Klos mati, mati dengan penuh kehinaan, bahkan tak sempat melepaskan satu pun sihir sebelum meninggal.
Dengan kekuatannya, seharusnya dia tidak mati secepat ini, hanya karena terlalu fokus pada Hughie, sampai mengabaikan Rasher di belakangnya.
Manusia selalu begitu, mudah terfokus pada krisis di depan mata, tapi mengabaikan bahaya di belakang.
Bagi Klos, sihir Rasher sama sekali tidak mengancam dirinya, tapi dia tak menyangka Rasher akhirnya memilih menggunakan belati untuk menyelesaikan masalah.
Hughie berdiri di samping bangkai Klos, memandang sebentar, akhirnya mengambil kepala itu dan mengembalikannya ke tubuh Klos: "Tidak peduli betapa liciknya sifatnya, setidaknya dulu dia baik padaku, mengajarkanku banyak hal. Orang mati, semuanya harus berakhir, biarkan dia dikuburkan dengan utuh."
“Rasher menatap mayat di tanah dengan ekspresi datar, berkata dingin: "Putri kecil ada di belakang gunung, sebaiknya Anda segera membawanya pergi dari sini. Nicholas akan datang, Anda bukan lawannya."”
“Lalu bagaimana denganmu?”
“Aku dan dia masih ada urusan yang harus diselesaikan.”
“Rasher!” Hughie melangkah maju, membentak Rasher: "Berhenti jadi gila! Aku tahu Pakit adalah teman baikmu, tapi kau tidak boleh menyerah hanya karena ini! Lebih baik kau segera pergi bersamaku sekarang."
“Itu urusanku sendiri, Anda tidak berhak campur tangan, Hughie Glare.”
“Tidak, itu urusanku. Lupa? Rasher, kita pernah bertaruh di Teater Kerajaan - jika aku bisa keluar dari teater sementara kamu gagal membongkar identitasku, maka kamu sepenuhnya menjadi milikku. Jadi aku menang taruhan, nyawamu adalah propertiku! Aku belum mengizinkanmu mati, kamu harus tetap hidup.”
Rasher menatap tajam Hughie: "Mengapa begitu tertarik padaku? Jangan lupa selama setahun terakhir aku yang terus memburumu, memberimu banyak masalah. Bahkan sekarang, akulah yang menipu Putri dan memancingmu ke sini, menjerumuskan kalian dalam bahaya."
“Karena aku butuh rubah tua berpikiran jernih dan berpengalaman sepertimu untuk membantuku. Tapi hari ini kau jelas belum cukup sadar.” Hughie mengangkat tangan, beberapa sihir pendukung unsur angin sudah menyambar tubuh Rasher.
Di langit terdengar suara tajam burung api yang menyala-nyala. Hughie menggenggam tubuh Rasher dan melemparkannya ke udara, berteriak: "Merah, antar dia ke Kastil Kabut Tersembunyi di kaki gunung! Hijau, ikut aku mencari Avi!"
Merah menggeram panjang, menangkap Rasher di udara lalu terbang cepat menuruni gunung.
Hughie juga mulai berlari menuju belakang gunung untuk mencari Avi.
Ini adalah perlombaan melawan waktu. Tak ada yang tahu kapan Nicholas akan turun tangan. Hughie melompat-lompat di lereng gunung lincah seperti Kera Rohani, berkat latihannya di Tanah Rahmat Dewa yang membuat medan seperti ini tak lagi menjadi hambatan.
Di belakang Puncak Bulan Tersembunyi, terdapat mata air pegunungan yang mengalir dari puncak lebih tinggi. Airnya terkumpul di cekungan kecil sebelum menyusuri celah bebatuan, membentuk air terjun kecil yang kemudian bercabang jadi beberapa aliran.
Avi sedang berada di tempat ini.
Saat ini, gadis itu sedang asyik berendam di mata air. Di puncak musim panas yang terik, air jernih mengaliri kulit Avi, memberikan kesejukan dari luar maupun dalam.
Sebelumnya, Avi tak pernah merasakan mandi di alam terbuka, apalagi berendam di mata air pegunungan. Baru sekarang ia tahu betapa banyak hal menyenangkan di luar tembok kerajaan.
Membayangkan pertemuan dengan Hughie, senyum manis merekah di wajah Avi. Tanpa sadar ia mulai bersenandung kecil.
Lengannya yang seputih giok mengacak air, melihat bayangannya sendiri melalui pantulan, entah terpikir apa, pipinya tiba-tiba dipenuhi kemerahan.
"Avi!" Terdengar teriakan Hughie di telinganya.
"Hughie? Aku di sini!" Mendengar suara Hughie, Avi langsung berteriak spontan.
Tapi seketika itu juga, ekspresinya berubah drastis: "Oh tidak, jangan mendekat!"
Terlambat.
Begitu mendengar panggilan Avi, Hughie sudah melesat bagai kilat.
Saat siluetnya muncul dalam jangkauan pandangan Avi, dia berteriak sambil menutupi dada montoknya dan menyelam ke dalam air: "Jangan mendekat!"
Hughie terpaku, Rasher tak memberitahunya bahwa Avi sedang mandi. Pemandangan putih membentang di depannya, kulit mulus yang bergoyang gemulai membuat jantungnya berdebar kencang.
Sial! Hughie mengutuk dalam hati.
Untuk menyelamatkannya, Hughie hampir mengacaukan seluruh rencananya, bahkan nekat berpura-pura mati. Tapi Putri kecil yang diculik ini malah santai mandi. Hughie ingin sekali menghampiri dan memukul pantatnya keras-keras.
Namun dia terus melesat ke mata air pegunungan: "Cepat keluar, Avi! Segera berpakaian dan ikut aku pergi!"
"Avi sudah menjerit ketakutan: 'Aduh! Kenapa kamu masih mendekat? Cepat tutup matamu!'"
"Avi, tidak ada waktu untuk malu. Ini aku, Hughie. Cepat pakai baju! Kita harus segera pergi dari sini!"
"Tidak mau dengar! Keluar! Cepat keluar!" Avi menuding ke arah luar dengan tangan mungilnya, memberi perintah keras. Tiba-tiba dia menyadari Hughie sedang menatap tak bergerak ke dadanya, lalu berteriak panik sambil menutupi tubuhnya dengan tangan.
Reaksi ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan perasaannya pada Hughie, melainkan murni berasal dari insting alami seorang wanita.
Dengan susah payah menarik kembali energinya, Hughie menggelengkan kepala pasrah: "Sepertinya tidak ada pilihan lain."
Dia tiba-tiba melompat ke mata air pegunungan. Di tengah jeritan Avi yang terdengar seperti sedang diperkosa, Hughie menyambar tubuh gadis itu dan mengangkatnya keluar dari air sebelum melemparkannya ke tepi.
Lalu dia menyodorkan pakaian ke tangan Avi sambil bersuara keras: "Cepat berpakaian!"
Avi terpana oleh keberanian tindakan ini sampai tidak bisa bicara.
Ini pertama kalinya dia melihat Hughie menunjukkan ekspresi sekeras ini padanya.
Tiba-tiba dia melempar pakaian ke tanah dan duduk telanjang sambil menangis histeris: "Tidak! Hughie, kamu brengsek! Bagaimana bisa memperlakukan aku seperti ini?!"
"Avi?" Hughie membeku di tempat.
Avi menangis histeris dan berteriak, "Kau berani membentakku! Tahukah kau dulu kau begitu lembut padaku? Kau tak pernah memperlakukan ku seperti ini! Kau berubah, kau jadi kasar, barbar, tidak masuk akal, kau bahkan... Hughie Glare, bagaimana bisa kau seperti ini!"
Hughie tertegun sejenak, akhirnya menampakkan senyum pasrah yang getir.
Tadi dia tergesa-gesa pergi, benar-benar mengabaikan perasaan Avi. Bagaimanapun dia seorang Putri, meski sangat mencintainya, ada martabat yang harus dijaga. Tindakannya sebenarnya merupakan penghinaan besar terhadap wibawa sang Putri.
Meski Avi mencintainya, bukan berarti dia bisa semena-mena mengabaikan semua ini.
Hanya saja situasi saat ini begitu genting, dia tak bisa menjelaskan pada Avi.
Hughie menenangkan jantungnya, berbicara perlahan, "Aku minta maaf, Avi. Tak ada waktu untuk penjelasan panjang, tapi kuberitahu: jika kau benar mencintaiku dan ingin bersamaku, bersiaplah untuk berkorban. Dulu kau berkata mencinta seseorang harus rela berkorban segalanya. Karena itu, untukmu, aku tak berani dan tak bisa mencintai, karena banyak hal tak bisa kuberi. Lalu, apakah kau sudah siap berkorban segalanya untukku?"
Avi menatap Hughie dengan terkejut.
Hughie membungkuk, menyodorkan baju ke tangannya, "Pakai bajumu. Waktu kita tak banyak."
Di bawah tatapan tajam Hughie, Avi akhirnya dengan lamban mengenakan pakaian putrinya. Yang tak bisa ditoleransi Hughie adalah, mengenakan satu pakaian saja bisa menghabiskan waktu hampir setengah hari. Menurut penjelasan Avi, pakaian istana memang rumit cara pemakaiannya, dan sebelumnya dia tak pernah perlu mengenakannya sendiri.
Penjelasan yang bagus, tapi sayangnya waktu yang tersisa untuk Hughie justru semakin singkat.
Dia mulai gelisah. Di langit mulai bermunculan gumpalan awan petir, pertanda elemen listrik sedang berkonsentrasi.
Tapi sebelumnya, Hughie belum pernah melihat situasi apapun yang bisa membuat suatu elemen terkumpul dalam skala begitu besar.
Sekarang dia tahu, wilayah suci memang bisa.
"Aku sudah siap!" teriak Avi dengan girang, ekspresinya sangat bangga. Setelah berjuang lama melawan pakaiannya, akhirnya dia berhasil menyelesaikan pekerjaan berat ini dengan sukacita. Hatinya pun kembali cerah, tak lagi mempermasalahkan sikap tak sopan Hughie sebelumnya. Sejatinya gadis kecil ini memang sangat emosional. Alasan dia jatuh cinta pada Hughie bukan hanya karena Hughie bisa membuatnya bahagia, tapi juga karena Hughie bisa membuatnya tidak bahagia.
Tapi Hughie tak menghiraukannya. Matanya menatap langit itu sambil bergumam, "Terlambat!"
Langit yang tadinya cerah tiba-tiba mengguntur dengan suara gedebuk gemuruh.
Kilat yang tajam telah menghujam dari langit dengan ganas ke arah Hughie.
Hughie segera menunduk dan melompat keluar, memeluk Avi sambil melakukan serangkaian gerakan berguling. Bersamaan dengan suara ledakan mengerikan, lubang besar muncul di tempat Hughie berdiri sebelumnya.
"Hughie Glare!" Terdengar raungan menggelegar bagai petir dari langit: "Kau harus membayar semua perbuatanmu!"
Wajah raksasa yang terbentuk dari awan muncul di langit, menampilkan wajah Nicholas, namun asal suara sebenarnya tidak bisa terlacak.
"Itu...?" Avi gemetar ketakutan.
Hughie menjawab dengan getir: "Nicholas Cage, Ketua Asosiasi Penyihir Kekaisaran Lans, seorang penyihir wilayah suci... Dia datang untuk membunuhku."
Avi terdiam membeku.
Hughie perlahan menurunkan Avi, lalu berteriak ke langit: "Tuan Cage, di sini ada Putri Kekaisaran. Aku yakin Tuan tidak ingin Putri juga tewas oleh petirmu? Kuharap Tuan menunggu hingga Putri pergi sebelum bertindak."
Wajah awan raksasa itu menunjukkan ekspresi kontemplasi sejenak.
Jelas dia melihat kehadiran Putri Kekaisaran di sana.
Sambaran petirnya tadi nyaris membunuh Putri Kekaisaran jika Hughie tidak bereaksi cepat.
Meski status wilayah suci sangat mulia, membunuh seorang putri tetap merupakan masalah besar.
Setelah berpikir, akhirnya dia bersabda: "Biarkan dia pergi."
Namun Avi tetap berdiri tak bergerak.
Akhirnya dia mengerti mengapa Hughie begitu buru-buru ingin membawanya pergi.
Sebenarnya dia bisa langsung membawa paksa dirinya pergi, tapi karena kemarahannya, dia memilih berdiri menunggu begitu lama.
Hanya agar dia tidak terlalu kecewa!
Tapi dirinya sendiri sama sekali tidak menyadarinya.
"Oh tidak, Hughie! Ini semua salahku!" Avi memandang Hughie dengan panik.
Hughie tersenyum lembut membelai pipi Avi: "Bodoh, jangan terlalu sedih. Percayalah, bahkan wilayah suci pun tak bisa sembarangan membunuh."
Menatap ke langit, Hughie menyeringai: "Dia cuma terlihat perkasa saja!"
Begitu kata-katanya meluncur, hawa maut bergulung-gulung di angkasa.
Ucapan sederhana dengan nada datar itu berhasil membangkitkan amarah Nicholas.
Sudah lama sekali tak ada yang berani berbicara seperti itu padanya.
