Seiring air yang terus tersedot, pusaran itu semakin melebar dan dalam.
Disertai gemuruh menggelegar, jurang hitam yang mengerikan muncul di bawah pusaran.
Kabut hitam aneh bergolak seperti air bah dalam jurang, seolah-olah jurang ini adalah pusaran ruang-waktu yang mungkin terhubung ke neraka atau dunia lain.
Saat jurang muncul, pusaran air pun menghilang.
Kami masih berpegangan erat pada rantai perunggu, mungkin karena terlalu ketakutan hingga tak berani melepas tangan sedetik pun.
Gemuruh berat tiba-tiba berhenti, disusul auman menggeram yang aneh.
Kami kaget, Celaka! Apakah siluman di dasar jurang itu muncul?
Membayangkan siluman raksasa itu, tubuhku gemetar tak terkendali. Di bawah air, mustahil kami bisa melawan siluman itu. Tak ada pilihan selain menunggu ajal.
Saat kami menunduk melihat ke dalam jurang, bayangan hitam sebesar gerbong kereta berenang perlahan dalam lingkaran di kedalaman.
Ya Tuhan!
Siluman yang bersembunyi di jurang benar-benar muncul! Dewata, mengapa Kau memaksa kami ke ujung jurang? Kesalahan apa yang telah kami perbuat hingga Kau begitu kejam?
Saat aku sedang memaki Dewata, suara kakek tua yang terengah-engah bergema di telingaku: "Halo! Halo! Profesor Ye, Tuoba Gu, Gu Meidi, kalian harus cepat lari! Cepat! Ada sesuatu yang naik dari bawah air! Ada sesuatu yang naik dari bawah air!"
Perkataan kakek bagaikan pukulan drum yang padat, berdegup-deram di dasar hati kami. Aku merasakan jantungku berdegup kencang hingga hampir melompat dari tenggorokan.
Profesor Ye memberi kami isyarat tangan ke atas, meminta kami menghentikan operasi ini dan segera kembali ke perahu.
Aku menggenggam lengan Gu Meidi dan menariknya bertarung habis-habisan ke permukaan air.
Gu Meidi membalas menggenggam tanganku dengan erat, erat, membuatku merasakan aliran kekuatan yang hangat.
Di dasar hati, aku terus memberi semangat pada diri sendiri: "Hidup terus! Harus hidup terus!"
Baru berenang beberapa meter ke hulu, tiba-tiba terdengar teriakan panik kakek dari alat komunikasi: "Tidak sempat! Itu sudah menyusul!"
Kami menoleh dan melihat bayangan hitam sebesar gerbong kereta telah menyembur dari jurang penderitaan.
Panjang tubuh makhluk itu jelas melebihi 30 meter, seluruh badannya tertutupi sisik hijau pekat, terlihat seperti ular piton raksasa yang mengerikan. Tapi makhluk ini bukan ular piton - di perutnya tumbuh kaki, dan di kepalanya ada tanduk panjang, wujudnya mirip dengan Naga dalam mitologi Tiongkok.
Siluman laut itu hanya perlu mengibaskan ekornya dengan lembut, sudah bisa berkeliaran puluhan meter. Kami khawatir belum sempat muncul ke permukaan sudah dikejar olehnya. Saat kami sedang panik, tiba-tiba Kakek tua berteriak lewat komunikator: "Cepat sembunyi di pagoda kuno! Cepat sembunyi di pagoda kuno!"
Barusan mungkin karena terlalu ketakutan, otak kami seperti terisi lem, linglung dan kosong. Setelah diingatkan Kakek, baru kami tersadar bahwa pagoda itu berada tak jauh di belakang. Sekarang pagoda itu menjadi satu-satunya tempat perlindungan kami. Tanpa pikir panjang, kami segera berbalik arah dan berenang sekuat tenaga ke arah pagoda, berharap bisa masuk sebelum siluman itu menyusul, mungkin bisa menghindari bencana.
Kami dengan cepat mendekati pagoda kuno, dan segera menemukan pintu masuk di dasar bangunan.
Tapi yang membuat kami sangat kecewa, di pintu masuk ternyata ada dua daun pintu tembaga tebal.
Dua pintu tembaga ini benar-benar memblokir jalan hidup kami. Segala harapanku hancur berantakan dalam sekejap.
Kukobok kedua pintu tembaga itu dengan sekuat tenaga, tapi sama sekali tidak bergerak.
Merasa frustrasi, saat hampir menyerah, tiba-tiba kudapati ceruk persegi sekitar satu chi di tengah kedua pintu. Di dalam ceruk itu ada lubang kunci - rupanya pintu ini membutuhkan kunci khusus untuk dibuka.
Tapi... di manakah kunci untuk membuka pintu tembaga itu?
Siluman laut semakin mendekati kami, semakin dekat, meski berada di bawah air, aku masih merasakan seluruh punggungku dipenuhi keringat dingin. Saat itu pikiranku berputar kencang, tiba-tiba, aku teringat kotak perunggu yang terbungkus bunga siluman merah. Bukankah di dalamnya ada kunci tembaga kuno? Mungkinkah kunci tembaga kuno itu adalah kunci untuk membuka pagoda kuno ini?
Tak ada waktu lagi untuk mempertimbangkan banyak hal. Sekarang aku harus mengobral semua taruhan tanpa cara lain. Cepat kubuka kantong kecil di sisi kiri tas tahan air, kuraih kotak perunggu itu, lalu dengan gemetar kubuka kotaknya dan mengambil kunci tembaga kuno dari dalamnya.
Sambil membatin "Bodhisattva melindungi", kumasukkan kunci tembaga itu ke lubang gembok di tengah ceruk. Sebenarnya tanganku gemetar liar saat memasukkan kunci ini, karena sama sekali tak ada keyakinan. Jika kunci ini bukan untuk pintu gerbang perunggu, kami akan menjadi santapan siluman laut.
Hidup dan mati, tergantung pada detik-detik genting ini!
Telingaku mendengar bunyi mekanisme yang nyaring, dua daun pintu tembaga itu langsung terbuka ke kedua sisi.
Saat itu, siluman laut mengerikan itu hanya berjarak kurang dari 10 meter dari kami.
Kami memandang penuh suka cita ke arah pintu tembaga yang terbuka, diam-diam mengucap "terima kasih Buddha" di dasar hati, lalu menyelam mengikuti aliran air menuju tubuh pagoda.
Begitu kami masuk ke dalam pagoda, pintu tembaga itu runtuh menutup dengan gemuruh di belakang kami, persis mengurung siluman laut di luar. Makhluk itu tak sempat menghentikan laju, menghantam keras pintu tembaga hingga bergemuruh, membuat seluruh pagoda kuno berguncang dahsyat.
Terjepit keadaan, kami terus terdorong maju oleh arus air yang membanjiri. Tak tahu berapa jauh terseret, tiba-tiba kakiku menginjak darat. Hatiku berdebar gembira, segera menarik Gu Meidi dari dalam air.
Di bawah kaki kami terbentang beberapa anak tangga batu yang menanjak 45 derajat. Kami merangkak naik melalui tangga itu, lalu duduk terengah-engah di atasnya. Dada terasa seperti mau meledak, jantung masih berdebar kencang disertai nyeri tegang.
Kusingkirkan lampu sorot ke sekeliling, menemukan kami berada di saluran air sempit yang diapit tembok batu bata abu-abu kebiruan tebal di kedua sisi.
Aku tak bisa menahan kebingungan: "Mengapa ada saluran air di dalam pagoda kuno?"
Tapi aku segera menyadari, saluran air ini adalah zona isolasi yang dirancang dengan cermat oleh para tukang. Karena saat pintu perunggu dibuka, pasti akan ada banyak air sungai yang ikut mengalir masuk ke tubuh pagoda. Di bawah erosi air sungai yang berlangsung bertahun-tahun, bagian dalam pagoda kuno mudah busuk dan runtuh. Untuk mencegah air sungai masuk ke dalam tubuh pagoda, para tukang sengaja membangun saluran pembuangan air di pintu masuk pagoda kuno ini, yaitu konstruksi lapisan ganda, mengisolasi air sungai yang masuk ke dalam lapisan ganda. Memikirkan ini, rasa hormat yang tulus terhadap kreativitas dan imajinasi orang-orang zaman dulu tak kuasa kutahan.
Duduk beristirahat sebentar di tangga batu, kulihat jarum penunjuk tabung oksigen. Ternyata kami telah menghabiskan dua pertiga oksigen. Aku mulai merasa khawatir, takut sisa oksigen tidak cukup digunakan.
Baru ingin melepas masker oksigen, Profesor Ye tiba-tiba mencengkeram tanganku. Dengan bahasa isyarat, dia memberitahuku untuk sementara jangan melepas masker oksigen karena pagoda ini tertutup rapat. Setelah bertahun-tahun berlalu, tidak diketahui apakah masih ada oksigen di dalamnya. Selain itu, udara di dalam pagoda yang sepenuhnya tertutup tidak bisa bersirkulasi. Banyak bakteri telah berkembang biak di udara, mengubah udara di sini menjadi racun mematikan yang bisa merenggut nyawa.
Kami melepas baju selam dan sirip kaki, lalu mengganti pakaian sehari-hari. Kemudian mengeluarkan senjata dari tas tahan air. Profesor Ye membawa senjata serbu, sedangkan aku dan Gu Meidi masing-masing memegang pistol. Profesor Ye memberi isyarat agar kami membuka pengaman di atas senjata. Siapa tahu krisis apa yang mengintai di dalam pagoda kuno ini. Kami mencengkeram erat stang senjata, keringat dingin terus mengucur dari telapak tangan.
Di atas tangga batu terdapat lorong panjang selebar lima meter dengan tinggi tiga meter, struktur lengkung yang memiliki daya dukung gravitasi lebih kuat.
Profesor Ye membawa senjata serbu membuka jalan di depan, sementara aku dan Gu Meidi menjaga di sayap kiri-kanannya. Kami membentuk formasi segitiga yang bergerak maju dengan hati-hati.
Lorong itu sunyi senyap, bergema oleh suara langkah kaki kosong kami. Perasaan ini menimbulkan rasa tertekan yang sangat kuat.
Setelah melewati sudut tikungan, tak jauh di depan kami tiba-tiba muncul secercah cahaya.
Ini di luar perkiraan kami - bagaimana mungkin masih ada cahaya di dalam pagoda kuno yang terkubur di dasar air ini?
Kami bergegas namun hati-hati menuju sumber cahaya, di kedua sisi tembok batu lorong terdapat lentera Changming yang menyala tanpa suara. Lentera tembaga itu berbentuk unik seperti teratai Buddhisme, berisi minyak putih membeku dengan sumbu pendek di tengah. Dua nyala api itu mengambang bagai hantu dalam kegelapan, menerangi sekeliling dengan cahaya redup yang mencekam. Bayangan kami terpantul di dinding batu lapuk, menciptakan kesan misterius yang aneh.
Profesor Ye melepas masker oksigen terlebih dahulu, lalu berpaling dan berkata, "Api ini menyala normal, membuktikan kadar oksigen di sini cukup untuk kita melepas masker!"
Kami segera menutup katup dan melepas masker oksigen. Kini kami harus menghemat persediaan oksigen karena masih diperlukan saat kembali ke permukaan air nanti.
Gu Meidi mengibaskan rambut yang basah kuyup. Pakaiannya yang tergenang air melekat erat di tubuhnya, semakin menonjolkan lekuk tubuhnya yang indah. Aku tak tahan melirik beberapa kali, hati kecilku berdebar kencang. Seolah membaca pikiranku, Gu Meidi berbisik, "Bisa muncul pikiran mesum di tempat begini, kau benar-benar jorok!"
Aku segera menarik kembali pandangan. Untuk mengalihkan topik, aku bergegas mendekati sebuah lentera kecil. Dengan kelingking, kuambil sedikit minyak dan kuhirup di hidung. Aroma minyak itu ternyata masih harum menyegarkan, entah diekstrak dari binatang apa lalu dimurnikan.
Lentera Changming seperti ini bukan pertama kali kami lihat. Banyak makam kuno memiliki lentera semacam ini yang bisa menyala ratusan bahkan ribuan tahun tanpa padam. Hingga kini, kalangan ilmu pengetahuan masih belum bisa mengungkap rahasianya, menjadikannya salah satu misteri paling ajaib dalam arkeologi.
Tapi perhatian kami tidak tertuju pada dua lentera itu. Pandangan kami tertarik pada sesuatu di depan. Tepat lima meter dari kami, sebuah tembok batu tebal menghadang jalan.
