Dalam kamar sempit yang redup, jendela kecil di bagian terdalam tertutup tirai venetian, menghalangi cahaya bulan hingga tak bisa melihat apa-apa. Dalam kabut samar hanya terlihat siluet manusia hitam pekat, bau anyir darah menyebar samar-samar.
“Sayang, kau seharusnya tidak menyembunyikan ini. Kita tidak perlu masuk diam-diam seperti ini. Setelah waktu tertentu mereka pasti akan mengizinkan kita masuk.” Dalam kegelapan, suara istri Susan terdengar pelan dan penuh kegelisahan.
“Diam! Kau tidak mengerti... Mereka akan membunuhku. Aku tidak boleh memberi tahu mereka kalau aku terluka. Akan membunuhku, pasti...” Suara Beck bernada tegang, membawa aroma ketakutan yang menyusup perlahan.
Sebenarnya sejak awal luka itu, ketakutan selalu menghantuinya. Tapi sebagai aktor teater yang mahir berakting, ia berhasil menipu semua orang di luar. Namun di hadapan keluarga sendiri, tak perlu lagi berpura-pura. Sungguh, sangat menakutkan.
“Tidak mungkin. Bukankah mereka bilang, yang terluka hanya perlu tinggal di luar beberapa waktu, setelah dipastikan tidak bermasalah...” Dalam remang-remang, suara Susan masih bergetar tak karuan.
"Diam, jangan bicara lagi. Aku tidak akan apa-apa, mengerti? Dan..." Beck membentak keras dengan suara rendah, sambil kembali mengangkat pergelangan tangannya. Matanya menyapu cepat arloji bercahaya keperakan, "Tiga puluh delapan menit, masih tiga puluh delapan menit. Waktu akan segera berlalu. Aku pasti baik-baik saja, paham?" Suaranya berdesis seperti angin malam meski bernada sangat tegas.
Susan membeku. Tangannya mengencangkan pelukan pada putri kecil yang terhimpit di dadanya.
Detik-detik merayap pelan. Hanya beberapa menit kemudian, suara Beck kembali terdengar. Masih berbisik, tapi nadanya sudah melunak seperti pisau tumpul yang kehilangan ketajamannya.
"Mereka memberimu senjata?" gumamnya dengan suara parau.
"Hm. Di sini. Pistol roda putar dengan enam butir peluru." Jawaban Susan masih menggigil. Sebelum memasuki ruangan, personel bersenjata telah menyelipkan revolver itu ke tangannya dengan peringatan keras: senjata api tak boleh dibawa keluar kamar.
“Keluarkan pistolnya, jauhi aku.” Baker diam sejenak, lalu kembali berbisik. Sebenarnya ia masih sangat mencintai istri dan anaknya. Kekerasan tadi muncul karena terlalu banyak tekanan yang ia berikan pada dirinya sendiri setelah terluka.
Ia tidak tahu apakah bisa mengelak tribulasi ini, karena hari ini ia telah melihat banyak orang yang menjadi zombie dalam waktu singkat setelah tergigit. Orang dengan durasi terlama pun tidak melebihi dua menit.
Namun, kondisinya berbeda dibandingkan mereka. Luka yang dideritanya bukan akibat gigitan zombie, melainkan karena terjatuh dan menekan pecahan kaca saat dikejar zombie. Telapak tangannya terkoyak hingga daging dan darah berhamburan. Pecahan kaca itu sangat kotor, dengan kemungkinan besar membawa virus zombie. Saat ini sudah lebih dari satu jam sejak ia terluka, namun belum berubah menjadi zombie. Karena itu ia yakin masih ada kesempatan, begitu pula istri dan putrinya. Tentu saja tak ada yang bisa menjamin hal seperti ini. Masih mungkin ia berubah menjadi zombie, tapi apapun yang terjadi, ia tak ingin istri dan putrinya celaka.
Waktu berlalu setetes demi setetes. Kamar kecil itu hening, hanya terdengar tarikan napas ringan beberapa orang. Namun dari dalam sini masih bisa mendengar hiruk-pikuk di koridor luar, di mana personel bersenjata masih mengatur akomodasi.
Entah berapa lama, tiba-tiba suara Susan terdengar di dalam kamar.
"Berapa lama lagi?"
"Tiga menit!" Baker menatap arloji bercahaya keperakan, lengannya tetap terangkat. Matanya tak lepas dari jarum penunjuk, tarikan napasnya semakin berat. Ketegangan terasa jelas - tiga menit penentu ini akan menentukan keselamatannya sepenuhnya.
Tak lama kemudian.
"Tinggal satu menit!" Suara Baker mulai bergetar halus, tatapannya masih terpaku pada arloji.
"Tiga puluh detik!" Getaran di suaranya semakin kentara.
"Sepuluh... sepuluh detik!"
"Waktu habis!"
Dalam remang-remang, teriakan Baker melengking: "Waktu habis!" Napasnya kemudian tersengal-sengal seperti penyelamat yang baru muncul dari dasar air setelah menahan napas lama.
"Sayang, aku baik-baik saja!" Seru Baker dengan suara penuh kelegaan dan sukacita yang tak terbendung.
Sudah duduk di ujung ranjang sambil memeluk putrinya dengan satu tangan dan memegang pistol dengan tangan lainnya, Susan dengan cepat berdiri membawa putrinya. Dalam cahaya redup, memandang siluet hitam pekat Beck, dia melangkah beberapa langkah mendekati Beck lalu duduk di sampingnya.
"Ayah!"
"Sayang, Lindungilah kita!"
Putri Beck yang terjepit di antara mereka berdua memeluk pinggang Beck dengan penuh ketergantungan. Susan yang duduk di sisi lain sedikit condong ke depan, melewati atas kepala putri mereka, lalu berpelukan dengan Beck sambil berbicara gemetar penuh emosi.
Namun tepat saat Susan baru saja mengucapkan "Lindungilah", tiba-tiba dia merasakan tubuh suami yang dipeluknya terasa semakin berat. Seandainya kamar ini terang dan ada orang berdiri di belakang Susan, orang itu akan melihat bahwa saat Beck memeluk Susan, matanya tiba-tiba terpejam dan seluruh tubuhnya lunglai seolah kehilangan tenaga, sedikit merosot ke bawah.
"Sayang... uh..." Susan memanggil Beck, tapi tepat saat dia membuka mulut, dia merasakan tubuh Beck yang dipeluknya bergerak. Tiba-tiba, rasa sakit hebat menyergap dari lehernya. Tubuhnya kejang, mata melotot masih mempertahankan posisi memeluk Beck. Tatapannya penuh ketakutan tapi tak bisa berteriak. Sepertinya tenggorokannya tergigit putus - ini menjadi pikiran terakhir dalam hidupnya.
Krak... krak... sreeek...
Suara tulang-tulangnya retak menggema di kamar yang hening, disusul bunyi gemericik seperti pipa air yang bocor.
Wanita di antara mereka yang sedang memeluk pinggang Beck merasakan keanehan. Lengan Susan yang berkedut kejang menghantam bahunya.
"Ibu?" Sang putri duduk tegak, memanggil. Dia bisa merasakan, seiring suaranya, Beck melepaskan Susan. Namun tiba-tiba terdengar geraman rendah yang aneh, berasal tepat dari hadapannya.
"Ayah? Jangan nakuti aku." Suara putri Beck gemetar mengucapkan kalimat itu.
Plak!
Cahaya senter tiba-tiba menyala. Putri Beck, gadis kecil berusia tiga belas tahun itu, menggenggam erat senter yang telah menyala. Cahaya tepat menyorot wajah Beck dari bawah ke atas.
"Ah... Egh!"
Teriakan baru saja melengking, nada belum mencapai puncak, namun terpotong mendadak. Dengan bunyi 'plak', senter jatuh ke lantai. Sorotannya mengarah ke samping, menerangi sudut gelap kamar. Segala sesuatu di tepi ranjang tenggelam dalam remang-remang...
……
Di dalam koridor lantai 35 Gedung Sekretariat, koridor panjang ini hanya menyala tiga empat lampu, sangat redup sehingga orang masih bisa dipaksakan melihat. Dua puluh lebih korban selamat mendapatkan selimut, kasur, dan bantal yang dibagikan, membuat alas tidur darurat di koridor. Setiap beberapa meter di bawah dinding sisi kiri dan kanan koridor akan terdapat masing-masing seorang korban selamat. Wajah-wajah mereka terkesan keletihan. Beberapa korban selamat tidak melepas baju dan langsung berbaring, tubuhnya diselimuti selimut bulu, seolah telah terhisap masuk ke dalam mimpi. Ada juga yang melepas sandal dan duduk di alas tidur darurat, bersandar di dinding sambil berbisik-bisik dengan orang di sampingnya.
Beberapa orang tak terhindarkan mengeluh karena tidak mendapat kamar, namun lebih banyak yang dengan wajah letih namun bersinar kegembiraan. Mereka sangat lelah tapi justru bersemangat hingga sulit tidur, karena telah tiba di sini. Dibandingkan dunia luar, di sini bagaikan surga - tanpa bahaya, tak perlu khawatir zombie tiba-tiba bermunculan, bahkan tidak pusing memikirkan "makanan". Saat masuk gerbang, mereka semua telah melihat tembok tinggi dari container yang sepenuhnya membungkus tempat ini. Sekarang bahkan jika gerombolan zombie benar-benar menyerang, tembok itu akan menjadi tameng di luar.
Boom!
Bunyi tabrakan bergema di tengah koridor. Suaranya nyaring, berasal dari sebuah pintu kamar, seolah ada sesuatu menabraknya dari dalam. Dalam cahaya redup lampu koridor, beberapa korban selamat yang sedang berbisik-bisik di pinggir tembok langsung membeku. Beberapa yang sudah berbaring bangkit duduk. Semua pandangan tertuju pada pintu kamar itu.
Sepasang kekasih muda yang awalnya duduk bersandar di tembok dan mengobrol tiba-tiba diam. Pandangan mereka pertama-tama penuh teror, lalu saling memandang. Pria itu mengangkat tangan menyentuh pipi wanita, perlahan menggelengkan kepala sambil menunjukkan senyum penghiburan, berpura-pura santai berkata: "Tidak mungkin, di sini aman. Mungkin orang di dalam tidak sengaja menabrak pintu..."
Boom!
Tiba-tiba suara benturan lagi, pintu itu bergetar ringan.
Pria itu langsung membeku. Sambil menarik pacarnya, ia perlahan berdiri. Tangannya memeluk pinggang pacarnya menempatkannya di belakangnya. Beberapa orang di sebelah juga bangkit, ekspresi wajah mereka mulai tegang.
"Komandan!" teriak pria itu ke arah ujung koridor sambil mengacungkan tangan.
Di kejauhan, dekat pintu tangga, empat lima personel bersenjata berkumpul. Sebagian duduk di kursi, sebagian berdiri, sedang bercakap dengan suara rendah. Mereka semua mendengar teriakan pria itu, saling berpandangan. Seorang pria kulit hitam berusia sekitar tiga puluh lima tahun membawa senjata berjalan menuju tengah koridor.
Dari jauh ia memberi kode "Hush!" dengan tangan, menyuruh pria itu jangan berteriak.
"Ada apa?" Personel bersenjata itu mendekati pria tersebut. Melihat ekspresi korban selamat di sekitarnya yang tegang, matanya menyapu sekilas, buru-buru bertanya.
Boom!
Pria itu belum sempat membuka mulut, suara tabrakan kembali menggema. Kali ini lebih keras. Personel bersenjata itu seperti alergi, kasar mengangkat senjatanya. Tangannya bergerak cepat di atas senjata mengeluarkan suara berderak-derak. Dengan cepat ia mengisi peluru, mengarahkan laras senjata di depan matanya.
"Kalian mundur!" teriak personel bersenjata kulit hitam itu. Membawa senjata dalam posisi siaga, ia perlahan mendekati pintu itu.
Beberapa korban selamat yang relatif dekat dengan pintu itu menyentak mundur ke samping. Personel bersenjata itu membawa senapannya mendekati pintu, melepaskan satu tangan dari senjata lalu mengetuk pintu dengan cepat. Setelah mundur selangkah, ia kembali mengarahkan senapannya dengan sigap.
Dentuman berirama!
Setelah ketukan tak mendapat respon sedikitpun, personel bersenjata itu seolah mendengar sesuatu. Dengan langkah kecil ia condongkan tubuhnya ke depan, menoleh dan menyandarkan telinganya untuk menyimak dengan intens.
Braak! Suara ledakan dahsyat tiba-tiba menggema persis ketika personel itu menyandarkan telinganya. Pintu kamar terbobol oleh kekuatan dahsyat. Sebuah siluet terpancar dari dalam, langsung mencengkeram personel bersenjata itu dan menggigit wajahnya.
"Oh, pantas mati!"
"Astaga, Tuhan!"
Tak-tak-tak-tak-tak...
Dalam cahaya redup, personel bersenjata kulit hitam menjerit kesakitan, langsung terjatuh ke tanah. Korban selamat di sebelahnya serentak berteriak ketakutan, tanpa pikir panjang langsung berlari menuju pintu tangga. Mereka semua melihat - zombie! Dari dalam kamar muncul seekor zombie bermata merah darah. Zombie itu menindih personel bersenjata ke tanah, menggigit keras sepotong daging dari wajahnya. Personel tersebut kejang-kejang tak terkendali karena sakit yang luar biasa. Jarinya tersangkut di pelatuk yang tanpa sengaja tertekan, menyebabkan rentetan tembakan liar.
Beberapa korban selamat yang sedang berlari tertembak, menjerit-jerit sambil roboh di lantai. Kaca patri jendela di kedua sisi koridor pecah berantakan. Orang-orang di dalam kamar terbangun kaget, beberapa kamar bahkan terdengar teriakan wanita histeris.
Di dekat pintu tangga kedua ujung koridor, belasan personel bersenjata yang mendengar keributan langsung mengarahkan senjata mereka dan berlari kencang ke tengah koridor. Dari kejauhan mereka melihat zombie hasil mutasi kematian Beck, namun tidak menembak karena semua korban selamat di koridor sedang dalam kekacauan - personel bersenjata berlari ke dalam sementara korban selamat berlari keluar, menciptakan hambatan besar.
Ketika personel bersenjata itu baru sampai di tengah jalan menuju lokasi kejadian, zombie hasil mutasi Beck tiba-tiba bangkit dari tanah. Personel bersenjata yang wajahnya tergigit segera menutupi mukanya sambil merintih, hatinya dipenuhi ketakutan. Ia tahu, dirinya pasti mati.
Setelah "Beck" bangkit, tertarik oleh teriakan, ia mengejar seorang korban selamat yang berteriak dan menggigit keras bahu korban tersebut, merobek sepotong daging.
Kecepatannya sangat cepat, karena ini bukan zombie yang telah menyelesaikan transformasi, melainkan zombie baru. Ini berarti jaringan lunak di tubuhnya belum mengalami perubahan, tulangnya juga belum mengeras. Namun, karena virus zombie di tubuhnya identik dengan zombie yang telah menyelesaikan transformasi, ia memiliki koordinasi yang seharusnya dimiliki zombie lain saat ini. Justru karena tubuhnya belum berubah dan setara dengan manusia, ia tidak perlu beradaptasi untuk berlari - karena manusia secara alami bisa berlari. Sesuai sifat virus zombie, ia memanfaatkan seluruh kekuatan otot tubuhnya. Ia mulai berlari dengan kecepatan yang hampir menyamai kecepatan maksimal lari manusia, bahkan sedikit melampauinya.
Di sini tidak ada manusia yang mampu berlari lebih cepat darinya.
Saat ia menerjang dan menggigit bahu korban selamat yang berteriak itu, dari kamar yang pintunya telah dibobolnya muncul kembali dua zombie wanita. Satu zombie memiliki luka di leher, satunya lagi terluka di wajah. Begitu keluar, mereka langsung mengejar dua korban selamat, membanting mereka ke lantai dan mulai mencabik-cabik tubuh mereka.
Dak-dak-dak-dak-dak!
Kekacauan di koridor semakin menjadi-jadi. Beberapa personel bersenjata yang berlari lebih cepat akhirnya tiba di sekitar lokasi kejadian. Mereka menembaki zombie dengan peluru yang menghujam tubuh para mayat hidup itu. Zombie-zombie itu langsung melepas korban yang sedang dicabiknya di bawah tubuhnya, lalu menerjang ke arah personel bersenjata yang menembak.
Peluru dari personel bersenjata tentu saja diarahkan ke kepala zombie. Namun gerakan zombie terlalu cepat, terutama saat berlari kencang. Lagipula tidak semua orang bisa menjadi penembak jitu legendaris. Semua ingin melakukan Ledakkan!, tetapi untuk mencapai lebih dari itu hanya bisa mengandalkan nasib.
Personel bersenjata di barisan depan menembak beberapa kali lalu mundur karena tak bisa melakukan ledakan kepala, sementara zombie sudah berlari cepat ke arahnya.
Ia tetap tak bisa kabur, ditubruk zombie yang kemudian menggigit keras kakinya, membuatnya menjerit kesakitan.
Braak!
Suara ledakan, zombie yang sudah tertembak berkali-kali ini akhirnya kepala meledak. Di permukaan tanah, beberapa korban yang baru digigit zombie mulai berdiri dengan cepat, sorot mata merah darah menyala sambil berlari ke arah personel bersenjata dan korban selamat. Dua zombie lainnya merangkak masuk ke kamar melalui jendela kaca pecah di kedua sisi koridor.
Bahaya terus menyebar, waktu mutasi mematikan akibat virus zombie bisa sesingkat lima belas detik.
Lima belas detik!
Sangat singkat!
Jumlah zombie telah bertambah menjadi belasan dalam sekejap napas. Kecepatan mereka sungguh luar biasa! Meski beberapa zombie masih bisa di-Ledakkan!, namun semakin banyak korban luka yang berubah menjadi zombie. Manusia biasa bisa membobol pintu terkunci jika mengerahkan seluruh kekuatan tubuh, sementara kekuatan zombie jauh lebih dahsyat. Beberapa pintu di koridor mulai hancur tertabrak, zombie-zombie pun menerobos masuk ke kamar-kamar tersebut...
Satu menit kemudian, jumlah zombie melebihi tiga puluh ekor. Mereka mulai mengamuk. Di lantai ini, semakin banyak korban selamat yang tergigit lalu berubah menjadi zombie. Beberapa korban dengan waktu mutasi lebih lama berhasil kabur dari lantai ini sambil menutupi luka mereka, berlari ke bawah. Tiba-tiba mereka terjatuh, dan ketika bangkit kembali, tubuh mereka sudah berubah menjadi makhluk itu.
Dentuman senjata, menderu, teriakan, jeritan, menjerit kesakitan... Kekacauan menyebar, skala kerusuhan semakin meluas. Personel bersenjata telah dikirim untuk memperkuat Gedung Sekretariat, namun mereka sama sekali tidak bisa menekan situasi. Malah lebih banyak personel yang terjebak di sini, berubah menjadi sesamanya.
Jumlah zombie semakin bertambah bagai api menjalar. Gedung Sekretariat, dari lantai atas hingga bawah, perlahan berubah menjadi neraka di dunia.
