. Ujung pisau masih meneteskan butiran darah ke lantai. Aroma anyir darah yang pekat menyembur dari dalam ruang istirahat, menyebar ke seluruh ruang tamu. Saat ini, Tang Ji terlihat seperti seorang tukang jagal yang baru saja melakukan pembantaian sadis. Alasan menyebutnya sadis adalah karena tatapannya yang tenang, tenang secara iblis. Bukan tatapan normal yang seharusnya dimiliki manusia biasa dalam kondisi seperti ini.
Semua orang di ruang tamu terpaku. Manila tanpa sadar menggigit rokoknya, menatap kosong ke depan. Bahkan abu rokok yang jatuh di bajunya pun tidak ia rasakan.
Laura di samping Mike yang tua melototkan mata sambil menutupi mulutnya, tatapannya dipenuhi kengerian.
Reaksi yang sudah diperkirakan. Langkah demi langkah, Tang Ji menembus ruang tamu. Sorot mata orang-orang mengikuti setiap gerakannya. Tang Ji sampai di sisi Christine dan Manila, lalu berjongkok.
“Apa yang kau lakukan?” Manila dengan cepat mencabut rokok dari mulutnya, melemparkannya ke lantai sambil menatap Tang Ji yang berada tepat di hadapannya. Suaranya sedikit gemetar, seolah telah menebak jawabannya namun enggan mempercayainya. Bagaimanapun juga, membunuh manusia dan membasmi zombie adalah dua konsep yang sama sekali berbeda.
Tang Ji menggoyangkan alisnya, mencibir sambil berjongkok di depan Manila dengan ekspresi 'tebak sendiri'. Pandangannya kemudian beralih ke Christine yang duduk di samping Manila.
“Masih muda sudah merokok, tidak baik untuk tubuh. Bagaimana masa depanmu?” Senyum mengembang di wajah Tang Ji saat mencabut rokok dari bibir Christine dan menginjaknya hingga padam di lantai.
Christine menyentak mundur, kedua tangan erat merangkul dada sambil memandang Tang Ji dengan tatapan penuh ketakutan. Rambut bergelombang pirangnya yang indah terlihat berantakan.
"Ya Tuhan! Kau bunuh dia!" Teriakan kaget terdengar tak jauh di belakang Tang Ji. Tang Ji yang sedang berjongkok menoleh dan melihat Old Mike dan Laura sudah berdiri di pintu ruang istirahat. Mereka mungkin berjalan kesana saat Tang Ji sedang berbicara dengan Christine. Old Mike masih mengintip ke dalam, sementara Laura menutup mulutnya sambil menarik lengan Old Mike mundur, matanya menatap tajam ke arah Tang Ji.
Tang Ji memalingkan wajah ke arah mereka sambil mengangkat bahu. Bibirnya bergerak-gerak seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya hanya melontarkan tiga kata: "Dia pantas mati!"
Mata Christine tiba-tiba berbinar-binar. Tatapannya berusaha menembus badan Tang Ji untuk melihat ke dalam ruang istirahat, namun karena sudut pandang yang terhalang, mayat Andrew tak terlihat. Akhirnya tatapannya kembali tertuju pada Tang Ji. Pria berdarah-darah yang sebelumnya terlihat berwajah jahat dan menyeramkan itu kini sama sekali berbeda di matanya.
“Jason, datanglah bantu aku.” Tang Ji yang masih berjongkok di lantai memalingkan wajah ke Jason, lalu bangkit sambil melangkah masuk ke ruang istirahat sambil melambaikan tangan pada Jason.
Jason menunjukkan keraguan sejenak sambil melirik sekilas ke semua orang. Old Mike menyundulkan kepala ke arahnya, membuat Jason akhirnya mengikuti Tang Ji masuk ke ruang istirahat.
"Ya Tuhan, apa yang kau lakukan padanya?" Jason mundur selangkah dengan ekspresi ketidaknyamanan saat melihat mayat Andrew, hampir saja memuntahkan isi perutnya. Meski sudah terbiasa dengan zombie, penampakan Andrew yang mati dengan cara tidak wajar - terlalu kejam dan penuh darah - tetap sulit diterimanya.
Tang Ji tersenyum pasrah, mendorong jendela ruang istirahat terbuka. Bau anyir darah yang pekat menyebar keluar. Zombie di luar pun menjadi bersemangat, suara menderu tajam memasuki kamar. Tang Ji menjelaskan: "Dia terus-menerus melawan..." Sambil berkata demikian, Tang Ji berjalan ke tepi tempat tidur dan menangkap kedua lengan lemas Andreas, menariknya ke bawah. "Ayo, bantu aku melemparkannya keluar!"
Melihat postur tubuh Andreas, beratnya setidaknya seratus kilogram. Tang Ji ingin melemparkannya sendirian jelas tidak mudah.
Saat itu, semua orang di ruang tamu telah berkumpul di pintu ruang istirahat. Manila masih berusaha menutupi mata Kristin, namun tangannya justru dicengkeram dan ditarik keras oleh Kristin.
Adegan yang sangat berdarah, siapapun yang melihat pasti akan merasa tidak nyaman. Tapi yang mengejutkan, Kristin sama sekali tidak menunjukkan ekspresi ketidaknyamanan. Mungkin karena Andrew pernah berusaha mencemarkannya, secara alami dia menginginkan kematian Andrew. Tatapannya terus menyapu sekilas antara mayat Andrew dan tubuh Tang Ji.
Tahun ini Tang Ji sudah berusia 27 tahun. Bagi gadis 16 tahun seperti Kristin, dia bisa dianggap sebagai level paman. Namun paradoksnya, Tang Ji memiliki penampilan yang tampan, ditambah telah membunuh Andrew yang dianggap mimpi buruk oleh Kristin. Bagi Kristin, ini jelas memiliki daya tumbukan yang kuat. Apalagi gadis Amerika memang terkenal cepat matang. Bisa dibilang, Kristin mulai mengembangkan perasaan aneh tertentu pada Tang Ji.
Plok!
Suara jatuh seperti karung pasir terdengar, mayat Andrew dilempar keluar. Jendela ruang istirahat ini menghadap langsung ke jalan raya. Banyak zombie yang melihat Tang Ji dan Jason di jendela langsung meraung-raung dan menyambar ke arah toko pakaian Dream House. Beberapa zombie yang sudah berkumpul di luar toko pakaian langsung menyerbu mayat Andrew. Plasma darah menyembur, Andrew segera dibagi-bagi dan dimakan oleh zombie-zombie itu.
Tang Ji hanya melirik sebentar sebelum menutup jendela. Raungan zombie yang masuk ke dalam kamar langsung melemah. Ia mengambil tas perjalanan yang sebelumnya diambil Jason, lalu bersama Jason keluar dari ruang istirahat. Pintu kamar itu ditutup rapat-rapat. Ruangan itu diperkirakan tak akan ada yang mau masuk lagi.
"Ada yang mau makan?" Tang Ji melempar tas perjalanan ke meja kopi tua di antara dua sofa. Sambil melepas kaos T berlumuran darah, ia berjalan menuju kamar mandi.
Tang Ji masuk ke kamar mandi. Pintu berdecit lalu tertutup rapat.
Jason menunduk melihat baju di tubuhnya yang juga terkena banyak noda darah, menggelengkan kepala. Sepertinya perlu waktu lama sampai gilirannya membersihkan diri. Kamar mandi memang terlalu kecil. Dengan tangan masih berlumuran darah, ia mengusap-usap sisi bajunya asal-asalan. Jason ingin meraih tas perjalanan yang baru saja dijatuhkan Tang Ji, tapi langsung berhenti karena menyadari orang lain juga diam, saling pandang dengan ragu.
Jason yang setengah membungkuk itu berdiri tegak, terlihat sedikit canggung.
Manila menatap yang lain, membaca keraguan di hati mereka. Ia segera mendekati meja kopi, membungkuk dan membuka resleting tas perjalanan. Di dalamnya berisi berbagai makanan: cokelat, kaleng daging, roti, ham, dan lain-lain yang bisa dimakan langsung. Tentu juga ada rokok, permen karet, kondom... semuanya barang-barang yang Manila masukkan terakhir kali.
"Tidak apa, Tang Ji ini orangnya... lumayan!" ujar Manila. Awalnya dia ingin bilang Tang Ji baik, tapi teringat sikap Tang Ji sebelumnya padanya, lalu mengubah ucapan. Sambil berbicara, Manila mengeluarkan makanan dari tas perjalanan dan melemparkannya ke beberapa orang.
Manila tahu isi hati mereka. Secara lahiriah Tang Ji terlihat bersih, diam, dan dingin kepala. Namun kenyataannya, Tang Ji bisa dengan kejam membunuh Andrew yang awalnya tidak mengancamnya sama sekali. Adegan berdarah itu benar-benar membuat mereka trauma, membuktikan bahwa Tang Ji tidak se"baik hati" penampilannya. Faktor keganasannya mungkin tak kalah dari Andrew, hanya saja jarang ditunjukkan.
Mereka sangat takut Tang Ji akan menjadi Andrew kedua, apalagi saat ini senjata api ada di tangan Tang Ji.
Untung ada Manila yang sementara menghilangkan keraguan semua orang. Beberapa orang duduk di sofa atau kursi sambil menyantap makanan. Manila memegang cokelat sambil bersandar di dinding luar ruang istirahat, memandangi noda darah di lantai. Kamar mandi terletak di sebelahnya.
Tak lama kemudian, Manila teringat sesuatu. Dia menyumpal sisa cokelat yang tinggal sepertiga ke dalam mulut, mengunyah dengan cepat lalu menelannya. Setelah membersihkan bekas cokelat kehitaman di sudut bibir, Manila berbalik dan melangkah dua kali sebelum mendorong pintu kamar mandi.
Pintu kamar mandi menutup dengan suara "klik".
Di dalam kamar mandi, ruang sempit masih diterangi cahaya kuning redup yang sama.
"Hai!" Manila menyandar di dekat pintu, menyilangkan lengan sambil memiringkan kepala melihat Tang Ji.
"Hai!" Tang Ji yang berdiri menghadap cermin di kamar mandi memalingkan wajah untuk membalas. Saat Manila masuk, ia hanya melirik sebentar tanpa berkata-kata. Di tubuh Tang Ji hanya terpasang celana pendek hitam, bagian atasnya telanjang. Ia sedang bercermin sambil mencukur jenggot.
"Aku datang untuk minta maaf. Maafkan aku, aku tarik kembali ucapan bahwa kau bukan pria sejati. Kau... sangat maskulin." Manila menyandar di dinding, jarinya tanpa sadar menggesek-gesek permukaan tembok sambil menatap Tang Ji.
"Oh, tidak apa-apa!" Tang Ji tetap menghadap cermin, memegang pisau cukur sambil berkata.
Suasana di kamar mandi sempit itu tiba-tiba hening. Manila terus memandangi Tang Ji sekian lama, lalu tiba-tiba bersuara: "Sebenarnya tidak perlu kau cukur. Laki-laki seusiamu akan terlihat gagah dengan sedikit jenggot, bisa memikat gadis kecil seperti Christine." Pada kalimat terakhir, Manila menunjuk ke pintu di belakangnya dengan nada sedikit bercanda.
"Sudah terbiasa." Tang Ji membalas sambil tetap menatap cermin. Lebih dari satu hari telah berlalu sejak ledakan akhir zaman. Lapisan tipis rambut kasar mulai tumbuh di wajahnya. Kebiasaannya untuk tidak membiarkan jenggot tumbuh membuatnya memilih mencukur begitu menemukan pisau cukur di kamar mandi.
Ruang sempit itu kembali terselimuti keheningan. Tang Ji terlihat enggan berbicara dengan raut wajah yang tak bersemangat.
"Apa kau masih marah padaku?" tiba-tiba Manila melangkah dua langkah ke depan. Tangannya bertumpu pada wastafel sambil memiringkan kepala, berusaha melihat wajah Tang Ji yang terus menghadap cermin.
"Tidak." Jawaban singkat Tang Ji.
"Maukah kuberi kompensasi..." Bisik Manila bernada menggoda. Setengah langkah lagi diayunkan. Jari-jarinya yang lentik mulai meraba pelan pipi Tang Ji. Secara sengaja, payudara kembungnya ditempelkan pada lengan pria itu - sebuah sikap yang dengan gamblang mengabaikan penyangkalan sebelumnya.
“Apa kau selalu merayu pria seperti ini?” Tang Ji meletakkan pisau cukur, memalingkan wajah ke Manila yang berada sangat dekat sambil mengerutkan kening.
Kalimat yang sangat menyakitkan.
Meski Manila adalah WTS, ia menjemput tamu demi keselamatan dan mencari uang untuk bertahan hidup—itu disebut bisnis.
Tapi aktif merayu pria ke ranjang tanpa imbalan, kecuali punya kelainan hasrat seksual—itu namanya murahan!
“Kau memandangku seperti itu?” Tangan Manila membeku, senyumnya pudar. Ia mundur selangkah, mata membelalak memerah.
“Hei! Aku tidak…” Tang Ji sadar telah salah bicara, berusaha menjelaskan.
Manila berbalik mengusap mata hendak keluar. Tang Ji buru-buru maju menggenggam lengan Manila, nada pasrah: “Dengar penjelasanku… Maksudku bukan begitu…”
Manila dengan kasar menoleh, berlari ke arah Tang Ji, kedua tangan mendorong bahu Tang Ji hingga terpental ke dinding terdalam kamar mandi, menengadah mencium bibir Tang Ji.
Seluruh proses terjadi sangat cepat, Tang Ji terkecoh.
