22 September 2015, hari ke-126 sejak akhir zaman meledak, pedesaan barat laut New Jersey, selatan Mount Olive, villa tepi danau.
Siang hari, Tang Ji makan siang di ruang bawah tanah sambil melanjutkan penelitiannya yang belum selesai. Ini adalah hari kesebelasnya mengembangkan penelitian terhadap virus zombie. Ia sudah mengetahui apa itu virus zombie, warnanya, strukturalnya, dan lain-lain, namun hanya sebatas itu saja. Saat ini terlalu banyak pakar dan ilmuwan di seluruh dunia yang mempelajari virus zombie, berusaha mencari cara untuk mengendalikan dan menghabisinya. Tang Ji percaya militer AS sudah menarik sejumlah besar ahli penelitian untuk mempelajari virus zombie siang-malam tanpa henti, tapi sejauh ini belum ada yang berhasil.
Ironisnya, sekumpulan besar peneliti tingkat tertinggi dunia yang masih hidup, bahkan mungkin ada pemenang Nobel di sana—mereka semua berusaha mencari cara mengakhiri akhir zaman ini. Tapi belum ada kabar yang memberi harapan, justru banyak berita keputusasaan. Sementara Tang Ji sendirian, dengan latar belakang pendidikan magister asli, bisa disebut akademisi. Dibandingkan mereka, ia masih jauh tertinggal. Namun sekarang, Tang Ji justru berusaha mencapai apa yang tak bisa mereka capai.
Bagi yang tidak tahu apa yang sebenarnya ingin dilakukan Tang Ji, jika memahami segala yang ia lakukan saat ini—komentar mereka mungkin: "Kondisi mentalnya patut dipuji". Tapi pasti tak ada yang benar-benar berharap pada Tang Ji.
Tentu saja, Tang Ji yang sekarang tak peduli pada pandangan orang lain. Ia melakukan urusannya sendiri tanpa perlu dinilai siapa pun. Yang lebih penting... sampai sekarang tak ada yang tahu seberapa gila rencananya. Arah penelitiannya sama sekali berbeda dengan para pakar di seluruh dunia yang meneliti serum dan vaksin zombie. Jika hal ini diketahui orang lain yang tinggal di sini, Tang Ji pasti tak akan dapat pujian, malah akan disalahkan. Karena itulah Tang Ji tetap merahasiakan apa yang sebenarnya ia lakukan.
Villa tepi danau, laboratorium bawah tanah. Cahaya lampunya bersinar terang.
Tang Ji yang mengenakan jas lab putih berdiri di depan meja eksperimen. Tubuhnya membungkuk menatap mikroskop biologis, terus menyesuaikan fokus lensa sambil keningnya berkerut halus.
Di hadapannya, meja eksperimen terlihat agak berantakan. Beberapa berkas tersebar di berbagai tempat—semuanya merupakan prestasi penelitiannya selama ini. Di sisi tembok laboratorium, terdapat beberapa kandang kecil berisi tupai, ular, kelinci, rusa kecil, dan burung gereja—total lima jenis hewan. Semua binatang ini ditangkap di hutan belakangan ini. Berdasarkan uji coba Tang Ji, rusa memiliki tingkat infeksi tertinggi, diikuti kelinci dan tupai. Namun dibandingkan manusia, tingkat infeksi ketiganya masih belum cukup untuk menimbulkan bahaya ras. Mereka aman. Bahkan jika manusia punah, mereka tetap akan bertahan.
Sedangkan ular dan burung gereja, melalui eksperimen Tang Ji, terbukti sama sekali kebal. Selama virus zombie tidak mengalami transformasi lebih lanjut, kedua spesies ini akan selamanya terbebas dari risiko menjadi makhluk zombifikasi.
Penelitian yang dilakukan Tang Ji sebenarnya telah diberitahukan melalui siaran radio militer. Mengenai masalah tingkat infeksi, saat ini hanya mamalia yang dapat terinfeksi. Beberapa mamalia memiliki tingkat infeksi yang sangat rendah, sementara lainnya cukup tinggi, dengan anjing sebagai yang tertinggi - mencapai dua kali lipat tingkat infeksi manusia. Sebenarnya tingkat infeksi manusia tidak 100%, namun hingga saat ini belum ada manusia yang terluka gigitan tanpa penanganan apapun namun tetap tidak mati atau bermutasi. Hal yang sama berlaku untuk anjing.
Di bagian terdalam ruang bawah tanah, di dalam kandang besi sebelah kiri, seekor zombie terus-menerus bergerak di atas tempat tidur logam. Hanya dalam sebelas hari, luka di tubuhnya telah sembuh total melalui regenerasi diri, meninggalkan bekas luka yang jelek. Dalam dua hari terakhir, Tang Ji telah memperhatikan bahwa bekas luka di kulit zombie tersebut perlahan menghilang. Diyakini tidak lama lagi, tidak akan ada sedikitpun bekas luka yang tersisa pada tubuh zombie yang dikendalikan ini.
"Seluruh bagian tubuh zombie yang bisa mengeluarkan tenaga telah ditentukan, kepala juga dipasangi helm kedap suara. Jadi apapun usaha dan teriakannya, tak akan mengganggu Tang Ji."
"Ding... Tang, Kita kedatangan klien!" Bunyi peringatan jernih bergema di laboratorium bawah tanah, diikuti suara Robbie yang terdengar.
Tang Ji yang sedang mengamati mikroskop mengangkat kepala, mendekati laptop di meja eksperimen sebelah. Saat mengaktifkan komputer yang dalam mode standby, layar berkedip lalu menampilkan kepala Robbie yang bergoyang dengan latar belakang ruang tamu villa tepi danau.
"Ada apa!" Tang Ji memasang earphone, merapikan kamera pengawas dan mikrofon di komputer sambil membungkuk menatap layar bertanya.
"Dari utara datang... mengendarai Toyota Land Cruiser... sudah turun dari mobil, oh... mereka mendekat, dua pria dan satu wanita, semuanya anak muda. Aku alihkan gambarnya ke layarmu, lihat apakah kamu perlu keluar melihat." Suara Robby di earphone terdengar terputus-putus. Dari gambar di layar terlihat Robby juga sedang menatap komputer, memantau sesuatu. Seiring ucapan tersebut, tampilan di komputer Tang Ji berubah menjadi pemandangan di luar pagar kawat besi.
Selama beberapa hari terakhir, Ai Wen telah memasang lebih dari enam puluh kamera pengawas di dalam dan sekitar villa. Beberapa kamera bahkan sudah dipasang di dalam hutan, melakukan pengawasan ketat di seluruh perimeter villa. Di aula utama villa, terdapat layar LCD besar yang terus menayangkan rekaman dari semua kamera pengawas. Jika ada sosok asing atau objek tak dikenal muncul di salah satu frame, langsung bisa terdeteksi.
Selain itu, di dalam villa juga dipasang banyak antarmuka khusus di setiap kamar. Komputer apa pun yang terhubung ke sini bisa melihat gambar dari luar. Jika benar-benar ada orang mendekat, akan segera terdeteksi. Bahkan jika zombie datang, bisa diprediksi sebelumnya.
Di layar komputer di hadapan Tang Ji, gambarnya sangat jelas. Terlihat dua pria dan satu wanita berjalan sambil berbisik-bisik menuju pintu gerbang di tembok perimeter, di jalan setapak dekat pintu masuk kendaraan sisi utara villa. Di kejauhan di tepi jalan raya, terparkir sebuah mobil offroad hitam.
Tang Ji mengangkat tangan melepas sarung tangan. Jarinya meluncur di layar komputer beberapa kali. Gambar berubah cepat menjadi 64 grid yang menunjukkan rekaman dari 64 kamera pengawas. Tiga di antaranya menangkap siluet dua pria dan satu wanita itu.
Tang Ji menyesuaikan ukuran beberapa gambar yang menampilkan wajah-wajah dengan jelas. Tiba-tiba ia mengerutkan kening, seolah teringat sesuatu. "Robbie, kamu masih di sana?" katanya ke mikrofon.
"Dia pergi ke pintu gerbang utama!" Suara Sarah terdengar dari earphone.
Tang Ji kembali mengangkat tangan menyesuaikan gambar, tampilan ruang tamu villa itu muncul lagi. Namun yang duduk di depan kamera sekarang sudah berganti menjadi Sarah, dengan Qiang En berdiri di sampingnya.
"Sepertinya kita dapat masalah. Kalian yang urusi. Sampaikan ke Robbie - ini wilayah kita. Baik, saya pergi bekerja." Setelah berkata demikian, Tang Ji menutup laptopnya, menoleh melihat kamera besar di atas kandang, lalu berjalan menunduk ke depan mikroskop untuk melanjutkan pekerjaan.
Villa, ruang tamu.
Sarah duduk di depan komputer, menyaksikan layar yang berubah gelap sepenuhnya. Dengan kening berkerut, ia menoleh memandang Qiang En dan bertanya bingung: "Apa maksud kalimat terakhirnya tadi?"
Qiang En menggelengkan kepala sambil mencibir tanda tak tahu, lalu berbalik menuju dapur.
"Sayang..." Sarah juga berdiri, sambil berjalan keluar mengeluarkan walkie-talkie: "Tang menyuruh kita yang urus. Katanya, di sini milik kita. Aku juga tak tahu kenapa dia bilang begitu. Padahal sekarang ini memang sudah milik kita. Begitulah katanya."
"Aku paham!" Terdengar respon Robbie dari walkie-talkie.
……
Beberapa menit sebelumnya.
Di luar kompleks berpagar kawat besi raksasa, di sisi timur laut, ujung jalan setapak sepanjang belasan meter yang terhubung dengan jalan desa. Sebuah mobil offroad Toyota hitam menyusur turun dari jalan raya desa, perlahan berhenti di tepi jalan.
"Ya Tuhan! Bagaimana ini bisa berubah jadi begini? Masih ada yang hidup..." Pintu belakang mobil offroad terdorong terbuka. Seorang gadis kulit putih kurus berambut pendek dengan senapan di punggung turun, menatap kompleks besar di ujung jalan sambil berteriak kaget:
Gadis itu terlihat cukup cantik dengan rambut berwarna rami, bintik-bintik kecil di kedua sisi hidungnya yang mancung. Usianya terlihat sekitar 20-21 tahun. Sementara itu, dua orang turun dari depan mobil offroad. Salah satunya adalah pria blasteran hitam-putih dengan kulit tidak sepenuhnya gelap. Ia memelihara janggut di dagunya, mengenakan topi baseball, dengan lengan berotot dan tubuh agak gemuk. Tinggi badannya kurang dari 1,8 meter namun beratnya minimal melebihi 200 kilogram. Yang satunya lagi sangat kurus dan lemah dengan tinggi sekitar 1,7 meter, kulit pucat, dan wajah yang sangat ganteng yang agak mirip dengan gadis pertama yang turun.
Setelah turun dari mobil, beberapa orang mulai berjalan menuju arah pintu gerbang. Karena struktur utama tembok dan pintu terbuat dari kawat besi, meskipun telah dilas dengan plat logam, masih ada celah sempit. Samar-samar, mereka bisa melihat situasi dalam kompleks: beberapa mobil terparkir, peralatan yang terlihat seperti alat latihan, dan yang paling menonjol adalah pos jaga kayu setinggi sekitar gedung berlantai tiga di sebelah pintu, jauh lebih tinggi dari tembok sehingga terlihat sangat jelas.
"Lihat sana..." Pria gemuk berusia sekitar 23-24 tahun mengangkat tangan menunjuk ke arah pohon di sebelah. Ia menyadari adanya kamera pengawas di sana.
"Wah, di sana juga ada!" Pria putih bersih dan ganteng itu juga menunjuk kamera pengawas di kejauhan yang terpasang di pohon.
“Mereka pasti masih hidup, di sini tidak ada orang datang, mereka masih hidup!” gadis berbintik-bintik di wajah berkata dengan penuh semangat, tak sabar melambaikan tangan pada dua pria itu, "Cepat, kita segera ke sana!" Sambil berkata demikian, dia mulai berlari. Saat melewati area dekat kamera pengawas, dia bahkan tersenyum dan melambaikan tangan ke arah kamera.
"Nekat seperti ini, hati-hati dipukuli sampai mati. Megan bisa berubah jadi Megan Mati." Pria kulit hitam gemuk itu memutar matanya yang putih, bergumam kesal.
"Ayolah Sayang, jangan bicara seperti itu ke dia. Bagaimanapun juga dia kakak kandungku!" Pria putih tampan itu menjawab dengan nada pasrah.
"Baik, baik. Aku mengerti, dia kakakmu." Pria gemuk itu juga menghela napas pasrah, mengangguk sambil berkata.
Kedua pria itu mempercepat langkah, perlahan menyusul gadis bernama Megan yang sedang berlari.
Gadis Megan, saat masih berjarak lima enam meter dari pagar kawat besi itu, sudah melompat-lompat penuh semangat sambil berteriak ke arah dalam pagar: "Ada orang di dalam? Hei! Ada orang? Ada, ada orang keluar!" Baru beberapa kali berteriak, gadis itu langsung menangkap siluet manusia di dalam kompleks yang sedang mendekati pintu gerbang. Dengan gemetar, ia menoleh ke dua pria sambil berteriak kencang.
Pria gemuk itu seolah tak menyukainya, melirik ke samping dengan pandangan merendahkan.
"Kalian siapa?" Siluet Robbie muncul di balik pintu gerbang. Karena pintu terbuat dari kawat besi berpenguat logam, dari luar pun terlihat jelas. Robbie berdiri di dalam gerbang bisa melihat keadaan luar sejelas-jelasnya, sebaliknya tiga orang ini juga melihat wajah Robbie dengan terang.
"Kamu siapa?" Megan yang sudah melihat jelas wajah Robbie secara bawah sadar membalas bertanya.
"Yang datang ke sini kan kalian, bukan aku. Kalian siapa?" Alis Robbie berkerut halus sambil menatap keluar dengan ekspresi serius.
“Ini rumah kami! Itu rumah ayahku! Kamilah pemiliknya! Siapa kau ini?” Gadis itu bereaksi seolah menghadapi sesuatu yang tak masuk akal, bersuara lantang bagai harimau kecil yang menggeram sambil mengacung-acungkan tangan, terlihat sangat garang.
“Oh...” Robbie tiba-tiba tersadar. Tangannya mengusap bagian bawah hidung, pandangannya mengarah ke tempat lain. Sejak tadi ia merasa wajah gadis dan pemuda berkulit putih itu terasa familiar. Saat membereskan villa, Robbie pernah melihat foto seluruh anggota keluarga pemilik asli tempat ini.
Saat Robbie sedang merenung, tiba-tiba ia mengangkat tangan dan menekan earphone nirkabel di telinganya, seolah sedang menyimak sesuatu. Tak lama kemudian, ia mengangguk dan berkata: “Aku paham!” Usai bicara, Robbie menatap ke arah luar pintu gerbang dengan ekspresi datar.
