Baru kini kami sadar, gua kapur di perut gunung ini berbentuk labu. Ada pintu masuk sempit di luar, dan dua gua bersarang (kecil dan besar). Kini perahu kami telah melewati gua kecil pertama, perlahan merambat masuk ke gua kedua yang lebih luas.
Konstruksi medan seperti ini dalam ilmu fengshui disebut "Labu Delapan Dewa", merupakan titik keberuntungan besar. Bila makam dibangun di titik fengshui ini, pasti akan melindungi berkah bagi keturunan penerus.
Akhir-akhir ini aku sering membaca《Kitab Senjata Dunkam》, otakku sudah dipenuhi pengetahuan tentang fengshui. Melihat konstruksi medan seperti ini, secara alami teringat pada Labu Delapan Dewa.
Gua kapur di dalamnya luar biasa besar. Mengangkat kepala tak bisa melihat langit-langit gua, seolah seluruh tubuh gunung dikosongkan. Kehampaan itu membuat kami merasakan ketakutan. Di atas langit-langit gua gelap gulita, bahkan lampu sorot tak mampu menembus kegelapan, hanya memantulkan pemandangan buram.
Gua kapur ini terasa lebih dingin yin. Dinding gua tertutupi lapisan tipis embun beku, membuatnya terlihat seperti lemari pendingin raksasa, sementara kami bagaikan daging babi beku di dalamnya.
Yang tak pernah kami mimpikan, di bagian terdalam gua ini ternyata ada platform tinggi. Sebuah Kuil Tulang Ikan megah berdiri di atasnya. Semua orang tak percaya dengan mata sendiri, tak tahan berteriak kaget: "Astaga! Lihatlah, itu Kuil Tulang Ikan! Kenapa ada kuil seperti ini di sini?"
Benar! Ini juga pertanyaan besar dalam hatiku. Di dalam gua air yang gelap dan tersembunyi ini, bagaimana bisa muncul Kuil Tulang Ikan yang penuh energi megah? Siapa yang membangunnya? Apa tujuan pembangunan kuil ini?
Kami termangu menatap Kuil Tulang Ikan yang tak jauh di depan, terkejut sampai tak bisa berkata-kata.
Kuil Tulang Ikan konon dibangun menggunakan tulang ikan raksasa yang sangat unik. Sebagai kuil khusus pemujaan nelayan, Kuil Tulang Ikan sama seperti Kuil Naga yang juga mempersembahkan sesaji kepada Dewa Naga. Tahun pasti pendirian Kuil Tulang Ikan sudah tidak terlacak. Namun menurut prasasti batu di kuil tersebut, "Kuil Tulang Ikan" telah ada sejak Dinasti Sui. Dengan perhitungan ini, sejarah Kuil Tulang Ikan setidaknya mencapai 1.400 tahun lebih.
Kuil Tulang Ikan paling terkenal di Tiongkok terletak di Desa Shalingzi, Kota Kecamatan Taoluo, Distrik Donggang, Kota Rizhao. Kuil ini berada di tepi laut 2 li sebelah timur Kota Taoluo. Di belakang kuil terdapat Pegunungan Besar yang terdiri dari sembilan puncak kecil. Area seluas 5.000 mu lebih di pegunungan berpasir ini seluruhnya tertutupi hutan pinus. Depan kuil merupakan muara tempat Sungai Chuanzi, Sungai Qingdun, Sungai Jufeng, Sungai Buluo, Sungai Zhuzi, Sungai Gaowang, Sungai Linzi, dan ratusan aliran air lainnya berkumpul sebelum bermuara ke laut timur.
Sayangnya kuil unik ini telah ambruk puluhan tahun silam. Kini hanya tersisa Balok Tulang Ikan yang menjadi saksi bisu kejayaan kuil dengan "genteng dari sisik ikan dan balok dari tulang ikan". Peninggalan Balok Tulang Ikan ini sekarang disimpan di ruang rapat pemerintah kota kecamatan Taoluo, Distrik Donggang, Kota Rizhao.
Sampai hari ini, sebenarnya ada banyak kuil tulang ikan seperti ini di berbagai tempat. Kuil-kuil tulang ikan ini biasanya dibangun di tepi sungai atau pantai, di mana orang-orang membakar hio dan bersembahyang untuk memohon panen melimpah serta keselamatan pelayaran. Karena tulang ikan yang digunakan untuk membangun kuil sangat langka, banyak kuil tulang ikan yang hanya menggunakan nama tersebut tanpa benar-benar menggunakan tulang ikan asli.
Namun kuil tulang ikan yang kami lihat di dalam gua kapur saat ini adalah kuil yang benar-benar asli. Kuil ini berdiri megah di atas platform setinggi lebih dari tiga zhang. Platform tersebut disusun dari batu-batu persegi berukuran raksasa, dilapisi batu bata persegi berwarna hijau pekat. Setiap batu bata memiliki panjang dan lebar sekitar dua meter, dengan pola-pola aneh terukir di permukaannya.
Di tengah platform terdapat anak tangga batu. Di bawah anak tangga tersebut berjejer patung kepala ikan dari batu yang berfungsi sebagai tiang tambatan. Ketika perahu berlabuh di bawah platform, tali tambatan kapal bisa diikatkan pada patung kepala ikan batu ini untuk mencegah perahu hanyut terbawa arus.
“Perahu besi perlahan merapat ke tepi sungai, aku melompat ke dek, bersiap mengulurkan tangan untuk menarik tali tambatan. Tiba-tiba mataku menangkap bayangan wajah aneh yang mengerikan melintas di bawah air. Wajah itu pucat dan bengkak, memancarkan ekspresi mengerikan dan menyeramkan, terlihat seperti wajah iblis. Aku langsung membeku seketika, buru-buru menggosok-gosok mata, lalu menatap kembali ke dalam air. Kali ini, tak terlihat apapun di bawah permukaan, wajah misterius itu seolah menghilang.
"Nak, kau ngapain di sana? Cepat ikat tali tambatannya!" Kakek tua menjulurkan kepala dari kabin kemudi.
Aku membalas panggilannya, mengikat tali tambatan di dek pada patung batu kepala ikan. Tak kusampaikan kejadian tadi pada siapapun. Kepalaku yang pusing kunyahkan sambil berpikir pasti tadi hanya halusinasiku belaka.
Setelah merapatkan perahu, kami menapaki anak tangga batu menuju pintu gerbang utama Kuil Tulang Ikan.
Berdiri di hadapan gerbang utama Kuil Tulang Ikan, semakin terasa energi megah yang memancar, membuat hati dipenuhi rasa hormat bercampur takut.
Kuil Tulang Ikan ini tingginya hampir mencapai tiga lantai. Yang membuat orang takjub dan terheran-heran adalah seluruh bangunan kuil ini benar-benar dibangun dari tulang ikan asli. Kami belum pernah melihat tulang ikan sebesar ini, yang terkecil saja sudah sebesar lengan orang dewasa, sedangkan tulang terbesar yang digunakan sebagai tulang punggung kuil ini sungguh luar biasa besarnya, panjangnya bahkan mencapai 10 hingga 20 meter. Kami pun bertanya-tanya dalam hati: Dari mana asal tulang-tulang ini? Ikan yang memiliki kerangka sebesar ini, pasti merupakan makhluk raksasa seperti apa?
Selain tulang ikan yang membuat takjub, desain arsitektur Kuil Tulang Ikan juga sungguh mengagumkan. Seluruh bangunan kuil dibentuk menyerupai kepala ikan raksasa, dengan mulut ikan yang terbuka lebar berfungsi sebagai pintu gerbang. Memasuki kuil, tidak terdapat perabotan khusus di dalamnya. Di tengah ruangan terpajang sebuah kuali perunggu besar untuk membakar hio dan persembahan. Karena usianya yang sudah sangat tua, abu lilin dalam kuali perunggu itu membeku menjadi hitam legam. Tepat di hadapan kuali perunggu berdiri sebuah meja batu hijau. Di permukaan meja batu terukir riak ombak yang memiliki kedalaman tiga dimensi, membuktikan kemahiran para pengrajin masa lalu. Di atas meja batu tersebut terdapat patung naga dari batu yang dilapisi lukisan berlapis emas, membuatnya tampak hidup. Terutama bagian kepala naga dengan taring yang berkerenyit dan mata melotot, menambah kesan perkasa. Seolah-olah sang Naga Raja bisa melayang terbang bersama angin begitu hembusan angin datang.
Badai di luar belum akan mereda dalam waktu dekat. Di kedalaman gua kapur ini, gemuruh petir tak lagi terdengar. Sunyinya tempat ini bagai dunia purba yang tak tersentuh waktu. Dalam lingkungan yang hening ini, rasa lelah dengan cepat menyergap. Akhirnya kami memilih sudut kuil yang terlindung untuk beristirahat.
Armada kapal yang mengantar pernikahan hantu itu berjumlah sekitar dua puluh orang. Mereka duduk berkelompok kecil-kecil dengan wajah penuh kelelahan. Ada yang mengusap kabut air di wajah, ada yang menggigil sambil memeluk lengan, dan ada pula yang menggeleng sambil menggerutu mengutuk nasib sial.
Seorang pria paruh baya sekitar empat puluh tahun menghampiri kami sambil berkata, "Pertemuan tak terduga seperti ini juga merupakan pertemanan. Boleh tahu nama kalian?"
Profesor Ye membalas salam, "Kami dari tim arkeologi Barat Laut, sedang merencanakan ekspedisi menyusuri aliran kuno Sungai Kuning. Tak disangka terjebak badai di sini! Namaku Ye Sheng. Ini dua muridku, Tuoba Gu dan Gu Meidi. Dan ini kapten kapal kami, Tuoba Lie!"
Pria paruh bawa itu mengangguk, memperkenalkan diri, "Namaku Yu Guangwei. Tiga generasi leluhurku hidup sebagai nelayan di tepi Sungai Kuning. Sungguh memilukan, beberapa waktu lalu putri sulungku pulang kampung, tapi malangnya ia tewas tenggelam di bagian sungai ini. Padahal ia mahasiswa yang pintar, sebentar lagi lulus, hanya ingin pulang sebentar... Siapa sangka..."
Ekspresi Yu Guangwei berubah sendu, matanya berkaca-kaca. Tapi ia cepat menarik napas melalui hidungnya, memaksakan senyum, "Hari ini hari bahagia, aku tak boleh menangis!"
"Hari bahagia apa?" tanyaku sengaja berpura-pura tidak tahu apa-apa.
Yu Guangwei berkata: "Menurut adat lokal kami, setiap gadis yang mati di Sungai Kuning berarti dipilih oleh Dewa Sungai Kuning. Kami harus mempersembahkan gadis itu sebagai istri sang dewa agar keluarga kami dilindungi! Ritual ini disebut 'mengantar pengantin hantu'. Hari ini kami sedang melaksanakan ritual tersebut. Awalnya kami hendak menenggelamkan mayat anak perempuan ke sungai sebagai persembahan, tapi sebelum sampai ke lokasi penenggelaman, badai menerjang. Ah, ini sangat mengkhawatirkan, jangan-jangan Dewa Sungai Kuning sedang murka?"
Ekspresi Yu Guangwei penuh khusyuk setiap menyebut "Dewa Sungai Kuning". Sebagai dewa sungai di aliran kuno Sungai Kuning, para nelayan yang sehari-hari mencari nafkah di sungai ini memang sangat memuliakannya.
Dari kejauhan, seorang wanita paruh baya tiba-tiba meraung menangis: "Hu hu hu! Hu hu hu! Anak perempuanku, kau mati dengan sangat mengenaskan!"
Rintihan itu memecah kesunyian Kuil Tulang Ikan. Kakek tua berjanggut kambing itu bergegas menghampiri wanita tersebut: "Ibu Dahua, jangan menangis! Kalau Ibu menangis, Dewa Sungai Kuning akan tak berkenan!"
Wanita itu semakin menjadi-jadi tangisannya: "Dewa Sungai Kuning, mengapa kau memilih putriku Dahua? Susah payah kami menyekolahkannya sampai universitas, tapi...kenapa kau merebutnya dari kami?"
Kakek berjanggut kambing berkata: "Ibu Dahua, kau harus hati-hati bicara. Anak perempuan yang dipilih Raja Sungai Kuning itu sangat beruntung. Asal kalian menenggelamkan mayat Dahua dengan baik, keluarga kalian pasti akan panen melimpah dan segala urusan lancar!"
Wanita paruh baya itu masih terus merintih menangis. Wajah Yu Guangwei berubah pucat, ia memberi hormat kepadaku sambil berkata: "Itu istriku Xiang Qinmei, maaf, saya harus pergi melihat dulu!"
Sambil berkata demikian, Yu Guangwei berpaling dan melangkah cepat ke depan Xiang Qinmei. Telapak tangan selebar kipas daun diayunkannya ke wajah Xiang Qinmei, sambil memaki: "Nangis terus, dasar perempuan sial! Bukankah Tuan Kambing sudah bilang, saat mengantar pengantin hantu dilarang menangis! Kalau tidak, Raja Sungai Kuning akan murka. Tidak kau lihat badai diluar? Semua karena tangisanmu membuat Raja Sungai Kuning marah sampai cuaca berubah! Bangsat! Kalau masih nangis kubuat mulutmu babak belur!"
Xiang Qinmei terpukau oleh tamparan itu. Ia menatap suaminya dengan ketakutan, ingin menangis tapi tak berani bersuara. Ekspresi kesedihannya sungguh menyayat hati.
Adegan di depan mata ini membuat kami geli sekaligus kesal. Yang lucu adalah kebodohan dan ketidaktahuan orang-orang ini, yang membuat kesal adalah seorang pria dewasa memukul dan memaki istrinya sendiri. Aku hampir tak tahan melihatnya, baru hendak berkata sesuatu, Profesor Ye segera melambaikan tangannya padaku, memberi isyarat untuk diam, lalu berbisik: "Jangan mulut usil! Ini urusan rumah tangga orang lain! Lagipula, ini adat istiadat penduduk setempat. Jika kau mengucapkan kata-kata nggak sopan pada Raja Sungai Kuning, bisa-bisa kita berkonflik!"
