Distrik Brooklyn, Supermarket Walmart.
Secara umum, tata letak supermarket besar biasanya menjual bahan makanan, sayuran, dan padi-padian di lantai satu, sementara diversifikasi produk dimulai dari lantai dua yang kebanyakan berisi pakaian, kosmetik, elektronik, dan sejenisnya. Pola ini dirancang untuk memudahkan pelanggan. Mayoritas pengunjung supermarket datang untuk membeli bahan makanan, sehingga penempatan di lantai satu jelas paling tepat. Tapi Walmart ini berbeda. Mereka membangun area bahan makanan di lantai dua, sementara lantai satu digunakan untuk menjual pakaian merek, jam tangan, perhiasan logam, dll. Untuk kenyamanan pelanggan, delapan eskalator dibangun menghubungkan lantai satu dan dua.
Dari struktur supermarket, jika dilihat dari pintu masuk lantai satu ke dalam, hanya sebagian kecil konter barang yang terlihat. Artinya, selama Tang Ji dan kawan-kawan berhati-hati saat memilih persediaan, bahkan zombie di lantai satu tidak akan melihat mereka.
Di pusat area lantai dua Walmart, terdapat supermarket bahan makanan yang sangat luas. Mulai dari telur ayam kampung paling biasa hingga produk nutrisi berharga mahal - semua tersedia.
Di pusat supermarket, beberapa rak barang digeser sedikit membuka area kosong yang tidak terlalu luas. Old Mike duduk di kursi sambil membersihkan senapan buruan yang belum banyak digunakan di tangannya. Laura berada di sampingnya, asyik memain-mainkan pistol M9. Kedua orang tua yang seharusnya sudah bisa menikmati masa pensiun ini, karena munculnya zombie, terpaksa mulai memfokuskan perhatian pada senjata. Tenaga mereka yang tak sekuat kaum muda membuat mereka harus berkorban lebih untuk jaminan keselamatan.
Di area kosong sebelah pasangan Old Mike, bertumpuk senjata dan peluru yang mereka bawa. Total sudah lebih dari 100 kg barang, tak mungkin dibawa kemana-mana. Tak jauh dari mereka, pemuda kulit hitam ber-seragam pelayan duduk lesu bersandar di rak barang, menundukkan kepala entah memikirkan apa. Sebelum kedatangan Tang Ji dkk, dialah satu-satunya manusia hidup di sini sejak akhir zaman. Yang lain sudah mati - sebagian berubah jadi zombie ditembak satpam, sedangkan satpam sendiri akhirnya jadi zombie setelah digigit. Pistol yang dimiliknya sebelumnya diambil dari tubuh satpam, tapi sekarang sudah direbut Jason.
"Semua lengkap, pas!" Tang Ji datang membawa sekelompok orang. Seluruh manusia hidup di dalam supermarket berkumpul di satu tempat.
"Perkenalkan, Robbie!" Tang Ji menunjuk Robbie kepada semua orang dengan nada resmi, kemudian mulai memperkenalkan satu per satu sebaliknya: "Ini Mike, di sampingnya istri beliau Laura. Yang di sampingku ini Manila, gadis kecil itu Christine - meski bergaya matang, baru 16 tahun. Dan... kurasa kau sudah kenal, pasti dia sudah memperkenalkan diri - Jason!"
"Hai, Robbie!"
"Hai!"
Setelah semua menyapa, Tang Ji berhenti sebentar lalu menatap pemuda kulit hitam itu, menunjuk sambil berkata: "Dia... kami juga baru kenal. Saat kami masuk, dialah yang membukakan pintu. Sebelumnya mungkin satu-satunya manusia hidup di sini. Aku pun tak tahu siapa dia!" Tang Ji mengangkat bahu ke arah Robbie. Mereka bukan baru kenal sehari dua, nada bicaranya terasa santai.
“Bowen, karyawan toko ini.” Begitu Tang Ji selesai bicara, pemuda kulit hitam itu mengangkat kepala dan memperkenalkan diri, lalu segera menunduk lagi. Keadaan mentalnya tetap suram. Sebenarnya sejak pertama kali bertemu Bowen, Tang Ji sudah bisa melihat dari sikapnya: pria ini dilanda keputusasaan yang sangat dalam. Lebih dari dua hari sudah sejak akhir zaman meletus. Di supermarket ini terdapat pakaian bersih tak terbatas, tapi Bowen tetap mengenakan baju bernoda darah. Manusia biasa takkan melakukan hal seperti ini.
Tang Ji menyimpulkan, penolakan pria itu terhadap mereka untuk masuk ke supermarket bukan karena sikap dingin darah seperti dirinya, melainkan akibat ketakutannya yang ekstrem. Pria itu lari terburu-buru sambil merangkak dan berguling, kemudian kembali panik saat mendengar ancaman mereka akan membobol pintu. Mungkin secara esensi dia bukan orang jahat, juga tidak memiliki permusuhan terhadap mereka. Kehidupan sebelumnya mungkin membuatnya terbiasa dengan sifat pengecut. Keputusasaan ini merupakan kontras ekstrem dengan Jason yang tetap optimis tanpa kehilangan keberanian bertahan hidup meski di akhir zaman.
Tang Ji gemar mengamati orang. Selama dia menilai seseorang bukan penjahat, maka tidak akan ada permusuhan yang muncul darinya.
"Jason!" Setelah Bowen selesai bicara, Tang Ji melambaikan tangan ke arah Jason. Sambil merobek kemasan keripik kentang, Jason mendekati Tang Ji yang kemudian membisikkan sesuatu cepat-cepat di telinganya. Awalnya Jason mengerutkan kening sambil menggelengkan kepala, tapi setelah Tang Ji menambahkan penjelasan, akhirnya ia setuju dengan enggan. Jason meremas tenggorokannya sendiri dan batuk kecil dua kali.
Tang Ji memalingkan wajah lalu menepuk bahu Robbie sambil menganggukkan kepala. Keduanya berjalan menyusuri rak barang menuju area utara supermarket, seolah ingin berbicara empat mata. Christine hendak mengikuti, tapi dihentikan oleh Manuela.
"Hei, bro!"
Setelah kedua pria itu pergi, Jason duduk di dekat rak barang tak jauh dari Bowen. Dengan sikap yang cukup ramah, ia menyapa Bowen yang masih duduk di sampingnya.
"Hai!" Bowen terlihat tidak bersemangat, bergeser ke samping. Ia menatap Jason sejenak lalu segera menundukkan kepala, memandangi lantai keramik seolah ada sesuatu yang sangat menarik perhatiannya di sana.
"Maaf tadi, aku agak kelewatan. Jangan dimasukkan hati ya, aku minta maaf!" Jason menepuk dada Bowen dengan lembut, memiringkan kepala sambil berkata.
"Ini salahku, kamu tidak perlu minta maaf!" Bowen jelas tidak nyaman dengan keramahan Jason, kembali bergeser ke sisi lain sambil menunduk dan berbisik pelan.
……
Tang Ji membawa Robbie ke area sepi lalu berhenti. Dengan gesit ia duduk di konter penjualan apel, mengambil sebuah apel dan memainkannya dengan bolak-balik di kedua tangan sambil menatap Robbie. "Apa rencanamu?" tanyanya langsung ke inti persoalan.
"Kamu jelaskan dulu, ini bagaimana?" Robbie menunjuk luka yang sudah dibersihkan di tubuhnya, terdiam sejenak lalu melanjutkan, "Prosesnya. Bagaimana aku bisa sampai di sini."
"Saat itu aku melihatmu, lalu..." Tang Ji menggigit apel, mengunyahnya sambil menjelaskan secara singkat seluruh proses pada Robbi, akhirnya berkata: "Kami berencana mengambil persediaan yang cukup, di bawah ada area parkir, cari sebuah mobil, lalu meninggalkan tempat ini ke pedesaan. Aku harap kau ikut bersama kami. Kau pasti tahu seperti apa aku ini, alasan menyelamatkanmu juga sudah jelas..." Tang Ji terhenti sejenak, melanjutkan: "Jika kau ikut, kami bisa menunggu beberapa hari di sini sampai lukamu sembuh total baru berangkat bersama."
Tang Ji menyampaikan semuanya dengan gamblang. Dia bukan tipe yang suka bertele-tele. Seperti keputusannya membunuh Andrew tanpa ragu begitu tahu kasus narkobanya, dia telah mempertimbangkan segala sesuatunya matang-matang. Ada hal-hal yang tak bisa ditunda.
Robbi diam sejenak, menatap gerobak buah-buahan tiba-tiba seperti teringat sesuatu. Kepalanya menoleh cepat sambil bertanya: "Sudah berapa lama sejak kau menyelamatkanku?" Nada bicaranya terdengar sangat mendesak.
“Hmm...” Tang Ji mengangkat tangan melihat jam, lalu menengadah: “Sekarang baru lewat siang, kurang dari lima jam!”
“Lima jam, aku harus pergi dari sini!” Robbie segera berkata, secara refleks mengeluarkan pistol dan hendak lari ke pintu keluar lantai dua. Belum beberapa langkah tiba-tiba berhenti, berbalik menatap Tang Ji: “Bisa kasih lebih banyak peluru?”
Kening Tang Ji langsung berkerut. Robbie bahkan berencana pergi sekarang, dan jelas sendirian. Mau apa dia?
“Kau mau melakukan apa?” Tang Ji meloncat turun dari konter, membuang apel yang sudah dimakan setengah, mengerutkan kening bertanya pada Robbie.
“Adikku... adikku masih di sana. Dia tergigit. Aku harus memastikan, dia tidak boleh mati!” Suara Robbie mulai terdengar bergetar.
Lidah Tang Ji berputar di dalam mulut membersihkan sisa apel di gigi. Setelah berpikir sebentar, dia mengangkat ibu jari menunjuk arah Old Mike: “Ambil!”
Robbie berlari ke tumpukan senjata di sebelah Old Mike, berjongkok dan membuka satu per satu tas dengan cepat. Yang Tang Ji berikan padanya adalah pistol M9 kaliber 9mm. Yang dia butuhkan adalah peluru kaliber 9mm. Robbie tidak mengambil senapan. Meski daya tembak senapan lebih kuat daripada pistol, tapi senapan perlu digunakan dengan dua tangan sehingga tidak bisa menyerang dua arah sekaligus. Jelas dia lebih bisa menggunakan pistol, jadi dia hanya pakai pistol.
Yang lain melihatnya berlari mengambil peluru dengan cepat, saling memandang bingung. Tidak tahu apa yang terjadi. Tang Ji segera muncul, berjalan santai dari arah Robbie tadi datang, lalu bersandar di rak barang sambil menggelengkan kepala ke arah semua orang, memberi isyarat bahwa tidak ada masalah.
"Terima kasih!" Robbie cepat-cepat mengambil beberapa magazen dan sejumlah peluru, berdiri menghadap Tang Ji dan berkata, lalu berlari ke arah pintu keluar lantai dua.
"Ke parkir bawah tanah, sana jumlah zombie sedikit, ada mobil!" Tang Ji berteriak ke arah punggung Robbie yang sedang berlari. Setelah Robbie menghilang di lantai dua, barulah Tang Ji menarik kembali pandangannya. Saat itu, pandangan semua orang tertuju padanya. Tang Ji meraba hidungnya sambil menjelaskan: "Dia mau kembali, menyelamatkan adiknya!"
Tang Ji tidak memilih mengajak semua orang ikut Robbie. Ini tidak ada hubungannya dengan keinginan menyuap Robbie atau tidak, menurutnya hal itu tidak mempengaruhi. Namun pergi ke sana dianggapnya sangat tidak sepadan. Jumlah zombie di jalan itu sekarang diperkirakan sudah tidak kalah banyak dibanding di luar Walmart. Lagipula Robbie sudah mengatakan adiknya tergigit. Setelah sekian lama, kemungkinan besar sudah dimakan zombie atau berubah menjadi zombie. Kemungkinan selamat sangat tipis.
Demi seseorang yang tidak punya kemampuan dan mungkin sudah mati, Tang Ji harus menyuruh semua orang mempertaruhkan nyawa dan membuang peluru untuk menyelamatkannya? Jelas hal seperti ini tidak akan dilakukan Tang Ji. Di saat yang sama, hatinya merasa kecewa pada Robbie. Sebagai seorang penembak handal seharusnya tetap tenang, tapi Robbie jelas terlalu impulsif. Tanpa rencana matang langsung menerjang keluar, sehebat apa pun kemampuan menembaknya, bisa saja tewas di jalan.
Sekitar lima menit kemudian, Tang Ji berdiri di dekat jendela lantai dua supermarket, menatap mobil yang keluar dari parkir bawah tanah di kejauhan. Pikirannya ruwet. Dia sangat menghargai Robbie, tapi saat ini tiba-tiba muncul perasaan menyesal. Menurutnya seharusnya dia mencegah tindakan itu.
"Kau tidak membantunya?" Manila mendekati Tang Ji, juga menatap ke luar jendela bertanya.
Tang Ji perlahan mengusap janggut pendek yang baru tumbuh di rahangnya, tetap membisu.
