Suara kreek terdengar, kedua pintu gerbong truk berat perlahan terbuka. Sorot cahaya oranye redup menembus dari dalam gerbong.
Profesor Ye menarik-narik lengan bajuku, menyuruhku jangan cuma berdiam terpana.
Aku buru-buru mengikuti di belakang Profesor Ye, memanjat masuk gerbong dalam beberapa langkah. Setelah kami masuk, pintu gerbong tertutup kembali.
Udara di dalam gerbong terasa gerah. Siluet tubuh agak gemuk membelakangi kami, berdiri di bawah lampu kekuningan. Asap rokok yang mengepul tak henti mengitari kepalanya.
Profesor Ye memberi hormat dengan gerakan kepalan ke arah siluet itu: "Erlang Shen, kabarmu baik?"
Pria bernama julukan "Erlang Shen" itu perlahan berbalik. Usianya sekitar empat puluhan, posturnya agak gemuk dengan aura kemakmuran. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak, cincin giok menghiasi jarinya, tersenyum pada Profesor Ye: "Profesor Ye, lama tak jumpa!"
“Lama tak jumpa!” Profesor Ye memberi hormat dengan gerakan kepalan.
Erlang Shen tersenyum bertanya: "Hari ini ada transaksi baru lagi?"
Profesor Ye berkata: "Adat lama, yang tak pantas ditanya jangan banyak tanya. Ini daftar barang yang kuperlukan!" Sambil berkata, Profesor Ye menyodorkan selembar kertas pada Erlang Shen.
Erlang Shen menerima kertas itu, mengangkat dagunya: "Ikut aku!"
Baru saat ini aku mengerti, ternyata Profesor Ye membawa saya untuk membeli peralatan ekspedisi. Tampaknya Erlang Shen ini seperti pedagang bawah tanah, dan masih kenalan lama dengan Profesor Ye. Sungguh tak kusangka Profesor Ye Sheng yang termasyhur di dunia arkeologi ini bisa mengenal pedagang dunia persilatan macam ini.
Profesor Ye mengajakku mendekat. Di depan Erlang Shen terlihat belasan peti kayu tertutup rapat berjejer.
Erlang Shen mengambil linggis dari samping, menyelipkannya ke celah salah satu peti kayu. Dengan sekuat tenaga dihentakannya, Braak! Peti itu terbuka. Ia menganggukkan dagu ke arah kami: "Lihatlah!"
Saat peti terbuka, mataku hampir melotot keluar. Di dalam peti kayu itu tertata rapi berbagai macam senjata dan perlengkapan. Pistol, senapan serbu, rompi antipeluru, granat asap, tali pengaman, pisau komando, bahkan granat tangan. Tempat ini persis seperti gudang persenjataan.
Astaga, di negara kita jual beli senjata secara pribadi itu tindakan kriminal!
Keringat dinginku glekuk mengalir deras. Aku menoleh melihat Profesor Ye, tapi beliau justru terlihat tenang. Dia mengambil sebuah pistol tipe 54, dengan lancar menarik pelatuknya: "Bagus! Reputasi Erlang Shen di dunia persilatan memang termasyhur!"
Erlang Shen menghembuskan asap rokok, wajahnya menunjukkan sedikit kesombongan: "Tentu saja!"
Sekarang dengan mengamati dari dekat, baru kusadari di tengah dahi Erlang Shen terdapat tonjolan merah sebesar anggur, mirip mata ketiga. Entah ini bekas lahir bawaan atau bukan, pantas dijuluki Erlang Shen.
Profesor Ye berseru tanpa menoleh: "Tuoba Gu, kemarilah pilih senjata yang nyaman digenggam!"
Aku mengelap keringat di wajah, tak berani bergerak.
Profesor Ye menengok: "Berdiri kaku begitu kenapa? Takut? Ini bukan merampok bank, hanya untuk perlindungan diri! Ini, kuambilkan untukmu!" Beliau menyodorkan senapan mesin ringan ke tanganku.
Tanganku meraba badan senjata yang dingin, jantungku braak berdebar kencang. Ini pertama kalinya dalam hidupku memegang senjata asli, mana mungkin tidak tegang?
Melihat kelakuanku yang konyol, Erlang Shen tak tahan tertawa: "Profesor Ye, kenapa kali ini bawa murid cupu seperti ini?"
Begitu mendengar Erlang Shen memanggilku "murid bodoh", wajahku memerah semakin dalam. Aku pura-pura ahli memainkan pelatuk senjata itu.
Setelah memilih-milih, kami membeli empat set peralatan selam, dua senapan serbu dan dua pistol model 54, bahkan dua granat tangan. Perasaan ini seperti hendak berperang, membuatku gugup bukan main.
Erlang Shen melihat daftar belanja: "Profesor Ye, alat deteksi sonar yang Anda minta saat ini belum ada stoknya. Tapi saya jamin dalam tiga hari pasti akan disiapkan, bagaimana?"
Profesor Ye mengangguk puas: "Bagus, saya suja efisiensimu! Tiga hari lagi hubungi saya, akan saya beri tahu lokasi pengiriman!" Sambil bicara, Profesor Ye mengeluarkan segepok uang dari saku dan menyodorkannya ke tangan Erlang Shen: "Ini uang muka, sisanya dibayar saat barang diterima!"
Erlang Shen tersenyum lebar menyimpan uang itu, matanya hampir menyipit seperti garis: "Profesor Ye, kau tetap yang dulu! Hahaha, semoga sukses segera! Ngomong-ngomong, saya punya arak enak di sini, mau minum segelas?"
Profesor Ye menolak halus: "Tidak perlu, hari ini benar-benar lelah!"
Erlang Shen berkata: "Baiklah, akan saya suruh Ah Gui mengantarmu pulang!"
Keluar dari bak truk, langit malam telah dipenuhi bintang-bintang. Kami membawa dua kantung peralatan berat itu seperti pencuri yang menyelinap ke mobil. Sopir mengantar kami kembali ke halte bus tempat kami dijemput, lalu kami memanggil taksi untuk buru-buru kembali ke hotel.
Saat kembali ke hotel sudah tengah malam. Naik lift ke lantai atas, Profesor Ye melihat aku terus-menerus membersihkan keringat, tak tahan bertanya: "Kau tegang ya?"
Aku mengangguk, tak bersuara.
Profesor Ye berkata: "Santai saja. Di bidang kami, sering menghadapi berbagai bahaya. Apa kau benar-benar pikir kita bisa melalui hidup dan mati hanya dengan dua sekop zeni? Tanpa senjata panas berkekuatan besar untuk perlindungan, seekor binatang buas hutan saja cukup merebut nyawa kita. Erlang Shen ini pedagang bawah tanah terbesar di wilayah Barat Laut. Barang-barangnya terbaik dan terlengkap, banyak produk impor berkualitas tinggi dengan harga terjangkau."
Ding dong, pintu lift terbuka. Profesor Ye melangkah keluar pertama kali.
Memandang punggung Profesor Ye, hatiku tiba-tiba dipenuhi perasaan tak terucapkan. Untuk pertama kalinya kusadari seolah tubuh Profesor Ye menyimpan banyak rahasia.
Gu Meidi memesan dua kamar standar di hotel. Kakek tua dan Profesor Ye tidur sekamar, sementara aku secara alami sekamar dengan Gu Meidi. Saat kembali ke kamar, Gu Meidi sudah tertidur pulas, mendengkur pelan. Sebuah lampu meja menyala di kamar, cahaya jingganya menyinari setengah wajah Gu Meidi yang lembut dan cantik.
Takut membangunkannya, aku masuk kamar dengan hati-hati, melengkung, mengulurkan tangan untuk mematikan lampu meja.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar teriakan Gu Meidi: "Tuoba Gu, kau pengecut!"
Aku gemetar ketakutan, belum sempat memahami situasi, terdengar suara "plak!" disusul rasa perih menyengat di pipi kanan yang langsung memerah. Aku tak menyangka secara tak masuk akal mendapat tamparan. Aku membeku seketika, otak seperti mati total. Tak tahu kesalahan apa yang telah kulakukan hingga Gu Meidi berani memukulku. Di detik ini, tamparannya benar-benar membuatku linglung. Sebelum sempat bereaksi, kembali terdengar makiannya: "Binatang!" Diikuti cap telapak tangan tak terlihat yang membekas di pipi kiriku.
"Aduh!" Aku menjerit kesakitan dan terjatuh di tepi tempat tidur.
Kali ini darahku benar-benar mendidih. Apa sebenarnya kesalahanku hingga Gu Meidi negeri memukulku? Sekalipun aku berbuat salah, bukankah kita bisa bermusyawarah? Mengapa langsung main tangan?
Dengan geram kubangkit dari lantai, tangan menutupi pipi yang masih perih terbakar, siap melontarkan makian. Tiba-tiba kudengar Gu Meidi mengaduh pelan, tangannya terlipat di bawah kepala, bibirnya berdecak lembut seperti kucing kecil yang menggemaskan dalam tidur lelap. Dengan paksa kutanam kembali umpatan yang nyaris meluncur. Sekarang aku tersadar - rupanya tadi ia sedang bermimpi. Tapi... mimpi apa gerangan yang membuatnya menyimpan kebencian sedalam ini padaku?
Aku masuk ke kamar mandi dengan perasaan sedih, mengompres wajah dengan handuk dingin, dalam hati memaki: "Si Nona kecil ini tindakannya benar-benar kejam, sampai-sampai memperlakukan kepalaku seperti bola pantul!"
Aku juga tak berani mematikan lampu meja lagi, takut kena tamparan lagi. Sendirian aku menyelinap ke dalam selimut, menutupi kepala dengan selimut. Mungkin karena benar-benar kelelahan, aku segera terlelap dalam mimpi dengan dengkuran yang mengguncang langit.
Dalam keadaan setengah sadar, kurasakan ada yang mencubit hidungku. Awalnya cuma membalikkan badan tak acuh. Lalu kusadari napasku terhambat, segera kukejang-kejang bangun dari tidur. Saat membuka mata sekelebat, kulihat wajah hantu muncul di hadapanku. Refleks kupukulkan tinju: "MATI!"
"Aduh—" Gu Meidi menutupi wajahnya sambil terjatuh di tempat tidur.
Kugosok-gosok mata yang masih berkabut, baru sadar telah berbuat kesalahan. Ternyata pukulan tadi mengenai Gu Meidi.
Gu Meidi menjerit marah: "Tuoba Gu, ibu tua ini akan membunuhmu!"
Gu Meidi mengenakan gaun tidur putih, rambut panjangnya terurai. Ditambah cahaya redup di kamar, dalam keadaan pikiranku yang masih kacau, kukira dia hantu perempuan. Tapi ini bukan sepenuhnya salahku, siapa suruh dia iseng mencubit hidungku?
Aku menoleh melihat ke luar jendela, cuaca masih berkabut kelabu. Kutanya Gu Meidi kenapa meremas hidungku, dia menjawab: "Tuan muda, dengkuranmu bagai petir menggelegar! Mana mungkin aku bisa tidur? Awalnya kukira ada babi hutan menggeram di tempat tidur, hampir saja kupanah kau dengan Panah Naga Dewata!"
"Kau sendiri yang babi hutan!" geramku sambil menunjuk pipiku. "Lihat, lihatlah mukaku ini!"
"Wah!" Gu Meidi terkejut. "Tuoba Gu, kenapa wajahmu penuh cap lima jari? Semalam kau berkelahi sampai babak belur? Atau main goda perempuan sampai ditampar?"
"Omong kosong!" Aku naik pitam. "Ini semua ulahmu! Semalam kau memukuliku dalam tidur sambil terus memaki! Dosaku apa sampai kau benci aku segininya? Ceritakan, mimpi apa semalam?"
"Hah?!" Gu Meidi terkekeh. "Maaf... Maaf ya! Semalam aku bermimpi kau mencuri daging domba dari mangkokku, satu potong demi satu potong..."
Aku terpaku. Cuma makan beberapa iris daging, sampai kau sebut aku binatang? Sungguh memalukan!
