"Diam kau! Teriak lagi, gue bunuh!" Mayun menggeram kehilangan kesopanan, tiba-tiba tersenyum licik: "Simpan tenaga. Nanti ada waktunya kau menjerit."
Manila diam seribu bahasa, matanya melotot penuh ketakutan, sesekali masih melirik ke arah tempat dia bilang ada cacing tadi.
Waktu berjalan perlahan, atmosfer di dalam toko semakin mencekam. Yang harusnya menangis sudah berhenti, yang murung mulai bangkit. Tatapan-tatapan mulai saling berpapasan, tapi Mai Rui dan Nan Kefu tak mencium masalah. Tang Ji dan kawanan tetap duduk bersandar di tembok dengan tangan terikat di punggung.
Manila yang terakhir menerima golok bergerak sangat hati-hati. Posisinya paling luar di antara semua orang, sebelah kanannya sudah tak ada tameng. Apalagi si brengsek Mai Rui terus menatapnya tak berkedip. Modal Manila memang mantap - muda, cantik, dada berisi pantat montok. Christine tak bisa menyaingi kecuali ada yang doyan anak underage. Tapi selama lawan tak punya kelainan jiwa, perhatian pasti tertuju ke Manila.
“Huh!” Tiba-tiba Manila batuk perlahan, seolah tubuhnya tak nyaman.
Semua orang paham, tali di pergelangan tangannya pasti sudah terpotong. Kini yang kurang hanyalah kesempatan untuk bertindak. Nikolai bersandar di tepi pintu, sedangkan Mike berdiri di dekat rak barang pintu supermarket. Jarak mereka sekitar lima enam meter dari kelompok. Meski tali di pergelangan tangan semua orang sudah terpotong, tak seorang pun boleh bertindak gegabah. Lawan membawa senjata, jaraknya terlalu jauh, dan jumlah mereka dua orang. Mustahil menjinakkan keduanya secara bersamaan.
……
Pemuda kulit hitam anak buah Brook berlari deng deng deng menaiki lantai tujuh, memasuki kamar yang berbatasan dengan jalan. Terlihat pemandangan mesum di dalamnya: tiga wanita dan empat pria saling bergulat. Dua di antaranya sedang bersama-sama mempermainkan seorang wanita, yang termuda dengan gelombang dada dan pantat bergoyang, kulit hitam legam dan putih pucat saling terjalin. Bau cairan tubuh menyelimuti udara. Dua wanita yang dihina terus menangis sambil mengeluarkan erangan tak terkendali. Wanita berusia hampir 40 tahun yang sejak awal terus dieksploitasi masih tetap tertutup selotip di mulutnya. Pria di atasnya sudah mengganti posisi, terus menggerakkan tubuhnya. Meski pemuda kulit hitam itu sudah masuk, dia hanya melirik sekilas tanpa niatan berhenti.
"Hei, kawan-kawan! Pemimpin sudah marah. Kalian disuruh turun, segera meninggalkan tempat ini!" teriak pemuda kulit hitam itu sambil berdiri di ambang pintu yang terbuka, melambai-lambaikan tangannya ke arah orang-orang di dalam ruangan.
“Biarkan Brooke yang terkutuk mati, ikut campur urusan orang, mengapa kita semua harus mendengarkannya?” Pria yang sedang menunggangi wanita berusia 40 tahun itu bertubuh cukup kekar, berkulit putih, berambut cepak. Sambil berbicara, ia menghantamkan telapak tangan besarnya ke pantat wanita di bawahnya dua kali. Suara plak-plak bergema keras.
Wanita itu mengeluarkan suara erangan, seolah sedang menderita kesakitan.
“Haha!”
“Haha!”
Tiga pria lain di dalam kamar tertawa terbahak-bahak, semakin giat melakukan 'ekspedisi' mereka.
“Jangan begitu Malle! Jika kau tidak segera turun, dia akan naik ke sini dan membunuhmu!” Pemuda kulit hitam itu menasihati. Ia tahu persis hubungan Malle dengan Brooke. Brooke adalah pemimpin, namun Malle selalu tidak mengakui kehebatannya. Meski begitu, di hadapan Brooke ia tidak berani melawan. Meski postur Brooke tidak segagah Malle, tapi sifatnya kejam dan licik, kemampuan menembaknya bagus, sudah banyak nyawa yang direnggutnya. Kebanyakan anggota grup ini tunduk pada Brooke. Malle hanya bisa menggerutu, di hadapan Brooke ia takkan berani mengucapkan kata-kata seperti ini.
“Baiklah baiklah, tahu, cerewet!” Sambil berkata, ia menghentikan gerakannya, membungkuk untuk membuka tali yang mengikat tangan wanita di bawahnya ke kepala ranjang, lalu memeluk wanita kurus lemah yang sudah tidak muda lagi dengan tubuh telanjang bulat itu sambil berdiri. Ia berjalan ke dinding dan menekan wanita itu ke tembok, seolah akan melakukan serangan terakhir. Tembok bergema oleh benturan tubuh mereka yang berdentum-dentum.
Wanita itu memukul punggung pria dengan tangannya, namun sia-sia. Malah semakin merangsang nafsu binatang sang pria.
Tiba-tiba, wanita itu berhenti melawan. Setelah hampir sepekan terus-menerus menolak mati-matian, ia kini tunduk secara mengejutkan seolah pasrah pada takdir. Tak ada yang menyadari bahwa di dekat dinding tempat pria itu berdiri sambil memeluk wanita dengan kedua kaki wanita melilit pinggangnya—jaraknya sangat dekat dengan ranjang tadi—terdapat meja samping tempat tidur. Di atas meja pendek itu tergeletak dua buah pistol.
Itu senjata api milik pria berambut cepak ini.
Karena sudut pandang, pemuda kulit hitam yang berdiri di pintu sama sekali tidak bisa melihat apa pun di atas lemari itu. Matanya sedang melirik tak tentu arah, menyaksikan adegan mesum di depannya. Bagian bawah tubuhnya tanpa sadar mulai "mendirikan tenda". Meski para wanita ini pernah dijamahnya, nafsu tetap tak terbendung. Di tangan kanannya, tergenggam erat sebuah shotgun.
……
Di dalam toko lantai satu.
Tang Ji dan yang lain saling bertukar kode mata dengan hati-hati. Strategi perlawanan sudah terpikir di benaknya, tapi mustahil diucapkan. Hanya bisa memberi isyarat mata, berharap mereka paham: ini membutuhkan koordinasi tim.
Untuk menjinakkan dua orang sekaligus, langkah pertama adalah memancing mereka mendekat. Begitu jarak mereka cukup dekat dengan kelompok Tang Ji, serangan bisa dimulai.
Tapi situasi seperti ini sulit direkayasa. Memancing satu orang masih mungkin, tapi dua sekaligus terlalu mencurigakan. Sedikit kesalahan bisa memicu kewaspadaan lawan. Meski tali sudah terlepas, kerusakan hampir pasti tak terhindarkan.
Bang!
Tiba-tiba, dentuman pistol bergema dari lantai atas, sangat keras. Disusul beberapa tembakan lagi termasuk suara shotgun.
Semua orang terkejut. Di dalam hati, Tang Ji mengumpat: "Sialan!" Ekspresinya menunjukkan urgensi yang tak tersembunyikan. Di sekitar ada gerombolan zombie raksasa - entah mereka tahu atau tidak, tapi Tang Ji sendiri paham. Tembakan dari atas ini cukup untuk menarik perhatian zombie-zombie itu sepenuhnya. Tang Ji memperkirakan jarak garis lurus ke gerombolan zombie sekitar setengah kilometer, ditambah kelokan jalan yang memperpanjang jarak, maksimal tidak melebihi tujuh ratus meter. Zombie bisa mencapai sini dalam tiga menit.
Tiga menit. Hanya tiga menit.
Tang Ji dan kawanan harus menyelesaikan perlawanan dalam tiga menit, menyelamatkan ayah-anak yang baru saja membantu mereka, lalu menyalakan kendaraan dan menerjang keluar.
Ini sangat sulit karena Tang Ji dan kawanannya belum memiliki metode yang baik untuk menarik kedua "pengawas internal" itu mendekat. Atau sebenarnya Tang Ji memiliki beberapa ide nekat dalam hati, namun tidak bisa menyampaikannya secara jelas kepada yang lain.
Tang Ji segera menoleh, pandangannya melintasi beberapa orang dan mendarat di wajah Robbie. Robbie kebetulan juga sedang melihat ke arah Tang Ji, dengan seberkas rasa takut di tatapannya. Jelas dia juga telah memikirkannya. Keduanya saling bertukar pandangan.
"Pantas mati, ada apa ini?" Di jalan besar, Brook mengumpat sambil melompat keluar dari kabin truk. Dia memanggil seseorang dan membawa orang itu masuk ke toko, sambil melirik sekilas ke arah Tang Ji dan kawanannya. Tak lupa dia berpesan: "Jaga mereka baik-baik!" Kemudian bergegas naik ke lantai atas dengan aura mengintimidasi.
Saat itu, sebagian besar dari orang-orang Brook berada di lantai atas atau sedang menaiki tangga, hanya menyisakan empat orang di lantai bawah. Dua berjaga di jalan raya, dua lainnya di dalam ruangan mengawasi Tang Ji dan kawan-kawan.
"Hei! Aku ingin ke toilet, bisakah kalian mengantarku?" Jason tiba-tiba berkata dengan berani, sambil menyilangkan tangan di belakang punggung. Dengan susah payah ia berdiri menggunakan kaki, tubuhnya bergoyang seolah tak bisa menahan lagi.
"Jangan bergerak! Kencing saja di celana! Kalau masih bergerak kubunuh kau!" Nankov memutar ujung laras senjata ke arah Jason, menggigit rokok dengan nada kesal. Baru saja ditendang, amarahnya masih menyala. Andai bukan karena secercah nurani terakhir di hatinya, mungkin Jason sudah jadi mayat.
"Baik, baik... jangan tembak." Jason mengkerutkan lehernya, perlahan-lahan duduk kembali di lantai.
Waktu berlalu perlahan, tinggal separuh durasi yang tersisa. Dari lantai atas terdengar beberapa dentuman senjata lagi, tak jelas apa yang terjadi. Kecemasan di dasar kalbu Tang Ji semakin memuncak. Dorongan untuk melompat dan bertarung habis-habisan dengan lawan menggelegak, tapi ia berhasil menekannya.
Waktu hampir habis, harus bagaimana?
