Sore hari, pukul 1:10.
Jalan lebar yang membentang timur-barat terlihat rusak dan kotor. Darah segar, kotoran, serta cairan berceceran di mana-mana. Kawanan nyamuk berdengung menari-nari di udara. Mayat-mayat membusuk memancarkan bau busuk yang menyengat, memenuhi atmosfer dengan aroma menjijikkan yang membuat mual.
Hush krak! Membentak!
Ratusan zombie berkeliaran tanpa tujuan di jalanan. Mata merah darah mereka seolah tak fokus, terlihat tak bernyawa. Hampir dua puluh hari sejak akhir zaman meledak, ciri khas fisik zombie yang muncul saat bencana itu semakin jelas: kulit seluruh tubuh memudar kelabu dan mengering bagai kehilangan unsur 'air', permukaan tubuhnya dipenuhi urat-urat hitam kemerahan yang merupakan pembuluh darah utama saat masih manusia.
Perubahan terbesar zombie terletak di kepala. Entah semasa hidup tubuhnya gemuk atau kurus, kini pipi mereka sedikit cekung. Bentuk wajahnya seperti kekurangan gizi, rambut kering bagai rerumputan liar. Saat menderu, gigi mereka yang sudah menghitam terlihat.
Jeritan mereka melengking, mengerikan dan menakutkan.
Di persimpangan jalan sebelah barat, terdapat bangunan tujuh lapisan. Di kamar dekat jendela lantai paling atas...
Ruangan itu hening. Sampah berserakan di lantai. Di satu-satunya ranjang sempit, tas perjalanan berisi makanan dan beberapa senjata serta peluru bertumpuk. Asap rokok menyelimuti ruangan. Puntung rokok berserakan di dekat jendela. Seorang pria tinggi kurus berdiri di sana, sambil mengelap pistol dan menggigit rokok, matanya menyipit mengawasi jalanan.
Brooke. Begitu Tang Ji dan kawanan memasuki penginapan 12 lantai, dia langsung mengarahkan anak buahnya ke gedung di persimpangan ini.
Hampir seminggu lamanya, ketiga orang ini tidak pernah meninggalkan tempat ini. Aktivitas yang paling sering dilakukan setiap hari adalah menatap ke luar jendela. Harus diakui, Brooke adalah orang yang sangat sabar. Ia melakukan tugas tanpa terburu-buru namun terstruktur, sekaligus kejam dan licik. Ini juga salah satu alasan mengapa dulu bisa merekrut belasan orang sebagai anak buah.
Selain itu, pola pikir Brooke sangat berbeda dibandingkan korban selamat lainnya. Orang lain hanya memikirkan cara melarikan diri dan bertahan hidup di akhir zaman, termasuk Tang Ji. Tapi Brooke berbeda... Ia punya ambisi. Dunia sudah tidak memiliki penguasa, hukum punah, moral hancur. Siapapun bisa menjadi penguasa area berikutnya, benar-benar siapapun.
Tang Ji mungkin bisa, Brooke juga mungkin. Asalkan punya ambisi, keberanian visioner, berani berpikir dan bertindak.
"Mereka keluar!" Brooke yang sedang berdiri di dekat jendela tiba-tiba mencabut rokok setengah hisap dari mulutnya dan membuangnya ke lantai. "Cepat!" serunya sambil menyelipkan kain persegi untuk membersihkan pistol ke dalam saku, lalu berbalik menuju ranjang.
Pemuda kulit hitam dan pria paruh baya di dalam kamar langsung bergegas ke sisi ranjang sambil menggendong tas ransel yang ada di atasnya begitu mendengar perkataan Brooke.
Ketiganya dengan cepat merapikan semua perlengkapan dan membawanya. Brooke memimpin dari depan, mendorong pintu kamar dan menjadi yang pertama keluar.
……
Setengah menit sebelumnya.
Ding!
Di lantai satu penginapan dua belas lantai tempat Tang Ji dan kawanan berada, suara bel elevator berbunyi lembut sembari pintu lift terbuka perlahan. Sembilan orang keluar berurutan dari dalam elevator. Mereka semua mengenakan baju panjang dan celana panjang, membawa tas ransel sambil memegang senjata. Kecuali Khalida, di pinggang belakang masing-masing tergantung kapak pemadam kebakaran yang tidak terlalu besar namun juga tidak ringan, sementara paha mereka diikat dengan belati.
Setelah melewati koridor, rombongan berhenti di persimpangan. Belok kiri akan menuju lobi lantai satu penginapan. Pintu gerbang utama lantai satu berupa pintu kaca putar, diapit jendela kaca dari lantai ke langit-langit di kedua sisinya. Keberadaan manusia di lobi akan langsung terlihat oleh zombie di luar.
"Tiga, dua, satu!" Suara Tang Ji rendah, berdiri di samping Robbie yang berada di posisi terdepan, sedikit menyembulkan kepala mengamati lobi di luar. Tiga jarinya terangkat lalu satu per satu diturunkan, kepalan tangan dikeraskan sebelum diayunkan ke depan dengan kuat sambil berteriak: "Pergi!"
Robbie dan Tang Ji memimpin di barisan depan. Sembilan orang itu menyambar keluar dari lobi menuju pintu putar. Di luar, banyak zombi berkeliaran di sekitar pintu gerbang. Dua zombi mendeteksi kehadiran manusia yang tiba-tiba muncul di lobi, serentak mengeluarkan raungan melengking yang penuh semangat ganjil. Seluruh zombi bermata kosong yang mondar-mandir di jalanan langsung mendidih.
Mereka menuju pintu gerbang. Robbie mempercepat langkah saat mendekati pintu, mengangkat tangan dan menembakkan dua peluru cepat ke kaca jendela di samping pintu putar.
Puf! Puf!
Whooosh!
Di dekat jendela kaca lantai ke langit-langit penginapan luar, dua zombie langsung meledak kepalanya oleh peluru yang menembus kaca. Kepala mereka meledak seketika, tubuh terlempar ke belakang dan jatuh berdebum di tanah. Kaca jendela itu adalah kaca pengaman yang memiliki sifat khas - begitu retak akan langsung hancur menjadi butiran-butiran kecil tak terhitung. Dengan suara whoosh, partikel kristal berhamburan menyiram jalan setapak di luar penginapan.
Tang Ji dan kawanannya tidak berencana menggunakan pintu putar. Pintu itu sudah ditutup sejak mereka masuk sebelumnya. Tombol daruratnya terpasang di dinding lobi. Membukanya kembali untuk keluar justru akan memperlambat kecepatan evakuasi karena struktur mekanis pintu putar yang rumit.
"Lari! Ikuti, cepat!" Tang Ji dan Robbie yang pertama keluar dari penginapan melirik ke kiri-kanan sejenak. Tang Ji menggerakkan jari memanggil yang lain sambil berteriak. Seluruh kelompok segera berlari menyusul.
Di jalanan lebar yang luas, suara menderu bergemuruh tak beraturan. Dari langit terlihat jelas zombie-zombie sedang berkumpul di bagian utara tengah jalan. Dari gedung di arah itu, sembilan orang menerjang keluar. Ratusan zombie mulai membentuk lingkaran pengepungan - perilaku bawah sadar khas zombie yang selalu bergerak lurus, sementara tubuh-tubuh mereka sudah memenuhi jalanan.
Dentang langkah kaki kacau bergerak ke arah timur. Semua orang berlari secepat mungkin. Hanya ada tiga pistol berperedam suara: di tangan Robbie, Tang Ji, dan Laura. Ketiganya membuka jalan di depan. Jason dan Jenderal Qiang berjaga di samping, sudah mencabut kapak pemadam kebakaran mereka.
Beberapa hari lalu di lantai empat penginapan, kami mendapatkan satu setengah kotak peluru pistol 9mm, sekitar empat puluh butir. Ditambah persediaan awal yang dibawa semua orang, total peluru pistol sekarang sekitar seratus tiga puluh butir. Jumlah ini cukup memadai - bahkan beberapa magazen cadangan sudah terisi penuh dengan sisa. Dengan perlindungan dari Jason dan Qiang En di samping yang sama sekali bukan tipe pengecut ragu-ragu, menangani zombie tunggal yang menyerbu selama berlari bukan masalah. Asalkan tidak terkepung. Jika terkepung, harus pakai senapan, tapi suara tembakannya bisa memancing lebih banyak zombie.
Saat ini ancaman zombie di jalan raya hanya datang dari depan dan samping. Zombie di belakang sama sekali tak bisa menyaingi kecepatan langkah kami. Ditambah persenjataan kami masih cukup lengkap, menerobos jalan ini sebenarnya bukan masalah. Satu-satunya masalah adalah bagaimana melepaskan diri dari mereka.
Stamina manusia tak bisa ditandingi zombie. Jika tidak bisa secepatnya melepaskan diri dari kejaran mereka, risiko bahaya tetap besar.
Dengan cepat Tang Ji dan rombongan mencapai persimpangan timur jalan besar, di belakang diikuti serombongan besar zombi yang berisik.
Sebelum pergi, Tang Ji pernah naik ke atap penginapan. Meski bangunannya tidak pendek, namun karena terlalu banyak gedung pencakar langit di Manhattan, Tang Ji hanya bisa melihat sekilas kondisi beberapa jalan di sekitarnya. Ia tahu jalan-jalan mana yang bebas zombi.
"Cepat!"
Di persimpangan, Tang Ji mengangkat tangan dan menembak zombi yang bergoyang datang dari arah miring depan. Ia meraih lengan Laura yang sudah tua dan terengah-engah berat, sambil berteriak memimpin mereka belok ke jalan utara.
"Hei, tunggu aku! Kumohon, bawa aku!"
Pada saat itu, dari apotek di sisi persimpangan jalan tiba-tiba menerjang keluar seorang pemuda berusia 23-24 tahun. Rambutnya kusut dan penampilannya kumal, wajahnya pucat pasi dengan kondisi fisik yang sangat buruk seolah sudah lama tidak makan. Lengannya terlilit perban - mungkin akibat luka, tapi tidak berubah menjadi zombie. Bisa disimpulkan itu bukan luka akibat gigitan zombi.
Kakinya pincang terseret-seret. Dengan bertumpu pada tongkat bisbol di tangannya, ia terhuyung-huyung bergegas mendekati arah Tang Ji. Satu kakinya tak bisa dipulihkan, membuatnya tak mampu berlari. Dengan suara parau ia berteriak-teriak memohon.
"Jangan pedulikan dia!" Tang Ji menoleh sekilas sambil mengerutkan kening. Dengan wajah berkerut ia berseru kepada semua orang di belakangnya.
Bagi pria ini, kelompok Tang Ji adalah harapannya. Kondisi fisiknya saat ini bahkan tak mampu melawan satu zombie pun. Setelah terluka, ia terus bersembunyi. Ia berharap ada korban selamat lain yang mau membawanya pergi. Jika tidak, ia pasti mati - entah kelaparan atau diterkam zombie saat mencari makanan. Di jalanan, satu zombie saja bisa merenggut nyawanya. Melihat kelompok Tang Ji dengan perlengkapan lengkap yang hendak menerobos keluar, api harapan menyala dalam dirinya. Ia pun menerjang keluar - mungkin ini satu-satunya kesempatannya. Namun Tang Ji meninggalkannya.
"Jangan jadi pahlawan gadungan!" Ini standar pertama yang ditetapkan Tang Ji pasca akhir zaman. Jika mereka punya mobil saat ini, mungkin bisa menyelamatkannya. Tapi tidak. Semua orang lari kaki. Membawa seorang penyandang disabilitas hanya akan menjadi beban, mempengaruhi kecepatan gerak. Bisa-bisa tak bisa melepaskan diri dari kejaran zombie, hingga seluruh kelompok ini hampir musnah total.
Maka, Tang Ji menjatuhkan vonis mati padanya.
"Enyahlah!"
Pria yang berlari keluar ini berhasil menarik perhatian sebagian zombie. Raungan mereka bergema saat mengerumuninya. Seandainya Tang Ji dan kawannya segera menjemput, mungkin masih ada harapan. Namun mereka tak bertindak. Tak lama setelah berhasil keluar dari gedung apotek kecil, pria ini menyadari kenyataan pahit: Tak ada tanda-tanda rombongan itu akan berhenti. Di tengah hiruk-pikuk raungan zombie, samar-samar terdengar teriakan dari kelompok tersebut: "Jangan pedulikan dia!"
"Ya Tuhan!" teriak pria terluka itu panik. Matanya menyaksikan jarak antara dirinya dengan rombongan Tang Ji yang semakin menjauh. Dengan jeritan yang menyayat hati, ia memohon: "Kumohon, selamatkan aku!"
Upayanya sia-sia belaka.
Dengan tergopoh-gopoh, ia berbalik dan bersandar pada tongkat bisbol sambil mencoba berlari kembali ke apotek. Kakinya yang pincang membuatnya tersendat-sendat. Meski berusaha mati-matian mempercepat langkah, apotek yang tak seberapa jauh itu tetap tak terjangkau. Upaya terakhirnya untuk bersembunyi kembali ke sana pun berakhir sia-sia - segalanya sudah terlambat.
Kecepatan zombie lebih cepat darinya, dua zombie tiba di sampingnya lebih dulu. Ia mengibaskan tongkat bisbol mencoba menghalangi serangan gigitan zombie, namun dalam ketegangan kakinya terpeleset hingga terjatuh ke tanah.
Zombie menerjang tubuhnya dan menggigit lengannya, gerombolan mayat hidup segera mengepungnya. Setelah beberapa jeritan kesakitan, ia benar-benar diam membisu. Di lokasi hanya tersisa suara mengunyah daging dan darah zombie yang membuat bulu kudu merinding.
Walau hati Tang Ji dan kawan-kawan merasa pilu, "Jika manusia tidak mementingkan diri sendiri, langit menghukum". Tak ada kewajiban bagi siapapun untuk bertanggung jawab atas hidup mati orang lain, apalagi harus menanggung risiko besar. Dengan perasaan aneh yang tersisa, rombongan beralih ke Jalan Utara. Jalan besar ini lebih luas, terlihat jelas bahwa sebelum akhir zaman tempat ini sangat ramai, di kedua sisi jalan berdiri gedung-gedung pencakar langit.
Jalanan sangat sepi, hampir tidak ada zombie. Mobil-mobil terbengkalai di jalan besar tidak banyak, semuanya adalah kendaraan yang mengalami kecelakaan saat berusaha melarikan diri dari kekacauan akhir zaman. Beberapa masih menyisakan bekas ledakan dan pembakaran. Sama sekali tidak ada kendaraan yang memenuhi kriteria kelompok Tang Ji.
Dari belakang, gerombolan zombie terus mengalir deras. Jumlah zombie yang mengikuti mereka sekitar dua sampai tiga ratus ekor—benar-benar tidak sedikit! Jarak antara mereka semakin menjauh, tapi zombie-zombie itu pantang menyerah. Di sisi lain, kecepatan kelompok Tang Ji sudah mulai melambat. Lari cepat sejauh ratusan meter mustahil dipertahankan dengan kecepatan awal, bahkan atlet top sekalipun. Apalagi kelompok Tang Ji yang konsumsi tenaganya sangat besar.
"Sisi kiri!"
Setelah berlari sekitar tiga ratus meter di jalan lebar yang dikelilingi gedung-gedung pencakar langit, terlihat sebuah hutong yang cukup luas di sebelah kiri jalan. Tang Ji berteriak memberi perintah lalu mengajak kelompoknya masuk ke dalam.
Zombie-zombie dari belakang segera menyusul masuk. Namun saat itu, kelompok Tang Ji setidaknya sudah melepaskan diri dari kejaran zombie sejauh lebih dari seratus meter.
Berlari seratus meter di dalam hutong, persimpangan jalan muncul lagi di kiri-kanan. Semua orang belok kanan.
Di saat yang sama, zombie-zombie yang mengikuti baru saja memasuki hutong, namun kehilangan jejak Tang Ji dan kawanan. Seketika mereka berhenti kebingungan. Dalam ingatan singkat mereka, mereka ingat Tang Ji masuk ke hutong, tapi setelah masuk tak terlihat. Seandainya manusia yang mengejar, tentu akan masuk dan memeriksa depan-belakang-kiri-kanan. Sayangnya zombie bukan manusia, mereka tak tahu harus berbuat apa.
Zombie-zombie itu mengembara tak jauh, sepenuhnya kebingungan.
Di jalan kecil persimpangan hutong, gedung-gedung di kedua sisi sangat tinggi namun lebarnya kurang dari tiga meter. Tang Ji dan kawanan yang berlari masuk tiba-tiba berhenti. Berdempetan ke tembok membentuk barisan, terengah-engah keras beberapa kali, menahan napas, lalu perlahan menghembuskan napas dan memperlambat pernafasan.
Setelah istirahat sejenak, Tang Ji mengangkat tangan memberi isyarat ke arah dalam jalan kecil. Dengan langkah ringan, semua orang mulai bergerak masuk lebih dalam.
Hutong berkelok-kelok dan terdistorsi, tidak lurus. Setelah berjalan sekitar dua ratus meter lagi, muncul lagi jalan bercabang di depan. Tang Ji yang telah mempelajari peta masih ingat: Belok kanan dan berjalan puluhan meter keluar akan sampai ke jalan kecil. Di sini, hanya terpisah satu jalan besar dari Fifth Avenue New York.
Begitu mereka belok, jalan kecil itu telah muncul dalam pandangan. Samar-samar terdengar raungan zombie sporadis dari jalan kecil itu. Dan tepat di saat itu...
Dua siluet tiba-tiba melompat dari area yang tak terlihat oleh pandangan orang-orang di jalan kecil, menyusup masuk ke hutong dengan kecepatan tinggi. Begitu melihat Tang Ji dan rombongan, mereka langsung berhenti mendadak. Tubuh mereka menegang sambil sedikit merunduk, mata merah darah melotot mengeluarkan geraman rendah penuh ancaman.
Tang Ji dan rombongan segera berhenti, cepat-cepat berkumpul membentuk formasi. Wanita itu dikerumuni di pusat formasi.
Jelas terlihat, seluruh anggota rombongan Tang Ji tiba-tiba menjadi sangat tegang.
Karena dua makhluk yang tiba-tiba muncul itu adalah... Anjing Zombie! Itupun jenis Doberman yang terkenal gigitan sangat dahsyat dalam spesies anjing.
Robbie langsung mengangkat senjata dan menembak dua kali!
Dor! Dor!
Meleset. Peluru ternyata menghujam tanah. Bukan kemampuan menembak Robbie yang buruk, tapi jarak antara mereka dengan dua anjing zombie mencapai 40-50 meter. Pada jarak ekstrim seperti ini -tepat di ujung efektif jarak tembak pistol- mustahil bagi Robbie yang mengandalkan refleks untuk tepat sasaran. Faktor manusia dan senjata berpengaruh, meski deviasinya tak besar. Jika targetnya zombie diam, tembakan kepala pasti tepat.
Masalahnya, dua anjing zombie itu bergerak saat Robbie mengarahkan senjatanya. Mereka menghindari peluru!
Zombie bisa menghindar??
Semua orang merinding!
