Tubuhku limbung, terjatuh di kursi dengan otak kosong.
Tamat! Kali ini benar-benar tamat!
Tanpa perahu, bagaimana aku bisa meninggalkan gua kapur yang mematikan ini? Apa aku harus berenang keluar dengan tangan kosong? Meski kemampuan renangku cukup baik, bisakah aku menghindari bahaya mematikan di dalam air? Tikus pemakan mayat, jurang penderitaan, siluman laut di dasar air, kabut hitam tebal - satu saja dari bahaya ini cukup untuk merenggut nyawaku. Lagipula air kolam itu sangat dingin, mungkin baru berenang puluhan meter saja aku sudah membeku menjadi es loli daging manusia.
Setelah berpikir ke sana kemari, tetap tak ada cara bagiku untuk keluar dari sini. Apa aku harus menunggu kematian di Kuil Tulang Ikan ini?
Sedetik itu juga, keputusasaan total menyergap. Ingin sekali aku menghantamkan kepala ke patung batu kepala ikan di tepi sungai sampai mati.
Tapi aku masih tak tega meninggalkan dunia ini. Usiaku masih muda, belum sempat menikah, masih perjaka. Bagaimana bisa aku mati dengan segudang penyesalan? Sekalipun turun ke neraka, pasti aku akan diejek oleh para hantu kecil itu.
Aku terduduk di tepian sambil pikiran melayang-layang. Hati ini seperti jeruk yang terkupas, remuk berkeping-keping.
Memandang ke platform di atas, Kuil Tulang Ikan yang megah itu membuat hati semakin beku. Tak pernah terbayang tempat peristirahatan terakhirku justru di tempat gelap tanpa sinar matahari ini. Tapi mungkin ini lebih baik, takkan ada yang mengganggu. Lagipula aku bisa bertetangga dengan Jenderal Besar Dinasti Xia Barat. Siapa tahu di alam baca nanti kita bisa minum arak dan berbincang gembira.
Memikirkan ini, aku kembali menoleh untuk melihat peti mati hitam yang tergantung di udara. Namun saat aku memutar kepala, tubuhku langsung membeku seketika. Keringat dingin segera menyelimuti setiap inci kulitku. Karena dengan ngeri kusadari, di atas peti hitam itu ternyata tergeletak sesosok manusia!
Astaga! Semua bulu kudukku berdiri tegak dalam sekejap. Bagaimana mungkin... di atas peti mati itu... ada seseorang? Apakah itu manusia atau hantu?
Setelah beberapa saat dicekam ketakutan, kupaksakan diri untuk tenang. Tanganku meraba pinggang dan merasa sekop zeni masih ada. Genggaman sekop itu memberiku secerca keberanian. Kujilat bibir keringku, lalu dengan nekat kunaiki Kuil Tulang Ikan. Aku harus memanjat ke atas peti hitam itu untuk mencari kebenaran. Daripada duduk menunggu mati, lebih baik mati secara heroik.
Dengan posisi terbalik di rantai perunggu, perlahan kuraih peti hitam itu.
Semakin dekat dengan peti hitam, detak jantungku semakin kencang. Pada jarak 10 meter terakhir, jantungku berdegup seakan hendak menerobos dada. Di saat genting ini, tiba-tiba keraguan menyergap. Siapakah bayangan manusia itu? Jangan-jangan mayat kuno dalam peti? Mungkinkah mayat itu keluar sendiri dari peti mati?
Aku mengosongkan satu tangan, mengeluarkan senter kecil dari saku, menyalakannya lalu menggigitnya di mulut, kemudian mengumpulkan keberanian untuk terus merangkak maju.
Lima meter, tiga meter, dua meter...
Saat tiba di depan peti mati hitam, lingkaran cahaya dari senter kecil itu jatuh tepat pada bayangan manusia itu. Aku hampir terjatuh ke kolam karena terkejut. Pada momen ini, aku tak tahu apakah yang ada di hatiku adalah ketegangan, kegembiraan, ketakutan, atau kebingungan. Seolah semua perasaan itu saling terikat, membuatku sulit mempercayai apa yang terlihat di depan mata.
Bayangan manusia itu ternyata adalah Profesor Ye yang hilang!
Di saat kesepian dan tak berdaya seperti ini, tiba-tiba melihat teman sendiri sungguh membangkitkan semangat. Jantungku yang membeku kembali hangat. Rupanya aku salah paham pada Profesor Ye dan yang lain. Mereka tidak meninggalkan gua kapur maupun meninggalkanku sendirian. Tapi jika memang tidak pergi, ke mana hilangnya perahu yang tadinya berlabuh di tepi? Mungkinkah kabut hitam mengerikan itu muncul lagi dari jurang saat kami tidur, menelan semua perahu di permukaan air? Mengapa Profesor Ye dan yang lain kembali ke peti mati ini? Kenapa mereka tidak membangunkanku untuk bergerak bersama?
Dengan perasaan bingung yang sangat, aku mendorong Profesor Ye di depanku, tapi Profesor Ye sama sekali tidak bergerak, seolah tertidur. Di hatiku muncul firasat buruk, dengan gemetar aku mengulurkan tangan kanan, ingin memeriksa napas Profesor Ye. Saat jari-jariku menyentuh ujung hidungnya, aku tak bisa menahan tubuh yang menggigil - ternyata aku tak merasakan hembusan napas Profesor Ye. Apakah Profesor Ye sudah berpulang? Tidak! Mustahil! Profesor Ye, jangan kau nakut-nakuti aku!
Kukerahkan tenaga mendorong Profesor Ye, dia bagai mayat tak bernyawa, membiarkan diriku meremasnya.
Hatiku semakin tenggelam dalam kesedihan, perasaan sakit seperti ditusuk pisau. Profesor Ye adalah guruku sekaligus sahabatku. Menyaksikan si kawan lama mati di depan mataku sendiri - betapa siksaan menyakitkan bagi yang masih hidup?
Jantungku berkedut hebat, air mata bagai air bah yang jebol tanggul, tak terbendung lagi.
Saat ini, aku seolah kehilangan keluarga sedarah sendiri, menangis pilu hingga perih usus.
Persis ketika kesakitan itu hampir tak tertahankan, tiba-tiba kulihat Profesor Ye di depanku bergerak sedikit.
Segera kukeringkan air mata, teriak gembira campur kaget: "Profesor Ye! Ternyata kau belum mati! Kau masih hidup!"
Mukaku seketika memerah membara. Andai Profesor Ye tahu aku menangis seperti gadis kecil, pasti dia akan menertawakanku.
Profesor Ye mengeluarkan rintihan aneh, lalu dengan perlahan mengangkat kepalanya. Saat dia mengangkat kepala, aku dengan ngeri menemukan bahwa kedua mata Profesor Ye ternyata berwarna merah darah. Ekspresi wajahnya sangat kaku, tatapan matanya kosong seperti boneka kayu.
Aku merasa ada yang tidak beres, tangan kanan secara refleks meraih sekop zeni di pinggang.
Aku menelan air liur, bertanya dengan suara parau: "Profesor Ye, kau kenapa? Profesor Ye, kau masih ingat aku? Aku ini..."
"Graaah!" Profesor Ye tiba-tiba membuka mulut dan menerkam lenganku. Saat mulutnya terbuka, aku terkejut melihat bahwa di dalam mulutnya tumbuh taring putih pucat seperti tulang.
Dalam sekejap, aku seolah jatuh ke gudang es. Ini... apakah ini transformasi mayat?
Pada saat kritis ini, menghadapi serangan kilat Profesor Ye dari jarak dekat, aku tak sempat berpikir panjang. Dengan cepat aku mengambil sekop zeni dari pinggang dan mengangkatnya secara horizontal di depan tubuh. Dentang keras terdengar saat taring panjang itu menghantam sekop. Taring itu bahkan meninggalkan jejak gigi mengerikan di sekop zeni yang tak tertembus ini. Bersamaan dengan itu, dua taring di mulut Profesor Ye patah, darah menyembur memenuhi mulutnya, menambah horor yang mencekam.
Profesor Ye seolah tak merasakan sakit, sama sekali tak menghiraukan gigi yang patah. Dengan suara "uung... uung..." yang aneh, dia mengulurkan kedua tangannya untuk mencakar wajahku. Aku menunduk menghindar, sambil mengayunkan sekop zeni ke wajahnya dengan pukulan keras. Saat ini, aku sadar betul: orang di depan mata ini bukan lagi mentorku yang kuhormati. Dia adalah bakcang tua yang terinfeksi virus kematian. Maka tanpa ampun kuhantamkan sekop itu dengan kekuatan penuh. Pipi Profesor Ye langsung cekung ke dalam, lehernya berbunyi "krek!", dan kepalanya terpelintir ke samping.
Tanpa pikir panjang, kulecutkan tendangan keras ke dada Profesor Ye dengan segenap tenaga. Profesor Ye menjerit aneh lalu terjatuh dari peti hitam. Dari bawah terdengar suara benda berat menghantam air. Kujulurkan kepala melihat: di permukaan air bermunculkan gelembung-gelembung. Profesor Ye seperti bandul timbangan yang tenggelam ke dasar.
Kuhela napas panjang. Baru kusadari seluruh tubuhku sudah basah kuyup oleh keringat.
Memandangi permukaan air yang perlahan kembali tenang, hatiku dipenuhi kesedihan. Aku merasa seperti telah membunuh mentorku tercinta dengan tanganku sendiri, dada ini penuh rasa bersalah. Di tengah kepedihan, teringat satu hal yang lebih menakutkan: Profesor Ye sudah terinfeksi virus kematian. Bagaimana dengan Kakek tua dan Gu Meidi? Di manakah mereka? Mungkinkah mereka juga tertular? Jika Kakek atau Gu Meidi berubah menjadi mayat hidup dan menyerangku... bisakah aku tega membunuh mereka?
Pikiranku kacau balau. Dengan reflek kuarahkan pandangan ke dalam peti mati. Seketika itu juga, nyaris rohku hancur lebur melihat ke dalam. Jenazah kuno dari Xia Barat itu telah lenyap! Yang terbaring di dalam peti kini adalah... Gu Meidi!
Ya Tuhan!
Apa yang sebenarnya terjadi?
Kedua tanganku mencengkram rambutku sendiri. Kepalaku terasa hendak meledak.
Gu Meidi terbaring tenang dalam peti mati kayu yin, mengenakan jubah panjang merah menyala, kedua matanya terpejam rapat.
Jantungku bergetar liar. Aku merasa terhisap pusaran kekacauan yang tak terperi. Segala hal di sini memicu ketakutan dan kepasrahan. Kuterjang habis-habisan dalam pusaran itu, saraf dan kehendak terkikis sedikit demi sedikit. Jika ini berlanjut, pastilah aku akan hancur.
"Melihat Gu Mei Di di dalam peti mati dengan mata terpejam rapat, senyum dan ekspresinya masih bergema di benakku. Meski aku berusaha menipu diri sendiri bahwa Gu Mei Di hanya tertidur pulas, di relung hati terdalam aku sadar, ia takkan pernah bisa bangun lagi."
"Manusia yang pernah kucintai dalam-dalam ini, dalam sekejap telah terpisah oleh Yin Yang. Aku tak tahan merangkak di tepi peti mati, menangis tersedu-sedu. Air mata jatuh bak manik-manik terputus, menghantam wajah Gu Mei Di setetes demi setetes."
"Tepat saat tangisku mencapai puncak, hal yang lebih mengerikan terjadi. Retakan horizontal dan vertikal tiba-tiba muncul di wajah Gu Mei Di. Garis-garis darah merembes dari celah-celah itu, lalu wajahnya pecah berkeping seperti cermin. Dalam sekejap, yang tersisa hanyalah wajah berdarah tanpa kulit yang hancur tak berbentuk."
"Ah—!" teriakku sambil bangun dengan panik.
"Aku tak sanggup lagi menahan siksaan mental ini. Aku harus pergi dari sini!"
"Kubanting tutup peti mati. Saat berbalik, Kakek tua sudah berdiri di belakangku."
"Kutatapnya dengan heran. Sejak kapan ia ada di situ? Mengapa aku sama sekali tak menyadarinya?"
"Saat hendak berbicara, tiba-tiba kulihat senyum aneh mengembang di wajah Kakek tua."
Jantungku berdebar kencang, sebelum sempat sadar, Kakek tua tiba-tiba mencabut senjata buruan tua dari belakangnya. Lubang laras hitam pekat itu menekan keras titik antara alisku. Keringat dinginku mengucur deras, aku menangis histeris: "Kakek! Lihat baik-baik! Aku Tuoba Gu! Cucumu ini..."
Sebelum suaraku habis, dentuman senjata menggema di telinga. Aku melihat tubuhku terlempar ke belakang, lalu jatuh berat ke dalam kolam air yang membeku. Tubuhku terus tenggelam, semakin dalam, sampai masuk ke jurang kegelapan tak berdasar.
