Pintu kamar mandi terbuka sedikit.
Whoosh...
"Keluar! Aku tak mau ada kesalahpahaman." Manuela membuka keran air sambil berbicara ke cermin tanpa mengangkat kepala.
"Manuela, kita perlu bicara. Aku tahu dulu..." Jim berdiri di sampingnya dengan wajah penuh penyesalan, melangkah pelan mendekati Manuela.
"Tak ada yang perlu dibicarakan! Aku ogah denger omonganmu. Enyahlah sekarang!" Manila berkata dingin, mengangkat kepala sebentar melirik ke samping. Tangannya menarik handuk dari pagar kecil, mulai mengelap tangan.
"Untuk apa begini? Di luar sana kita susah bertahan hidup. Ini... ini anugerah Tuhan kita bisa bertemu lagi. Aku tahu dulu salah, tapi tanpa aku siapa yang mencintaimu? Kau cuma seor-" Ucap Jim yang sudah berdiri di tepi wastafel, jaraknya sangat dekat dengan Manila.
"Diam! Enyahlah sekarang!" Manila menoleh kasar ke arah Jim, sorot matanya penuh amarah. Bagi wanita ini, sebutan pelacur rendahan dari siapapun bisa ditoleransi - kecuali dari Jim. Lelaki ini tak layak.
“Aku... bersalah, seharusnya tidak mengatakan kata-kata itu. Kurasa... kita bisa mulai ulang. Mereka di luar adalah teman-temanmu kan? Aku juga bisa berubah menjadi teman mereka. Dulu saat kita bersama begitu manis, kau sangat mencintaiku. Salahku, sekarang aku tahu salah. Mungkin kita bisa...” Jim menatap Manila dengan penuh perasaan.
“Lepaskan!” Manila berkata dengan wajah masam, matanya melirik ke bawah. Jim sudah menangkap tangannya.
“Jangan begini, kita akan baik-baik saja. Kita memang pasangan yang cocok...” Melihat reaksi Manila tidak sengit, Jim malah kembali melangkah lebih jauh. Wajaknya mendekati Manila, terlihat ingin menciumnya.
……
Di ruang tamu, Laura telah merapikan meja dan membuang sampah melalui jendela. Christine masih berdiri di dekat jendela sambil mengunyah keripik dengan lahap, ditemani Tang Ji dan Jenderal Qiang yang sama-sama memandang ke luar. Jason duduk merayap di sofa sebelah Khalida sambil berbisik-bisik, sementara Old Mike dan Robbie duduk di sisi lain sofa melanjutkan obrolan tentang mobil yang sudah dimulai sejak makan malam.
"Oh! Pantas mati!" Terdengar jeritan memilukan yang tiba-tiba menarik perhatian semua orang. Suara Jim datang dari kamar mandi.
Manila mendorong pintu kamar mandi yang terbuka sedikit dan keluar dengan wajah masam, langsung berjalan menuju kamarnya.
Robbie dan Jason berdiri. Tang Ji dan Jenderal Qiang juga meninggalkan posisi di jendela. Semua bingung dengan situasi yang terjadi.
Gedebuk! Braak!
Jim terhuyung-huyung keluar dari kamar mandi sambil menabrak pintu. Ia membungkuk dengan kaki terjepit, satu tangan menutupi selangkangan, ekspresi kesakitan ekstrem. Dahi penuh keringat dingin sambil berteriak: "Oh! Pelacur terkutuk, aku akan..." Ucapannya terhenti karena rasa sakit yang tak tertahankan.
Posisi Robbie tak jauh dari pintu kamar mandi. Keningnya berkerut ketat. Jim adalah orang yang ia dan Tang Ji bawa kembali. Kini jelas terlihat bahwa pria itu telah menantang Manila.
Robbie menekan sandaran punggung sofa dengan satu tangan, melompati sofa dengan gesit. Beberapa langkah cepat membawanya ke samping Jim. Tanpa sepatah kata pun, ia mengayunkan lengan sepenuhnya menghantam pipi Jim dengan kepalan tangan.
Seluruh tubuh Jim langsung terguling. Bahkan kedua kakinya sedikit terangkat dari lantai. Ini menunjukkan seberapa besar kekuatan yang digunakan Robbie dalam pukulan itu.
Braak!
Jim seketika dipukuli hingga kebingungan, terjatuh berat ke lantai. Robbie kembali bergegas maju dua langkah, menarik tubuh Jim dengan kasar, menekannya keras ke tembok. Pistol di pinggang belakangnya dihunuskan dan ditekankan ke rahang bawah Jim. "Apa yang baru kau lakukan?" tanyanya dengan nada dingin sambil mendorong senjata ke atas lebih keras.
Kepala Jim masih dalam kondisi kebingungan. Fakta bahwa dia tidak pingsan setelah pukulan tadi sudah menunjukkan ketahanannya. Saat ini sama sekali belum pulih, masih menggoyang-goyangkan kepala, tidak bisa bicara.
Di sisi lain, Tang Ji bergegas menyusul Manila yang sedang menuju kamar, menarik lengan wanita itu dengan kuat untuk menghentikannya.
"Dia mengganggumu?" Tang Ji mengerutkan kening sambil menatap Manila.
"Hm!" Manila berhenti melangkah, merapikan rambutnya sambil mengangguk singkat.
Tang Ji melepaskan Manila, menunjuk ke permukaan di bawah kakinya, memiringkan kepala seraya berkata: "Berdiri di sini menunggu aku!" Nada bicaranya sangat serius, sama sekali tidak bermaksud bercanda. Manila memegangi mulutnya, menatap Tang Ji tanpa bisa berkata-kata. Sepertinya dia telah merasakan sesuatu yang akan terjadi.
Setelah selesai bicara, Tang Ji berbalik dan berjalan cepat menuju arah kamar mandi.
"Tutup mata!" Tang Ji tiba-tiba mengangkat tangan dan menunjuk ke arah sofa saat berjalan setengah jalan, jarinya mengarah ke Khalida sambil berbicara cepat.
Jason segera menutupi mata Khalida, dengan tegang mengawasi pergerakan Tang Ji.
Dalam beberapa langkah sampai di belakang Robbie, Tang Ji menarik bahu Robbie. Robbie langsung minggir. Tang Ji mengeluarkan pistol dari pinggangnya dan menekankannya ke kepala Jim.
Hah!
Ia menembak tanpa ragu, tanpa sedikitpun keraguan. Segalanya terjadi sangat cepat. Sejak mendapatkan jawaban dari Manila, sama sekali tidak ada keraguan dalam dirinya.
Di dahi Jim muncul sebuah lubang berdarah, bahkan tanpa kesempatan untuk menjelaskan, ia langsung mati.
"Buang dia!" Tang Ji berbalik segera setelah menembak, bergegas mendekati Manila tanpa melirik Jim sedikit pun. Sesampainya di sisi Manila, ia menarik tangan Manila masuk ke kamar tidur. Pintu tertutup dengan keras BRAK!
Suasana di ruang tamu membeku sejenak, sangat hening. Bahkan beberapa orang tiba-tiba merasakan kedinginan di tubuh mereka.
Tak satu pun dari mereka menyangka bahwa Tang Ji akan bertindak langsung seperti ini - tegas... dan tiba-tiba!
Ketika Tang Ji menunjukkan sifat dingin darahnya, benar-benar bisa membuat bulu kuduk merinding. Robbie masih sempat bertanya karena semua kejadian tadi terjadi di kamar mandi tanpa saksi mata, jadi ia hanya memukul Jim tanpa langsung menembak, khawatir ada kesalahpahaman.
Tapi Tang Ji, hanya mengajukan satu pertanyaan ke Manila - bahkan tanpa jawaban jelas, tanpa menanyai Jim - langsung menembak.
Ini pertama kalinya Tang Ji membuat orang-orang ini menyadari seberapa kuat sifat posesifnya. Sifat posesif ini bukan keinginan untuk memiliki segala hal baik, melainkan bagai bos mafia yang memelihara selir - meski tak ada unsur cinta, hanya menyukai tubuh selirnya. Ia tak mencintai sang selir, tapi mutlak melarang orang lain menyentuh miliknya. Begitulah Tang Ji: "Milikku adalah milikku. Wanitaku juga milikku. Selama itu milikku, orang lain tak boleh menyentuh."
Tak peduli sebelumnya seperti apa, selama sekarang wanita itu bersama denganku, kusetubuhi, maka siapa pun yang berani menyentuhnya - pergilah mati!
Jika sebelum akhir zaman, Tang Ji takkan bertindak seperti ini. Ia dingin kepala, menguasai kesabaran terpendam, tak perlu langsung bertindak. Sikap seperti itu dulu akan berakibat fatal. Kini di akhir zaman tanpa ikatan apapun, Tang Ji tetap tenang. Tapi ia tak perlu menahan diri - yang harus dilakukan, harus segera dilaksanakan.
Maka, dengan kepala dingin ia membunuh Jim tanpa amarah, tanpa teriakan, tanpa makian atau pukulan, namun juga tanpa keraguan, membuat siapa pun yang menyaksikan merinding.
