Dalam keheningan kamar, cahaya kekuningan merembes melalui jendela masuk ke dalam ruangan dan menyirami ranjang.
Suara napas halus yang kian memberat, di bawah cahaya kabut samar sang gadis memeluk kepala pria, bibir lembutnya menyentuh sudut bibir sang lelaki. Baru saja mencium seolah merasa terburu-buru, ia menutup mata tak berani membuka, hanya hembusan keras di dadanya yang mengkhianati hati yang berdebar-debar.
Pria itu membeku kaku, seolah belum sepenuhnya menyadari situasi.
Kamar terjerembab dalam hening yang iblis, tiba-tiba sang gadis dan pria bergerak bersamaan.
Tang Ji mencoba mendorong Christine, namun segan menggunakan kekuatan penuh karena tubuh Christine sedang terluka.
Christine memeluk kepala Tang Ji, seluruh tubuhnya menempel sepenuhnya. Lekuk dada lembutnya menekan dada Tang Ji hingga sedikit berubah bentuk, bibirnya dengan gila-gilaan menyerbu wajah Tang Ji. Ia berusaha keras, ingin mendapat respon dari Tang Ji.
Tang Ji mencoba mendorongnya, namun setiap kali mengulurkan tangan, selalu ditangkap Christine dan ditekankan di sisi dadanya. Akhirnya, Tang Ji berhenti bergerak, kedua tangan terangkat di sisi tubuh, badannya tegang duduk di tepi ranjang, membiarkan Christine "melampiaskan" emosi.
Christine seolah tak peduli lagi, tak menghiraukan luka di pantatnya. Ia mencengkeram bahu Tang Ji dan memelintir tubuhnya ke samping, menekannya ke papan kayu kepala ranjang. Dengan gerakan menggoyang, ia langsung menunggangi tubuh Tang Ji.
Dengan ayunan tangan, ia melepas ikatan rambut di belakang kepala. Kuncir satu yang terurai menjadi gelombang bergulung. Christine menggelengkan rambutnya perlahan dengan mata memerah, lalu menciumnya lagi. Tubuhnya menggesek-gesek tubuh Tang Ji, berharap mendapat respon darinya.
Tang Ji membuka mata lebar-lebar, menatap Christine dengan tatapan dingin tanpa bergerak, menggigit bibir rapat-rapat tak memberi kesempatan sedikitpun bagi lidah hitam itu masuk.
Christine tetap bersikeras, seolah ingin menyentuh hati Tang Ji dengan tubuhnya, namun tak mendapat respon apapun. Perlahan ia berhenti, memeluk kepala Tang Ji, bibir lembutnya menempel di sudut mulutnya. Matanya yang berkaca-kaca memandang Tang Ji, butiran air mata berjatuhan di pipinya yang anggun, beberapa bahkan menempel di wajang Tang Ji.
Christine perlahan duduk tegak di antara tulang pinggul Tang Ji, tapi tak merasakan sedikitpun reaksi fisiologis dari tubuhnya.
"Mengapa kau tak menyukaiku?" Christine menatap tajam Tang Ji, akhirnya tak tahan lagi. Ia menggesek air matanya sambil terisak, "Akan ku lakukan semua yang kau mau!"
“Aku tidak tidak menyukaimu, kita kan berteman bukan? Christine... Kamu masih muda, beberapa hal tidak semudah yang kamu bayangkan...” Tang Ji mencoba menasihati Christine. Baginya, Christine hanyalah seorang gadis kecil. Tang Ji memperkirakan usia ayahnya pun mungkin tidak jauh lebih tua darinya. Jika bukan karena zaman akhir ini, Tang Ji yakin gadis seperti Christine pasti tidak akan menyukai pria 'sepantarannya' seperti dirinya.
Dan, sekarang bukanlah musim untuk bercinta. Tang Ji sudah lama tidak mengatakan cinta pada siapa pun. Bahkan berbagai hal yang terjadi dengan Manila setelah akhir zaman hanyalah tindakan sambil lalu belaka. Sebagai wanita matang, Manila menguasai seni maju-mundur. Di mata orang lain, mereka terlihat seperti sepasang kekasih, namun hanya kedua pihak yang terlibat yang tahu: hubungan mereka sama sekali tidak layak disebut kekasih. Tang Ji tak pernah sekalipun mengucapkan "Aku mencintaimu" pada Manila, begitu pula Manila tak pernah mengucapkan kata serupa pada Tang Ji. Yang satu membutuhkan sandaran yang dahsyat di akhir zaman, yang lain membutuhkan partner setidaknya berkemampuan, berani, dan bisa melampiaskan hasrat kapan saja. Hanya itu. Saling memenuhi kebutuhan. Hubungan seperti ini tentu membuat keduanya semakin akrab, namun sama sekali tidak menyentuh masalah suka-tidak suka atau cinta-tidak cinta.
，，，，，，，，，，，，，，。
Tang Ji justru tak berani memberikan respon seperti ini pada Christine, bahkan yang bertentangan dengan hatinya pun tak berani. Semakin banyak keterikatan di akhir zaman, semakin rumit jalinan ikatan yang terjadi. Belenggu bertumpuk akan membuat seseorang kelelahan mental dan fisik. Saat ini, Tang Ji berharap kehidupannya - selain urusan zombie - bisa lebih sederhana dan mudah dikelola, agar ia bisa bertahan hidup dengan tenang. Meski di hatinya ada kerinduan akan gadis muda, baik secara emosional maupun fisik, ia akan menekan keinginan itu.
"Kau bohong!" Christine menjerit sambil menangis, memotong ucapan Tang Ji. Tangannya menutupi mulut yang terus mengucurkan air mata.
Jeritan pilu ini terdengar jelas ke ruang tamu. Suasana riuh rendah yang sebelumnya penuh tawa mendadak hening. Tangisan Christine juga sampai ke ruang tamu. Para hadirin saling pandang, tak mengerti apa yang terjadi.
Manira yang duduk di sofa menoleh melihat arah pintu kamar. Perlahan ia berdiri, melayangkan pandangan ke sekeliling lalu berkata lembut: "Aku akan periksa!"
Manila berjalan ke samping kendaraan, mendengarkan suara di dalam namun tidak masuk.
"Aku juga...!"
"Sudahlah, urusan kaum muda..."
Laura berusaha bangun namun ditarik kembali oleh Old Mike.
Di dalam kamar.
Christine masih duduk di atas tubuh Tang Ji, menutup mulut sambil memandanginya dengan air mata berderai tanpa suara.
Tiba-tiba Tang Ji duduk tegak, menariknya turun. Christine yang masih kejang dan menangis memandang bingung saat Tang Ji perlahan memegang kepala gadis itu lalu mencium dahinya.
Ini ciuman penghiburan.
"Kau baru enam belas tahun, masih punya banyak keremajaan yang layak kau sia-siakan. Jangan buang waktu untukku. Mungkin aku lebih cocok sebagai paman daripada kekasih..." Tang Ji masih terus menghibur Christine. Hampir saja ia mengucapkan kalimat klise seperti "Kau gadis baik, kita tidak cocok" yang sudah sangat basi itu. Padahal perkataannya hanyalah upaya berbohong pada diri sendiri. Dunia yang penuh luka ini telah dipenuhi bahaya di setiap sudut. Tak ada yang bisa menjamin bisa bertahan hingga esok hari. Christine memang sudah kehilangan masa remajanya.
Namun Tang Ji hanya bisa menghiburnya seperti ini. Bukan bermaksud apa-apa, hanya berharap Christine bisa melepaskan kegigihan dalam hatinya. Mungkin setelah waktu yang sangat lama, ketika dunia telah aman, zombie sudah tidak ada, segalanya masih belum terlambat bagi Christine.
Tang Ji selesai berbicara lalu mengangkat Christine dan meletakkannya di sisi lain ranjang. Saat hendak meletakkan Christine, tiba-tiba Christine dengan kasar kembali memeluk Tang Ji, kedua kakinya melilit pinggang Tang Ji sambil berguling-guling di ranjang, lalu menindih tubuh Tang Ji sambil menundukkan kepalanya lagi.
"Hmm... Sialan, pantas mati..." Tang Ji dengan kasar mendorong Christine, lalu membalikkan badan dan turun dari ranjang. Ia menutup mulut sambil menatap Christine yang terdorong ke ujung ranjang. Ekspresi Christine panik, ia tahu telah berbuat salah - sejak saat menggigit itu ia sudah tahu. Saat itu pikirannya sudah dipenuhi gejolak keluhan, perkataan Tang Ji sama sekali tidak ia dengar. Kini ia tersadar dengan kaget.
Tang Ji menatap Christine dengan tatapan penuh amarah, melepaskan tangan yang menekan bibirnya. Tangannya sudah berlumuran darah segar. Ia segera menuju kamar mandi dan bercermin. Bagian samping bibir bawahnya tergigit hingga luka, darah segar mengalir deras dari sana. Tampaknya gigitannya cukup dalam.
"Ma... maaf, kamu tidak apa-apa?" Christine turun dari ranjang dan berjalan perlahan ke depan kamar mandi. Dengan wajah penuh ketakutan, dia menatap Tang Ji sambil meremas-remas jemarinya yang saling bergulat di depan dada. Gadis itu tampak sangat gelisah.
"Tidak apa-apa katamu? Apa kau tahu seperti apa kondisi di luar sana sekarang? Tahukah kamu luka ini bisa membawa risiko seberapa besar?!" Tang Ji benar-benar meledak. Dengan gerakan tiba-tiba ia berbalik menghadapi Christine, menunjuk ke arah bibirnya yang terluka sambil memaki.
Tang Ji bukan tipe yang suka masalah. Benar-benar tidak suka. Tapi menghadapi orang di sekitarnya, sekalipun merepotkan, ia masih bisa toleransi. Menangis atau bertingkah, Tang Ji bahkan bisa menghibur—terutama pada gadis seperti Christine yang kecerdikannya belum matang. Itu masih bisa dipahami. Tapi brengsek, jangan sampai menggigit orang!
Ini akhir zaman. Betapa kotornya dunia ini, setiap korban selamat sangat paham. Luka sangat mudah terinfeksi. Lagipula sekarang dunia dipenuhi mayat, jasad cacat, zombie. Hampir setiap lokasi bisa ditemukan cap darah—ada yang sudah mengering, ada yang masih merah terang. Luka kecil di akhir zaman bisa membawa bahaya yang tak terbayangkan. Kecuali jika terus berdiam di satu tempat, begitu keluar pasti akan bertabrakan dengan berbagai jenis darah kotor.
Tang Ji jelas bukan tipe orang yang duduk manis di satu lokasi menunggu kematian. Ia selalu berusaha menghindari cedera. Sampai sekarang, di antara anggota kelompok Tang Ji, sudah ada beberapa yang terluka pasca-kiamat atau masih menyimpan luka lama—Robbie, Jason, Christine. Tapi Tang Ji sendiri belum pernah terluka. Dalam setiap rencananya, ia selalu menempatkan keselamatan diri sendiri di posisi pertama, tanpa terkecuali. Meski terkadang terlihat seperti sedang nekat, hanya Tang Ji yang tahu bahwa sebenarnya saat itu sudah tidak ada bahaya sama sekali.
Tak disangka oleh Tang Ji, luka pertama yang ia terima pasca-kiamat bukanlah hasil kejar-kejaran dengan zombie di jalan pelarian, bukan pula gigitan zombie, melainkan gigitan seorang gadis kecil yang menyukainya. Yang lebih penting, luka ini tepat berada di mulut—salah satu jenis luka paling sulit dihaluskan. Ditambah Tang Ji harus sering bicara, tentu tidak bisa membalut lukanya terlalu rapat atau sepenuhnya menutupi mulutnya.
Setiap orang pasti memiliki watak dalam kadar tertentu, tidak mungkin Tang Ji tidak marah dalam situasi seperti ini.
"Hik hik... Aku tidak sengaja, aku salah, aku lupa..." Christine menangis lagi. Ini pertama kalinya dia melihat Tang Ji marah-marah. Otoritas Tang Ji telah tertanam di hati setiap orang. Sekarang ketika sosok berwibawa ini meluapkan amarah, Christine benar-benar merasa ketakutan.
Tang Ji menjilat bibirnya sambil menatap Christine. Darah masih terus mengalir, rasa asin dan amis memenuhi mulutnya. Ekspresi wajahnya sangat muram, melihat Christine yang menangis justru membuat hatinya semakin gelisah. "Diam!" bentaknya sambil mengangkat telapak tangan dan melangkah dua langkah ke depan seolah hendak menampar Christine. Tentu saja ini hanya taktik menakut-nakuti, seberapa marah pun Tang Ji tidak mungkin benar-benar menyakiti Christine.
Tapi Christine menganggapnya serius. Ia menyentak mundur dua langkah sambil menjerit: "Jangan pukul aku, aku mengakui kesalahan..."
Krak!
Pintu kamar tiba-tiba didorong terbuka. Manila menerjang masuk, langsung memeluk Christine yang sedang berlari sambil berkata: "Tang, ada apa yang bisa dibicarakan, jangan tembak... Ya Tuhan! Tang kenapa mulutmu?" Manila menjerit histeris, melepaskan Christine dan berlari ke kamar mandi. Dia melihat Tang Ji berdiri di sana dengan darah terus mengucur dari bibirnya.
Orang lain yang mendengar keributan pun berdatangan. Sebagian besar menghalangi pintu. Laura menerjang masuk kamar dan memeluk Christine yang menangis hingga air mata mengalir deras. Setelah melirik Tang Ji di kamar mandi, ia segera menunduk bertanya: "Apa yang terjadi, anakku?"
Christine mengatupkan bibir sambil menggeleng dan menangis. Tiba-tiba dengan kasar melepaskan diri dari pelukan Laura, mendorong orang-orang yang menghalangi pintu kamar tidur, lalu kabur sambil terisak-isak.
Tak lama kemudian, dari seberang ruang tamu terdengar suara pintu ditutup keras, disusul tangisan histeris Christine yang memecah kesunyian dari kamar tersebut!
