Di samping Land Rover.
"Robbie... pergi ke mana?" Setelah Tang Ji meletakkan walkie-talkie, Manila yang lemah berbisik bertanya, terasa sangat kesulitan.
“Brooke, waktu kembali kami bertemu dengannya, Robbie mengejarnya.” Tang Ji menundukkan kepala dan menjelaskan, lalu segera menoleh melihat ke samping. Christine terus berjongkok di sisi itu, memegang lengan Manila yang masih utuh. Meski sudah tidak menangis, matanya masih memerah dan sudah membengkak. Saat ini ia terus menatap keduanya, mengatupkan bibir tanpa bicara.
“Christine, kemari, bantu aku!” Tang Ji mengeluarkan karet gelang sebesar jari kelingking dari tas samping, menyodorkan satu ujungnya ke Christine. Kemudian ia mengulurkan lengan kanannya yang lengan bajunya sudah digulung sebelumnya. Sambil memegang ujung karet gelang yang lain, ia dengan cepat melilitkannya di lengan, menyilangkan dan mengencangkannya. Tak lama kemudian ia meminta Christine melepaskannya, karena karet gelang yang elastis ini setelah ditarik akan mengencang dan menekan lengan tanpa perlu diikat.
Tang Ji kembali menggunakan ramuan untuk mendisinfeksi bagian dalam siku lengan kanannya dengan cepat. Kemudian mengeluarkan jarum suntik medis baru, merobek bungkusnya, melepas tutup jarum dengan menjentikkan ibu jari. Tinju kanannya mengepal erat, pembuluh darah di lengannya menonjol. Dengan tangan kiri memegang jarum suntik, menusukkan ke meridian yang menonjol di siku kanan. Gerakannya stabil dan sangat cepat.
Tang Ji menganggukkan kepala ke arah Christine. Sebagai siswa SMA, Christine tentu menguasai pengetahuan medis dasar. Apalagi gadis seusianya pasti pernah mengalami pengambilan darah di rumah sakit. Dia paham maksud Tang Ji, langsung mencabut karet gelang yang melilit lengan Tang Ji.
Tang Ji mulai perlahan menarik darahnya sendiri. Ini adalah jarum suntik 50 ml, bukan yang terbesar di antara peralatan medis, namun merupakan model terbesar yang dibawanya dalam tas.
Darah perlahan disedot keluar, warna merah tua perlahan mengisi sempurna jarum suntik. Dengan presisi, setelah Tang Ji mengambil 50ml darah, ia mencabut jarum dan memindahkan alat suntik ke tangan kanannya.
Plak!
Tang Ji kembali menampar pipi Manila. Saat ini ia telah merawat luka di lengan Manila dengan cepat. Peluru memang sudah dikeluarkan, namun jahitan belum sepenuhnya rapi. Kecepatan kehilangan darah kini sudah sangat berkurang, namun sebelumnya Manila sudah kehilangan terlalu banyak darah tanpa transfusi, sehingga setiap saat bisa pingsan. Baru saja ia kembali menunjukkan gejala ingin tertidur.
Dengan tangan kanan memegang alat suntik, tangan kiri merapikan rambut Manila. Tang Ji mematahkan rahang bawah Manila, memiringkan kepalanya ke satu sisi hingga leher bagian samping benar-benar terbuka. Proses pengambilan obat, disinfeksi, dan penekanan jari pada pembuluh darah berlangsung sempurna tanpa jeda. Dalam sekejap, vena jugularis Manila pun sepenuhnya menonjol.
Tang Ji dengan cepat menusuk suntikan ke dalam vena jugularis, lalu perlahan menyuntikkan darahnya sendiri ke dalam tubuh Manila tanpa melalui pemeriksaan apapun. Risiko transfusi darah utuh secara langsung ini sangat tinggi.
Namun Tang Ji tidak punya pilihan. Kondisi Manila sama sekali tidak bisa menunggu - semakin cepat proses ini dilakukan semakin baik.
Setelah satu kali transfusi, Tang Ji segera mengambil darah lagi untuk transfusi kedua. Dengan pola berulang ini, total empat kali transfusi dilakukan untuk Manila. Setelah membuang suntikan, Tang Ji mulai menjahit lukanya. Beberapa menit kemudian, proses dihentikan kembali untuk transfusi darah empat kali lagi, lalu dilanjutkan dengan penjahitan luka.
Akhirnya Tang Ji menyelesaikan jahitan terakhir. Setelah mengoleskan obat dan membalut luka dengan perban, karena adanya patah tulang, ia meminta Christine mencari dua papan kayu untuk membidai lengan Manila dengan kencang.
Tang Ji kembali melakukan transfusi darah pada Manila. Dengan mengambil jarum suntik baru, dilakukan empat kali lagi. Jika dihitung total, Tang Ji telah memberikan transfusi darah sebanyak 600 mililiter kepada Manila - melebihi batas maksimal donor darah per orang dalam sekali donor. Namun dalam praktik klinis, kehilangan darah di bawah 600 mililiter memang tidak dianjurkan untuk ditransfusikan. Ini menjadi bukti tidak langsung bahwa 600 mililiter adalah batas kritis, dan kehilangan darah sebanyak itu bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan berlebihan.
Berat badan Manila diperkirakan Tang Ji sekitar lima puluh kilogram. Berdasarkan persentase darah dalam berat badan manusia, total volume darah Manila seharusnya sekitar 4000 mililiter. Secara umum, kehilangan 50% darah akan mengancam nyawa, sedangkan 30% menyebabkan shock. Kondisi Manila yang belum mengalami shock, ditambah perkiraan volume darah di permukaan antara 1000-1200 mililiter, memastikan kehilangan darahnya tidak melebihi 1200 mililiter. Jika lebih dari itu, mustahil dia tidak shock - hukum alam ini tak bisa dibalikkan, bahkan dengan menampar pipi sekalipun.
Tang Ji memberikan transfusi darah 600ml untuknya. Artinya, saat ini perkiraan kehilangan darah Manila seharusnya berada di kisaran 400-600ml. Dari aspek volume darah dalam tubuh, dia sudah tidak terluka.
Sebenarnya Tang Ji bisa memberikan lebih banyak darah ke Christine - bukan darahnya sendiri, darah orang lain juga bisa digunakan. Golongan darah AB bisa menerima semua jenis darah lain. Di sini bukan hanya Tang Ji seorang diri. Tapi Tang Ji tidak melakukan ini. Dalam situasi saat ini, semakin banyak transfusi darah belum tentu lebih baik. Tang Ji tidak melakukan pemeriksaan apapun terhadap darah tersebut, dan yang ditransfusikan adalah darah utuh yang tidak disterilkan. Jika Manila menunjukkan reaksi merugikan, semakin banyak transfusi justru akan memperbesar efek sampingnya. Ini bisa berakibat fatal.
Total waktu yang dibutuhkan sekitar sepuluh menit, Tang Ji telah menyelesaikan operasi yang menurutnya sangat sederhana ini. Saat pertama kali menyelamatkan Robbie dulu, Robbie menderita empat tembakan dan dua tusukan golok. Tang Ji sendiri hanya butuh tiga puluh menit saja untuk menyelesaikan operasi. Kalau saja tidak butuh waktu tambahan untuk transfusi darah Manila, dia bisa mempersingkat durasi operasi kali ini.
Saat ini kondisi mental Manila tampak membaik, sama sekali tidak mengantuk. Dahinya basah oleh keringat dingin, bibirnya gemetar.
Sakit, sangat sakit!
Saat Tang Ji baru memulai operasi, lengan Manila sudah mati rasa karena kesakitan. Ditambah dengan kesadaran yang samar, rasa sakit yang dirasakannya masih rendah. Namun sekarang, kesadarannya jelas-jelas pulih.
“Barusan Tang Ji melakukan operasi tanpa menyuntikkan obat bius, karena setelah penyuntikan obat bius dibutuhkan waktu tertentu agar efeknya bekerja. Saat itu Manila sama sekali tidak bisa menunggu. Sebenarnya di tengah proses operasi, Manila sudah sama sekali tidak mengantuk. Saat itu Tang Ji telah memberikan transfusi darah padanya, kesadarannya mulai pulih, dan rasa sakit pun semakin menghebat.”
Setelah menyelesaikan segalanya, Tang Ji mengangkat Manila dan menggendongnya. Di sebelahnya terdapat mobil Land Rover. Meski mobilnya sudah sangat rusak dengan kaca pecah-pecah dan bodinya penuh lubang peluru, bagian dalamnya masih terbilang bersih hanya ada pecahan kaca saja.
“Sudah tidak apa-apa. Untuk beberapa waktu ke depan akan terasa sangat sakit, tahan ya.” Tang Ji membaringkan Manila di kursi Land Rover, membantu menyesuaikan postur nyaman sambil berkata.
Tang Ji sejak kembali ekspresi wajaknya terus tidak baik, sekarang bahkan ketika menghibur Manila juga tidak menunjukkan senyuman, namun setelah bicara mencium dahi Manila, lalu bergegas menuju Mike yang ada di samping.
Jason, Laura, Jenderal Qiang dan yang lain berkumpul di sekitar Mike, sementara Khalida terus berada di belakang Jenderal Qiang. Saat melihat Tang Ji mendekat, semua menyingkir.
Sebelumnya Jenderal Qiang yang merawat Mike, tapi dia bukan dokter. Luka parah seperti itu tidak bisa ditanganinya dengan baik. Saat ini Mike sudah masuk keadaan syok. Ketika Tang Ji mendekat, Jenderal Qiang berdiri sambil menggelengkan kepala halus ke arah Tang Ji. Dia pernah di medan perang, ikut beberapa perang terkenal dalam sejarah. Medan perang adalah tempat mayat. Pengalamannya banyak. Meski tidak menguasai cara menyelamatkan luka separah ini, tapi saat ini dia bisa melihat - Mike sudah tak terselamatkan.
Tapi dia tidak bisa mengatakan ini, toh dia bukan dokter, orang di samping juga tidak akan percaya. Hanya Tang Ji yang paling tepat mengatakannya, atau menunggu Mike benar-benar mati.
"Tang! Selamatkan dia... Tuhan... Ini semua salahku..." Laura saat itu tak lagi bisa menahan gejolaknya, menangis menderita sambil memohon kepada Tang Ji.
Tang Ji berjongkok di samping Mike, mengulurkan tangan memeriksa napasnya yang sudah sangat lemah, nyaris tak terdeteksi. Tangannya membuka kelopak mata Mike, aksinya tiba-tiba membeku, ekspresinya berubah drastis.
Merah!
Tang Ji melihat benang merah darah yang sangat banyak, bahkan bagian putih mata Mike pun sudah mulai kemerahan karena ini.
Tang Ji dengan cepat berdiri, cepat-cepat mengeluarkan pistol dari pinggang belakang, memutar tubuh menatap Laura. Tang Ji menarik tangan Laura dan menyelipkan pistol ke genggamannya, terus menggenggam tangan Laura tanpa melepas. Ia menatapnya lama, membeku sejenak baru berkata: "Dia terinfeksi!" Sambil bicara, Tang Ji memalingkan kepala ke samping tak tega melihat ekspresi Laura. Melepas genggaman, ia melambaikan tangan ke orang lain di sekitarnya lalu berjalan menjauh.
Saat melewati mobil Land Rover, Tang Ji kembali menggendong Manila secara horizontal. Yang lain dengan sigap mengikuti di sampingnya, termasuk Jason. Tang Ji memimpin semua orang menghindari Land Rover, menuju arah truk.
Di samping mobil-mobil yang ditinggalkan, hanya tersisa Laura dan Old Mike. Laura tiba-tiba berhenti menangis, wajahnya masih basah bekas air mata. Dengan ekspresi kosong memegang pistol, ia menatap senjata itu lalu menoleh lesu ke arah Mike.
Perempuan yang sudah tua sekalipun, terhadap cinta masih memiliki hati seorang gadis. Laura dan Mike telah menikah puluhan tahun, seberapa dalam perasaan mereka sebenarnya, bisa terlihat jejaknya dari kesediaan Mike melindungi Laura dari zombie. Cinta itu timbal balik, cinta Laura pada Mike tidak kalah dari cinta Mike padanya.
“Dia akan baik-baik saja.”
Setelah menenangkan Manila, Tang Ji melompat turun dari bagasi truk. Ia memperhatikan Jason yang masih bermata merah dan terlihat gelisah. Ia mendekat lalu menepuk bahu Jason untuk menghibur.
Tiga menit.
Tepat tiga menit penuh, Laura berdiri di samping dengan kepala tertunduk, terus menatap Mike yang tak bergerak. Ia menyaksikan dada Mike berhenti berhembus setengah menit lalu. Namun ia tak berani menyentuh hidung Mike untuk memastikan, tidak mau mengakui, tidak mau mengakui bahwa Mike benar-benar sudah mati.
Empat puluh menit yang lalu, Mike dengan topi baseball masih penuh semangat menyetir mobil, masih meremehkan para korban selamat yang mungkin tidak paham mobil, masih merasa sombong, masih duduk di sampingnya sendiri, masih bisa tertawa, masih... Dan sekarang...
Mengaum!——deru zombie.
Hush!——dentuman pistol berpengedap suara.
Braak!——suara berat jatuh ke tanah.
Tiga jenis suara terdengar berturut-turut, di sekitar truk tidak bisa melihat jelas apa yang terjadi di belakang Land Rover, namun dari suaranya, semua orang bisa menebak.
Tak lama kemudian, Laura muncul dari belakang Land Rover sambil membawa pistol dengan ekspresi bingung, tubuhnya terhuyung-huyung, matanya tak bernyawa.
Ia masih hidup, ia manusia, tapi saat ini, ia lebih mirip mayat berjalan.
Tepat pada saat itu.
"Sssst... Dokter... Tang!" Suara Robbie terdengar dari walkie-talkie.
"Menerima!" Tang Ji cepat-cepat mengambil walkie-talkie dan bicara.
"Orangnya kabur." Nada suara Robbie terdengar aneh, sinyalnya jauh lebih baik sekarang.
“Lari?” Tang Ji mengerutkan alis membalas bertanya.
“Ada yang menyelamatkannya. Jumlah anggota kelompok mereka yang besar, Brooke sepertinya mengenal salah satu dari mereka. Aku tak bisa berbuat apa-apa.” Nada suara Robbie semakin aneh, seolah sambil bicara ia teringat sesuatu yang menarik.
Tang Ji diam sejenak, menarik napas dalam-dalam, memandangi Laura yang tampak sudah collapse total. Dengan suara berat ia bertanya ke walkie-talkie: “Siapa mereka?” Tang Ji bisa merasakan, Robbie pasti mengenal orang-orang yang menyelamatkan Brooke itu, kalau tidak nadanya takkan begitu aneh.
“Marlos.” Jawab Robbie, nada bicaranya terdengar mengandung decak kagum.
“Sungguh?” Tang Ji membalas cepat, ekspresinya berubah drastis.
“Sungguh. Aku melihatnya masih hidup, dikelilingi banyak orang.” Suara Robbie di walkie-talkie penuh keyakinan.
“Bagus. Kembalilah dulu.” Tang Ji memperlambat tempo bicara, seolah sedang merenungkan sesuatu. Usai meletakkan walkie-talkie, ia menoleh memandang Laura di kejauhan. Perlahan, senyum yang sangat kejam merekah di wajahnya.
Marlos, legenda dunia bawah tanah Amerika, sebelum akhir zaman, ia adalah godfather geng kriminal terbesar di New York.
