Menyingkirkan Piyé bagai membersihkan bibit spiritual dari tubuh di lembah, Gong Hao telah menghilangkan ancaman besar.
Dan dengan kematian Piyé, kekosongan kekuasaan dan teknologi yang besar muncul di kastil alkimia.
Heinz sangat membutuhkan asisten yang bisa membantunya.
Tidak mengherankan, Gong Hao menjadi pilihan terbaik - baik dilihat dari hubungannya dengan Putri, bantuan besarnya kepada Heinz yang harus dihargai, maupun kemampuan dan kecerdasannya sendiri. Dia layak mendapatkan imbalan ini.
Tentu saja, Gong Hao menggantikan posisi Andrew seperti yang dia perkirakan sebelumnya. Mulai hari ini, semua pekerjaan pelayan diserahkan padanya. Sedangkan Andrew akan menggantikan Piyé dalam mengelola para magang.
Meskipun banyak teknik alkimia tingkat tinggi belum dibuka untuk Gong Hao oleh Heinz (karena Heinz tidak bisa mempercayainya seperti Andrew dan Piyé), bagi kebanyakan orang ini sudah merupakan anugerah yang luar biasa.
Sebagai pelayan rendahan yang menjadi magang, lalu naik menjadi asisten - mencapai tahap ini sudah merupakan pencapaian yang sangat hebat bagi siapa pun.
Bagi Gong Hao sendiri, dengan catatan rahasia Piyé dan buku catatan Electra yang disembunyikan, dia tidak perlu lagi memikirkan masalah teknik alkimia tingkat tinggi. Setelah kematian Piyé, Gong Hao dengan terbuka masuk ke kamarnya dan mengambil semua barang tersebut.
Jadi sekarang dia hanya perlu fokus pada penelitian Sihir Ruang Dimensi.
Saat malam sunyi, dia diam-diam mempelajari sihir angin dan jiwa. Dia harus memanfaatkan waktu sebelum Avi pergi untuk memahami misteri sihir. Begitu Klos ikut pergi, akan sulit baginya mendapat bimbingan. Mengenai Pakit, dia meminta catatan latihan dasar Bushido dan sebuah manual dari samurai tanah ini untuk dipelajari nanti.
Di bawah bimbingan Klos, kini dia sudah menguasai empat sihir dasar angin dan dua sihir dasar jiwa dengan lancar.
Tentu saja, selain Lancelot, tak ada yang tahu dia bisa menggunakan sihir. Bahkan Lancelot hanya tahu sedikit tentang sihir dasarnya - bukankah ini seharusnya dikuasai setiap alkemis?
Bagi Gong Hao, sihir tidak ada yang baik atau jahat. Hanya penggunanya yang membawa niat. Di pulau dimana nyawa bisa melayang kapan saja, bahkan jika harus tidur dengan boneka arwah penasaran tiap malam, dicaci ribuan orang, atau diburu seantero dunia, dia tak akan ragu sedikitpun menggunakan sihir terlarang sekalipun.
Yang mengejutkannya, alkimia benar-benar efektif meningkatkan kekuatan sihirnya. Saat dengan sengaja menyalurkan kekuatan sihir ke dalam proses alkimia, dia bisa merasakan pertumbuhan magisnya yang signifikan.
Pertumbuhan kekuatan magis ini mungkin tidak lebih cepat dari meditasi, tapi bagi rakyat biasa yang tidak memiliki bakat sihir, ini setara dengan memiliki jalan pintas nyata untuk menjadi penyihir. Gong Hao tidak memiliki bakat dalam sihir jiwa, namun dia sepenuhnya bisa melatih kemampuan indra elemennya melalui pembuatan mutiara jiwa yang dibutuhkan untuk boneka darah dan daging.
Karena fokus utamanya pada alkimia, meskipun memiliki bakat indra elemen angin, peningkatan kemampuan sihir jiwanya justru berkembang lebih cepat daripada sihir angin di kemudian hari.
Gong Hao merasa jika terus begini, mungkin dia belum menjadi penyihir angin, malah lebih dulu menjadi penyihir jiwa - padahal bakat elemen anginnya jauh lebih kuat daripada bakat jiwa.
Takdir selalu suka mempermainkan manusia, situasi seperti ini benar-benar membuat orang tak tahu harus tertawa atau menangis.
Hari keenam setelah kematian Piyé, akhirnya tiba saatnya Avi harus pergi.
Meski sudah memahami perasaannya terhadap Gong Hao, dia tetap tidak berhak membawa Gong Hao. Kematian Piyé membuat posisi Gong Hao semakin vital, Heinz juga tidak bisa menanggung risiko kehilangan asisten baru sekaligus magang berbakat lagi, demikian pula kekaisaran tidak bisa menerima kerugian seperti ini.
Perumpamaan, dongeng, dan legenda yang diceritakan Gong Hao padanya membuat sang Putri perlahan memahami benar-salah dalam hati manusia, mengerti banyak kebenaran. Ini membuatnya tidak mudah marah dan bertindak semaunya - setidaknya di hadapan Gong Hao.
“Malam sebelum keberangkatan, Avi berbaring di tempat tidur, sementara Gong Hao duduk di sampingnya. Dia setengah bersandar di pelukan Gong Hao, mendengarkan cerita terakhir tentang Hamlet yang diceritakannya.
Hamlet adalah karya Shakespeare di periode akhir. Meskipun Romeo dan Juliet mungkin lebih terkenal, namun dari segi nilai seni, perspektif filosofis, dan pemahaman sosial, Hamlet justru lebih unggul.
Ceritanya sebenarnya sederhana: Pangeran balas dendam yang polos, raja perebut takhta yang licik, gadis lugu yang terobsesi cinta, serta para menteri berhati ular – setiap adegan pertarungan istana memainkan drama tragedi-komedi kehidupan. Pada akhirnya, semua orang binasa bersama, menciptakan tragedi paling termasyhur dalam sejarah.
Shakespeare menyampaikan gagasan tentang lingkaran balas dendam yang tak berujung dengan cara paling gamblang.
Ia meyakini bahwa pengampunan adalah kebajikan.
“Mengampuni yang tak termaafkan – betapa mulianya tindakan ini!”
Ini adalah kutipan asli dari Shakespeare.
“Hidup atau binasa, itulah pertanyaan yang harus dijawab;
Apakah lebih mulit untuk menanggung pukulan takdir yang kejam dengan diam,
Atau bangkit melawan lautan penderitaan tak bertepi,
Dan menaklukkannya.
Mana dari dua pilihan ini yang lebih agung?
Mati hanyalah tidur, tak lebih dari itu!
Jika dengan tidur kita bisa mengakhiri penderitaan jiwa dan derita ragawi,
Maka akhir seperti ini patut didambakan!
Mati, tertidur...
Tapi dalam tidur mungkin ada mimpi, aduh, inilah penghalangnya;
Saat kita melepaskan kulit fana yang sekarat ini,
Mimpi apa yang akan datang dalam tidur panjang kematian?
Ini membuat kita ragu-ragu,
Membuat kita rela menanggung bencana bertahun-tahun,
Sebab siapa yang mau tahan derita duniawi,
Seperti tirani penguasa, kesombongan si angkuh, sakitnya patah hati, kelambanan hukum, penghinaan pejabat korup, atau hinaan rakyat jelata,
Jika dia bisa mengakhirinya dengan satu tusukan sederhana?
Siapa lagi yang mau diperbudak, letih seumur hidup bekerja,
Diam-diam menanggung penderitaan, ketimbang melarikan diri ke negeri antah-berantah,
Jika bukan karena ketakutan akan hal-hal setelah kematian yang membuatnya ragu?
Negeri ini adalah daerah tak dikenal, sejak zaman dahulu tak ada yang kembali.
Maka, akal sehat menjadikan kita pengecut,
Dan kekhawatiran mengaburkan tekad gemilang kita seperti orang sakit.
Lebih lagi, ini semua bisa menggagalkan rencana besar, menghilangkan semangatnya."
Di dalam kamar, Gong Hao perlahan melafalkan kutipan klasik dari Hamlet yang telah abadi selama ratusan tahun. Berkat masa kuliahnya, inilah bagian yang sering digunakan mahasiswa introvert zaman sekarang untuk menyatakan cinta. Gong Hao pun tak luput dari tren ini, sehingga bisa menghadirkannya kembali saat ini. Sama halnya dengan dialog Romeo dan Juliet di hutan kecil. Jika harus merekam semua dialog secara lengkap, mustahil baginya.
"Benar-benar kisah cinta yang mengharukan. Hughie, mengapa manusia harus membalas dendam?" tanya Avi.
"Karena ada kebencian dalam hati mereka."
"Lalu mengapa manusia juga membutuhkan cinta?"
"Karena ada cinta dalam hati mereka juga."
"Mana yang lebih kuat, cinta atau kebencian?"
Gong Hao ragu sejenak, lalu menggeleng: "Aku tak tahu. Tapi yang kusadari, baik cinta maupun benci tak pernah lahir tanpa sebab. Segala sesuatu terjadi dengan alasan, hanya saja kita tak mampu melihat jalinan sebab-akibatnya."
Avi termenung sejenak sebelum semakin merapat ke Gong Hao: "Aku tak suka cerita ini, Hughie. Terlalu menyedihkan. Setidaknya Romeo dan Juliet mati demi cinta, bersama-sama. Tapi Hamlet dan Ophelia tak pernah bersatu. Dia membuatnya gila, menyebabkan kematiannya... Aku benci dia, benci Hamlet. Dia hanya gila balas dendam, mengabaikan betapa berharganya kekasih di sisinya."
"Kau benar, Avi, tak seorang pun boleh menyakiti orang yang dicintainya seperti ini. Tapi beberapa hal tetap harus dilakukan. Mungkin hanya berbeda dalam kadar batasannya."
"Lalu jika kau adalah Hamlet, apakah kau akan bersikeras membalas dendam?"
"Hamlet bersikeras membalas dendam karena Claudius ingin membunuhnya untuk menghilangkan ancaman, sementara dia sendiri pernah ragu tentang balas dendam. Jika aku Hamlet, demi wanita yang kucintai, aku bisa tidak membalas Claudius, asalkan dia berjanji tak akan menyerangku."
Avi mengangguk setengah mengerti.
Dia tak tahu bahwa alasan Gong Hao bercerita hari ini bukan untuk mengajarkan pengampunan atau belas kasihan.
Karena dalam kisah Hamlet sebenarnya, tunangan Hamlet bukanlah putri Claudius yang menjadi target balas dendamnya. Tapi dalam versi Gong Hao, dia sengaja mengubah Ophelia menjadi putri Claudius sang perebut takhta. Ini membuat cerita semakin mirip dengan situasi antara Gong Hao dan Avi, meski sang Putri kecil belum memahaminya saat ini.
Tapi pada suatu saat nanti, dia akan mengerti segalanya.
Dan inilah yang ingin disampaikan Gong Hao padanya.
Sebuah jawaban, jawaban yang dipersiapkan untuk Avi.
Gong Hao tidak tahu mengapa dia melakukan ini. Di nalurinya, dia mengira tidak akan jatuh cinta pada gadis kecil ini. Dia hanya memanfaatkannya. Namun di kedalaman hatinya, selalu ada kegelisahan samar. Karena itulah dia menceritakan kisah yang telah diadaptasi ini, berharap Avi bisa memahaminya nanti.
Dengan kata lain, dia peduli perasaannya? Gong Hao agak tidak yakin.
Setelah diskusi selesai, Gong Hao berkata: "Baiklah, Avi. Kau harus istirahat. Tidur lebih awal."
"Baiklah." Putri kecil itu berbaring kembali di selimut dengan enggan. Air mata masih menggantung di pipinya.
Air mata saat ini masih untuk Ophelia, gadis tak bersalah yang menjadi korban dalam pertarungan antara kekasih dan ayahnya.
Keesokan paginya, Avi kembali ke kapal naga.
Sebelum naik kapal, dia menangis lagi. Kali ini air matanya mengalir untuk kepergian pemuda yang telah benar-benar dicintainya.
Sesaat sebelum naik kapal, dia tiba-tiba berlari ke pelukan Gong Hao dan mencetakkan ciuman keras di pipinya.
Sebuah ciuman basah yang panjang, penuh gairah keperawanan, terpateri di bibir Gong Hao.
Ciuman ini membuat semua orang menundukkan kepala ketakutan, tidak berani mengangkat pandangan.
Tahun lalu, sang putri kecil mengguncang semua orang dengan "Ksatria Penjaga"-nya.
Tahun ini, putri kecil itu menggunakan ciuman pertamanya untuk menyatakan bahwa hatinya telah sepenuhnya dikuasai Hughie Glare.
Saat dia pergi, semua pelayan, Bushido, dayang, penyihir, dan pelayan rumah tangga memandang Hughie Glare dengan kekaguman magis.
Hanya Gong Hao sendiri yang tetap tenang tanpa perubahan.
Hatinya telah membatu seperti batu karang.
Memandang kapal Raja yang menjauh, Gong Hao bergumam: "Selamat jalan, ... Ophelia-ku. Ini mungkin pertemuan terakhir kita."
