Obat-obatan seperti vitamin tersisa sedikit, jelas Albert juga memakannya. Ikat pinggang bukan kulit asli, tak bisa dimakan. Dalam tas ada sepasang sarung tangan kulit, saat ditarik dan diremas terasa bahannya bagus, tapi tak tahu apakah kulit asli. Masalah pencahayaan, tidak bisa melihat jelas, perlu dibawa pulang untuk diperiksa.
Tiga magazen pistol penuh peluru, satu magazen senapan... Kacamata hitam bagus, masih utuh, bisa dipakai siang hari untuk menangkal cahaya menyilaukan dari ledakan, ambil.
Ini adalah...
Dalam cahaya redup, Tang Ji meraba sesuatu yang bulat. Matanya melotot saat melihat objek itu, perasaan cemas langsung menjalar di hatinya disusul ketakutan terlambat. Di tangannya kini tergenggam sebuah granat berwarna hitam legam dengan pola nanas di permukaannya.
Dari mana asalnya granat ini?
Marlos sama sekali tidak menyiapkan benda semacam ini dalam tas ransel. Granat kurang efektif untuk membunuh zombie, selain itu bobotnya cukup berat. Dari sudut pandang praktis, membawa beberapa butir peluru tambahan jauh lebih baik ketimbang granat.
Dari mana granat ini berasal?
Seandainya Albert meledakkan granat tadi, akibatnya akan sangat buruk. Untung dia tidak melakukannya. Mungkin masih ada secuil harapan di hatinya, tidak ingin mati bersama, masih berpikir bisa bertahan hidup.
"Apa yang kau lihat?" Monica menyadari Tang Ji yang tadi sibuk membongkar barang tiba-tiba membeku, lalu bertanya.
"Lihat ini..." Tang Ji menyelipkan granat yang tak jelas model bahkan warnanya itu ke tangan Monica.
"Ini... Bagaimana mungkin ada ini?" Monica berteriak pelan. Sebagai orang yang selalu mendampingi Marlos, dia lebih paham alokasi senjata untuk anak buah Marlos yang sama sekali tidak mencakup benda ini.
Daya penghancur sejati granat terletak pada serpihan yang dihasilkan ledakannya. Karena ledakan, serpihan beterbangan ke segala arah. Dalam jarak tertentu, setiap serpihan memiliki efektivitas yang tidak kalah dari peluru. Efek penghancurnya terhadap manusia sangat dahsyat, tapi tidak efektif untuk zombie. Zombie hanya memiliki satu titik vital: jaringan otak atau seluruh sistem saraf pusat. Hanya dengan menghancurkan bagian itu mereka benar-benar bisa dimatikan, kalau tidak mereka akan tetap abadi.
Serpihan yang beterbangan, meski bisa menyapu sekilas sekeliling, belum tentu masuk ke kepala zombie. Probabilitasnya tidak tinggi. Jika masuk ke tubuh sama sekali tidak berguna, manusia yang jantungnya tertembus serpihan hampir pasti mati, tapi zombie tidak apa-apa. Inilah perbedaan yang jauh.
"Tidak tahu, simpan saja. Cepat kita kembali, ambil barang dan meninggalkan tempat ini, cari lokasi lain untuk bersembunyi." Tang Ji tak bisa memecahkan teka-teki ini, akhirnya memilih tak memikirkannya sambil berbicara cepat.
Krak!
Dak!
"Hm?" Tang Ji menoleh ke Monica, mengeluarkan suara dengus bertanya.
"Ada apa?" Monica bertanya saat melihat sorot mata Tang Ji yang terang tertuju padanya.
"Kau menginjak sesuatu?" Suara Tang Ji terdengar dingin dan misterius. Segera ia meletakkan semua barang di tangannya dengan gerakan sangat hati-hati.
“Bukan aku.” Monica membalas dengan suara sangat pelan, namun setelah selesai bicara langsung tersadar. Keduanya hampir bersamaan menggerakkan lengan menyapu permukaan tanah, suara paku payung gemerincing. Mereka langsung berbaring menempel erat di tanah.
“Cengkeram...” Tang Ji berkata sesuatu, namun langsung sepenuhnya tertutupi dentuman senjata.
Dak-dak-dak-dak-dak!
Gemerincing!
Butir peluru di koridor seperti hujan tertiup angin menyembur cepat ke kantor ini. Jendela kaca raksasa langsung hancur berkeping, kaca berdentang gemerincing. Segala sesuatu di dalam kantor - kursi tunggal, sofa meja kopi, vas bunga, hiasan buatan - dalam sekejap semuanya hancur berkeping oleh hujan peluru.
“Sudah, berhenti menembak. Kalau terus bertarung nanti tidak bisa dimakan.” Seiring ucapan ini, penembakan pun berhenti.
“Ayo bertaruh, kali ini siapa yang benar, yang menebak benar boleh ambil telinga dan jari.”
“Seharusnya ada pria lagi, tadi ada teriakan pria, kedengarannya seperti Howard... Tidak, itu Yuni.”
“Yuni? Si negro ini memang sudah lama kusimpan rasa nggak suka. Tapi pacarnya lumayan, sayang mati saat wabah virus, sayang sekali.”
“Gimana? Kau pernah main dengan ceweknya?”
“Tentu saja! Cewek itu pedas banget, gaya genitnya di ranjang... Ah, nggak tahan deh. Kalau ingat dia jadi geram. Monica juga nggak tahu mati atau sembunyi di mana. Kucari sampai ketemu, baru mati pun nggak apa-apa... Hehe...”
Di koridor perusahaan iklan, dua suara sadis berbincang santai. Hal-hal seperti kanibalisme bahkan perkosaan mayat yang sangat sulit ditoleransi manusia biasa, dalam mulut mereka terdengar seperti hal yang biasa saja.
Karena di dalam kantor direktur kreatif terdapat tirai venetian di balik jendela kaca dari lantai ke langit-langit, meski kacanya sudah pecah namun tirai tidak sepenuhnya sobek oleh peluru. Banyak lubang peluru menghiasi tirai tersebut. Dalam kondisi pencahayaan redup seperti ini, pihak luar tidak bisa melihat ke dalam maupun sebaliknya, kecuali jika mendekat sampai ke pintu.
Sebuah tangan pucat yang ramping menggenggam pistol terangkat dari lantai, mengarahkan larasnya secara diagonal ke arah sumber suara percakapan di balik tirai venetian. Tiba-tiba, tangan besar menekannya turun dengan paksa...
Di dalam koridor.
Dua pria bersenjata lengkap merunduk dengan hati-hati mendekati kantor direktur kreatif. Tubuh mereka menempel erat pada dinding, gesekan baju mereka menghasilkan gemerisik halus.
Di belakang mereka, tepat di lokasi tembakan sebelumnya, di permukaan tergeletak sebuah ponsel yang masih memutar rekaman obrolan santai keduanya.
Kewaspadaan ekstrem, bahkan setelah penyisiran tembakan, tetap tak boleh lengah. Memanfaatkan suara untuk memancing perhatian musuh yang tak jelas hidup atau mati, sementara mereka sendiri mendekati lawan bagai hantu.
Akhirnya, kedua pria tiba di pintu. Keduanya berkulit putih, postur dan tinggi badan seimbang, hanya usia yang berbeda jauh. Satu terlihat awal dua puluhan, satunya lagi sekitar empat puluh tahun.
Mereka mencium bau anyir darah menyengat. Secara bersamaan, mata mereka menangkap tiga mayat bertumpuk di depan pintu. Mayat paling atas jelas-jelas kepala meledak, sementara dua di bawahnya - karena gelapnya malam - luka persisnya tak terlihat. Tapi di leher keduanya terlihat noda hitam seperti bekas darah. Kepala mereka tergeletak terbuka, mata masih terbuka menatap langit-langit dengan pandangan kosong.
"Ternyata tiga orang sekaligus." Suara pria kulit putih yang lebih tua terdengar muram, nada bicaranya tidak menunjukkan banyak kegembiraan. Karena terlalu banyak yang mati, sementara daging dan darah di musim seperti ini tidak bisa bertahan lama—ini sama saja dengan mengurangi persediaan "makanan" mereka di masa depan secara terselubung.
"Ini Monica." Pria muda itu berjongkok memperhatikan lebih dekat, terdengar agak terkejut. Kakinya menyapu permukaan tanah sekilas, ia melihat sesuatu di lantai. Setelah berdiri, ia melangkah maju memasuki kamar dan berdiri di samping Monica. Dengan gerakan cepat, mayat Albert yang paling atas disingkirkan, membuat tubuh Monica terlihat sepenuhnya.
Seluruh tubuh Monica berlumuran darah segar. Matanya yang tak bernyawa menatap langit-langit, tubuhnya tak bergerak sedikit pun—seolah sudah mati.
Pria muda itu satu tangan memegang senjata, tangan lain tiba-tiba mencengkeram bagian bawah tubuhnya sendiri. Melalui celana, ia mengusap dua kali, lalu menoleh tajam ke pria yang lebih tua di luar pintu. Pria itu tak beremosi, tak berkata apapun, tetap memanggul senjata sambil mengamati ke dalam. Pria muda segera memutar kepalanya kembali, melemparkan senjata ke mayat di sampingnya, lalu mulai membuka celana Monica.
Sepertinya, perkataan-perkataan dalam rekaman suara itu bukan sekadar menegur belaka.
