6 Agustus 2015, hari ke-78 sejak akhir zaman meledak, hari ketiga setelah Tang Ji terjebak dalam bahaya.
Pagi buta, jarum jam kembali bergerak. Tampilan waktu menunjukkan pukul tujuh tepat. Di dalam kamar berhawa aneh, di atas ranjang besar, Tang Ji membuka matanya tepat waktu. Lengan yang tertindih hingga pejal digerakkannya perlahan. Telapak tangannya mengelus punggung mulus wanita dalam dekapannya.
"Hm... harta karun... jangan bergerak... masih pagi..." Wanita itu seolah terbangun, memejamkan mata sambil bergumam keluhan bernada manja. Kepalanya kembali menggesek-gesek dada Tang Ji.
"Rombongan gerbong Brooklyn diperkirakan akan menyeberangi jembatan dan memasuki Manhattan pagi ini, seperti yang kau bilang kemarin. Kau harus bangun!" Tang Ji mengedipkan matanya dengan kuat, tatapannya berubah dari kebingungan bangun tidur menjadi jernih. Ia menunduk dan mencium rambut wanita itu sambil berkata.
"Hm? Jam berapa?" Hillary yang rambut sutranya kusut dan bertelanjang diri berbaring di sisi tubuh Tang Ji dengan cepat mengangkat kepala, memandang wajah Tang Ji, lalu menoleh ke arah lonceng yang tergantung di tembok.
"Tujuh!" Tang Ji tersenyum sambil berbisik dengan kepala masih menunduk, lalu membungkuk lagi untuk mencium bibir Hillary. Dengan gesit ia bangkit dari tempat tidur, menyentak selimut yang menutupi kakinya, lalu melompat turun dari ranjang menuju kamar mandi.
Di dalam kamar, pakaian pria dan wanita berserakan di atas karpet. Malam sebelumnya kembali menjadi malam yang gila-gilaan.
Bagi Hillary, Tang Ji sudah tidak tahu lagi bagaimana cara menolaknya. Berkali-kali ia tidak pulang semalaman, selalu karena alasan yang sama. Semangat Hillary yang membara berhasil menarik perhatiannya. Mungkin karena status Hillary - baik dulu maupun sekarang, dia tetap bos Tang Ji. Seperti kata Hillary dulu, setiap pria memiliki keinginan untuk menaklukkan bos wanita mereka. Saat berhubungan intim, kepuasan psikologis seperti ini tak kalah dengan kenikmatan fisik.
Hubungan mereka kini sudah menjadi rahasia umum di antara anak buah Hillary. Namun hal ini tidak menimbulkan dampak buruk, karena bagi mereka seolah tidak banyak yang berubah. Dulu ada David, sekarang setelah David tewas, pria Hillary bisa siapa saja. Lagipula Tang Ji tak pernah menunjukkan niat merebut kekuasaan. Ia tak pernah aktif mendekati anak buah Hillary, di sampingnya hanya ada beberapa penjaga tanpa pasukan khusus. Sikapnya yang kalem tidak mengusik "saraf sensitif" para kepercayaan dekat Hillary.
Tentu saja, ada satu hal yang membuat mereka semua merasa aneh, yaitu mereka masih belum mengerti sebenarnya hubungan antara Hillary dengan Tang Ji itu seperti apa, karena Tang Ji sudah memiliki perempuan sendiri dan lingkaran kehidupan pribadi yang terpisah.
Secara keseluruhan, kebiasaan Tang Ji yang berulang kali menginap di kamar Hillary, selain memancing komentar nyinyir seperti "Dasar beruntungnya si bocah itu" dari beberapa orang secara diam-diam, tidak menimbulkan kebencian tanpa sebab. Tang Ji tidak menjadi "musuh bersama" karena hubungannya dengan Hillary, sebaliknya, beberapa orang cukup mengagumi bahkan sangat menghormatinya. Orang yang berkemampuan pasti akan mendapatkan penghormatan, dan Tang Ji tentu bukan pengecualian.
"Aku kembali dulu. Ingat beri tahu aku ketika rombongan gerbong sudah kembali." Tang Ji berdiri di tengah kamar sambil memasang kancing kemejanya, menoleh ke arah Hillary yang masih di ranjang dan berkata.
"Hm?" Hillary sepertinya belum cukup tidur, berbaring tengkurap di ranjang dengan mata terpejam. Mendengar suara Tang Ji, barulah ia mengangkat kepala dengan wajah mengantuk. Tangannya mengusap mata, lalu ia berguling ke tepi ranjang. Kepala menengadah, bibirnya menyungging manja ke arah Tang Ji.
Tangan Tang Ji yang sedang mengancingkan kemeja terlepas. Ia membungkuk, kedua tangan menempel erat di kepala Hillary. Ciuman basah yang dalam terjalin di antara mereka, baru berhenti ketika bibir Hillary sudah memerah lembab.
"Aku pergi!" Tang Ji menoleh mengambil mantel luar yang tergeletak di kursi, lalu berjalan menuju pintu.
"Dadah!"
"Dadah!"
……
Sore hari, Markas besar PBB ramai oleh aktivitas yang sibuk.
Pembangunan Markas besar PBB masih berlangsung. Tembok kontainer yang membungkusnya kini telah bersatu menjadi tiga lapisan. Saat ini pekerjaan difokuskan pada dinding luar tembok kontainer yang perlu dilapisi baja. Beban kerjanya sangat besar, hingga kini baru seperlima bagian yang selesai.
Di hamparan rumput di luar Gedung Sekretariat, Hillary dengan kacamata hitam dan rambut dikuncir kuda, dalam perlindungan beberapa pengawal, sedang memeriksa kemajuan pembangunan. Namun ia kerap mengangkat pergelangan tangannya untuk melihat arloji, ekspresinya menunjukkan kegelisahan.
Rombongan gerbong Brooklyn seharusnya sudah kembali ke Markas Besar PBB sebelum pukul sembilan pagi. Menurut rencananya, mereka sudah terlambat dua hari karena transformasi zombie telah selesai, sehingga membutuhkan kehati-hatian ekstra. Tapi kini sudah mendekati pukul tiga sore, mereka tetap belum kembali dan kehilangan kontak.
Hillary sudah mengerahkan beberapa pasukan penjemput saat siang hari, namun sampai sekarang belum ada kabar apapun yang diterima.
Tim eksplorasi yang dikirim ke Brooklyn ini merupakan unit yang paling lama meninggalkan Markas Besar PBB, sekaligus yang paling banyak mendapatkan hasil. Mereka tidak hanya berhasil mengumpulkan sejumlah besar korban selamat, tetapi juga membawa lebih dari 100 ton persediaan. Hillary tidak ingin tim ini mengalami kecelakaan apa pun, bukan hanya karena dia membutuhkan persediaan tersebut, tetapi juga karena beberapa anak buah dekatnya yang sangat kompeten berada dalam tim tersebut.
"Bos! Laporan dari Inspektur Sembilan!" Suara tak terduga tiba-tiba terdengar dari walkie-talkie Hillary.
"Bicara!" Ekspresi gembira terpancar di wajah Hillary. Dengan cepat ia mengambil walkie-talkie dan menjawab dengan suara nyaring.
"Sekelompok besar korban selamat telah mencapai batas utara daerah isolasi, sedang mendekati markas besar kami. Perkiraan jumlah antara 1.300 hingga 1.500 orang, membawa banyak senjata."
"Tidak ada anggota kita?"
"Tidak. Bukan korban selamat yang dikumpulkan tim eksplorasi kita. Sepertinya mereka berkumpul secara spontan dan bergerak terarah menuju markas besar kita."
“Saya sudah tahu, terus mengamati, laporkan segera jika ada masalah.” Hillary dengan cepat memberi perintah, kemudian meletakkan walkie-talkie sambil menunduk. Dengan gesit ia menyesuaikan saluran perangkatnya, lalu menyambung kembali seraya berkata: "Xisi, kuberi kewenangan aksi khusus. Kerahkan lima ratus orang ke utara zona isolasi. Sekelompok besar korban selamat sedang mendekati markas kita. Gagalkan mereka, suruh serahkan senjata sebelum diizinkan masuk. Jika menolak... usir mereka! Kalau melawan... kamu tahu yang harus dilakukan!"
"Siap, Bos! Sudah diterima!" Suara pria yang muram terdengar dari walkie-talkie.
Hanya dalam dua menit, lebih dari dua puluh truk bersenjata mengangkut 500 personel bersenjata lengkap keluar dari parkir bawah tanah Markas besar PBB. Mereka bergerak ke utara dan berhasil mencegat kerumunan besar korban selamat itu dalam lima menit. Seluruh jalanan terkepung rapat oleh truk-truk bersenjata. Di setiap atap mobil terpasang senapan mesin berat, sementara ratusan personel bersenjata turun dengan cepat untuk membentuk posisi bertahan menggunakan truk sebagai bunker. Semua ujung laras senjata diarahkan ke kumpulan besar korban selamat di ujung jalan.
Kelompok korban selamat ini berjumlah hampir 1.400 orang. Setiap wajah memancarkan keletihan, banyak yang tampak pucat dengan tanda-tanda malnutrisi. Di antara mereka terdapat orang tua dan anak-anak, namun mayoritas adalah pria muda. Setiap orang membawa senjata - shotgun, senapan semi-otomatis, dan pistol mendominasi. Beberapa bahkan membawa senapan sniper dan senapan mesin ringan.
Personel bersenjata mengangkat senjata mereka, tentu saja mereka juga mengarahkan laras senjata, namun di setiap wajah terlihat ketegangan, sebab dengan sekali pandang bisa dilihat bahwa pasukan bersenjata ini sangat terlatih dan dilengkapi peralatan canggih, sementara mereka sendiri terlihat seperti gerombolan amatir.
"Serahkan senjata, jalani pemeriksaan, diizinkan memasuki area ini. Serahkan senjata, jalani pemeriksaan, diizinkan memasuki area ini..." Suara rekaman yang terus berulang mulai bergema dari pengeras suara di kabin truk terdepan.
Di antara kerumunan besar korban selamat ini, banyak yang saling bertukar pandang dengan ekspresi ragu-ragu. Seorang pemuda kulit hitam membawa shotgun tiba-tiba melangkah keluar dari kerumunan. Dengan tangan melintang mencengkeram badan senjata, dia mengangkatnya di atas kepala sebagai isyarat tak berniat melawan. Pemuda itu berjalan ke zona netral antara korban selamat dan pasukan bersenjata, lalu berbalik menghadapi kelompoknya sendiri yang datang bersama.
"Kita sampai." Hanya satu kalimat yang diucapkannya, menatap para korban selamat itu. Senyum lega muncul di wajahnya, lalu ia membungkuk meletakkan shotgun di tangan ke tanah, mengeluarkan dua pistol dari tubuhnya dan juga menaruhnya di tanah.
Saat ia berbalik sambil memegang kepala dengan kedua tangan menunjukkan sikap siap diperiksa menuju personel bersenjata, sorak-sorai gegap gempita bergema di belakangnya.
"Yes! Kita sampai, kita sampai, haha..."
"Tuhan memberkati! Tuhan memberkati!"
Para korban selamat ini bersemangat. Sebagian melemparkan topi ke langit sambil berteriak gembira pada orang di sebelahnya, sebagian lagi langsung melepas senjata dengan tangan gemetar tak karuan lalu melemparkannya ke tanah sebelum mendekati personel bersenjata.
Di dalam Markas besar PBB, walkie-talkie di pinggang Hillary yang masih berdiri di hamparan rumput kembali berbunyi.
“Bos... Pihak lawan sama sekali tidak menunjukkan perlawanan maupun penolakan, semua telah menyerahkan senjata. Saat ini saya sedang membawa mereka kembali. Dari informasi yang didapat, di antara korban selamat ini ada beberapa orang yang pernah tinggal di sini. Merekalah yang menyebarkan kabar. Kelompok korban selamat ini memang sengaja mencari kita.” Suara muram terdengar dari walkie-talkie. Dalam suara itu, selain kesuraman, Hillary juga menangkap seberkas kehangatan dan kegembiraan.
Hillary bersama anak buahnya giat membangun tanah ini, berusaha menciptakan tempat tinggal yang aman bagi manusia. Mereka berharap wilayah ini bisa menjadi tanah harapan bagi para korban selamat. Jelas, mereka berhasil. Karena sekarang banyak korban selamat yang nekat datang ke sini menembus bahaya. Mereka menganggap tempat ini sebagai harapan.
Tak lama kemudian, di bawah pengawalan ratusan personel bersenjata, ribuan korban selamat memasuki Markas besar PBB. Mereka menunjukkan ekspresi antusias dan terkejut. Banyak yang memandang ke arah tembok kontainer yang masih dalam pembangunan. Beberapa orang tua bahkan bersujud di tanah, mencium hamparan rumput sambil bergumam sesuatu, kegembiraan mereka terpancar jelas.
Bagi para korban selamat ini, kehidupan di akhir zaman jauh lebih sulit dari yang dibayangkan. Kekurangan "makanan" yang cukup, hidup dalam kecemasan terus-menerus. Suara sekecil apapun bisa membuat mereka terbangun di tengah malam. Tak pernah ada rasa tenang. Kini, sebuah tempat dengan jaminan keamanan dan persediaan makanan telah muncul. Tempat ini dipenuhi harapan bagi mereka. Saat pertama mendengar kabar ini, kerinduan pun muncul. Dan sekarang, mereka akhirnya tiba di lokasi yang penuh harapan ini. Perasaan mereka bisa dibayangkan.
Di tengah hamparan rumput, Hillary Clinton berdiri dengan bibirnya melengkung ke atas. Ia tersenyum. Memandangi kelompok korban selamat yang tidak jauh darinya, ia tertawa bahagia.
"Dia punya mimpi, ambisi, dan kemampuan. Tak ada belas kasihan dalam hatinya. Yang dilakukannya hanyalah apa yang dianggap perlu, atau lebih tepatnya, apa yang ingin dia lakukan. Kini tindakannya mendapat pengakuan dari para korban selamat. Pasti dia akan meraih dukungan mereka." Senyum mengembang di wajahnya. Tiba-tiba, dia merasa langkahnya semakin mendekati impiannya.
"Rombongan gerbong sudah kembali?" Suara pria tiba-tiba terdengar dari belakang Hillary, tak jauh darinya.
Hillary berbalik dan melihat Tang Ji sedang menuntun Duke yang sudah sembuh total. Anjing itu melompat-lompat kegirangan seperti terlalu bersemangat, berjalan mendekatinya.
"Bukan. Ini para korban selamat yang baru tiba." Senyum di wajah Hillary sedikit mereda. Begitu menyebut rombongan gerbong, kegembiraannya langsung tergantikan oleh frustrasi. Yang seharusnya datang telah tiba, tapi yang dinanti tak kunjung pulang. Apalagi kini kehilangan kontak. Seketika itu juga, kekhawatiran kembali menyelimuti Hillary.
"Belum kembali? Tidak mengirim orang untuk mencari?" Para pengawal minggir sedikit, Tang Ji menggiring anjingnya mendekati Hillary sambil menoleh dan bertanya.
"Sudah dikirim. Siang tadi, lima puluh orang dibagi menjadi lima tim pencarian. Masih belum ada kabar." Hillary menggelengkan kepala pelan sambil menjelaskan.
"Hmm... Kirim itu!" Tang Ji mengangkat sedikit kepalanya, melirik ke puncak Gedung Sekretariat sambil tersenyum.
"Belum saatnya. Tunggu dulu!" Hillary menyilangkan lengan di dada, kembali menggelengkan kepala.
Yang mereka bicarakan tentu helikopter yang biasanya parkir di atap Gedung Sekretariat. Kecuali darurat, Hillary pasti takkan menggunakannya. Bukan karena takut helikopter rusak, tapi masalah bahan bakar. Bahan bakar helikopter bukan diesel atau bensin, melainkan avtur. Dibandingkan bahan bakar lain, avtur sangat langka. Perkiraan tempat penyimpanannya mungkin hanya ada di bandara.
Hillary Clinton tidak ingin helikopternya menjadi besi tua, sehingga dalam situasi normal ia tidak akan menggunakannya.
"Terserah." Tang Ji melirik sambil berkata, ia hanya memberi usulan. Pelaksanaannya tentu sepenuhnya di bawah kendali penuh Hillary.
Keduanya berdiri di hamparan rumput. Setelah Tang Ji selesai bicara, mereka sama-sama menatap ke agerombolan korban selamat baru di kejauhan. Di bawah pengaturan personel bersenjata, para korban selamat ini dengan sistematis menyebar masuk ke beberapa bangunan di dalam Markas besar PBB kecuali perpustakaan. Sebagian tampaknya telah mengetahui identitas sebenarnya Hillary Clinton, mengingat sosoknya yang terlihat paling unik di antara hamparan rumput.
Apakah seseorang adalah petinggi, banyak orang bisa langsung melihat dari keadaan yang terpancar. Hillary jelas-jelas merupakan penghuni posisi tinggi. Berdiri di sana meski diam-diam, medan energinya sangat kuat dan biasanya sangat menarik perhatian.
Beberapa korban selamat sambil berjalan menuju bangunan, terus bercakap dengan orang-orang di sekitarnya, menunjuk-nunjuk ke arah Hillary Clinton. Tiba-tiba, seorang gadis kecil berusia tujuh delapan tahun mengenakan gaun bunga sambil memegang boneka kain berlari keluar dari kerumunan. Baru melangkah dua kali, dia ragu-ragu berhenti, menoleh tajam ke kerumunan. Seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun tersenyum melambaikan tangan, memberikan tatapan penyemangat.
Gadis kecil itu menoleh kembali dan berlari ke arah Hillary Clinton. Namun belum jauh melangkah, dua personel bersenjata langsung menghalanginya.
"Nak, Kembali!" seru salah satu personel bersenjata dengan tegas. Karena itu anak kecil, mereka tidak mengarahkan ujung laras senjata ke gadis itu. Namun ekspresi ketakutan terpancar di wajah gadis kecil yang berhenti itu, tangannya erat memeras boneka kain, matanya tiba-tiba memerah.
Kedua personel bersenjata tetap menjaga raut tegas. Salah satunya memiringkan kepala sejenak, memberikan tatapan tajam yang memerintahkan si gadis segera mundur.
Gadis kecil itu memeluk erat boneka kain di tangannya, menyentak mundur dua langkah. Matanya memerah, ekspresinya masih ragu-ragu.
"Biar dia datang!" Suara Hillary tiba-tiba terdengar dari belakang personel bersenjata.
Dua personel bersenjata segera minggir. Gadis kecil itu dengan gelisah melirik mereka sekali lagi, lalu berlari kecil melewati celah di antara mereka. Saat jaraknya tinggal lima meter dari Hillary, langkahnya melambat. Ia tampak agak takut pada Duke, tapi karena Duke bersikap manis, ia pun tak berhenti. Perlahan ia mendekat dan berdiri di hadapan Hillary.
Wajah dan tubuh gadis kecil itu penuh kotoran, sepertinya telah melalui perjalanan sulit. Sisi gaun bunganya sobek, namun rambutnya yang panjang dengan keriting alami, dipadukan wajah kekanak-kanakannya, membuatnya terlihat manis bagai boneka.
"Ada apa? Sayangku." Hillary bertanya sambil menundukkan kepala.
Ekspresi wajah gadis kecil itu terlihat agak mengkerut mundur, memeluk boneka kain sambil menengadah melihat Hillary, ragu-ragu tiba-tiba mengulurkan tangannya. Ia mengangkat boneka kain yang sama kotornya ke hadapan Hillary, mata besar memandangnya sambil berkata dengan suara lirih: "Ini untukmu!"
Senyum mengembang di bibir Hillary, namun keningnya berkerut perlahan. Ia bisa melihat gadis kecil itu sangat menyukai boneka ini, tapi tak mengerti mengapa diberikan padanya. Membungkuk, ia mengelus kepala si kecil tanpa menerima boneka itu, bertanya dengan senyum: "Mengapa kau memberikannya padaku?"
"Karena... karena Ibu bilang, Nona orang baik. Apa Nona tidak mau menerimanya?" Suara gadis kecil itu mulai tercekat, ekspresinya seperti akan menangis seandainya Hillary menolak hadiahnya.
"Aku terima, terima kasih." Hillary cepat-cepat mengambil boneka itu, menggunakan nada bicara khas mengajak anak-anak sambil tersenyum.
“Kamu suka?” Gadis kecil itu menengadah kembali bertanya.
“Tentu saja.” Hillary mengangkat alis dengan senyuman aneh, mengangkat boneka kain itu untuk dilihatnya, lalu mengayun-ayunkannya ke arah gadis kecil sambil tersenyum: “Aku sangat menyukainya, terima kasih.”
“Sama-sama, asal Ibu suka.” Gadis itu tampak sangat berpendidikan, menjawab singkat sebelum melangkah mundur, menarik ujung roknya untuk memberi hormat, lalu berbalik dan lari menjauh.
Hillary perlahan berdiri tegak, matanya mengikuti lari gadis kecil yang kembali ke kerumunan tak jauh. Ekspresinya aneh, bercampur sukacita dan kesedihan. Tiba-tiba ia menoleh ke samping: “Frodo, malam ini berikan makanan ekstra ke semua korban selamat yang membawa anak di bawah dua belas tahun. Untuk gadis kecil tadi, tambahkan boneka berbulu - ambil yang terbesar.”
“Siap, Bos.” Frodo yang bagai bayangan di belakang Hillary segera menjawab dengan sigap.
Hillary Clinton menunduk dan kembali memandang boneka kain di tangannya, ketika tiba-tiba suara Tang Ji yang bernada menggoda terdengar dari samping: "Bagaimana? Terharu?"
Hillary mengangkat kepala dan menoleh ke arah Tang Ji, ekspresinya tanpa komitmen. Ia mengatupkan bibir sebentar lalu mengangkat tangan menggoyangkan boneka kain kotor itu: "Anak-anak... merekalah harapan kita."
……
Malam kembali meredup.
Pukul delapan malam, Markas besar PBB terang benderang. Hillary akhirnya berhasil menghubungi tim eksplorasi yang hilang kontak seharian.
Pukul setengah sembilan, rombongan eksplorasi membawa persediaan besar-besaran dan korban selamat menembus Jembatan Brooklyn memasuki Pulau Manhattan.
Pukul sembilan lebih sepuluh, gerbong-gerbong memasuki daerah isolasi.
