"'Kota Iblis ada di bawah tanah?' Kami semua merasa ini sangat tak wajar."
"Gu Meidi merenung: 'Setelah mengalami perubahan zaman selama bertahun-tahun, Kota Iblis sepenuhnya mungkin terkubur oleh badai pasir!'"
"'Kalau bukan karena badai pasir Naga Hitam yang tiba-tiba ini, mungkin kita tak akan pernah menemukan letak Kota Iblis!' Gumamku sambil membatin 'Dewata melindungi' tiga kali dalam hati."
"'Hei! Aku juga punya andil besar, tau!' Gan Hongxin mengangkat pantatnya bergoyang: 'Kalau tadi aku tidak lari ke sana buang air kecil, kita takkan menemukan batuan mika hitam itu, kan?'"
“Sial! Kau berani-beraninya merebut jasa?” Wang Dongyu menggosok leher kakinya yang masih perih: "Kalau bukan karena tendanganku yang menembus cangkang kosong ini, kita pasti masih berputar-putar di tempat tanpa bisa menemukan Kota Iblis yang terkubur di bawah tanah. Ini namanya Kaki Kanan Emas!"
Profesor Ye berkata: "Sudah, jangan bertengkar. Kalian semua berjasa. Nanti pulang akan kuberi hadiah. Lao Luo, kau yang paham cangkang kosong, tali pendakian untuk turun kau yang pasang!"
Lao Luo mengangguk, mengambil tali pendakian dan pergi mencari titik pengikatan.
Profesor Ye menyodorkan sebatang rokok padaku, lalu menggigit satu di mulutnya: "Tuoba Gu, di belakang lehermu muncul bercak merah lagi. Racun Bunga Ming semakin parah rupanya!"
Aku mengangguk, hati diliputi kesedihan.
Profesor Ye menghembuskan lingkaran asap: "Sebentar lagi kita turun. Kalau lancar, hari ini juga bisa minum Air Suci untuk menyembuhkan racun Bunga Ming!"
"Semoga saja!" kataku.
Lao Luo menyiulkan peluit panjang, melambaikan tangan: "Profesor Ye, kita bisa turun!"
Kami mendekat, mengelilingi cangkang kosong. Profesor Ye bertanya: "Yakin tidak masalah?"
Lao Luo mengangguk: "Tenang, paku sudah kupasang di tebing batu yang keras. Pasti aman!"
"Bagus!" Profesor Ye meraih tali pendakian dan melemparkannya ke dalam cangkang kosong. Tali itu menjulur masuk ke kegelapan di bawah.
"Turunlah!" Profesor Ye hampir tidak menunjukkan keraguan, langsung melompat ke dalam cangkang kosong yang terhisap. Dengan tangan mengendalikan alat penurunan di tali, roda katrol bergemuruh turun. Siluetnya segera menghilang dalam kegelapan.
Beberapa belas detik kemudian, Profesor Ye berdiri di tangga batu yang melayang berputar-putar. Dari bawah, sorot mata serigalanya berkedip ke arah kami di atas, memberi isyarat kondisi aman untuk turun.
Tangga batu melayang itu hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari permukaan tanah. Kami segera meluncur turun dan berdiri di atas struktur batu tersebut.
Yang tak terduga, bentuk tangga ini ternyata menyerupai ular piton raksasa yang sedang menggeliat dalam posisi menyerang. Saat ini kami berdiri tepat di atas kepala reptil raksasa itu. Seluruh tubuh ular terbuat dari mika hitam, bahkan sisik-sisik di tubuhnya diukir dengan detail menakjubkan. Berjalan di atas punggung ular batu ini membuat bulu kuduk merinding.
"Lihat ke sini!" Profesor Ye menyandar setengah badan, menyorotkan lampu mata serigala ke mata ular tersebut.
Rongga mata ular itu berlubang, berisi dua lentera berbentuk obor. Tampaknya di masa lalu, api pasti menyala-nyala di mata ular ini. Bayangkan betapa mengerikannya penampilan reptil raksasa ini saat kedua matanya menyemburkan nyala api.
Lao Luo memanjat keluar dari tangga batu, mengaitkan satu lengannya di kepala ular sambil mengeluarkan korek api antangin untuk menyalakan lentera kecil di mata ular.
Entah minyak apa yang terkandung dalam lentera itu, bahkan setelah ratusan hingga ribuan tahun masih bisa menyala.
Kemudian Lao Luo menyalakan lentera di mata satunya lagi. Kedua lentera menyala serentak, membuat mata ular piton raksasa itu segera berubah menjadi merah darah yang menyeramkan. Harus diakui, setelah lentera dinyalakan, ular raksasa yang tertidur ini seolah hidup kembali dengan vitalitas yang menggebu.
Namun keajaiban yang lebih tak wajar terjadi. Dua berkas api seperti aliran darah segar mengalir dari kepala ular piton, menyusuri pola sisik di tubuhnya dengan cepat hingga menyelimuti seluruh badan. Ular raksasa itu kini bagai mengenakan zirah berwarna api, berdiri perkasa dengan aura penguasa yang menggetarkan.
Rupanya di dalam pola sisik ular piton tersimpan minyak yang mudah terbakar. Begitu lentera di mata menyala, minyak itu langsung terpicu menciptakan efek visual yang dahsyat. Sambil terpana menyaksikan tangga batu ular piton yang mistis ini, kami juga terkagum-kagum pada kecerdasan orang zaman dulu dan teknik arsitektur mereka yang luar biasa.
"Srr... raung... Srr... raung..."
"Profesor Ye yang berjalan di depan tiba-tiba berhenti: 'Apakah kalian mendengar suara aneh?'"
"Srr... aum... srr... aum..."
Kami mengangguk mengiyakan. Suara itu terdengar ganjil, seperti auman binatang buas, tapi juga mirip deru mesin kereta uap, diselingi dengungan nyaring yang menusuk telinga. Kulit ayamku langsung merinding.
"Hati-hati semua!" peringat Profesor Ye.
Kami perlahan menuruni tangga batu ular piton raksasa. Pemukiman di bawah mulai terlihat jelas.
Dengan takjub kami menemukan sebuah kota tersembunyi di perut bumi: jalan-jalan berpotongan tak beraturan, rumah-rumah berderet rapat dengan arsitektur memesona khas Xiyu.
Lao Luo tiba-tiba berubah ekspresi, bergumam penuh emosi: "Kota Iblis! Ini pasti Kota Iblis!"
Dalam hati aku merasa geli. Kami yang mencari air suci saja tak segitu heboh, kenapa dia yang kalap?
"Lao Luo, kau kok terlihat sangat bersemangat?" tanya Gu Meidi yang juga curiga.
Lao Luo tertawa kering dua kali: "Aku besar di perbatasan, sering dengar legenda Kota Iblis. Sekarang benar-benar datang ke tempat legenda ini, rasanya... luar biasa!"
Penjelasannya terdengar masuk akal. Kami pun melangkah masuk ke dalam Kota Iblis tanpa pikir panjang.
Jalan utama di kota ini memiliki makna tertentu. Bagian tengah merupakan jalur kuda yang cukup luas, di kiri-kanannya terdapat jalur pejalan kaki. Di kedua sisi jalan terdapat sistem drainase yang sempurna. Tidak sulit melihat bahwa tingkat peradaban Kota Iblis pada masa itu telah jauh melampaui negara-negara lain di Xiyu.
Kota Iblis sangat sunyi, hanya langkah kaki kosong kami yang bergema. Berjalan di jalanan luas, gambaran kemakmuran masa lalu melintas satu per satu: pedagang asongan yang berteriak, rombongan dagang yang berlalu-lalang, biksu yang memutar roda doa. Gemericik lonceng unta bertebaran di gurun tak berujung, nyanyian suci Buddha bergema di bawah langit biru berawan putih, bayangan kastil terpantul di danau hijau kebiruan yang beriak.
Namun kini, tanah subur nan indah ini telah berubah menjadi bukit pasir. Lukisan kemakmuran terkubur dalam badai waktu, hanya angin yin yang dingin menerobos bolak-balik, mengeluarkan siulan mengerikan seolah ribuan arwah tak bertuan berkeliaran bebas. Kastil ini lesu tak berpenghuni, tanpa secercah vitalitas.
Tak berjalan jauh, berdiri megah sebuah kuil di hadapan kami. Arsitekturnya indah dengan energi dahsyat. Kuil ini menempati area ribuan meter persegi. Selain aula utama di tengah, terdapat dua aula kecil di kedua sisi yang terhubung oleh koridor giok putih. Seluruh bangunan bergaya khas Xiyu dengan dominasi warna putih, dasar lebar dan atap melengkung lancip bagai topi elegan.
Aula utama berbentuk lingkaran, ditopang oleh sembilan pilar besar bulat sempurna berwarna abu-abu keputihan. Pada badan pilar terukir motif awan keberuntungan dengan rumbai-rumbai. Langit-langit aula melengkung seperti busur, berjarak sekitar sepuluh meter dari tanah, dipenuhi pola lukisan religius berwarna cerah yang menyilaukan mata.
Kami menarik kembali sorotan mata serigala ke tengah aula. Di sana terlihat patung dewa berwarna hitam legam yang dipersembahkan. Patung itu menggambarkan perempuan cantik jelita dengan fitur wajah sangat halus, sanggul tinggi terikat rapi di kepala, dengan ekspresi dingin. Ia telanjang bulat berbaring miring di atas tubuh ular piton hitam raksasa, tangan kanan berhias gelang menopang kepala dalam pose malas yang memikat. Ular raksasa itu melilit bagian bawah tubuh perempuan sambil menegakkan kepala dan menjulurkan lidah, penuh semangat perkasa.
Secara logika, menggabungkan perempuan cantik dengan ular piton mengerikan seharusnya menciptakan gambar yang sangat tidak harmonis. Namun secara mengejutkan, patung ini menyatukan keduanya dengan sempurna. Penampilannya terlihat begitu alami, sama sekali tidak menimbulkan kesan tiba-tiba atau dipaksakan.
Namun, yang benar-benar membuat kami tertegun dan bingung adalah perempuan cantik ini ternyata memiliki tiga mata. Selain sepasang mata phoenix yang melengkung, di tengah dahinya tumbuh satu mata berbentuk oval, persis seperti Erlang Shen dalam "Fengshen Bang", memberikan kesan aneh yang tak terucapkan. Yang lebih mengerikan, ketiga mata itu dihiasi dengan tiga batu giok darah ayam merah menyala, memancarkan kilau misterius dalam kegelapan.
Entah mengapa, meski patung dewa ini hanya berwarna hitam monoton tanpa kombinasi warna lain, tetap terlihat memancarkan keindahan yang mencekam. Terutama mata di dahi perempuan itu, seolah memiliki sihir yang menyedot jiwa, dengan samar-samar mengeluarkan aura jahat.
Kami menahan napas dan tanpa sadar melangkah mendekati patung itu. Tiba-tiba, terdengar dentang keras menggelegar di aula utama, diikuti teriakan Han Jing yang menusuk telinga.
Kami kaget, semua mata tertuju pada Han Jing: "Ada apa?"
Han Jing menyorotkan lampu senter ke lantai, cahaya putih memantulkan wajahnya yang pucat pasi: "Tengkorak! Banyak sekali tengkorak di sini!"
Kami menunduk dan tak tahan menarik napas dingin. Ternyata selama ini perhatian kami hanya terpusat pada patung dewa perempuan bermata tiga itu, sama sekali tak menyadari lantai aula utama yang dipenuhi tengkorak putih mengerikan. Baru saja Han Jing tak sengaja menginjak dan menghancurkan sebuah tengkorak putih.
Dengan sorotan mata serigala, kami mengamati sekeliling. Setidaknya ada ratusan kerangka di dalam aula ini. Banyak tulang yang bertumpuk bagai gunung mayat, menimbulkan perasaan mengerikan. Mengapa bisa ada begitu banyak tulang manusia di kuil pemujaan dewa ini? Kami benar-benar tak bisa memahaminya.
Profesor Ye berjongkok di samping kerangka, setelah mengamati dengan cermat ia bergumam berat: "Aku menemukan keanehan pada kerangka-kerangka ini!"
