Di ruang tamu, keheningan begitu pekat hingga suara jarum jatuh pun bisa terdengar.
Jim yang bersandar di dinding menatap kosong ke depan, matanya telah dipenuhi warna darah. Tubuhnya perlahan melorot menyusuri tembok hingga akhirnya terjatuh duduk di lantai. Dengan kepala terkulai, ia tak bergerak lagi. Ubun-ubunnya meninggalkan bekas darah merah terang di dinding yang bercampur substansi putih kental. Di bagian atas bekas darah tersebut, tertancap sebuah peluru yang menembus dahinya hanya menyisakan lubang seukuran kacang tanah. Namun saat keluar dari ubun-ubun, tekanan ledakan membuat seluruh bagian belakang kepalanya hancur berantakan. Darah bercampur remahan otak menyembur keluar.
Kematiannya terlalu tiba-tiba. Meski tidak merasakan kesakitan, kehidupannya sirna begitu cepat hingga membuat orang terkecoh. Ia bahkan tak sempat berjuang atau membela diri... ini... terasa semakin mengerikan.
"Tuhan..." Laura yang berdiri tak jauh di samping seketika menutup mulutnya dengan tangan setelah Tang Ji menembak. Baru sekarang ia perlahan menurunkan tangan, menatap mayat Jim dengan mata hampir tak percaya, berbisik lemah.
Robbie memandangi mayat di permukaan, menggesekkan ujung laras pistol ke samping kepalanya yang terasa gatal-gatal. Dengan cepat ia menyelipkan pistol di pinggang, melangkah maju dan membungkuk untuk mencengkeram lengan Jim. Dengan tarikan keras dari belakang, seluruh tubuh Jim dipikulnya. Tanpa sepatah kata atau minta bantuan orang lain, ia memikul mayat itu ke tepi ranjang, membuka jendela, lalu melemparkan langsung jasad Jim dari jendela lantai dua belas.
Braak!
Dari luar segera terdengar suara benda berat jatuh, dari suaranya, seolah menghantam mobil-mobil yang ditinggalkan.
Robbie menyembulkan kepala ke luar, melihat mayat Ji telah membuat sebuah mobil di bawahnya cekung sepenuhnya, tubuhnya sendiri juga terdistorsi. Zombie-zombie di sekeliling berdatangan mendengar keributan, berkerumun mengerubungi.
Robbie menyusut kembali kepalanya dan tak lagi melihat, menutup jendela.
……
Tang Ji menarik Manila masuk ke kamar tidur, menyentakkan Manila ke dalam, lalu berbalik menutup pintu.
Manila terhuyung-huyung maju beberapa langkah, jatuh terduduk di ranjang, buru-buru menoleh memandangi Tang Ji dengan tegang menjelaskan: "Tang..."
"Bagaimana denganmu?" Tang Ji memotong ucapannya setelah menutup pintu, berjalan ke ranjang dengan wajah muram, "Jika dia orang asing berani mengganggumu, kurasa tak perlu ku serang, kau juga akan membunuhnya. Bukankah sekarang kau harus menjelaskan padaku, hubungan apa antara kalian berdua?"
Tang Ji berbicara sambil berdiri di sisi ranjang, tidak duduk, matanya menatap tajam Manila.
Manila yang terlihat bersalah menundukkan kepala merapikan rambutnya, lalu mengangkat kepala dan berkata pelan: "Dia mantan pacarku."
Tang Ji mengangkat salah satu alisnya, menatap Manila tanpa bicara.
Manila tahu Tang Ji memintanya melanjutkan, menyentakkan bibirnya lalu menunduk. Setelah lama akhirnya mulai bercerita pelan: "Aku mengenalnya saat berusia delapan belas tahun, dia klienku... Sangat royal, selalu memberi uang ekstra. Setelah beberapa kali ke tempatku, mulai mendekatiku. Dia bilang jatuh cinta padaku, tak merendahkan identitas sebenarnya sebagai pekerja seks."
"Lalu... aku jatuh cinta padanya. Kami pun menjalin hubungan. Setelah itu, aku baru sadar dia menipuku. Sejak kami resmi bersama, dia sama sekali tidak mau bekerja. Hidup kami bergantung pada uang hasil pelacuranku yang kususahkan berulang kali. Waktu itu aku sangat bodoh, tetap mencintainya, enggan melepas hubungan ini... Setahun kemudian, dia kabur membawa semua tabungan hasil pelacuranku. Selama dua bulan aku tak bisa menghubunginya. Saat kembali, uang itu sudah habis dihamburkannya. Dia bilang itu cuma keblinger sementara, ingin memulai lagi hubungan. Kami bertengkar hebat, dia bahkan memukulku... Akhirnya kami putus. Baru saja di kamar mandi, dia mencoba berbaikan dan ingin menciumku..." Suara Manila terdengar getir. Setiap orang punya masa lalu yang ingin dilupakan namun tak bisa dihapuskan, Manila pun demikian.
Di bagian ini Manila berhenti. Kejadian selanjutnya sudah diketahui Tang Ji - Manila menendang vital Jim, lalu keluar dari kamar mandi dengan geram hendak kembali ke kamarnya.
"Mengapa tidak membunuhnya?" Tang Ji bertanya dengan wajah dingin masih memikirkan masalah itu, "Kau masih tidak bisa melupakannya? Berat meninggalkan?"
Harus diakui, Tang Ji ini orangnya aneh. Dia tidak akan mudah jatuh cinta pada seseorang, atau bisa dibilang setelah akhir zaman, dia tidak pernah berniat mencintai siapa pun. Tapi wanita yang sudah menjadi miliknya sama sekali tidak boleh disentuh orang lain. Bisa dikatakan saat ini dia sangat marah. Dia memahami karakter Manila. Wanita berkarakter seperti Manila yang berani bertindak, jika benar-benar mengalami pelecehan di dunia tanpa hukum seperti akhir zaman ini, pasti akan langsung menembak habis si pengganggu tanpa ragu. Tapi terhadap Jim yang sudah bermusuhan, Manila justru tidak melakukannya. Inilah sumber kemarahan Tang Ji. Meski dalam hati Tang Ji enggan mengakuinya, gejolak emosi ini mengandung sedikit rasa cemburu.
Seorang wanita yang sudah menjadi miliknya masih menyimpan perasaan terhadap pria lain, ini sama sekali tidak bisa ditoleransi Tang Ji. Ini bisa disebut sebagai gangguan obsesif kompulsif spiritual. Tang Ji benar-benar nol toleransi terhadap situasi seperti ini.
"Aku tidak…" Manila menggelengkan kepala grogi mendengar perkataan Tang Ji, menyangkal tebakan Tang Ji, matanya menatap Tang Ji dengan panik, "Kau sudah membunuhnya, aku... aku tak berkata apa-apa, aku tak peduli hidup matinya…"
"Lalu kenapa kau tidak membunuhnya?" Tang Ji berdiri di tepi ranjang memotong penjelasan buru-buru Manila, mengejar jawaban lagi.
"Aku… cuma tidak mau… kita kan kenal, aku tak tega membunuh begitu saja. Ia cuma menyentuh tanganku, belum sempat menciumku. Sudah kuhukum dia. Lagipula orangnya kau yang bawa kembali, aku tak boleh langsung membunuhnya…" Manila buru-buru menjelaskan, namun ucapannya terhenti di tengah jalan karena Tang Ji memalingkan kepala ke sisi lain, seolah ogah mendengar lanjutan penjelasan Manila, tengah merenungkan sesuatu.
Manila menatap Tang Ji dengan bibir terkatup, ekspresinya penuh keluhan. Usianya baru dua puluh dua tahun, seumuran yang masih menjadi mahasiswa atau baru lulus kuliah. Meski pengalaman hidupnya membuatnya matang, menghadapi ketidakpercayaan Tang Ji, ia tetap merasa tersakiti. Menurutnya, sejak mengikuti Tang Ji, seluruh hatinya telah tercurah pada pria itu. Walau tak ada unsur cinta di antara mereka, Tang Ji adalah andalannya. Ia sangat paham betapa sulitnya menemukan pria berkemampuan sebagai sandaran di akhir zaman. Karena itu, ia yakin baik secara batin maupun fisik, dirinya sepenuhnya milik Tang Ji tanpa secuil pun pengkhianatan.
Sebenarnya, Manila sendiri tak menyadari bahwa di lubuk hatinya masih tersisa perasaan pada Jim. Perasaan cinta semacam itu sulit dihapuskan, hanya saja ia tak mampu mendeteksi keberadaannya. Andaikan ia sadar, pasti akan menembak kepala Jim seperti ancaman Tang Ji, alih-alih mencari-cari alasan untuk tak membunuhnya.
Bagaimanapun, perasaan di masa lalu selalu sulit dilupakan. Apalagi Manila dulunya memiliki status yang tidak terhormat, sangat sulit ada orang yang mencintainya.
Manila mengendus-endus, menatap Tang Ji yang berdiri di sisi ranjang sambil menoleh ke samping. Tiba-tiba ia mengangkat tangan dan menarik-narik lengan Tang Ji, duduk di ranjang sambil mendongakkan kepala dengan hati-hati bertanya: "Kau marah?"
Tang Ji menoleh kembali melihat Manila, matanya berkedip perlahan dua kali, diam tak bersuara dengan ekspresi datar. Ia bingung harus berkata apa. Ketakutan terbesarnya selama ini sepertinya telah menjadi kenyataan - bukan tentang Jim dan Manila, tapi tentang dirinya sendiri dan Manila. Tang Ji enggan mengakui fakta itu, namun realita tetaplah realita. Sebuah emosi yang enggan diakuinya, telah menyebar tanpa disadari di hatinya.
Tang Ji dengan cepat menoleh ke arah lain lagi, menatap lemari pakaian di samping ranjang. Entah apa yang menarik di sana.
"Tang..." Manila merasa takut dalam hatinya, memanggil sekali namun Tang Ji tidak menanggapi juga tidak menoleh. Dengan kasar bangkit dari tepi ranjang, memeluk Tang Ji erat-erat, mencium pipi Tang Ji. Dengan cepat satu tangan mencengkeram kepala Tang Ji berusaha memaksa Tang Ji menoleh, mencoba mencium bibir Tang Ji, sementara tangan satunya membuka kancing baju dengan gesit.
Manila menyimpulkan cara ini mungkin efektif untuk Tang Ji, sebab dulu begitulah dia "menaklukkan" Tang Ji. Tapi kali ini perkiraannya salah.
Tang Ji mendorong Manila dengan kasar hingga Manila terjatuh di atas ranjang.
"Hanya ini caramu? Selain ini apa lagi yang bisa kau lakukan?" Tang Ji terlihat sangat bersemangat, membentak Manila dengan suara keras.
Manila terbaring di ranjang, tertegun menghadapi jeritan Tang Ji. Matanya menatap kosong, tak menyangka setelah berkali-kali hidup terpisah & mati bersama, Tang Ji masih bisa mengucapkan kata-kata menyakitkan. Bibirnya mengerut, area sekitar matanya memerah.
Di dalam kamar, diam yang pekat menyelimuti. Keduanya saling menatap.
Dengan kasar, tubuh Manila bangkit dari ranjang. Duduk sambil condong ke depan, ekspresi wajah yang anomali, berteriak lebih keras dari Tang Ji: "Bukankah kau hanya perlu ini? Selain ranjang, apa lagi yang kau mau? Aku mencintaimu, maukah kau mencintaiku?"
Teriakan Manila yang histeris nyaris memenuhi seluruh suite. Untuk pertama kalinya dia mengumpulkan keberanian sebesar ini menghadapi Tang Ji. Air mata tak terkendali membanjir dari kelopak mata.
Suara itu mengguncang jiwa.
Tang Ji tertegun. Pertanyaan terakhir Manila terus bergema dalam pikirannya.
"Aku mencintaimu, maukah kau mencintaiku?"
"Bangsat!" Tang Ji tersentak dari keadaan membeku. Melihat Manila yang wajahnya basah oleh air mata, tiba-tiba ia mengumpat dengan frustasi. Dengan cepat ia mencabut pistol dari pinggang belakang dan melemparkannya ke kaki ranjang. Tangannya membuka resleting jaket kulit di tubuh bagian atas, melepasnya dengan gesit, lalu langsung merobek kemeja yang melekat di badan. Kancing-kancing yang belum terbuka semuanya copot berhamburan.
Manila langsung berhenti menangis saat melihat Tang Ji mulai membuka resleting. Bibirnya menggigit erat sementara tangannya cepat-cepat menyeka air mata. Jari-jemarinya mencengkeram ujung kaos oblong bagian atas, membalikkannya sekali sapu hingga terlepas. Tubuh bagian atasnya hanya tersisa beha putih. Ia segera membuka ikat pinggang, tangan mulai menurunkan celana panjang dan celana dalam sampai lutut, ketika tiba-tiba tubuh Tang Ji telah terpancar menyergapnya.
Tak ada yang berbicara, kedua orang itu tiba-tiba memeluk erat, tubuh mereka berguling sepenuhnya ke ranjang, saling membelai tubuh satu sama lain, bercumbu dengan ciuman gila-gilaan.
Bunyi berisik berantakan terdengar dari ranjang, pria dan wanita bergulingan saling membelai, diiringi suara decapan, satu per satu baju serta celana segera dilempar dari tempat tidur, perlahan pria dan wanita telanjang bulat berhadapan.
Perlahan, ranjang mulai berderit-derit, terengah-engah berat pria menyatu dengan erangan lancang wanita, semakin sengit dan tak terkendali.
