Tang Ji dan yang lain telah menghabiskan lebih dari |tiga hari di |atap gedung. Kehidupan mereka bisa digambarkan dengan: bosan, suram, cemas, dan setelah makanan habis—|ketakutan.
Cara menemui ajal sangat beragam, yang paling nyaman tentu dengan meminum pil tidur, pergi dengan tenang dalam mimpi tanpa rasa sakit. Jika bicara cara kematian yang paling ditakuti manusia, tentu adalah dimakan zombie perlahan-lahan. Selain dua ekstrem ini, mati kelaparan jelas merupakan cara "menyedihkan" yang membuat orang sangat menderita. Di dunia sekarang ini, setiap hari ada yang mengalami takdir seperti ini, dan nasib buruk ini sepertinya akan menimpa Tang Ji dan kawan-kawannya.
Tanpa makanan, dalam kondisi tidak makan, wanita biasanya bisa bertahan lebih lama dibanding pria. Ini karena struktur fisiologis wanita memiliki lapisan lemak lebih tebal dan lebih tahan lapar. Artinya, jika tidak ada kecelakaan, para pria akan mati satu per satu lebih dulu. Yang pertama mungkin John yang sudah tua - tubuh terlalu berotot terkadang bukan hal baik. Lemak sedikit otot banyak, cepat mati kelaparan. Sedangkan yang terakhir mati seharusnya Manila.
Tentu saja, masih ada satu metode yang memungkinkan sebagian orang bertahan hidup dalam waktu lama, namun harus ada yang berkorban——memakan sesama manusia!
Tang Ji yakin, di dunia saat ini pasti sudah muncul beberapa "kanibal", demi keselamatan dan bertahan hidup, mereka terpaksa memakan rekan di sampingnya.
Tang Ji tidak tahu apakah dirinya akan memakan manusia saat dipaksa masuk ke situasi terjepit, ia benar-benar tidak tahu. Manusia adalah makhluk berakal, tapi saat tekanan di sekitarnya semakin deras, saat kematian benar-benar akan datang, orang yang kelaparan ekstrem bisa dipaksa gila. Mati? Atau makan? Jika memilih yang pertama, bahkan kematian saja tidak ditakuti, apalagi memakan manusia?
Namun, Tang Ji memperkirakan dirinya tidak akan sampai pada hari dimana harus dipaksa kanibal, karena kemungkinan besar ia akan memilih bunuh diri.
Beberapa hari ini tidak terjadi apa-apa, begitulah akhir zaman. Sekali terjadi sesuatu, mungkin akan menimbulkan gelombang besar. Jika tidak, maka tidak ada yang terjadi sama sekali. Zombie telah menjadi hal yang dianggap biasa di akhir zaman. Tanpa mereka, dunia ini tidak pantas disebut sebagai akhir zaman.
Selain pertanyaan Ji'En pada Tang Ji, rencana meninggalkan tempat ini sama sekali tidak disebutkannya pada orang lain. Seperti kata pepatah: "Semakin besar harapan, semakin dalam kekecewaan". Lebih baik tidak diungkapkan sampai detik terakhir.
Siang hari, semua orang membagi-bagi dan memakan sisa bahan makanan terakhir, lalu diam seribu bahasa. Bahkan Jason yang selama beberapa hari ini terus bersikeras bercanda dengan Ji'En dan tak henti merayu Kailidi pun menjadi tenang. Bayangan hidup telah mulai menutupi mereka, tekanan misterius menyebar di antara semua orang.
Tang Ji berdiri di tepi atap gedung menatap ke bawah lama sekali. Dalam hatinya, dia berharap ada mobil lewat di sini, seseorang tiba-tiba muncul, atau suara tembakan dan ledakan di kejauhan. Semua ini bisa menarik perhatian zombie. Semakin besar keributan semakin baik, sehingga bisa mengalihkan semua zombie di sekitar sini. Namun harapan tak sesuai kenyataan, sudah setengah sore berlalu tetap tak ada perubahan. Hari-hari belakangan memang seperti ini, seharusnya sudah terbiasa, tapi Tang Ji tetap merasa kecewa.
Tanpa "kecelakaan" yang terjadi, semua orang terpaksa mencari cara menyelamatkan diri sendiri.
Plak! Plak!
Tiba-tiba Tang Ji berbalik, menepuk kedua telapak tangannya. Suaranya tak terlalu keras, tapi cukup menarik perhatian semua orang.
Tang Ji memandangi mereka. Keadaannya sangat buruk, bahkan Robbie pun demikian. Dengan malas ia duduk bersandar di pagar sambil memegang senjata, tampak seperti menunggu ajal.
"Bangun semua! Kita bersiap pergi!" Tang Ji meraba dagu berjanggut beberapa hari yang tak dicukurnya, berkata dengan yakin.
"Meninggalkan?"
"Meninggalkan?"
Semua orang membalas bertanya dengan tidak percaya, menatap Tang Ji yang perlahan bangkit berdiri. Mata Robbie berbinar, tubuhnya melompat bangkit seperti ikan mas langsung berdiri tegak, aksinya cepat dan bersih, lalu bergegas mendekati Tang Ji. Sesampainya di samping Tang Ji, dia berbisik cepat: "Apa rencanamu?"
"Bukan aku!" Tang Ji menggelengkan kepala halus, melangkah dua langkah ke depan lalu dengan gerakan cepat menyambar tas darurat yang dibawa Manila. Isinya sudah tak ada makanan, hanya tersisa beberapa obat-obatan, baju, butir peluru, dan sebagainya. Ia menggendong tas itu, mengeluarkan pistol dan melepas peredam suara, menggenggam senjata itu erat di tangannya.
Melihat sikap Tang Ji, yang lain segera mengemas barang-barang mereka. Mereka menggendong perlengkapan, mengeluarkan senjata dalam kondisi siap tempur, lalu mengerumuni Tang Ji. Jason bahkan tertawa penuh kegembiraan, memperlihatkan deretan gigi putihnya. Dia tahu Tang Ji punya cara. Seandainya situasinya memungkinkan, mungkin dia akan menari-nari untuk merayakannya.
“Bagaimana caranya meninggalkan tempat ini?” Old Mike memandang Tang Ji yang pertama kali berbicara. Sikap Tang Ji yang begitu yakin sebelumnya ditambah persiapan barang-barangnya yang terkesan bisa berangkat kapan saja, memang sengaja menciptakan ilusi "pasti bisa pergi" di benak orang lain. Padahal target utama ilusi ini sebenarnya hanya untuk satu orang tertentu.
“Ikuti aku!” Tang Ji memimpin semua orang ke area utara atap gedung tempat tangga sebelumnya dipasang. Pagar pengaman sudah dibongkar. Tang Ji menunjuk gedung di seberang: “Menurut kalian berapa jarak antara atap dua gedung ini?”
Para hadirin saling pandang, tampak belum memahami maksudnya.
“Lebih dari tujuh meter...”
“Kira-kira delapan meter...”
Robbie dan Manila mengutarakan tebakan mereka secara bergantian. Mengingat panjang tangga yang dulu terpasang sekitar delapan meter lebih, diperkirakan jarak sebenarnya antara dua atap gedung ini harusnya di bawah delapan meter. Tebakan mereka cukup mendekati.
“Lihat tangga di gedung seberang sana?” Tang Ji kembali mengangkat tangan menunjuk ke arah atap gedung seberang. Di sana tergeletak beberapa buah tangga logam sepanjang delapan meter lebih, persis seperti tangga yang dulu menghubungkan dua gedung. Dari situ bisa disimpulkan, saat Brooke menyusun rute penyelamatan dulu, dia memindahkan banyak tangga ke atap gedung. Hasilnya tidak semua terpakai, sehingga beberapa tersisa di sana.
Semua orang mengangguk setuju mendengar penjelasan Tang Ji. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, masih terlihat jelas.
Tang Ji terdiam sejenak, lalu memiringkan kepala ke arah samping. Pandangannya melintasi Manila dan Christine, akhirnya tertuju pada wajah Jason.
"Jason!" panggil Tang Ji.
"Siap, komandan!" Jason yang baru saja keluar dari keputusasaan dan menyambut harapan baru itu tersenyum lebar sambil memberi hormat ala militer. Meski tidak tahu apa rencana Tang Ji, tapi kemampuan pria itu sudah jelas baginya. Ia yakin jika Tang Ji bilang bisa pergi, pasti mereka bisa pergi.
"Lompat ke sana!" Tang Ji melirik ke arah atap gedung seberang sambil menatap Jason.
"Apa?" Ekspresi Jason langsung berubah, terlihat kaget saat membalas bertanya.
"Lompat ke sana!" Tang Ji mengulang lirikan tajamnya, "Aku yakin kau bisa, lompat sekarang!"
Inilah rencana Tang Ji yang bahkan tidak bisa disebut rencana - menyuruh seseorang melompat ke atap seberang. Kedengarannya mustahil, apalagi dilakukan. Tapi ini satu-satunya cara yang terpikirkan Tang Ji saat ini. Jason jelas yang paling ahli dalam lompatan jauh di antara mereka. Tang Ji tahu latar belakang Jason sebelum akhir zaman, mengingat mereka sudah lama bersama.
Di era sebelum akhir zaman, Jason bisa dibilang pemuda hip-hop jalanan yang tidak serius. Tidak kuliah, setelah lulus SMA baru mulai bekerja resmi. Tapi dia tipe orang yang tidak bisa diam, pernah mencoba berbagai pekerjaan tapi akhirnya berhenti semua. Dia suka menari, suka olahraga, pernah main papan seluncur, sepatu roda, bahkan bola basket jalanan. Yang paling dikuasainya adalah street dance. Sejak berhenti kerja, dia mengandalkan street dance untuk mencari uang, sering tampil di acara komersial bersama teman-teman penari jalanan sebagai pembuka pertunjukan.
Jason adalah tipe orang yang sangat cerewet bahkan bisa dibilang suka pamer kemampuan. Tidak jahat, cuma mulutnya agak ceplas-ceplos. Jadi semua informasi ini tidak perlu ditanya oleh Tang Ji, karena saat ngobrol Jason sendiri yang akan cerita. Selain itu, Tang Ji juga tahu satu hal: Jason pernah main parkour!
Sebuah olahraga ekstrem yang sangat berbahaya. Kalau bukan karena lebih menyukai street dance, mungkin sekarang Jason sudah menjadi pesohor parkour ternama, atau... terjatuh mati!
Rekor lompat jauh desakan terjauh dalam sejarah manusia diciptakan oleh atlet terkenal Amerika Mike Powell pada tahun 1991 dengan jarak 8.95 meter, melanggar rekor dunia 8.9 meter yang dibuat oleh Beamon tahun 1968 dan bertahan selama 23 tahun. Ini hampir mencapai batas maksimal manusia.
Jika Jason adalah atlet profesional, kemungkinan besar bisa melompati. Tanpa mempertimbangkan faktor psikologis, ini hampir menjadi hal yang tertancap. Jarak antara dua atap gedung diperkirakan Tang Ji kurang dari delapan meter - bagi atlet profesional ini bukan masalah. Tapi Jason bukan profesional, inilah masalahnya. Makanya Tang Ji terus menunda sampai akhirnya baru memaksa Jason mengambil risiko ini.
Lompatan kali ini memiliki terlalu banyak perbedaan dibandingkan lompat jauh kompetisi. Tekanan mental bukanlah hal biasa. Jika gagal melompat, jatuh dari atap gedung akan berakibat kematian. Namun Jason adalah seorang optimis, dan para pelaku parkour biasanya memiliki keberanian besar. Yang lebih penting, lompat jauh kompetisi mengukur jarak dengan kaki, sedangkan kali ini... tidak harus selalu menggunakan kaki!
Tang Ji memiliki alasan kuat untuk percaya bahwa Jason mungkin bisa melompati jurang itu, meskipun tentu saja hanya sekadar kemungkinan.
"Kamu yakin?" Jason menatap Tang Ji yang sama sekali tidak terlihat sedang bercanda.
"Semua mundur..." Tang Ji melambaikan tangan menyuruh para saksi menyingkir, lalu menoleh ke Jason: "Lakukan pemanasan dulu. Aku tahu kamu pernah bermain parkour, mungkin hanya belum pernah melompati jarak sejauh ini. Cara melompat dari ketinggian tak perlu kuajari. Aku yakin kamu bisa. Risiko ini sepadan dengan nyawa kita - kamu adalah satu-satunya harapan kita untuk bertahan hidup!"
Tang Ji menatap Jason, nada bicaranya sangat serius. Semua sikap yang ditunjukkan Tang Ji sebelumnya bertujuan membuat semua orang percaya mereka bisa pergi, sekaligus memberi keyakinan pada Jason saat ini.
"Kau yakin?" Jason mengulangi pertanyaan itu lagi, ekspresi wajahnya tidak enak dilihat.
"Aku yakin!" Tang Ji mengangguk, kemudian mundur beberapa langkah. Ia berbalik memandang Jason tanpa berkata-kata lagi. Sekarang kata-kata tak berguna - lompat atau tidak, itu sepenuhnya keputusan Jason.
Ekspresi Jason tiba-tiba berubah menjadi sangat serius yang belum pernah terlihat sebelumnya. Tang Ji juga memandangnya tak berkedip. Setelah saling tatap beberapa saat, Jason tiba-tiba menundukkan kepala. Tanpa sepatah kata pun, ia mundur dua langkah sambil berlari kecil, mulai meregangkan tubuhnya. Hanya dengan mengembangkan postur tubuh secara maksimal, lompatan ideal itu bisa terwujud.
Jelas, Jason sudah memutuskan: Lompat!
Laura memegangi mulutnya sendiri, air mata tiba-tiba membanjir keluar, terus menggeleng sambil menatap Jason. Ini adalah keponakan yang paling dia sayangi, namun sekarang harus menyelesaikan sesuatu yang menurutnya mustahil secara fundamental. Tidak mungkin dia tidak merasa sakit hati.
Old Mike memeluk bahu Laura, bibirnya terkunci erat tak bisa mengucapkan kata penghiburan. Ia juga menatap Jason. Sebenarnya selama ini Mike selalu meremehkan Jason. Meski tak ada kontradiksi besar, pertengkaran kecil terus terjadi, debat kusir sering terjadi. Tapi sekarang, Mike tiba-tiba menyadari dirinya selalu salah menilai Jason. Orang yang mau berkorban biasanya memang pantas dihormati.
"Tidak…tidak bisa…Jason tidak boleh melompat. Kita masih punya kesempatan. Pasti ada orang yang lewat sini…Kau tidak boleh memaksanya seperti ini…Dia tidak boleh melompat!" Laura tak bisa mengendalikan diri lagi. Dengan gemetar dia berlari ke samping Tang Ji, mencengkeram baju Tang Ji sambil menekan suaranya dan menjerit menangis.
Di atap gedung selama beberapa hari ini, semua orang sudah terbiasa berbicara dengan suara yang ditekan.
Jason yang sedang beraktivitas di samping tiba-tiba berhenti, menatap tantenya dengan ekspresi seolah ingin berbicara tapi mengurungkan diri.
Setelah bicara dengan Tang Ji, Laura langsung melepas Tang Ji sebelum sempat menjawab, berlari ke sisi Jason dan memeluknya erat sambil terisak: "Jason kamu tidak boleh, tidak bisa..."
Bum! Bum! Bum!
Tiga dentuman senjata yang mengguncang tiba-tiba membuat semua orang membeku.
Dentuman itu bukan berasal dari luar, melainkan tepat di atap gedung - Tang Ji, dengan pistol teracung ke langit, berani menembak tiga kali ke udara!
Membentak! Hush krak! Boom! Boom! Boom!
Berbagai suara kacau segera berdatangan dari arah pintu masuk atap gedung. Tertarik oleh dentuman senjata, zombie-zombie menjadi liar, menderu sambil mulai memukuli pintu besi itu dengan kasar. Pintu bergetar hebat, sekali lagi ada kemungkinan terbobol. Mungkin dalam puluhan detik, satu menit atau beberapa menit, zombie-zombie akan berhasil membobol pintu itu. Akan ada ribuan zombie mengalir deras ke atap gedung.
Mengapa Tang Ji melakukan ini?
"Pantas mati, kau gila?" Qiang En panik, mengarahkan pistolnya ke Tang Ji sambil memeluk putrinya lebih erat. Tindakan Tang Ji ini bisa membunuh semua orang.
Robbie di samping tiba-tiba mengarahkan senjatanya ke Qiang En. Tak ketinggalan Manila, Christine, dan Mike juga berturut-turut mengangkat senjata. Dalam sekejap, satu pistol mengarah ke Tang Ji, empat buah pedang Jiwa Yuan Shen mengarah ke Qiang En.
Bau mesiu di atap gedung tiba-tiba menjadi tak terbendung.
Qiang En tidak memahami Tang Ji, tetapi yang lain mengerti. Tang Ji bukanlah orang yang tidak berpikir dingin, segala yang dilakukannya pasti memiliki logikanya sendiri.
Tang Ji perlahan menurunkan lengannya, menoleh sekilas ke arah Qiang En. Ia mengabaikan laras senjatanya, tidak berkata sepatah kata pun sebelum berpaling dan berjalan menuju Jason.
Robbie memiringkan kepalanya ke arah Qiang En, memberi isyarat agar dia menurunkan senjata.
Setibanya di samping Jason, Tang Ji mencengkeram bahu Jason dan menyentakkannya dari pelukan Laura. Laura yang masih dalam keadaan bingung mengalah. Tang Ji meletakkan kedua tangannya di bahu Jason, menatap tajam mata pemuda itu sambil berucap perlahan: "Jason, jika kau mati, kami akan dikubur hidup-hidup bersamamu!"
