Markas Besar PBB, Gedung Sekretariat lantai tiga kamar 316. Di dalam kamar tidur kecil, di atas ranjang.
Dua wanita telanjang bulat menempel erat di tubuh Tang Ji, jarak sangat dekat, lengan mereka menyatu rapat. Bersamaan menoleh, empat mata saling bertatapan. Monica mengamati Manila, Manila pun mengamati Monica.
Tatapan kedua wanita itu terlihat agak tidak wajar.
Ruangan terjerat dalam keheningan mistis. Mata Tang Ji menyapu sekilas wajah kedua wanita, tiba-tiba ia mengusap posisi dadanya. Sebab sebelumnya mereka tak bisa memastikan kapan Kim menerobos masuk, kedua wanita benar-benar terus-menerus berciuman sampai area dada Tang Ji mulai memerah.
"Ahem!" Tang Ji berdehem pelan memberi isyarat: "Nonon, orangnya sudah pergi. Kalian harus turun sekarang." Ia tak tahu apa yang dipikirkan mereka, tapi yakin jika ini berlanjut, pasti bukan situasi baik.
"Oh Tang, terima kasih." Monica menoleh sambil tersenyum mengarah padanya.
“Aku menyelamatkan diriku sendiri.” Tang Ji tidak memberikan ekspresi wajah yang baik pada Monica. Sebelumnya ia terus memberikan petunjuk pada Monica untuk tidak bermain-main, tapi Monica bersikeras tidak mendengarkan, akhirnya benar-benar ketahuan.
Monica tidak menggubris dengan hanya tersenyum, mengangkat tangan dan menepuk dada Tang Ji seolah menghiburnya, kemudian bangkit dari tubuh Tang Ji. Selimut ikut terseret terbuka oleh gerakannya, membuat tubuh bagian atas yang telanjang mereka bertiga kembali terekspos. Monica sama sekali tidak menutupi dadanya dengan tangan, tidak peduli bahwa Tang Ji bisa melihat, maupun keberadaan wanita miliknya Manila di sampingnya.
Monica memelintir lehernya dan meregangkan badan, gerakan yang dipertahankannya tadi sangat tidak nyaman. Dia perlu meregangkan tubuh sejenak. Seiring gerakannya, payudara tegak tanpa ikatan bergoyang gemulai, lekuk tubuhnya yang sempurna sepenuhnya terbentang di depan mata Tang Ji. Dia sedikit memiringkan kepala melirik Manilla, saat pandangannya bergerak menyadari adanya tonjolan di bawah selimut yang menutupi bagian bawah tubuh Tang Ji.
Reaksi fisiologis Tang Ji wajar sebagai pria normal. Karena luka yang dideritanya, hasratnya sudah terpendam lama. Dua iblis penggoda yang telanjang sebelumnya merebah di tubuhnya, mustahil baginya mengendalikan diri. Bahkan sekarang, amarahnya masih belum mereda.
Ekspresi Monica sedikit berubah, wajahnya menoleh tajam menatap Tang Ji. "Apa semua pria sejijik ini?" ujarnya dengan nada pedas. "Dua wanita memperlakukanmu seperti tadi, pasti sangat merangsang ya?"
Semua paham, ada tidaknya reaksi fisiologis Tang Ji sama sekali tidak berhubungan dengan jumlah wanita. Jelas-jelas dia sedang mencari masalah. Mengapa mencari masalah? Tang Ji pun tak bisa menebak. Kini ia sudah malas menggubris wanita ini, hanya membalas dengan wajah hitam berbisik: "Pergi pakai bajumu!"
Monica mengedipkan bibir, mengibaskan tangan menepuk perut Tang Ji dengan kekuatan sedang. Bunyi "plak" terdengar nyaring. Ia bergumam lagi: "Benar-benar jijik."
Monica bukan tipe wanita yang pasrah menerima perlakuan semena-mena. Sudah berkali-kali ia memukul Tang Ji. Kali ini, meski di hadapan wanita Tang Ji, sama sekali tidak menjaga harga dirinya. Tetap memukul seperlunya. Mungkin karena sikap dingin Tang Ji yang terus-menerus, ia sengaja mempermalukannya.
Tang Ji sama sekali tidak ambil pusing. Dipukul wanita sekali juga tidak akan berkurang sepotong daging. Lagipula, sekarang ia merasa agak tak sanggup melawan Monica. Karakter wanita ini yang suka ngotot bikin kepala pusing. Jadi meski wajahnya tetap hitam, Tang Ji diam saja.
Usai memukul Tang Ji, Monica hendak turun dari ranjang. Manila di samping melirik Tang Ji. Melihat Tang Ji tak bereaksi, dia segera menoleh ke Monica. Saat Monica baru saja duduk tegak belum sempat mengangkat kaki, Manila tiba-tiba berteriak kasar: "Hei!" Suaranya keras dan bernada kesal, seolah ingin berubah sikap.
Monica baru saja memukul prianya, itu pun di depan matanya dengan seenaknya. Mana mungkin dia merasa puas.
"Ada apa?" Monica menoleh ke Manila sambil menunjukkan senyum mengembang, berpura-pura tak tahu menanyakan.
Tang Ji tiba-tiba menggerakkan tangannya dengan sangat cepat dan ringan dalam sudut pandang yang sulit terdeteksi oleh penglihatan Monica, menyentuh kaki Manilla. Manilla menoleh melihat Tang Ji yang kemudian mengangkat tangan dan melambaikan telapak tangannya sambil berkata: "Kemarilah ke sisiku."
Manilla menatap Tang Ji, memperhatikan ekspresi wajahnya sambil sesekali melirik Monica dengan penglihatan tepi. Setelah diam sejenak, akhirnya dia memilih tidak berkata apapun. Pengetahuannya tentang latar belakang Monica yang pernah dijelaskan Tang Ji membuatnya paham bahwa berseteru dengan Monica tidak akan menguntungkan. Ditambah sikap Tang Ji yang jelas-jelas tidak ingin terjadi konflik antara mereka, akhirnya Manilla menelan kembali sumpah serapah yang nyaris meluncur - demi Tang Ji, juga dirinya sendiri.
Suasana hening menyergap kamar itu dalam waktu sangat singkat.
Manilla tiba-tiba memuji Monica: "Posturmu sempurna, bentuk payudaramu sungguh indah."
"Terima kasih, kamu juga." Manila memaksakan senyum, merespons dengan singkat. Senyum itu segera menghilang, terlihat sangat palsu. Bersamaan itu, ia meraih selimut bulu, menariknya hingga membungkus tubuhnya dan Tang Ji di dalam pelukan, kepala bersandar di dada Tang Ji.
Antara wanita dan wanita, tak pernah ada pujian yang murni. Psikologi membandingkan-bandingkan dalam alam bawah sadar jauh lebih kuat dibanding pria. Bahkan antar teman dekat, mungkin ada rasa iri pada postur tubuh satu sama lain yang bercampur kecemburuan. Meski mulut mereka memuji, di hati sama sekali tidak demikian. Dan kedua wanita ini, mereka bukan teman dekat, jelas memiliki ketidakcocokan, saling bermusuhan, namun justru saling memuji.
Hanya bisa dikatakan, satu dari dua wanita ini bersikap pseudo, sementara yang lain... sedang merasa tertekan.
Setelah Manila berbaring, Monica yang masih bertelanjang dada tanpa menutupi diri segera menatap Tang Ji. Tang Ji segera melotot dengan keras padanya, maksudnya menyuruh Monica berhenti bermain-main. Dia bisa saja bermain dan siap kuhadapi sampai akhir, tapi Manila tidak boleh.
Dibandingkan dengan Monica, selain postur dan kecantikan yang hampir setara, Manila kalah jauh di bidang lain. Dia tidak memiliki ketegasan Monica, kegarangan Monica, kecerdasan Monica, bahkan sebagai sesama wanita, dia juga tidak memiliki pesona Monica.
Monica adalah mawar berduri, wanita tangguh yang bisa bertahan hidup di akhir zaman sendirian. Dibandingkan dengannya, Manila terlalu biasa - tidak punya kemampuan bertarung mumpuni, keahlian menembak luar biasa, apalagi ambisi besar. Dia hanya wanita yang ingin terus berada di samping Tang Ji, berharap bisa hidup tenang di dunia kacau ini.
Tang Ji tahu, sejak pertama kali Monica muncul, Manila telah mengalami tekanan batin yang cukup besar. Dia mulai tidak merasa aman, bukan hanya karena muncul wanita yang lebih unggul darinya, tapi juga karena dirinya sangat tidak percaya diri akibat pekerjaan masa lalunya.
WTS sulit memperoleh cinta, sehingga ketika bertemu orang yang layak dicintai, rasa sayangnya justru semakin dalam. Dia semakin takut kehilangan.
Tang Ji memahami hati Manila, karena itu dia melarangnya berkonflik dengan Monica. Sebab dengan karakter tegas dan berkuasa Monica yang pantang menunduk, pasti akan mencari berbagai cara untuk merangsang Manila.
Lengan Tang Ji memeluk erat Manila. Telapak tangan di dalam selimut meraba lembut punggung mulus Manila. Ia menunduk dan mencium rambut Manila, berbisik: "Kau baik-baik saja?"
“Hm!” Manila mengangguk perlahan, kepalanya menggosokkan dada Tang Ji, lengannya memeluk erat tubuh Tang Ji. Kepala miring, namun matanya tanpa sadar tertuju pada Monica.
Di sisi lain, tepat beberapa saat lalu, Monica tersenyum manis. Tatapannya menyapu sekilas wajah Manila dan Tang Ji sebelum melangkah turun dari ranjang. Membelakangi kedua orang itu, ia mulai mencari pakaiannya di antara tumpukan baju berantakan di lantai.
Tang Ji melirik sekilas Monica yang berada di tepi ranjang, lalu mengalihkan pandangannya ke langit-langit. "Kau harus pergi dari sini besok pagi, pukul tujuh tepat. Waktu itu mereka baru saja selesai giliran jaga. Seluruh penghuni lantai ini sudah keluar mulai bekerja. Koridor akan ramai, mereka takkan menyadarimu."
Monica baru saja mengambil celana dalam tali ungu miliknya dari tudung lampu meja. Sambil mengenakannya, ia melirik Tang Ji dan menjawab singkat: "Mengerti!"
"Ini urusan resmi," sehingga dia tidak mencari masalah atau mengolok-olok. Dia sudah melakukan satu kesalahan yang nyaris mengekspos dirinya, kesalahan seperti ini tidak akan dia ulangi untuk kali kedua.
Mani dalam pelukan Tang Ji diam membeku, tubuhnya menempel erat tanpa bergerak seolah tak berniat mengenakan baju. Tiba-tiba ia mengangkat kepala memandang Tang Ji, menyadari pria itu sedang menatap langit-langit, lalu mencium rahang bawahnya yang berisi rambut pendek sebelum kembali menundukkan kepala di dada Tang Ji.
"Ada apa?" Tang Ji menunduk memandang Mani, bertanya dengan suara lembut.
"Tidak apa-apa." Mani perlahan menggelengkan kepalanya.
"Pakai bajumu." Telapak tangan Tang Ji di bawah selimut menepuk pantat Mani yang menggoda, tapi gadis itu tidak bangkit. Tanpa sepatah kata, dia hanya semakin erat memeluk lengan Tang Ji.
Di sisi lain, kecepatan Monica mengenakan baju tidak kalah cepat dibibas saat melepasnya. Ini adalah kualitas wajib yang harus dimiliki seorang pembunuh bayaran wanita profesional. Dalam waktu singkat percakapan Tang Ji dengan Manila, Monica hampir selesai berpakaian - lagipula tidak banyak pakaian. Saat ini dia sedang mencari belatinya.
Monica tidak membawa senjata api. Pemeriksaan di luar sangat ketat, korban selamat tidak diizinkan membawa senjata api. Jika dia membawa senjata dan menghadapi pemeriksaan rutin yang tidak menargetkannya, besar kemungkinan akan terekspos. Karena itu dia hanya membawa dua buah golok.
Setelah menemukan goloknya, Monica menyembunyikan senjata itu di dalam baju lalu mengencangkan mantelnya. Berdiri di tepi ranjang dengan tangan menekan pinggang, dia memandang dua orang yang masih berpelukan terbungkus selimut di atas tempat tidur. Dengan alis terangkat, dia bertanya sambil tersenyum: "Apa? Kalian tidak berencana bangun?"
"Kamu keluar, biar kami berdua saja!" Tang Ji menjawab dengan wajah masam sambil memiringkan kepala ke arah Monica. Tiba-tiba ia menyadari dalam hatinya ada sedikit keberatan terhadap wanita berkarakter tegas dan berkuasa yang mood-nya tak menentu ini. Cantik... apa gunanya kecantikan? Banyak wanita cantik, dia memang salah satunya, tapi termasuk yang tidak disukai.
Dibandingkan Monica yang sekarang, Tang Ji justru lebih menyukai versi "palsu"-nya dulu. Tapi saat itu, segala sesuatu di permukaannya adalah ilusi, di belakang layar bisa kapan saja menyodok dengan golok. Tidak seperti sekarang, kalau dia mau menusukmu, pasti akan bilang dulu.
Meski selalu memiliki IQ yang sulit dijangkau orang biasa, kecerdasan emosional Tang Ji... memprihatinkan. Makanya ia mudah melewatkan beberapa hal. Ia tak pernah berpikir, mengapa saat Monica merawatnya di gedung perkantoran selama belasan hari itu selalu terlihat "patuh", tapi sekarang tiba-tiba berubah menjadi sosok yang membuatnya jengkel.
Setelah Tang Ji berbicara, Monica diam-diam berbalik membelakangi ranjang. Tiba-tiba ia mengangkat tangan memperagakan isyarat OK, lalu bergegas menuju pintu kamar. Di depan pintu, ia membukanya dan keluar, menarik pintu hingga tertutup rapat. Sepanjang proses itu, tak sepatah kata pun terucap.
Kembali sunyi menyelimuti kamar. Pria dan wanita di ranjang itu tetap membisu. Begitu lamanya mereka tidak merasakan keheningan berdua seperti ini.
Di atas ranjang, Manila yang tengah berbaring di dada Tang Ji memiringkan kepala memandang pintu. Kelopak matanya berkedip perlahan. Setelah beberapa saat, tiba-tiba ia mengucapkan kalimat yang seharusnya tak perlu diungkapkan:
"Sepertinya dia tidak senang."
Perempuan... selalu lebih memahami sesamanya daripada kaum pria.
