Seperti mimpi, semuanya terasa begitu tidak nyata.
Sambil merangkul leher Hughie erat-erat, Avi menatapnya tak percaya: "Hughie, Hughie, benarkah ini kamu?"
"Ya ini aku, Avi. Seperti janjiku, aku datang menemuimu." Bisik Hughie lembut di telinganya.
Sayap malaikat itu mengepak kuat di udara, meniupkan angin kencang yang menerbangkan rambut Avi.
"Tapi saat ini matanya hanya melihat Hughie, seluruh tubuhnya terasa melayang-layang seolah berada di surga, kesadarannya agak tidak jelas untuk sesaat."
Burung api yang menyala-nyala terbang dari ufuk langit, mengapit mereka berdua di kiri dan kanan, mengeluarkan kicauan riang seakan sedang menyombongkan diri, karena berkah Burung Cinta tak pernah gagal.
Pernah berfantasi, pangeran berkuda putih-nya akan datang mengendarai awan dan kabut untuk meminangnya, hingga detik ini mimpi itu menjadi kenyataan, Avi menatap bumi di bawah kakinya, segalanya terlihat begitu kecil.
Tiba-tiba muncul perasaan takut.
"Hughie... Aku takut."
"Selama aku di sini, tak perlu kau takut apapun." Hughie berkata lembut.
Meski begitu, Hughie tetap menurunkan ketinggian. Kini dia telah terbang jauh dari istana kerajaan, lalu mendarat di atap menara lonceng.
Avi masih tetap memeluk leher Hughie tak mau melepas.
Dia sangat takut ini hanyalah mimpi, bila dilepaskan, mimpi itu akan sirna.
Hughie tak berdaya menepuk-nepuk Avi yang bergelantungan di tubuhnya seperti koala: "Turunlah, Avi, aku ada yang ingin kubicarakan."
"Tidak!" Gadis itu menggigit bibir sambil menggelengkan kepala mati-matian, matanya menatap tajam ke Hughie.
"Sejak aku datang mencarimu, takkan mudah aku pergi."
Terkadang sebuah janji bisa memberi pengaruh besar.
Akhirnya Avi turun.
“Dia menatap Hughie dengan pandangan kosong, lama sekali, tiba-tiba terjatuh ke pelukan Hughie sambil menangis histeris.”
“Avi menangis sejadi-jadinya, histeris bagai ingin meluapkan semua kesedihan yang tertumpuk. Tangisannya pecah bagai hujan deras, membasahi baju Hughie, tak kenal aturan layaknya anak kecil yang sedang merajuk...”
“Berhari-hari, siang dan malam, kerinduan pada Hughie membuat gadis ini hampir gila. Dia sudah menyadari perasaannya - dia mencintai Hughie, tak bisa hidup tanpanya.”
“Brengsek kau!” Avi memukuli Hughie habis-habisan: “Kenapa? Kenapa harus begini!”
“Kau tahu jawabannya, bukan?” Hughie menghela napas pelan.
“Aku ingin dengar dari mulutmu.” Sang remaja bersikukuh.
“Melihat sorot mata penuh cinta Avi, akhirnya hati Hughie luluh.”
“Avi yang kelelahan menangis itu terlelap di pelukan Hughie. Mereka duduk berdua di menara lonceng, memandang ke kejauhan.”
“Hughie mulai bercerita tentang segala kelicikan di balik layar, konspirasi licik, dan cara-cara tak terpuji untuk bertahan hidup.”
“Dulu mungkin Avi akan acuh tak acuh, atau bahkan berteriak bahwa pelayan harus mengorbankan nyawa untuk bangsawan.”
“Tapi sekarang, Avi tak lagi berpikir demikian.”
Ribuan cerita perumpamaan itu membuat Avi mengerti banyak kebenaran, menjadikannya lembut, bijaksana, dan mampu memahami orang lain.
Saat Hughie menceritakan kejadian di lembah itu, wajah Avi pucat pasi, gemetar ketakutan di pelukan Hughie.
Ketika dia bercerita tentang bagaimana dia memanfaatkan Avi untuk menjebak Piyé, Avi tidak mengucapkan sepatah kata pun, tapi tangannya yang mungil meraih rusuk Hughie mencubit dan mencakar dengan keras. Hughie tidak melawan, hanya membiarkannya.
Saat dia menceritakan pelariannya dari Pulau Purgatory, wajah Avi menunjukkan ekspresi "sudah kuduga".
Semua kebenaran akhirnya terungkap, tapi Avi sama sekali tidak terkejut.
Seperti yang dikatakan Hughie, sebenarnya dia sudah lama menebaknya. Sekarang dia hanya ingin mendengar pengakuan langsung dari mulut Hughie.
Dia tersedu-sedu lembut di pelukan Hughie: "Aku sangat sedih, Hughie... Mengapa harus seperti ini..."
Memeluk bahu Avi dengan lembut, Hughie berbisik: "Apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah siapa pun. Maafkan aku telah membohongimu, memanfaatkanmu. Aku pernah berharap bisa melupakanmu, dan kau pun melupakan aku..."
"Lalu mengapa kau masih mencariku?"
"Karena aku akan pergi. Aku berencana meninggalkan Wenlington beberapa hari lagi. Sebelum pergi, aku ingin menemuimu, berbicara sebentar, dan menyampaikan pesan untuk ayahmu." Katanya.
Avi menatap Hughie dengan mata terbelalak.
“Ya Avi, aku harus pergi sementara waktu... Aku perlu menjadi lebih kuat.”
“Tidak, Hughie! Aku tak akan membiarkanmu pergi!” Avi menggenggam erat lengan Hughie tak mau melepas: “Hughie, berhentilah membalas dendam pada ayahku, ya? Aku bisa bicara dengan ayah, minta dia menghentikan pengejaranmu. Kau bisa meraih kebebasan!”
Hughie tersenyum getir: “Sayangnya, bukan itu yang kubutuhkan.”
“Lalu apa? Apakah benar perdamaian mustahil terwujud? Mengapa kita tak bisa duduk dan berdiskusi dengan tenang?”
“Berdiskusi? Negosiasi yang dilakukan dalam ketimpangan kekuatan tak mungkin adil. Avi, kau harus paham prinsip ini. Untuk meraih negosiasi yang setara, aku harus tunjukkan kekuatan seimbang dulu. Ayahmu ingin merebut semua sumber daya dan ilmu alkimia dariku tanpa kompensasi, sementara aku menuntut negara mengakui kejahatan masa lalu tanpa pengorbanan. Jurang antara tuntutan kita terlalu lebar, hampir tak ada ruang rekonsiliasi. Aku yakin tuntutanku adil dan benar. Tapi ayahmu tak akan sependapat. Jadi ini sulit, sangat sulit.”
Avi nyaris menangis putus asa. Dunia terasa berputar di matanya.
Ia terisak: “Mengapa harus begini. Aku benci semua yang terjadi sekarang. Aku merindukan hari-hari di Pulau Purgatory, Hughie, tapi kau pasti tak merasakan hal sama. Bagimu, masa itu menyakitkan, bahkan saat kita bersama, begitukan?”
Dia mengangkat kepala memandang Hughie: "Jadi kamu tidak akan mengorbankan permintaanmu sedikitpun untukku."
Hughie menghela napas.
Memandang Avi, Hughie berkata dengan serius: "Kamu baik, Avi. Dulu kamu manja, egois, tidak masuk akal. Tapi sekarang, aku melihat seorang gadis yang benar-benar dewasa. Kamu menjadi matang dan pengertian, aku sangat menyukaimu. Sayangnya, Hughie sudah bukan Hughie yang dulu lagi. Tidak mungkin lagi menemanimu setiap hari, tidak bisa terus-menerus membahagiakanmu. Hughie Glare yang kamu sukai itu sudah benar-benar hilang, tidak ada lagi di dunia ini. Jadi... jika kita bersama, kamu tidak akan bahagia, hanya kecewa."
Avi menatap Hughie dengan pandangan kosong.
Benarkah begitu?
Ya, rupanya Hughie memang sudah bukan Hughie yang dulu lagi.
Sejak meninggalkan Pulau Purgatory, dia tidak perlu lagi bertahan hidup dengan merendahkan diri. Dia menjadi kuat, punya pendirian, tidak perlu lagi perintah orang lain.
Sebagai putri, bisakah dia beradaptasi dengan perubahan ini?
Apakah dia lebih menyukai Hughie Glare di Pulau Purgatory yang selalu menghiburnya, yang menjaga harga diri dalam kerendahan hati, yang membawakan berbagai acara dan cerita menarik? Atau Hughie yang sekarang yang sudah mulai terasa asing, punya rencananya sendiri, hanya ingin membuat kekaisaran tunduk padanya?
Bahkan dirinya sendiri tidak bisa menjawabnya.
Tiba-tiba tak ingin lagi membicarakan hal-hal menyedihkan, Avi berbaring diam di pelukan Hughie, memandang bintang-bintang di kejauhan, saling bercakap santai.
"Hughie." Panggilnya lembut.
"Hmm?"
"Bintang-bintang itu indah."
"Ya."
"Kau bilang ada Bintang Penggembala dan Bintang Penenun di langit? Mana dua itu?"
"Mereka... sangat jauh, terpisah."
"Mungkin itu dua yang paling terang." Jari mungil Avi menunjuk ke kejauhan.
"Mungkin, tapi jarak mereka sebenarnya sangat jauh."
"Seterjauhan apapun, setahun sekali pasti bisa bertemu, bukan?"
"...Ya."
"Apa yang membuat mereka tahan tak bertemu begitu lama?"
"Harapan, dan cinta."
"Sekarang aku tahu arti cinta." Bisik Avi sambil merapatkan diri ke dada Hughie.
Matanya terpejam, gumamnya pelan: "Cinta itu indah, tapi tak bisa bertemu itu menyakitkan. Yang lebih pedih... meski bertemu, tak bisa bersatu."
Hughie menunduk diam.
Kini, dia bukan lagi Hughie Glare dari Pulau Purgatory.
Tak perlu lagi memanggil "Paduka Putri" dengan rendah diri; tak perlu cari-cari alasan untuk setiap tindakan; tak perlu khawatirkan konsekuensi apapun.
"Demikian pula, Avi juga telah tumbuh dewasa dan menjadi lebih bijaksana. Dia tidak lagi sememelas dulu, sebaliknya, dia semakin cantik, lembut, bahkan telah belajar cara mencinta."
Hubungan antara mereka berdua menjadi samar-samar. Cara berinteraksi yang dulu sudah tidak berlaku lagi, hingga tak seorang pun tahu harus bagaimana.
"Kebohongan selalu terindah, bukan Hughie?" Avi berbisik lembut. Tangannya memegang ujung baju Hughie.
"...Ya."
"Kalau begitu... ceritakan lagi satu kisah untukku, Hughie. Aku ingin mendengar suaramu bercerita."
"Biar kupikir dulu."
"Ceritakan tentang putri duyung."
Hughie tertegun: "Bukannya kamu sudah pernah dengar?"
"Aku ingin mendengarnya lagi, ingin kau ulangi untukku." Tatapan Avi penuh keyakinan.
Setelah berpikir sejenak, Hughie akhirnya mengangguk: "Baik. Pada zaman dahulu kala..."
Ceritanya tidak terlalu panjang, namun sangat mengharukan.
Putri duyung jatuh cinta pada seorang pangeran. Demi bersamanya, dia meminta penyihir mengubah ekor ikannya menjadi kaki manusia dengan sihir. Tapi pengorbanannya adalah kehilangan suara, dan setiap langkah terasa seperti diiris golok. Untuk sang pangeran, putri duyung menanggung semua ini. Namun akhirnya, pangeran malah memilih gadis lain. Dengan hati remuk, putri duyung kembali ke lautan.
Hughie bercerita dengan sungguh-sungguh, Avi menyimak penuh perhatian.
"Dulu, Avi pernah menangis lebih dari sekali untuk Putri Duyung. Dia selalu memaki Sang Pangeran itu idiot, bodoh, bahkan berteriak ingin meminta Ayahnya mengirim pasukan untuk menyerang negara tempat Sang Pangeran tinggal, ingin menggantungnya."
Tapi sekarang, dia akhirnya mengerti.
Inilah cinta, memberi belum tentu mendapat imbalan. Semua kepedihan dan kebahagiaan hanya berasal dari perasaan diri sendiri.
Seperti Hughie, yang membuatnya tertawa, membuatnya menangis.
Cerita telah usai, kedua orang ini saling terdiam.
Hughie memeluk Avi seperti itu, merasakan aura dari rambutnya.
Dengan kedua mata setengah terpejam, dia berbisik lembut: "Hughie, cium aku."
Jantung Hughie berdebar kencang.
Perlahan, dia menempelkan bibirnya pada bibir mungil Avi.
Dingin membeku.
"Jika cinta adalah kemauan untuk mengorbankan segalanya demi pasangan, maka kamu tak pernah mencintaiku, kan?" Kalimat dingin keluar dari mulut Avi. Dia bangkit dari pelukan Hughie: "Senang kamu mengunjungiku hari ini, Hughie. Tapi waktu hampir habis, antarkan aku pulang. Pesan yang ingin kamu sampaikan, akan kusampaikan ke Ayah. Untuk masa depan... kuharap bisa melupakanmu."
Memandang Hughie, sorot mata Avi penuh ketegasan: "Hadiah terakhir untukmu, Rasher mengidap Penyakit Adiksi Gila. Untuk melawannya, carilah cara dari sisi ini. Tapi meski kamu mengalahkan satu Rasher, akan ada lebih banyak Rasher yang mengejarmu. Seperti katamu, aku tak melihat alasan ayahandaku harus menundukkan kepala padamu."
Avi kembali ke istana.
Hughie mengantarnya sampai gerbang istana kerajaan, lalu menghilang dalam bayang-bayang, menyaksikan kepergiannya.
Bagi Hughie, hari ini adalah hari yang tak terlupakan.
Dalam pertempuran di Jalan Air Biasa, Hughie mengerahkan semua kartu trufnya, namun akhirnya dipukul jatuh ke langit oleh Hampton dengan satu gerakan, tak bisa turun.
Di dalam hatinya, dia benar-benar tersadar: meski kekuatan satu orang belum bisa menguasai dunia ini, para pejuang sejati tetap bisa menjadi kunci pembalik situasi di banyak momen.
Dia menyadari meski pemahamannya tentang hati manusia sangat dipengaruhi pola pikir masa lalunya, hal itu sekaligus membatasi pemikirannya.
Di dunia sebelumnya, organisasi kekuasaan adalah satu-satunya jalan menuju kejayaan. Tapi di dunia sihir, kekuatan segelintir pejuang kadang setara dengan pasukan militer.
Meski memahami kebenaran ini, banyak hal tak cukup hanya dipahami. Kebiasaan berpikirnya masih terpaku pada Bumi, pemahaman dan tindakannya dalam mengembangkan kekuatan diri masih kurang. Selama setahun sejak meninggalkan Pulau Purgatory, pertumbuhan kekuatannya tetap terbatas.
"Peristiwa hari ini membuat Hughie benar-benar menyadari dirinya sendiri, di dunia sihir ini, dia masih membutuhkan kekuatan yang lebih kuat untuk menopang dirinya."
"Justru karena alasan inilah, dia akhirnya memutuskan untuk menemui Avi."
"Dia tahu telah melukai hati Avi, tapi dia tidak punya pilihan."
"Burung api yang menyala-nyala di langit berputar-putar lalu turun sambil terbang."
"Xu melompat dari tubuh Merah, merangkul Hughie, dan melihat ada tetesan air mata di matanya: 'Kamu sedih? Ayah.'"
"Hanya ada pasir yang masuk saja.'"
"'Apakah Putri kecil yang membuatmu terluka?'"
"'Tidak, faktanya akulah yang sedang menyakitinya.'"
"'Aku tidak mengerti mengapa kamu melakukan itu.'"
"'Karena ini lebih baik untuknya.' Hughie menjawab datar: 'Bisa membuatnya patah hati, tidak perlu lagi menghabiskan diri dalam fantasi dan penantian.'"
"Xu menggelengkan kepala kecilnya penuh rasa ingin tahu: 'Aku tidak mengerti, mengapa cinta bisa begitu aneh. Merah, Hijau, inikah cinta?'"
"Merah dan Hijau berkicau dua kali."
"Kemudian Xu berkata pada Hughie: 'Mereka bilang, cinta mereka tidak serumit itu.'"
"Hughie tersenyum getir: 'Ya, jadi Merah dan Hijau berbahagia. Masalah manusia adalah selalu mencari-cari penderitaan sendiri.'"
"'Mengapa bisa begitu?'"
“Mungkin karena... keinginan membuat kita tersesat, kecerdasan membuat kita rakus, perasaan membuat kita pengecut...” Hughie berbisik menjawab: “Xu, kau memiliki kreativitas dan kecerdasan manusia, maka suatu hari nanti kau akan mengerti. Ingat kata-kata ayah untukmu: Pada orang yang kita cintai, harus belajar menghargai dan menyayangi.”
“Lalu apakah ini caramu menghargai dan menyayanginya?”
Hughie ragu sejenak: “Mungkin iya, mungkin tidak. Karena jika aku tidak bisa membuat Avi putus asa padaku, maka aku tidak akan bisa memaksa Kekaisaran Lans memenuhi tuntutanku. Jika aku tidak bisa terus menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan, maka semua yang telah kulakukan akan kehilangan makna. Segala yang telah kukerjakan sejak meninggalkan Pulau Purgatory setahun yang lalu... akan menjadi tidak bernilai sama sekali.”
“Tapi kau juga pernah berkata, kelemahan terbesar manusia adalah tidak tahu apa yang harus dilepaskan dan apa yang tidak. Jelas keputusanmu ini adalah untuk mempertahankan kebenaran masa lalu dengan mengorbankan kebahagiaan masa depan. Apakah ini benar menurutmu?”
Hughie tertegun.
Setelah berpikir sejenak, dia berkata: “Perbedaan antara aku dan dia terlalu besar. Bahkan jika benar-benar bersama, belum tentu bisa bahagia. Lagipula aku bukan lagi Hughie Glare yang dulu, sedangkan Hughie Glare yang disukainya adalah sosok yang selalu menuruti dan memanjakannya.”
Burung api yang menyala-nyala berseru bersamaan.
Xu segera berkata: "Merah berkata: Cinta adalah ujian yang harus dihadapi bersama oleh kedua belah pihak. Karena Avi mencintaimu, kau harus mengajaknya bersama-sama menghadapi masalah. Hijau berkata: Wanita yang kau cintai harus kau lindungi sendiri. Meski kau bukan lagi Hughie dari masa lalu, bukan berarti kau tak akan menyayanginya lagi. Hanya saja dulu rasa sayangmu punya tujuan tersembunyi, sekarang harus berasal dari hati yang tulus."
"Mereka juga bilang: Mencintai seseorang tak perlu alasan, melepaskan seseorang juga tak butuh alasan. Jadi semua alasanmu tidak berlaku. Kau hanya membohongi dirimu sendiri, karena takut cintamu padanya akan membuatmu tak tegas menghadapi musuh."
"Terakhir mereka bilang, doa mereka selalu terkabul. Kau dan Putri kecil ditakdirkan tak terpisahkan, percayalah pada kekuatan sihir dan restu, Ayah bodoh."
Hughie terpaku memandang Xu dan burung api yang menyala-nyala, sejenak tak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Begitu rupanya?
Cinta memang membutuhkan pengorbanan kedua pihak, sekaligus ujian yang harus dilalui.
Tak ada alasan yang sah untuk menolak mencintai, karena cinta justru harus melewati ujian dan memerlukan keyakinan.
Hughie termangu.
Kristal komunikasi di pelukannya tiba-tiba bergetar. Hughie membukanya, ternyata Chakley.
"Ada hal penting yang harus kita bicarakan, Hughie." Ekspresi Chakley sangat serius.
"Jika yang Anda maksud adalah penawar, tidak perlu terburu-buru. Dengan kemampuanmu, bisa ditahan untuk sementara waktu. Aku harus pergi ke istana kerajaan dulu. Buckler mengirim kabar, meminta kita semua kembali ke Taman Kerajaan. Ini perintah gabungan dari keluarga kerajaan dan Kantor Hukum, harus dipatuhi."
"Bukan tentang penawar, Hughie. Sebelum ke istana, lebih baik kamu datang ke tempatku dulu. Aku ingin memperkenalkan seorang teman yang mungkin bisa membantumu dalam situasi saat ini. Dia bisa memberimu apa yang kamu butuhkan."
"Siapa?"
Chakley mengucapkan sebuah nama dengan lembut, membuat Hughie langsung membeku.
Setelah berpikir sejenak, dia berkata: "Aku segera ke sana."
