"Tuan Tang?" Suara pria tiba-tiba terdengar dari walkie-talkie di meja samping tempat tidur yang dalam mode speaker.
"Tak apa." Tang Ji menoleh mengambil walkie-talkie, berkata singkat lalu meletakkannya kembali.
"Sudah Christine, jangan teriak lagi..." Tang Ji kembali duduk di ranjang Christine, mengulurkan tangan menutupi mulut gadis itu, "Seluruh orang di koridor sudah mendengar, jangan berteriak!"
Christine akhirnya tenang, namun matanya masih memancarkan kegembiraan yang tak terbendung. Tangannya meraba-raba kakinya, dari atas ke bawah, lalu mencubit dua kali. Ekspresinya tiba-tiba berubah panik saat menatap Tang Ji dengan suara serak: "Tidak sakit... Aku tidak merasakan apa-apa lagi."
"Hush!" Tang Ji memberi isyarat agar Christine diam.
Christine mengatupkan bibirnya, tatapan matanya yang memelas tertuju pada Tang Ji.
"Apa kamu tadi merasakan sakit saat Manuela menekan kakimu?" Tang Ji menggenggam tangan Christine sambil menatap matanya, bertanya dengan suara lembut.
"Hm!" Christine mengangguk pasti sambil tetap mengatupkan bibirnya.
"Bagus. Kamu akan sembuh, aku janji." Senyum mengembang di wajah Tang Ji saat ia mengangguk pada Christine.
"Benarkah? Berapa lama?" Christine tampak ragu karena sekarang ia benar-benar tak merasakan apapun di kakinya, bahkan sentuhan sekalipun.
"Jika beruntung, mungkin beberapa bulan. Tapi jika ada hambatan, bisa satu dua tahun bahkan lebih." Tang Ji tetap tersenyum saat menjelaskan pada Christine.
Saat ledakan dulu, saraf pinggang belakang Christine terputus oleh serpihan. Tang Ji kemudian melakukan operasi penyambungan saraf untuknya. Secara teknis operasi ini tidak sulit, mirip dengan menyambung pembuluh darah. Tapi menyambung saraf dan mengembalikan fungsinya adalah dua hal berbeda. Kemungkinan Christine pulih sebenarnya sangat kecil. Selama ini Tang Ji terus menasihatinya untuk tidak menyerah, mengatakan masih ada harapan - padahal semua itu hanya karangannya belaka. Menurut pemahamannya tentang ilmu medis saat ini, mustahil Christine bisa berdiri lagi.
Kecuali terjadi kemajuan pesat di bidang medis. Di masa depan, mungkin baru ada kesempatan untuk Christine.
Tapi kali ini, setelah Christine sakit parah dan pingsan selama 20 hari lebih, dia mulai merasakan nyeri di kakinya saat sadar. Ini pertanda awal pemulihan sensasi secara menyeluruh. Yang langsung terpikir oleh Tang Ji adalah—virus zombie!
Virus zombie pernah berjuang melawan antibodi khusus dalam tubuh Christine selama dua tiga hari, memicu serangkaian kondisi negatif, baru kemudian dibersihkan oleh Tang Ji menggunakan serum virus zombie. Tanpa kecelakaan, virus zombie menghasilkan efek khusus tertentu dalam tubuh Christine.
Anggota tubuh zombie bisa tumbuh kembali karena keberadaan virus zombie. Mungkin, alasan Christine tiba-tiba bisa merasakan sakit juga karena virus zombie.
Dengan kata lain, virus zombie-lah yang memperbaiki saraf rusak Christine saat melawan antibodi, memberikan kesempatan pada Christine untuk berdiri kembali.
Christine tersenyum, matanya memerah. Sambil menatap Tang Ji, tiba-tiba ia mengulurkan kedua lengannya melakukan gerakan memeluk.
Tang Ji tersenyum, mengangkat tangan menggores hidung Christine, lalu memeluknya. Telapak tangannya menepuk-nepuk punggung Christine seperti menghibur. Christine memeluk Tang Ji erat, tiba-tiba memalingkan wajah dan "plak!" mencium pipi Tang Ji. Ekspresi wajahnya memerah sembari kembali memeluk erat Tang Ji.
Christine bukan gadis yang menahan diri. Saat itu mungkin karena kehadiran Mani dan Monica, setelah mencium Tang Ji ia terlihat sedikit malu.
"Sudahlah, tidurlah. Sudah larut." Setelah memeluk Christine cukup lama, Tang Ji kembali menepuk punggungnya lalu perlahan mendorongnya menjauh.
Tang Ji dan Monica kembali ke ranjang masing-masing. Setelah mengucapkan selamat malam pada Christine, mereka menepuk tangan mematikan lampu sensor suara. Kamar langsung terhisap masuk ke dalam kegelapan.
Christine masih sulit menyembunyikan kegembiraan dalam hati, mencengkeram lengan Manila sambil berbaring di ranjang pasien, matanya berkedip-kedip dalam kegelapan, sama sekali tak bisa tidur.
"Gadis kecil, tadi aku sudah memberimu air mata, kamu tidak menciumku, malah mencium priaku." Dalam kegelapan, suara rendah Mani terdengar samar-samar di telinga Christine.
"Plak!"
"Sudah puas?!" Christine meraba-raba memeluk kepala Mani, mencium pipinya dengan keras, lalu berbisik bertanya.
"Hm, baiklah, tidurlah!" Mani mengeluarkan respon yang memenuhi standar.
Tidak lama kemudian.
"Christine, tanganmu sedang melakukan apa, Hm… Jangan cengkeram…" Manila merasakan sebuah tangan kecil memasukkan ke dalam piyama imutnya, tak hanya menepuk perlahan tangan itu, berbisik sambil merajuk.
"Aku tak bisa tidur. Temani aku bicara!" Christine dengan hati riang gembira berbisik dengan permintaan manja.
“Baiklah, sudahlah... Kok bertingkah kayak anak kecil sih? Kamu kan bukan Lin. Aku temani, bicara pelan-pelan ya.” Manila berbisik dengan wajah pasrah.
“Terima kasih... Apa saja yang terjadi beberapa hari ini? Ceritain dong.” Christine menyahut.
Keduanya mulai berbisik-bisik. Manila tentu tahu segalanya karena Tang Ji selalu bercerita padanya. Begitulah Christine akhirnya mengetahui seluruh proses penghancuran Fajar Api. Andai Manila tidak memahami karakternya dan langsung menutup mulutnya, pasti gadis itu sudah membangunkan dua orang di ranjang sebelah dengan teriakannya.
Waktu terus berlalu dari lewat tengah malam hingga jam satu, lalu sampai pukul dua. Percakapan mereka tak kunjung reda. Christine semakin bersemangat, sedangkan Manila sudah menguap berkali-kali. Setiap kali dia mencoba tidur, Christine menyelinapkan tangan ke dalam piyamanya - meraba-raba bagian atas, mengusap-usap area bawah, membuat Manila nggak bisa tidur sama sekali.
“Plak!”
Suara tepuk tangan bergema, lampu di dalam kamar menyala.
Christine langsung membeku, mengira dirinya telah membangunkan seseorang - baik Tang Ji maupun Monica, sama-sama tak berani ia ganggu. Paling-paling hanya bisa "mengganggu" Mani.
"Monica?" Mani mencoba memanggil dengan volume sedikit lebih keras.
"Hm, belum tidur?" Suara Monica terdengar dari balik tirai di sisi ranjang Tang Ji.
"Belum." Mani membalas, lalu berbisik pada Christine: "Tak apa, waktu menyusu Lin sudah tiba. Setiap hari di jam ini dia pasti bangun."
"Oh!" Christine mengangguk, menjulurkan tangan perlahan membuka celah sempit pada tirai di tepi ranjang untuk mengintip keluar.
Ternyata memang，Monica sudah mengangkat Lin dari tempat tidur bayi di tepi ranjang，menunjukkan payudara suburnya agar Lin bisa menggigit bagian merah muda yang menonjol. Mulut kecil Lin mengerucut，matanya menyipit membentuk celah sempit，terlihat masih belum sepenuhnya bangun，namun terus menyusu dengan ritme teratur，tenggorokannya mengeluarkan suara gemuruh.
Monica melirik ke arah ranjang tempat Tang Ji sedang tidur nyenyak，lalu memeluk Lin yang sedang menyusu，berjalan ke tepi ranjang Christine dan rekannya，membuka tirai sedikit，memutar tubuhnya dan duduk di sana，menundukkan kepala bertanya："Kalian belum tidur juga?!"
"Susah tidur，lagi asyik ngobrol." Christine menjulurkan lidah hitamnya ke arah Monica，berkata pelan.
Sejak lumpuh, selama berbulan-bulan emosi Christine terus-menerus lesu, enggan bicara, jarang tersenyum, apalagi malu atau menjulurkan lidah. Tapi hari ini, harapan kembali menyala di hatinya, seolah semangatnya bangkit kembali.
"Kau yang enggan tidur kan? Malah melarang Manila tidur." Monica melirik Manila yang wajahnya penuh kelelahan, lalu menatap Christine yang bersemangat, berkata dengan nada datar.
"Tidak, dia yang mau menemaniku." Christine tidak mengaku, tersenyum pura-pura tak bersalah.
"Benarkah?" Alis dan mata Monica melengkung tajam, menatap Christine.
"Aku salah, maafkan aku!" Christine segera menunduk, patuh mengakui kesalahan.
Sepuluh menit kemudian.
Monica mengantar Lin yang sudah kenyang kembali ke tempat tidur bayi, lalu berjalan ke sisi ranjang Christine. Sambil tersenyum pada Christine, ia berkata: "Aku akan menemanimu tidur." Kemudian memandang Mani: "Kamu temani Tang!"
Mani menepuk bahu Christine, menunjukkan ekspresi "berharap beruntung" padanya. Segera setelah itu turun dari ranjang, mengitari ranjang Tang Ji, lalu naik dan berbaring di posisi sebelumnya Monica.
Monica juga naik ke ranjang, berbaring di posisi sebelumnya Mani.
Lampu dimatikan lagi. Dunia seolah tiba-tiba menjadi sepenuhnya hening.
Awalnya Christine hanya tak berasa di bagian bawah tubuh. Kini bagian atasnya juga seolah tak berasa lagi, sepenuhnya kaku. Dari maksud Monica tadi, jika ia berani mengganggu tidur Monica, Monica akan sekali pun membunuhnya.
Dalam hati Christine, Monica selalu menjadi "Raja Iblis Mengerikan", bayangan itu tetap ada. Tapi... Christine tetap tidak bisa tidur. Dengan karakter aktifnya dan keinginan untuk menantang, akhirnya dia menyentuh Monica.
“Aku ingin menyusu.” Christine berbisik di telinga Monica.
Monica yang belum tertidur langsung membuka matanya, memiringkan badan menghadap Christine. “Benar-benar tidak bisa tidur?” Tanyanya pelan. Monica tidak marah seperti yang dibayangkan Christine, mungkin karena gadis ini masih dalam status pasien sehingga Monica memakluminya.
“Hm!” Christine mengangguk pelan.
“Ayo!” Monica segera membuka kancing baju tidurnya, menarik kerah baju, lalu merangkul kepala Christine dan menekannya ke dadanya.
Entah apa yang ada dalam pikiran Christine, dia benar-benar mulai menyedot. Mulutnya mengisap satu, tangannya mencengkeram yang lain, sesekali berganti posisi. Dalam kegelapan, terdengar suara gur-gur terus-menerus.
Setelah cukup lama, tiba-tiba tangan Christine tertangkap.
"Ada apa?" Christine segera mengangkat kepala sedikit, suaranya gemetar penuh keraguan.
"Tidak apa, lanjutkan!" desis Monica dengan napas yang mulai memburu.
Christine mengeluarkan suara "Oh", lalu kembali menunduk menyantap buah ceri kemerahan itu. Tapi Monica menggenggam tangan kanan Christine, perlahan mengarahkannya ke bagian piyama yang belum sepenuhnya terbuka. Ujung jari Christine merasakan sesuatu yang berbulu halus, lalu kelembaban yang licin.
Monica mulai merasakan getaran dari sentuhan Christine. Wanita ini jauh lebih berani daripada Manila, tapi sama sekali tak mengucapkan protes.
Kristin juga tidak mengatakan apa-apa. Enam bulan lalu dia pernah menjalin hubungan sesama jenis dengan Manila yang cukup lama. Dia tentu mengerti maksud Monica sekarang. Tangannya mengikuti arahan Monica dan langsung menjulur lebih dalam, ujung jarinya menekan perlahan dan menggoyangkan.
"Hmm..." Suara hidung Monica terdengar lebih berat, tapi segera dikendalikan. Namun tarikan napasnya kembali menjadi panik secara tidak wajar.
Hanya sekitar empat lima menit, tiba-tiba kedua kaki Monica merapatkan diri. Tubuhnya menegang dan gemetar beberapa kali sebelum akhirnya rileks.
"Huuu..." Monica menghela napas panjang lega.
Kristin menarik kembali tangannya yang basah kuyup. Tangan itu tergantung di udara tanpa tahu harus diusap ke mana. Setelah ragu sebentar, dia mengangkat tangan dan menyelipkannya ke mulut, menghisap beberapa kali sambil mengeluarkan suara decapan.
"Jorok!" kata Monica dengan suara lembut.
"Oh!" Christine terdengar, tidak membantah.
"Tadi... Manila yang mengajarimu?" Monica bertanya pelan, ia ternyata bisa diselesaikan oleh jari orang luar hanya dalam beberapa menit. Kalau bilang tidak pernah berlatih, pasti tidak percaya.
"Ya... benar." Hati Christine langsung menegang.
"Hm, tidak apa-apa. Manis, tidurlah!" Monica berbisik lembut.
Pukul tiga subuh, bahkan Christine pun hampir tertidur lelap. Di dalam kamar yang sunyi senyap, Tang Ji tiba-tiba membalikkan badan di atas ranjang besar, lalu tiba-tiba membuka matanya.
Braak! Braak! Braak! Braak!
Tang Ji yang semula sudah tertidur nyenyak langsung tersadar. Ia merasakan detak jantungnya sangat cepat.
"Plak!" Sebuah kepalan tangan menghantam meja samping tempat tidur. Dalam dentuman muram, lampu kamar menyala tiba-tiba. Semua orang langsung terbangun oleh keributan.
“Ada apa Sayang?” Manila menoleh tajam mengangkat kepala melotot dengan mata kebingungan menatap Tang Ji, sambil berbicara, mengusap mata lalu bangkit dari tempat tidur.
Whoosh!
Beberapa meter di kejauhan, tirai di samping ranjang pasien tiba-tiba dibuka, Monica duduk tegak sambil menatap Tang Ji dengan ekspresi bertanya, di sampingnya Christine yang tak bisa bangun hanya bisa menoleh melihat Tang Ji.
Tang Ji dengan satu tangan menutupi dada bersandar di kepala ranjang, matanya melotot seolah memikirkan sesuatu, keningnya basah keringat dingin seperti baru terbangun dari mimpi buruk.
"Harta karun, ada apa denganmu?" Monica merasakan kegelisahan di hati, turun dari ranjang dan mendekati Tang Ji sambil memeluk bahunya bertanya.
Di sisi lain, Mani memeluk erat lengan Tang Ji.
"Mulailah!" Tatapan Tang Ji tiba-tiba dipenuhi kepanikan. Dengan kasar ia mendorong kedua wanita itu, melompat dari ranjang dan bergegas ke jendela membuka bilah logam. Matanya menatap keluar ke langit malam sambil mengulangi: "Ini sudah mulai!"
"Apa yang mulai... Virus?" Monica menghampiri dari belakang Tang Ji, lalu menjerit kaget.
"Ya. Transformasi sudah dimulai. Aku bisa merasakannya mempengaruhi tubuhku. Detak jantungku terlalu cepat." Tang Ji menelan ludah sambil memegangi dadanya, mondar-mandir gelisah. Ia merasa jantungnya hampir melompat keluar dari rongga dada.
Berdasarkan kabar siaran militer, virus zombie akan mengalami transformasi lagi dalam beberapa hari mendatang. Tanpa kecelakaan, tepatnya malam ini, Tang Ji bisa merasakannya. Antibodi dalam tubuhnya tumbuh dengan memanfaatkan rangsangan terus-menerus dari virus. Saat virus bermutasi, udara juga mengandung virus. Saat Tang Ji bernapas, virus akan masuk ke tubuhnya. Karena keunikannya inilah dia bereaksi saat virus bermetamorfosis.
"Tang, tenanglah..." ucap Monica sambil mengangkat tangan ingin menenangkan Tang Ji.
"Ah! Sial..." Tang Ji tiba-tiba menjerit ngeri, kedua tangan memegangi kepalanya lalu bersujud di tanah dan berguling-guling.
Kepalanya tiba-tiba sakit sekali seolah ada benda menerobos ke dalam otaknya. Tang Ji sama sekali tak bisa mengendalikan diri dan mengeluarkan jeritan kesakitan.
"Tiga wanita di dalam ruangan langsung grogi. Monica berlutut di samping Tang Ji sambil memeluk eratnya, menatap kepala Tang Ji dengan cemas bertanya: "Ada apa denganmu? Sayang, jangan nakuti aku!"
Manila merangkak turun dari ranjang, lari ke tepi tempat tidur, memandang Tang Ji dengan wajah kebingungan tak tahu harus berbuat apa.
"Hubungi... hubungi Hillary, ah brengsek... dan Robbie juga, sial!" Suara Tang Ji terputus-putus. Tiba-tiba ia melepaskan diri dari pelukan Monica, memeluk kepalanya sambil berguling-guling di lantai.
"Cepat! Cepat!" Monica grogi melambai-lambaikan tangan ke arah Manila.
Manila berlari ke meja samping tempat tidur, mengambil dua earphone di atasnya, sekaligus menekan tombol komunikasi sambil berteriak ke mikrofon kecil di samping earphone: "Cepat datang, Tang ketahuan masalah!"
"Segera sampai!" Suara Robbie terdengar dari salah satu earphone.
"Dia kenapa?" Suara Hillary Clinton juga bergema dari earphone lainnya.
“Aku tidak tahu, cepatlah datang, dia sangat menakutkan.” Mani sudah menangis tersedu-sedu.
Beberapa menit kemudian, pintu kamar Tang Ji terbuka lebar. Eksekutif Fajar Api seperti Hillary Clinton dan Xiu Lante muncul di ambang pintu. Di samping mereka, sepuluh orang termasuk Robbie dan Jenderal Qiang berdiri. Semua yang punya hubungan dengan Tang Ji telah datang, namun semuanya hanya berdiri di sekitar pintu.
Tubuh Tang Ji meringkuk di dekat jendela, terus bergetar hebat. Satu tangan menutupi dada, satunya lagi mencengkeram kepala sambil mengeluarkan jeritan kesakitan yang bergelombang. Pemandangan ini terlihat sangat mengerikan. Monica ingin mendekat untuk menenangkannya, namun setiap kali selalu ditolak dengan dorongan kasar.
"Cari cara... cari cara... brengsek!" Tang Ji sekarang seolah mengalami siksaan yang cukup membuat siapapun merinding hanya dengan membayangkannya. Ia memohon pada orang-orang di sekitarnya untuk menyelamatkannya. Meski berprofesi sebagai dokter, dalam keadaan seperti ini ia tak mampu menyelamatkan dirinya sendiri.
Hillary Clinton mendekati Monica dari samping, menyodorkan sebuah pistol sambil bersuara dingin: "Peluru anestesi!"
Keduanya memiliki kontradiksi yang mendalam, namun jelas ini bukan saatnya menggubris hal tersebut. Monica menerima pistol itu, mencabut magazen untuk melihat sebentar lalu menyelipkannya kembali. Dengan mata memerah memandang Tang Ji, ia mengangkat pistol sambil berkata: "Bersalah, harta karun!"
Hah!
Sebutir peluru menembus bagian belakang leher Tang Ji. Teriakannya langsung melemah, namun secepat itu suaranya kembali menguat. Peluru anestesi tidak efektif!
"Tongkat listrik!" Hillary Clinton menyodorkan tongkat setrum militernya kepada Monica.
Monica segera mendekat membawa tongkat setrum. Di samping Tang Ji, terdengar suara letupan listrik saat ia menekankan tongkat itu ke lehernya.
Tubuh Tang Ji bergetar hebat sesaat sebelum terjatuh ke lantai dengan braak. Matanya memutar putih, sepenuhnya tak bergerak lagi.
"Whoosh..." Hillary Clinton menghela napas lega. Monica pun melakukan hal yang sama.
Monica melambaikan tangan ke Manila, keduanya bekerja sama mengangkat Tang Ji ke ranjang. Robbie ingin membantu, tapi ditolak oleh Monica.
Tiba-tiba.
Tang Ji kembali membuka matanya, disusul jeritan kesakitan. Ia berguling-guling jatuh dari ranjang, terlihat sangat menyakitkan.
Plak!
Saat berguling, Tang Ji menabrak meja samping tempat tidur. Pistol yang ada di atasnya jatuh ke lantai.
Tang Ji menyambar pistol itu, tanpa pikir panjang menyelipkan ujung laras ke mulutnya, lalu menekan pelatuk.
