Gelapnya malam, cahaya bulan samar-samar.
Di dalam pabrik di tepi Interstate Highway 80, keheningan menyelimuti. Sebuah bus sekolah kuning kecil terparkir di area kosong tengah kompleks pabrik, kaca-kacanya memancarkan cahaya jingga redup ke luar.
Puluhan meter jauhnya, kantin pabrik gelap gulita tanpa seberkas cahaya. Dalam kesunyian yang mencekam, terasa nuansa mengerikan.
Tiba-tiba, pintu gerbang kantin terbuka tanpa suara. Sebuah siluet manusia membawa senjata perlahan keluar, kemudian diikuti tiga orang lainnya.
Total empat orang, semuanya pria. Memanfaatkan gelapnya malam, mereka melangkah perlahan menuju bus sekolah puluhan meter jauhnya. Tak ada yang berbicara, langkah kaki tertahan, semuanya terkesan sangat iblis. Belum jauh bergerak, tiga pria di belakang berhenti mendadak, mengawasi sekeliling dengan waspada. Salah satu dari mereka memegang tas tangan hitam.
Pria paling depan langsung mendatangi bus sekolah, mengangkat tangan mulai menghancurkan pintu.
Braak! Braak! Braak!...
"Guru Tang." Pria itu memanggil ke dalam bus sekolah dua kali.
Disusul keheningan total. Meski lampu di dalam mobil menyala, tidak ada jawaban.
Braak! Braak! Braak!...
"Ada orang di dalam?" Pria itu kembali menghantam pintu sambil bertanya.
Kembali sunyi senyap. Tak ada respons.
Pria itu segera menoleh ke tiga orang yang berdiri jauh di belakang, memberi isyarat OK lalu melambaikan tangan agar mereka segera mendekat.
Ketiganya langsung berlari membawa senjata ke arah bus sekolah. Dua orang berhenti 7-8 meter sebelum mencapai mobil, sementara pria bertasikongkang di samping pintu membuka tasnya dan mengeluarkan obeng, kunci pas, linggis, dan peralatan lainnya.
"Menurutmu berapa banyak barang yang mereka punya?"
"Siapa tahu. Tapi dari perlengkapan dan ekspresi wajah mereka, pastinya banyak... Pantas mati! Hati-hati, jangan sampai merusak mobil! Kita masih butuh kendaraan ini!"
Dalam gelapnya malam, percakapan dua pria terdengar diselingi suara-suara berisik... Mereka sedang membongkar kunci mobil.
……
"Hanya empat orang, tak ada yang keluar lagi. Semuanya di pintu, dua orang agak menjauh." Di dalam bus sekolah, Ai Wen yang duduk di kursi bagian belakang menatap laptop di pangkuannya, berkata pelan.
Setelah bicara, Ai Wen mengangkat laptop di tangannya dan memutarnya ke arah lain agar penumpang lain bisa melihat situasi luar. Kemudian segera menariknya kembali.
Tang Ji yang duduk menyamping di kursinya memutar kepala ke arah Robbie di seberang diagonal. Kepalanya miring sedikit.
Robbie perlahan berdiri sambil menggenggam pistol di tangan kanan. Tang Ji membungkuk ringan dan mengulurkan pistol lain yang sudah terisi peluru dengan pengaman terbuka. Robbie melangkah dua kali kecil ke pintu, menggerakkan bahu, memelintir lehernya, lalu memberi Monica tatapan bermakna dengan kepala miring.
Monica duduk menyamping di kursi pengemudi, tangan kanannya memegang shotgun yang sudah terpasang miring di sandaran punggung kursi, laras senjata mengarah ke pintu mobil. Setelah mendapat isyarat dari Robbie, ia perlahan menekan tombol saklar pintu mobil dengan gerakan hati-hati sambil membungkukkan badan.
Whoosh... Pintu mobil tiba-tiba terbuka, Robbie sekejap napas mengangkat kedua lengannya.
Dor! Dor! Dor! Dor! Empat tembakan redup beruntun bergema. Selongsong peluru beterbangan sementara bunga api menyembur dari peredam suara di ujung laras pistol Robbie. Tubuhnya melesat keluar, berguling-guling di tanah lalu melompat ke balik Mercedes G-Wagon yang parkir di samping bus sekolah.
Dentuman empat mayat terjatuh bergema di luar. Pintu bus sekolah menutup kembali dengan suara "plak" yang keras.
Kembali tercipta keheningan total. Tidak ada suara sedikit pun dari luar, bahkan... seluruh area pabrik bagai terkubur dalam kesunyian.
“Melihat dua orang lainnya?” Di dalam bus sekolah, Tang Ji yang duduk di samping Christine mengambil walkie-talkie dan memanggil.
Di luar bus sekolah, di belakang mobil offroad, Robbie dengan earphone di telinganya mendengar suara Tang Ji. Ia menurunkan teleskop penglihatan malam di tangannya, menoleh dan bersandar di ban mobil offroad sambil menekan earphone. "Tidak. Ada yang tidak beres," jawabnya pelan.
"Bersiap masuk... Monica!" Di dalam bus, Tang Ji menganggukkan kepala ke arah Monica yang duduk menyamping di depan.
Monica mengangguk pada Tang Ji, duduk tegak lalu memutar kunci kontak. Ngung! Bus sekolah menyala, berputar lalu langsung menuju kantin. Robbie melesat dari belakang mobil offroad dan mengikuti dari belakang bus.
Tidak jauh, hanya puluhan meter. Dalam beberapa detik bus sekolah sudah berhenti di depan semak di luar jendela kantin. Pintunya menghadap arah berlawanan dari kantin.
Di dalam mobil, Tang Ji mengambil sebuah senapan semi-otomatis, memberi isyarat pada Basong, lalu berjalan ke pintu mobil. Monica membuka pintu. Tang Ji membungkuk mencium Manila yang duduk di kursi penumpang depan dan Monica di kursi pengemudi, kemudian berbalik keluar.
"Hati-hati!" Monica mengingatkan. Saat merundingkan rencana sebelumnya, jika sampai pada tahap ini, Monica sebenarnya mengusulkan diri turun ke kantin. Dari segi kemampuan komprehensif, kecuali IQ yang kalah dari Tang Ji, bidang lain dalam dirinya melampaui semua orang di sini termasuk Tang Ji. Namun Tang Ji tidak menyetujui, meski punya seribu alasan, ia enggan membiarkan wanita yang sedang hamil miliknya mengambil risiko seperti ini.
Selain itu Tang Ji merasa kombinasi tim terbaik adalah dirinya bersama Robbie dan Basong. Kemampuan serangan jarak jauh Robbie, kemampuan bertarung jarak dekat nyaris tak terkalahkan dari Basong, ditambah ketenangan dan kemampuan analisisnya sendiri - ketiganya bersinergi cukup untuk menghadapi bahaya maut di tempat ini.
Jika kemampuan gerombolan di sini benar-benar kuat, mereka tidak akan sampai mengandalkan kanibalisme untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, di hati Tang Ji sebenarnya tidak terlalu khawatir. Namun, ia pasti tidak berani lengah sama sekali. Kekhawatiran dan kelengahan adalah dua konsep yang sepenuhnya berbeda.
"Tenang saja, tidak akan ada masalah." Tang Ji melambaikan tangan ke arah Monica sambil berbisik menanggapi. Ia turun dari mobil bersama Basong, bertemu dengan Robbie di depan pintu. Ketiganya membungkuk menyusuri rerumputan, mengitari sebagian kecil jalan hingga sampai di sisi tembok kantin. Mereka menghancurkan jendela dan menerobos masuk.
Kantin pabrik ini tidak besar. Pada dasarnya ini hanya milik pabrik kecil yang tidak mungkin memiliki terlalu banyak karyawan. Tata letaknya sederhana: sebuah ruang makan yang bisa menampung seratus orang, kamar mandi seluas 50-60 meter persegi, kantor sekitar 20 meter persegi, ditambah dapur yang mampu menyajikan makanan ala kulit putih dalam sekali masak. Hanya itu saja.
Dengan cepat, ketiga orang telah menyisir seluruh kantin tanpa menemui bahaya sama sekali. Namun, mereka justru menemukan dua orang yang tersisa.
Seorang wanita yang jelas-jelas pernah disiksa, ditemukan di dalam kantor.
Dan satu mayat yang tidak utuh, yaitu Damon - pria yang sebelumnya menangis karena kematian adiknya dalam kecelakaan. Ia telah dibunuh hampir dua jam lalu, darahnya dikeringkan, beberapa bagian daging di tubuhnya telah dipotong. Mayatnya ditemukan di kamar mandi. Karena sudah terpotong-potong, Tang Ji tidak bisa mengetahui bagaimana persisnya ia dibunuh.
……
"Tak apa, kalian boleh masuk sekarang. Bawakan selimut!"
Dalam gelapnya malam, tiba-tiba lampu kantin menyala terang. Tirai jendela disingkapkan, Tang Ji membuka jendela restoran lalu melambaikan tangan ke arah bus sekolah di luar sambil berteriak beberapa patah kata. Setelah itu ia berbalik dan berjalan kembali ke dalam.
Tang Ji berbalik meninggalkan area dekat jendela, melangkah keluar dari restoran, menembus koridor, dan memasuki kantor di seberang yang terlihat agak berantakan.
Saat pertama kali masuk ke kantor, Tang Ji langsung menemukan wanita yang menjadi korban penyiksaan itu - seorang wanita kulit putih yang telanjang bulat direkatkan ke tembok menggunakan plester. Jumlah plesternya sangat banyak, membuat tubuh wanita itu membentuk huruf "" dengan keempat anggota badan dan perut seluruhnya direkatkan ke dinding. Hanya dada dan area paling pribadi di bagian bawah tubuh yang terbuka. Payudaranya yang subur menggantung seperti dua buah pepaya, sementara bagian bawah tubuhnya tampak memerah dan bengkak dengan bulu-bulu keriting yang masih basah membekas jejak putih.
Ketika menemukannya, mulut wanita itu masih tertutup plester. Matanya bengkak sebesar buah persik, di pipi masih terlihat bekas tamparan, sudut mata menghitam. Rambut hitam panjangnya yang tergerai seluruhnya ditempelkan ke dinding menggunakan plester.
Jelas terlihat bahwa wanita ini telah diperkosa bergiliran, dan dihina dengan postur yang sangat unik. Tang Ji sekarang sangat ingin tahu "jenius" mana yang memikirkan metode ini. Temukan orang ini, tembak kepalanya, dan buat dia paham bahwa "hal ini benar-benar menarik".
