Profesor Ye berkata: "Buka dan lihat isinya!"
Dengan hati-hati kubuka kaitnya. Suara "plak!" terdengar saat kotak berderit perlahan terbuka. Isi kotak seketika terpampang di hadapan kami. Sebelum membuka, telah kucoba bayangkan berbagai kemungkinan isinya. Namun tak kusangka, di dalam kotak perunggu itu ternyata tersimpan sebuah kunci kuningan kuno berwarna keemasan.
Kami bertiga termangu menatap kunci dalam kotak, pertanyaan sama menggelayut di hati: "Kunci untuk gerbang apakah ini?"
Aku dengan hati-hati mengambil kunci itu dan memeriksanya. Selain desainnya yang unik, aku tidak melihat keistimewaan apa pun pada kunci ini. Satu-satunya hal yang agak aneh adalah pola bola mata mengerikan yang juga terukir pada kunci ini. Ini semakin memperdalam keraguan kami: apa sebenarnya makna di balik pola bola mata ini? Mengapa pola mata aneh ini bisa ditemukan di mana-mana di sini?
Profesor Ye menyuruhku menyimpan kotak itu dengan aman. Kami baru akan merencanakan langkah selanjutnya setelah kembali ke tepi sungai.
Saat ini, di tepian Kuil Tulang Ikan sudah tidak ada seorang pun. Mataku menyapu sekeliling, heran: ke mana Kakek pergi?
Tiba-tiba terdengar suara mesin berdengung. Pantat perahu besi mengeluarkan asap hitam pekat, lalu perahu itu perlahan mulai berangkat menjauhi tepi sungai.
Hatiku berdebar gembira. Rupanya Kakek sudah naik ke perahu dan sedang bersiap mengemudikan perahu untuk menyelamatkan kami. Untuk menghindari cedera tak perlu, Kakek menghentikan perahu sekitar belasan meter dari kami. Kami tetap menggunakan posisi terbalik, merangkak kembali menyusuri rantai perunggu yang tadi kami lewati.
Di tengah perjalanan merangkak, Profesor Ye yang berada di depan tiba-tiba berhenti. Awalnya kukira dia lelah dan perlu beristirahat. Tapi segera kusadari ada yang tidak beres - Profesor Ye bukan berhenti untuk istirahat, melainkan tergantung di rantai perunggu itu dengan lesu.
"Profesor Ye! Profesor Ye!" Kupanggil lembut dua kali, tapi dia seolah tak mendengar sama sekali.
Aku mengosongkan satu tangan, menepuk-nepuk bahu Profesor Ye: "Profesor Ye, ada apa denganmu?"
Profesor Ye baru tersadar, Dia menunjuk ke kolam di bawah, nada bicaranya mengandung perasaan aneh: "Ada sesuatu di bawah kolam!"
Kalimat sederhana Profesor Ye ini membuatku gemetar hebat.
Dengan reflek kumelir ke dasar kolam, berusaha melihat apa sebenarnya yang ada di bawah sana.
Setelah lama mengamati, tak kudapati apapun di dasar kolam kecuali kabut dingin yang pekat. Saat kusangka mata Profesor Ye mungkin rabun, tiba-tiba terdengar suara gluk-gluk dari kolam bawah. Kutundukkan kepala cepat-cepat, dan yang kusaksikan sungguh di luar nalar - air bah yang membeku itu kini mendidih seperti air rebusan, menggelembung gluk-gluk tak karuan.
Kemudian kami terkejut menemukan pusaran hitam raksasa muncul di dasar kolam. Berdasarkan perkiraan visual, diameter pusaran hitam itu sekitar 20 meter, bagaikan tornado hitam yang berputar cepat di bawah permukaan air. Dari atas terlihat seperti bola mata raksasa, atau gerbang neraka yang menghubungkan ke alam kematian. Pusaran itu terus berotasi, perlahan membentuk jurang hitam yang menganga. Di dasar jurang, mulai muncul bayangan hitam raksasa yang samar. Dari siluetnya, bayangan itu menyerupai... menyerupai rangkaian kereta panjang.
Aku terkejut membuka mulut, bagaimana mungkin ada kereta di dasar jurang penderitaan? Jangan-jangan ini adalah pusaran waktu-ruang? Tapi aku segera mengesampingkan pikiran absurd ini, aku menggelengkan kepala yang pusing dan mengembang, bayangan hitam di jurang itu kemungkinan adalah siluman Sungai Kuning, mungkinkah itu Raja Naga Kepala Besi yang legendaris?
Saat kami masih terdiam terpana, gumpalan kabut hitam pekat muncul dari dasar jurang penderitaan. Kabut itu berubah menjadi tangan setan di udara, menyelimuti tiga perahu nelayan dari atas. Kabut hitam yang pekat seperti tinta itu segera membungkus ketiga perahu nelayan. Angin yin menderu-deru, kami tak bisa melihat keadaan di dalamnya, hanya mendengar jeritan-jeritan mengenaskan yang membuat bulu kuduk merinding.
"Cepat! Cepat kembali ke tepi sungai!" Profesor Ye berteriak, lalu merangkak menuju Kuil Tulang Ikan.
Kami tak berani berlama-lama sedetik pun, mengerahkan seluruh tenaga untuk merangkak kembali dengan tergesa-gesa.
Jeritan-jeritan menyayat hati terus bergema, kabut hitam itu bagai mulut iblis yang melahap segala makhluk hidup.
Kakek tua juga menyadari situasi di depan, buru-buru memutar haluan perahu dan menggeber mesin menuju tepian.
Kami turun dari atap Kuil Tulang Ikan, berkumpul dengan Kakek tua di satu titik.
Meski sudah bertahun-tahun berpetualang dengan Profesor Ye ke berbagai daerah, melihat banyak kejadian mengerikan, wajah kami tetap memutih ketakutan saat ini.
Jeritan-jeritan itu tiba-tiba terhenti. Kabut hitam perlahan mengendap di permukaan air, tak kunjung menghilang dalam waktu lama.
Kami terpaku menatap kabut hitam itu, tak ada yang berani bersuara bahkan menarik napas sekalipun.
Entah berapa lama kemudian, kabut hitam itu perlahan mulai bubar. Pusaran air di dasar kolam juga lenyap, permukaan air kembali tenang seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Tapi saat kabut hitam benar-benar hilang, pemandangan di permukaan air membuat kami membeku.
Permukaan air kini kosong melompong. Semua orang dan perahu lenyap tanpa jejak, bahkan pemanggil arwah hebat seperti Tuan Shan Yang pun raib. Mereka seakan menguap dari dunia ini, menghilang sepenuhnya dari pandangan kami.
Angin yin berhembus di atas permukaan air, peti mati hitam yang tergantung di udara seakan bisu bercerita tentang sesuatu.
Semua ini benar-benar terlalu aneh dan mengerikan!
Keanehan yang melampaui semua imajinasi kami!
Satu-satunya yang bisa kami spekulasikan adalah kabut hitam itu telah menelan orang-orang tersebut, menelan semua benda.
Mungkin para nelayan kasar dan perahu mereka telah terseret kabut hitam ke dalam jurang di bawah kolam air, takkan bisa ditemukan kembali.
Waktu seakan terhenti dan membeku pada momen ini.
Aku menggosok-gosok mataku sekuat tenaga, bahkan meragukan apakah ini mimpi, mimpi aneh yang menyeramkan. Namun ketika kubuka mata, kusadari ini bukan mimpi melainkan kenyataan, realitas yang hidup!
Profesor Ye menghela napas panjang memecah keheningan: "Untung tadi kita tidak berada di permukaan air, kalau tidak pasti sekarang sudah melapor di aula Raja Akhirat!"
Aku bertanya pada Gu Mei Di: "Apa kau melihat jelas benda apa yang ada di dasar jurang itu?"
Gu Mei Di menggeleng: "Saat itu kabut sangat tebal, mana mungkin terlihat jelas? Aku hanya melihat bayangan hitam samar di bawah jurang, bayangan itu sangat besar. Tak kusangka gua Sungai Kuning ini menyimpan begitu banyak benda misterius!"
Aku tiba-tiba terpikir satu pertanyaan: "Menurut kalian, apakah bayangan hitam di dasar jurang itu ada hubungannya dengan peti mati hitam itu? Mengapa sebelumnya bayangan itu tidak pernah muncul, tapi setelah kita membuka peti mati, bayangan itu langsung muncul? Kita tahu beberapa makam kuno dijaga oleh siluman langka, mungkinkah bayangan hitam di jurang ini adalah siluman penjaga makam?"
"Hmm!" Profesor Ye mengangguk: "Analisismu memang masuk akal. Mungkin bayangan itu adalah monster ikan seperti Raja Besi Berkepala, mungkin kura-kura berusia ribuan tahun, atau makhluk biologis tak dikenal lainnya. Siapa yang tahu!"
Memandang permukaan air yang perlahan tenang, hatiku justru bergelora. Berapa banyak rahasia yang terkubur di gua kapur ini? Siapakah sebenarnya tuan di dalam peti mati itu? Mengapa dia memilih lokasi ini sebagai makam? Dari mana asal-usul bunga misterius di mulut mayat kuno itu? Ke mana kunci dalam kotak perunggu itu akan menuntun kita? Apakah dasar jurang itu adalah gua siluman atau dimensi ruang-waktu lain yang mengerikan?
Hanya dalam sehari, kami telah mengalami gelombang demi gelombang bahaya. Ratusan tanda tanya berputar-putar di benakku, tapi kami sama sekali tak tahu harus berbuat apa. Aku merasa jika terus merenung seperti ini, otakku benar-benar akan meledak.
Saat ini, satu-satunya yang kurasakan adalah kelelahan, kelelahan yang sangat mendalam. Aku merasa jiwa dan raga ini seperti tercerai-berai. Dengan lesu aku duduk di tanah, memandang permukaan air yang gelap gulita, rasa tak karuan menggelayut di hati.
Meski kami sangat ingin segera meninggalkan tempat hantu ini, namun kami masih sangat segan dengan bahaya di bawah kolam. Profesor Ye lalu menyarankan agar kami sementara beristirahat di Kuil Tulang Ikan, baru membuat rencana setelah beberapa jam.
Kantuk bagai ombak laut yang berlapis-lapis. Baru saja kutatupkan mata, seketika aku terlelap dalam mimpi.
Tak tahu sudah berapa lama tertidur, dengan setengah sadar kubuka mata. Refleks kupalingkan kepala ingin membangunkan Gu Mei Di, tapi yang kulihat membuatku terkejut - Gu Mei Di yang tadinya berbaring di sampingku tiba-tiba hilang!
Kugosok-gosok mata sekuat tenaga. Yang membuatku panik, bukan cuma Gu Mei Di yang hilang, bahkan Profesor Ye dan Kakek pun raib. Kuil Tulang Ikan yang luas ini kosong melompong, tinggal aku sendiri bagai arwah tak bertuan yang terbuang.
Dengan panik kubangkit dari tanah, mataku jelalatan mencari. Sama sekali tak ada bayangan orang lain. Kepanikan mulai melanda, kuteriakkan nama-nama mereka, tapi yang menjawab hanya gema kosong.
Di mana mereka? Ke mana mereka pergi?
Jantungku serasa terbakar, kularikan langkah keluar kuil. Seketika hati ini seperti terjatuh ke jurang.
Aku terkejut menemukan perahu besi yang semula berlabuh di tepi sungai ternyata telah lenyap tanpa jejak!
Dadaku serasa dipukul palu berat, sakitnya membuat air mata mengalir deras. Kedua tangan memeluk kepala, mataku menatap kosong ke permukaan air yang sepi sambil bergumam seperti tersengat listrik: "Bagaimana bisa begini? Bagaimana mungkin?"
Mengapa perahu besi itu hilang? Jangan-jangan Kakek tua dan mereka telah pergi? Apakah mereka sudah meninggalkan Kuil Tulang Ikan? Mengapa tidak membangunkanku saat pergi? Jangan-jangan sengaja membiarkanku terdampar di sini? Mengapa mereka melakukan ini? Untuk apa semua ini?
Angin yin yang dingin mencambuk tubuhku bagai pecut. Dingin yang menusuk merayap dari telapak kaki menyebar ke seluruh anggota badan. Tak percaya ini nyata, tapi realitas kejam terbentang di depan mata: Kakek tua dan mereka benar-benar pergi, meninggalkanku sendirian dalam gua kapur penuh bahaya ini. Aku merasakan kepanikan dan kesepian yang tak pernah terbayangkan. Bahkan satu menit lebih lama di sini, kurasa aku akan jadi gila.
