Mobil offroad Land Rover melaju cepat di jalanan yang sudah jauh lebih rata dibanding awal zaman apokalips.
Area ini pernah dipenuhi ratusan ribu zombie yang tak berani diganggu siapapun. Selama sebulan terakhir, mayat baru sangat jarang ditemukan. Sebagian besar adalah mayat dari sebulan lalu yang jaringan lunaknya telah mencair oleh iklim ekstrem, mengalirkan cairan berbau busuk ke tanah sebelum sepenuhnya menguap diterpa matahari tengah hari, meninggalkan jejak kecoklatan kehitaman di permukaan.
Mobil yang melintas di atasnya akan dengan mudah menghancurkan tulang-tulang, sama sekali tidak terhambat oleh jaringan lunak mayat. Berdasarkan performa mobil offroad, guncangan yang dirasakan penumpang sangat minim. Kendaraan melaju kencang namun tetap stabil.
Di dalam Land Rover, Manuela menempelkan rahang bawahnya di bahu Tang Ji. Setelah mengajukan pertanyaan, ia memandang profil wajahnya yang begitu dekat seolah mengamati ekspresi Tang Ji. Tang Ji menoleh ke arahnya sambil berbisik dengan senyum: "Teman."
"Hanya segitu?" Manuela kembali membungkuk mendekati telinga Tang Ji dan berbisik pelan, sepertinya tidak ingin didengar orang lain.
"Beberapa hal sulit dijelaskan seketika... Nanti setelah kembali, kalau ada waktu... Akan kuceritakan khusus padamu." Tang Ji berbisik. Persis seperti ucapannya, memang ada situasi yang benar-benar tak terungkapkan segera. Selama sebulan ini, terlalu banyak kejadian yang terjadi di gedung itu.
"Apa yang ingin kau katakan?" Manila melihat Tang Ji terlihat ragu, melanjutkan pertanyaannya. Ia merasakan Tang Ji sebenarnya ingin mengatakan sesuatu namun mengurungkannya.
"Tidak ada... Hanya, kau terlalu banyak berpikir. Wanita seperti Monica..." Perkataan Tang Ji sulit dipahami orang luar, tapi ia yakin Manila mengerti. Di sini ia tiba-tiba berhenti, menggelengkan kepala lalu berbisik dengan nada tegas: "Dia... sangat kuat. Wanita jenis ini, pasti enggan berbagi hal-hal tertentu. Tak perlu kau khawatir."
Manila menatap wajah Tang Ji lama sekali, tiba-tiba menyentuh pipinya dengan ciuman ringan. Kemudian membungkuk dan merebahkan diri di pangkuan Tang Ji tanpa bertanya lagi. Seperti biasa, Manila paham kapan harus maju dan mundur, tidak memaksakan kehendak - sungguh wanita yang cerdik.
Namun Tang Ji merasakan, Manila seolah tidak senang, mungkin karena ucapannya yang tidak jelas, tapi dia tidak ingin Tang Ji tahu ketidaksenangannya, sebuah gejolak kontradiksi.
Wanita adalah makhluk yang sangat kompleks, selamanya demikian.
Manila awalnya tak peduli dengan keterikatan Christine pada Tang Ji, bahkan membantu memberi saran, karena menurutnya Christine bukan ancaman - cuma gadis kecil. Dalam hal wawasan maupun kompleksitas pikiran tak ada yang bisa menyainginya. Sekalipun benar-benar terjadi sesuatu antara Christine dan Tang Ji, tak akan mempengaruhinya. Karena itulah Manila tak peduli. Dulu tujuannya hanya membahagiakan Tang Ji, bertahan hidup dengan mengandalkannya, tak menyangka akan terjerat sedalam ini.
Dan hari ini Manila bertemu Monica. Dari segi postur, sulit menentukan mana yang lebih unggul di antara mereka. Tapi dalam hal kecantikan, Monica beberapa tingkat lebih memikat darinya, dengan aura khusus yang layak dimiliki iblis penggoda. Perempuan secara alami memiliki permusuhan bawaan dari alam bawah sadar terhadap wanita asing yang lebih cantik. Jadi setelah sedikit menenangkan diri, Manila mengamati wanita yang memapah Tang Ji ini. Seperti kata pepatah, pihak ketiga lebih jernih melihat. Mungkin Monica sendiri tak menyadari kejanggalan dalam ekspresinya, tapi Manila bisa melihatnya.
Manila mulai merasakan bahaya. Ia menemukan wanita lebih unggul yang terlibat hubungan ambigu dengan prianya. Sementara prianya sendiri hanya memberi jawaban mengambang saat ditanya. Ini seolah menguatkan teorinya. Manila tak ingin membuat Tang Ji jengah, makanya ia tak melanjutkan pertanyaan. Tapi perasaan tak nyaman di hatinya tak terhindarkan.
Sebenarnya, jika Manila lebih cerdas, ketidaknyamanan ini pasti tidak akan muncul di hatinya. Sebuah fakta mengejutkan telah terjadi, namun dia seolah tidak menyadarinya. Bahkan Tang Ji pun tampaknya belum merasakannya.
Fakta ini adalah... Tang Ji mulai merasa tegang terhadap Manila.
Pada dasarnya, sesuai karakter Tang Ji dan hubungan mereka, dia sama sekali tidak perlu menyembunyikan apapun. Kata "ranjang" bukanlah hal yang tabu baginya. Saat itu dia tidak perlu ragu-ragu menjelaskan, mencari wanita pun tidak membutuhkan persetujuan siapapun. Tapi tadi dia justru ragu dan memberikan penjelasan yang tidak jelas.
Masalah pernah berhubungan intim dengan Monica, tidak diungkapkan malah ditutupi. Ini menunjukkan Tang Ji mulai mempertimbangkan perasaan Manila, meski enggan mengakuinya.
Dia selalu berbohong pada diri sendiri.
Namun, ini tidak bisa disebut sebagai penipuan, atau persoalan apakah terjadi pengkhianatan. Tang Ji tidak pernah menjanjikan apa pun pada Manila. Dulunya Manila mengikutinya bukan karena mencintainya. Segala sesuatu baru terjadi belakangan, dan hingga kini hubungan mereka belum jelas.
Keheningan dalam mobil tak bertahan lama. Walkie-talkie Tang Ji berdering.
"Dokter, bisa dengar?" Suara Robbie terdengar terdistorsi, diselingi desis aneh. Terasa sekali angin kencang di sebelah sana.
Karena lokasi ledakan terlalu jauh dari gedung perkantoran, jangkauan walkie-talkie terbatas. Saat itu Tang Ji sama sekali tak bisa menghubungi Robbie, juga tidak mencoba. Sebab Robbie akan proaktif menghubunginya - begitu janji Tang Ji padanya.
"Bisa dengar, sudah lepas bahaya. Kau di mana? Ada luka?" Tang Ji mengangkat walkie-talkie sambil mengerutkan kening. Ia agak khawatir, Robbie berangkat sejak pukul sepuluh pagi. Rencana awalnya zombie akan disingkirkan pukul dua belas siang, tapi kenyataannya ledakan baru terdengar pukul dua siang. Sekarang sudah lewat pukul tiga, Robbie baru menghubungi. Jelas terjadi banyak hal di tengah proses.
"Aku baik-baik, di laut. Akan merapat di pantai dekat Markas PBB." Suara Robbie di walkie-talkie terdengar berteriak, mungkin angin terlalu kencang sampai takut Tang Ji tidak mendengar.
"...Begitu ya." Tang Ji ragu sebentar, lalu berkata sambil berpikir: "Kita tidak perlu menjemput. Berpisah dulu. Kalau ketemu di pintu, pura-pura tidak kenal. Bertemu lagi di dalam."
"Oke." Jawaban Robbie di walkie-talkie terdengar tegas.
……
Markas Besar PBB, terletak di tepi Sungai East di Pulau Manhattan. Meski secara geografis berada di Amerika Serikat, sebenarnya wilayah ini telah menjadi hak internasional. Kompleks ini terdiri dari empat bangunan: Gedung Sekretariat, Gedung Dewan Perwalian, Aula Majelis Umum, dan Perpustakaan Hammarskjöld. Di antaranya, Gedung Sekretariat setinggi 39 lantai yang berbentuk kotak korek api terletak di pusat area, menjadi bangunan utama kompleks PBB.
Pada hari itu, sekitar pukul 15.10 sore, sebuah mobil off-road Land Rover hitam pekat melewati pemeriksaan di gerbang masuk, lalu melaju menuju Gedung Sekretariat.
Karena akhir-akhir ini banyak korban selamat yang mengangkut persediaan ke sini, sementara tidak ada larangan bagi kendaraan langsung menuju Gedung Sekretariat. Namun kendaraan dilarang berhenti lama kecuali jika ada kebutuhan khusus. Secara umum, setelah digunakan, semua kendaraan harus diparkir di parkir bawah tanah PBB.
Saat itu, Markas besar PBB dipenuhi keramaian. Orang-orang berlalu-lalang, banyak yang membantu mendirikan tembok pembatas. Sebagian lainnya sibuk menyetir mengangkut barang-barang. Kebisingan yang ditimbulkan cukup besar. Karena area dalam radius dua kilometer telah dibersihkan - gerombolan zombie besar telah dialihkan sementara yang kecil dihabisi semua - maka kebisingan ini tidak memengaruhi keamanan di sini.
Tang Ji duduk di dalam Land Rover, menatap pemandangan di luar jendela. Tanpa disadari, senyum mulai mengembang di wajahnya.
Manusia. Begitu banyak manusia. Setidaknya lebih dari lima ratus orang. Di akhir zaman, jumlah manusia yang banyak... berarti harapan.
Tiba-tiba, Tang Ji melihat sekelompok orang keluar dari Perpustakaan Hammarskjöld tak jauh dari sana. Kira-kira dua puluh lelaki, semuanya mengenakan seragam operasi khusus militer. Di tangan mereka memanggul senapan semi-otomatis.
Orang-orang ini berkerumun rapat, seolah melindungi seseorang di pusat. Karena terlalu ketat, Tang Ji sama sekali tidak bisa melihat orang di tengah. Ia tahu ada orang di sana karena orang tersebut memakai payung hitam.
"Setiap kali keluar mereka selalu tegang dan pakai payung, entah kenapa." Manila bangkit, mengikuti pandangan Tang Ji ke luar. "Ini sudah bukan pertama kalinya kulihat," tambahnya.
"Orang di tengah itu sedang waspada sniper. Payung membuat sniper sulit menentukan titik vital tubuh bagian atas, sehingga tidak bisa menyelesaikan tembakan... Siapa dia?" Tang Ji menjelaskan dengan cepat sambil menoleh bertanya.
"Itu kepala suku grup yang menguasai sini." Manila bersandar di bahu Tang Ji sambil memandang ke luar.
"Oh, pantas saja." Sebenarnya Tang Ji sudah menduga, hanya ingin memastikan. Ia kembali menoleh ke jendela.
"Seharusnya pemimpin perempuan itu, Hillary Horvath. Konon dia anak haram dari salah satu godfather lima geng besar New York sebelum akhir zaman. Orang-orang di sekitarnya selalu lebih banyak daripada pemimpin pria. Sebenarnya dialah yang mengurus segalanya di sini." Manila menatap ke luar, berbicara dengan nada santai.
"Kau bilang apa?" Tang Ji segera menoleh ke Manila, keningnya langsung berkerut.
"Kubilang orang di sekitarnya..." Manila tertegun memandangi Tang Ji, tak mengerti mengapa dia bereaksi berlebihan, berbicara secara bawah sadar.
"Bukan itu! Kau sebut namanya siapa?" Tang Ji memotong ucapan Manila, bertanya cepat.
