Tang Ji terjatuh karena rasa sakit yang tiba-tiba, namun hanya 30 detik kemudian ia bangkit seperti kehabisan tenaga. Duduk sambil memelintir badannya dan bersandar pada lemari. Ia tidak merasakan sakit lagi - seluruh lengannya mati rasa total, bukan hanya lukanya. Semprotan itu memiliki efek rangsangan yang sangat kuat.
Tang Ji mengangkat lengannya, melihat telapak tangan yang hampir kehilangan kontak sambil terengah. Pandangannya mendarat pada luka, senyum tipis mulai muncul di wajahnya.
Segala sesuatu sepadan, luka itu tidak hanya berhenti mengeluarkan darah sepenuhnya, tetapi juga membentuk lapisan zat seperti jel di antara luka. Ini hasil yang diinginkan Tang Ji, kehadiran materi ini dapat mempercepat penyembuhan luka.
Pukul lima sore, langit gelap gulita, Tang Ji kembali ke pondoknya.
Baru saja masuk, Tang Ji yang semula ingin menggantung topi di rak baju tiba-tiba limbung saat mencoba berjinjit, kedua kakinya lemas seketika hingga terjatuh ke lantai dengan suara braak.
"Oh Tuhan, terjatuh lagi... Sayang..." Christine yang baru keluar dari kamar mandi berteriak lari mendekati Tang Ji, segera sampai di pintu lalu menopang tubuh Tang Ji yang terhuyung-huyung bangkit agar bisa berdiri tegak.
"Aku baik-baik, tidak apa-apa!" Tang Ji memberi isyarat pada Christine untuk mengambilkan tongkatnya sambil berkata.
Christine mengambil tongkat yang tergeletak di lantai dan menyelipkannya ke Tang Ji. Bersamaan dengan itu, Monica dan Manila yang berada di dapur mendengar keributan dan masuk ke dalam aula.
"Sayang, kamu baik-baik saja?"
"Sayangku..."
Keduanya bergegas mendekati sisi Tang Ji, memeriksa dengan cermat dari atas ke bawah. Tang Ji menggelengkan kepala sambil tersenyum dipaksakan, "Tidak apa-apa, aku sudah mulai terbiasa." Sambil berkata demikian, Tang Ji bersandar pada tongkatnya dan perlahan berjalan menuju sofa dengan Christine menopangnya di samping.
"Hari ini makan apa?" tanya Tang Ji sambil tersenyum.
"Ada ikan mata sebelah segar yang dikirim pagi ini... plus salad kentang..." jawab Manila.
"Bagus. Kalian bisa pergi, jangan mengerumuniku. Aku tidak segitu rapuh." Tang Ji duduk di sofa sambil menghela napas lega, melambaikan tangan pada kedua wanita itu.
Monica dan Manila saling pandang, segera masing-masing membungkuk mencium bibir Tang Ji, lalu berjalan bersama menuju dapur. Monica masih menoleh berkata: "Tidak akan lama, dua puluh menit."
"Hmm!" Tang Ji mengangguk membalas.
Kedua wanita kembali ke dapur. Baru masuk, tiba-tiba Monica mengangkat tangan menutupi mulutnya, bergegas mendekati talenan, memegang papan pemotong sayur, menunduk seolah ingin menangis.
"Dia akan baik-baik saja, oke? Jangan begini, nanti dia melihat." Manila mendekati sisi tubuh Monica, meletakkan tangan di bahunya, memencet perlahan, berbisik menghibur.
Di aula, Tang Ji memandang Christine yang sedang duduk di sampingnya mengusap-usap kakinya, bertanya lembut: "Putri kita?"
"Kecapekan main, baru tidur. Dia nakal, lebih ribut dariku." Christine mengerutkan bibir, seolah sedang melapor.
"Hehe!" Tang Ji tersenyum, mencium dahi Christine sambil berbisik, "Dia baru setengah tahun."
"Oh!" Christine mengangguk baik-baik, berpindah duduk di sisi lain Tang Ji. Kaki kanan Tang Ji dipeluknya erat sambil diusap-usap dengan tekun, kepalanya terus menunduk menunjukkan kesungguhan.
"Sudahlah, aku baik-baik. Bantulah mereka!" Tang Ji mendorong tangan Christine dengan lembut, menarik kembali kakinya sambil tersenyum manis.
"Mereka melarangku masuk." Christine melirik pintu dapur dengan nada bicara penuh ketidakpuasan.
"Kenapa?" Tang Ji penasaran.
"Aku tadi menghancurkan dua piring... Cuma dua piring saja, apa sih..." Suara Christine semakin lirih.
“Haha... Kamu benar-benar...” Tang Ji memeluk bahu Christine sambil tertawa, menggelengkan kepala pelan. Ia bingung harus berkata apa. Christine bukan gadis bodoh, tapi di dapur selalu jadi bencana. Sepengetahuan Tang Ji, ini bukan pertama kalinya.
“Apa kamu lelah?” Christine menyandar di bahu Tang Ji, mengangkat kepala bertanya.
Tang Ji menunduk dan mengecup bibir Christine sebentar, tersenyum: “Sedikit.”
“Mau rileks sebentar?” Christine menunjukkan senyum licik, berbisik pelan.
“Apa?” Tang Ji juga menurunkan volume suaranya, bertanya sambil tersenyum.
“Hush!” Christine memberi kode diam pada Tang Ji, melirik pintu dapur sekejap sebelum berbalik. Tangannya meraih pinggang Tang Ji, dengan mahir melepas ikat pinggangnya, lalu membuka resleting celana dan memasukkan tangan...
Tak lama kemudian, Christine yang duduk menyamping di samping Tang Ji segera membungkuk dan tertunduk, mulut kecilnya membuka selebar mungkin, bergerak naik turun...
Tang Ji menarik napas dalam-dalam, tangannya meraba punggung Christine, membelai perlahan beberapa kali lalu naik ke lehernya, melepaskan pita hitam di leher Christine, kemudian tangan itu merayap ke bawah, menyusup ke dalam dadanya...
Aula mulai dipenuhi suara ckck yang aneh, seolah gadis rakus sedang menjilat es krim.
Delapan menit kemudian, tangan Tang Ji mencengkeram rambut Christine, menekan tubuhnya ke bawah sambil menggoyang-goyangkan beberapa kali, lalu tubuhnya lunglai di sofa dengan desahan berat.
"Hah!" Christine batuk sekali, menutup mulutnya lalu berdiri, berlari menuju kamar mandi.
Segera, suara aliran air dan berkumur-kumur terdengar dari kamar mandi. Satu menit kemudian, Christine keluar sambil mengelap mulutnya dengan handuk basah. Ia mendekati Tang Ji, membungkuk dan dengan serius membersihkan bagian bawahnya, lalu mengancingkan ritsleting celana serta memasang kembali ikat pinggangnya.
Pandangan Tang Ji tak lepas mengikuti gerakan Christine, senyum samar tak pernah luruh dari wajahnya.
"Sudah lebih rileks?" Christine mendekatkan diri di samping Tang Ji, menengadah dan berbisik pelan.
"Malah semakin lelah," Tang Ji tertawa sambil berpura-pura limbung, menirukan gaya orang kehabisan tenaga.
"Kalau... nyaman tadi?" Christine sengaja memanjangkan suara, mengulang pertanyaannya.
"Tentu saja." Tang Ji mengangguk, lalu menjepit pipi Christine dengan jemarinya. Dengan tarikan berirama ia berkata: "Harta karunku, kau yang terhebat."
Saat makan malam, Tang Ji yang sejak tadi enggan bicara dan diam-diam menyantap hidangan tiba-tiba mengangkat pandangan ke Monica yang duduk berseberangan, berkata lembut: "Nanti aku mau ke tempat Hillary, pulangnya bakal larut. Kalian tak usah menungguiku."
Perkataan ini jelas hanya ditujukan pada Monica, bukan orang lain.
Monica menunduk, perlahan memotong ikan mata sebelah menjadi beberapa , menusuk satu lalu menyuapkannya ke mulut. Setelah mengunyah dengan seksama, barulah ia angkat kepala memandang Tang Ji. Pandangan samarnya tertahan sejenak sebelum akhirnya tertunduk lagi sambil bergumam: "Hm!"
Keduanya berada dalam fase yang sangat aneh. Mereka masih bicara, saling peduli, bahkan menemani ranjangnya, namun semuanya terasa hambar tanpa gairah.
Usai makan, Tang Ji meninggalkan pondok. Dengan tongkat penyangga dan dikawal beberapa prajurit bersenjata bertubuh tinggi besar, ia berjalan menuju kediaman Hillary yang masih beralamat di pangkalan militer bawah tanah.
Setelah mengantar Tang Ji keluar, Manila baru kembali ke meja makan ketika tiba-tiba terdengar suara "plak!", sebuah piring jatuh menghantam lantai dan hancur berkeping-keping.
Tangan Christine yang sedang membawa piring sedikit menggoyang. Awalnya dia mengira dirinya lagi yang salah, namun setelah menyipitkan mata sebentar, dia menyadari piring di tangannya masih utuh. Saat menoleh perlahan, dia melihat piring keramik pecah tergeletak di lantai dekat kaki Monica.
Monica berdiri di samping meja dengan ekspresi wajah yang jelek. Pasti bukan karena menghancurkan sebuah piring saja dia seperti ini. Baru saja dia hanya tidak sengaja menjatuhkan piring itu. Tatapannya terlihat dipenuhi kegelisahan, kelopak matanya berkedip dua kali sebelum lingkaran matanya memerah tanpa alasan.
"Sayang, kau istirahat saja. Biar kami yang merapikan." Manila menghampiri Monica dan menggenggam tangannya, lalu meletakkan tangan di bahu Monica, berusaha membujuknya yang sedang murung untuk meninggalkan tempat itu.
Monica memelintir bahunya, melepas genggaman Manilla, lalu kembali meraih piring di meja dan melemparkannya ke lantai dengan keras.
Plak! Plak! Plak! Plak! Plak! Plak!...
Dentingan benda pecah beruntun, Monica dengan sangat cepat melempar semua barang yang bisa dihancurkan di atas meja, meninggalkan serpihan di seluruh lantai.
Manilla menutup matanya sesaat, wajahnya menyiratkan kesedihan, tak tahu harus bagaimana menenangkan.
Christine berdiri di samping, terlihat ketakutan sambil bersembunyi di belakang Manilla.
Tiba-tiba Monica berjongkok, kedua lengannya memeluk lutut, menyembunyikan wajahnya sambil berseru sambil menangis histeris!
Tujuh hari kemudian, 31 Oktober, Malam Halloween, siang hari, di dalam kantor Hillary.
Hillary duduk di kursi bos, tangannya secara bawah sadar memutar-mutar pulpen, matanya menatap tajam wanita di seberang meja dengan diam seribu bahasa.
Dia menunggu lawan bicara berbicara, persis seperti yang dikatakan Tang Ji. Monica benar-benar datang, tampaknya untuk bernegosiasi.
