New York, Pulau Manhattan, sekitar pukul tujuh lima belas pagi.
Jalanan yang sepi tiba-tiba bergema dentang langkah tergesa, disusul suara menderu zombie dan teriakan histeris yang bercampur jeritan kesakitan pria-wanita.
Bibir sakit setengah malam lalu tidur dengan terpaksa, Tang Ji terbangun kaget. Ia berguling turun dari sofa, meraih senjata api, lalu bergegas menuju jendela. Dua orang lain di ruang tamu juga terbangun bersamaan. Jason mengusap matanya, kasar bangkit dari sofa lain sambil bertumpu pada sandaran punggung, melompati sofa sambil bertanya: "Ada apa?"
Tempat tidur Robbie tepat di bawah jendela. Ia menyambung dua sofa tunggal besar dan tidur melingkung semalaman. Saat itu ia langsung bangkit dari sofa, menendang salah satu sofa ke samping, berdiri sambil memegang ambang jendela dan memandang langsung ke luar.
"Ada yang datang ke jalanan ini..." Robbie mengerutkan kening, pandangannya menembus jendela ke jalanan di bawah. Jarak kurang dari empat puluh meter dari permukaan tanah, segala sesuatu terlihat jelas.
"Ada korban selamat..." Jason mendekat dari belakang Robbie sambil berjalan, bertanya sambil melangkah.
"Bukan lagi..." Tang Ji sudah berdiri di sisi lain Robbie, menatap ke luar jendela dengan kening sedikit berkerut, berkata dengan serius: "Apa yang terjadi tadi malam, bagaimana zombie bisa sebanyak ini?" Suaranya terdengar sedikit berubah, mengandung kesan teredam.
Jason melihat ke lantai bawah, di jalan besar di bawahnya terlihat setidaknya dua hingga tiga ratus zombie bergoyang-goyang berkumpul, terbagi menjadi empat atau lima kelompok, berkumpul di berbagai arah di jalan besar. Di pusat setiap kelompok, beberapa zombie sedang membungkuk memakan sesuatu.
Jelas terlihat bahwa baru saja ada korban selamat muncul di jalanan, gagal melarikan diri dan dikepung zombie hingga habis dimakan. Sekarang mustahil memastikan apakah orang-orang yang baru tewas ini keluar dari bangunan lain di jalan ini atau datang dari tempat lain. Asal-usul zombie ini juga sulit ditebak - mungkin mereka muncul dari gedung-gedung di sepanjang jalan tadi malam, atau berkumpul dari zombie-zombie yang berkeliaran di jalan-jalan lain, baru membentuk kelompok kecil ini.
“Ah! Tuhan, tolong!”
Di tepi jalan, di samping mobil terbengkalai yang menabrak tembok, sudut yang terbentuk antara mobil dan dinding tiba-tiba memunculkan sosok wanita berusia sekitar tiga puluh tahun. Dengan panik ia berlari menuju gedung dengan pintu terbuka di dekatnya. Zombie-zombie bereaksi terhadap gerak-geriknya. Teriakan wanita itu menggema saat ia masuk ke dalam gedung, namun seketika terseret keluar oleh seekor zombie yang muncul dari dalam. Makhluk itu mencengkeram bahunya, membanting tubuhnya ke trotoar, lalu membuka rahang lebar-lebar menyambar wajah korban.
Darah segar muncrat. Zombie-zombie lain dengan wajah mengerikan berkerumun bagai angin puyuh. Siluet wanita itu segera tersapu oleh lautan zombie. Jeritan kesakitan segera menghilang, menyisakan gemeretak tulang dan suara kunyahan daging mentah yang membuat bulu kuduk merinding.
Tang Ji bertiga berdiri di dekat jendela kamar tamu lantai dua belas penginapan seberang jalan, menyaksikan pemandangan yang seharusnya sudah familiar dan bisa beradaptasi ini. Namun wajah mereka terlihat muram, Jason bahkan merasa tubuhnya menggigil dingin. Mungkin tak lama lagi, ini akan menjadi adegan terakhir sebelum titik akhir kehidupannya.
Jason mundur dua langkah, tak ingin melihat lagi. Saat menoleh ke belakang, matanya tanpa sengaja menangkap profil wajah Tang Ji. Tubuhnya langsung membeku, memandangi Tang Ji dengan raut wajah penuh keanehan.
Robbie yang berdiri di samping Tang Ji pertama kali merasakan sorotan mata ini. Karena pandangan Jason harus melewati sisi tubuhnya, ia menoleh melihat Jason. Kemudian segera mengikuti arah pandangan Jason ke Tang Ji. Ekspresinya juga langsung berubah, sudut bibirnya seolah naik mencoba tersenyum, namun gagal terwujud.
Dua orang di sampingnya terus menatap tajam, Tang Ji tentu bisa merasakan hal ini. Ia menoleh melihat ekspresi mata dan wajah Robbie serta Jason, lalu segera memahami situasinya.
“Kalau mau tertawa ya tertawa, jangan ditahan…” Tang Ji berkata dengan nada pasrah, mengangkat tangan menyentuh bibirnya halus, lalu berbalik pergi dari tepi jendela menuju arah kamar mandi.
Bibir Robbie kembali mencuat ke atas, tersenyum tipis sambil mengalihkan pandangannya kembali ke luar jendela.
Jason tiba-tiba menutup mulutnya dengan tangan, pandangannya terus mengikuti pergerakan Tang Ji. Akhirnya tak kuasa menahan diri, dengan nada tertahan ia berteriak ke arah punggung Tang Ji: “…Tang, maaf, aku benar-benar nggak bisa nahan… wkwkwkwk, bibirmu tuh… wkwkwk…” Jason tergelak-gelak sampai tak karuan, buru-buru melangkah dua langkah ke depan menopang sandaran sofa sambil terus menepuk-nepuknya sembari tertawa.
Jason terkadang memang terlalu jenaka.
Tang Ji tanpa sadar mempercepat langkahnya, masuk ke kamar mandi lalu menggebrak pintu tertutup. Setelah menyalakan lampu, ia berjalan ke cermin dan melirik bayangannya sendiri, ekspresinya semakin pasrah.
Setelah digigit Christine kemarin, Tang Ji mengusir semua orang keluar kamar, membersihkan luka, lalu menjahit bibirnya sendiri dengan satu jahitan. Lukanya tidak besar tapi agak dalam, sehingga perlu dijahit. Lagipula, Tang Ji tidak menggunakan obat bius. Cuma satu jahitan, cepat selesai. Bagi Tang Ji, obat bius sama sekali tidak diperlukan. Obat bius juga merusak otak. Setelah merawat lukanya, Tang Ji hanya menaburkan obat di atasnya tanpa membalutnya - itu terlalu sulit.
Dia menderita sakit hampir setengah malam baru bisa tertidur. Pagi hari ini ketika bangun, luka di bibir Tang Ji dengan sendirinya... membengkak!
Bibir bawah Tang Ji hampir berubah menjadi sosis kecil, bengkaknya sangat parah. Udara yang begitu kotor sangat mudah menyebabkan infeksi pada luka.
Saat Tang Ji melangkah keluar dari kamar mandi, semua orang di dalam suite kecuali Christine telah berkumpul di aula. Sebenarnya mereka sudah terbangun sejak terdengar jeritan di jalanan, namun karena bisa melihat kondisi jalan dari jendela kamar masing-masing, mereka memilih mandi dulu baru keluar.
Pagi itu, semua orang makan sarapan bersama di ruang tamu. Christine baru keluar setelah lama dibujuk Manila. Dia ragu bertemu Tang Ji, tapi setelah masuk ruangan dan menyadari Tang Ji hanya meliriknya sekali lalu mengabaikannya dengan ekspresi datar, hatinya dipenuhi kekecewaan. Sepanjang makan dia diam seribu bahasa, seringkali mencuri pandang ke arah Tang Ji.
"Jenderal Qiang, apa rencanamu?" Tang Ji meletakkan roti yang baru dua kali digigitnya, menerima kotak susu yang sudah dibuka Manila. Sambil menggigit sedotan, matanya menatap sang jenderal bertanya.
Sampai saat ini, Jenderal Qiang bagi Tang Ji masih belum bisa dianggap sebagai orang dalam sejati. Sebelumnya bersama hanya karena momentum yang tepat, dia membawa anak perempuannya tanpa pilihan lain selain mengikuti Tang Ji. Namun sekarang situasinya berbeda. Untuk sementara aman, Jenderal Qiang punya hak untuk memilih.
"Kalian akan pergi ke desa..." Jenderal Qiang memegang kaleng ikan, mengunyah makanan di mulutnya, merenung sejenak sambil memandangi putrinya di sampingnya. Dia mengangkat kepala melihat Tang Ji: "Mungkin kami bisa ikut kalian. Dengan kehadiranmu, lebih mudah aku mengurus putriku. Selain itu... kau sangat kompeten!" Jenderal Qiang menunjuk Tang Ji.
"Terima kasih..." Tang Ji merespons tanpa komitmen, mengambil dendeng sapi kering di meja. Saat hendak menyuapkannya ke mulut, dia berpikir sejenak lalu malah menyelipkannya ke mulut Manila di sebelahnya. Tang Ji menyapu sekilas tangannya, menatap Jenderal Qiang: "Perkenalkan dirimu secara detail. Kebiasaan kami, setiap orang harus memperkenalkan diri..."
Qiang En menatap Tang Ji, lalu menyapu sekilas pandang ke arah orang lain. Melihat semua orang tampak ingin mendengar perkenalannya, ia menyadari perkataan Tang Ji memang benar. Meletakkan kaleng ikan di atas meja, ia duduk tegak tanpa terlihat canggung atau ragu-ragu. Dengan lugas ia berkata: "Qiang En, lahir di San Francisco pada April 1955. Pada usia 22 tahun...tepatnya tahun 1977 lulus dari Yale. Awalnya ingin menjadi bintang basket NBA...tapi kemudian memilih bergabung dengan militer. Usia 23 masuk ke Korps Marinir, turut serta dalam Perang Panama tahun 1989, Perang Teluk Pertama tahun 1990, dan Perang Afghanistan tahun 2001. Empat kali terluka dalam tugas. Karena faktor usia dan...pangkat militer, sejak itu tak pernah lagi turun langsung ke medan perang. Tahun 2005 diangkat menjadi Mayor Jenderal Angkatan Darat, tahun lalu pensiun. Sekarang tinggal di New York bersama putri saya yang bersekolah SMA di Manhattan ini."
Setelah selesai bicara, Jenderal Qiang membeku sejenak, memandang Tang Ji yang sedang memeluk bahu anaknya di samping, lalu berkata: "Dia, Khalida, adalah satu-satunya anak dari istri kedua saya, juga putri terkecil saya. Sebelum akhir zaman dulu dia sangat lincah, menyukai musik, bahkan memelihara anjing Schnauzer bernama Qiqi... Setelah lulus SMA dia berencana kuliah di akademi musik Manhattan. Tapi sekarang..." Jenderal Qiang menatap Khalida dengan tatapan sedih. Tak perlu dijelaskan lebih lanjut - dalam kondisi seperti ini Khalida hanya bisa terus menerima perawatan. Penjelasan detail pun tak berguna, karena Khalida sekarang sudah sepenuhnya berbeda dibandingkan dirinya sebelum akhir zaman.
Plak-plak-plak!
Tang Ji menepukkan tangan, memandangi ayah-anak itu: "Selamat bergabung."
"Terima kasih!" jawab Jenderal Qiang.
"Setelah semua orang makan, mereka merapikan diri dan kembali duduk di sekitar sofa membentuk lingkaran. Tang Ji kemarin sudah bilang, hari ini kita akan berdiskusi tentang rencananya."
"Semua... lakukan apa saja yang kalian suka, asal jangan keluar. Mungkin bisa tidur lagi sebentar. Untuk sementara kita tidak pergi dulu, urusan lain kita bicarakan beberapa hari lagi." Tang Ji keluar dari kamar mandi sambil mengenakan jaket kulit yang sudah dicuci dan dikeringkan kemarin. Ia memandangi semua orang yang berkumpul di ruang tamu menunggunya.
"Bukannya hari ini..." Jason yang mudah diajak bicara langsung berdiri, menatap Tang Ji.
Tang Ji secara bawah sadar menjilat bibirnya sendiri. Dengan tatapan "Kamu tidak tahu apa yang terjadi?", ia memandangi Jason dengan ekspresi pasrah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Jason tertegun sejenak, lalu refleks menoleh ke arah Christine yang duduk di sofa sebelah Laura. Tapi segera pandangannya berubah arah - dia tidak boleh terus-terusan menatap Christine, nanti Christine jadi malu.
Jason dengan dramatis menutup dahinya, menatap langit-langit lalu menunduk serius: "Anggap saja aku tidak bertanya." Ia kemudian menoleh dan melangkah keluar dari sofa, berjalan menuju kamar samping tanpa berpaling sambil berkata: "Tante, kamarmu kupinjam sebentar! Aku mau tidur lagi!"
Plak!
Jason berjalan cepat bak angin, karena terlalu tergesa menyenggrak satu-satunya vas bunga yang tersisa di rak dekat tembok ruang tamu. Vas itu terjatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping.
"Sialan!" Jason terkejut lalu melompat ke samping. Matanya menatap serpihan vas di lantai sebelum menoleh ke arah sofa. Melihat semua orang memandangnya, ia segera membuat ekspresi "jangan lihat aku begitu" sambil menunjuk pecahan itu: "Aku yang bersihkan!"
“Hush!” Tang Ji yang berdiri di pintu kamar mandi dengan jarak dekat dari pintu utama suite tiba-tiba mengangkat satu jari ke bibirnya, menyuruh semua orang diam. Sepertinya ia mendengar sesuatu.
Boom! Boom! Boom! Boom! Boom! Boom!
Pintu utama suite tiba-tiba bergetar keras, suara hantaman keras terdengar memekakkan telinga.
Ruang tamu seketika sunyi senyap.
