"Aku dan Gu Meidi kembali ke hotel sambil bercanda, racun Bunga Ming di tubuh kami telah dicabut. Perasaan kami sangat lega, beban berat di hati untuk sementara telah terangkat, seolah mendapat nyawa kedua yang penuh sukacita."
"'Mereka belum juga bangun? Kita sudah kenyang, bagaimana kalau kita bangunkan mereka untuk makan?' usulku."
"Gu Meidi mengangguk: 'Oke! Seharusnya mereka sudah terbangun!'"
"Kembali ke hotel, kami langsung menuju kamar Profesor Ye."
"'Profesor Ye!' Kuketuk pintu pelan."
"Di dalam kamar tidak ada reaksi."
"'Profesor Ye...' Kuangkat lenganku hendak mengetuk lagi, tiba-tiba pintu terbuka. Seorang pria kuat berbaju hitam muncul di hadapanku."
Aku tertegun sejenak, mengira telah mengetuk pintu yang salah. Saat hendak meminta maaf, pria kuat berbaju hitam itu tiba-tiba menyambar kerah bajuku dan menyeretku masuk ke dalam kamar.
"Hei! Apa yang kau lakukan?" Gu Meidi langsung menyusul masuk.
"Aduh, lepaskan! Siapa kau? Sakit tahu!" Aku protes keras melihat kelakuan kasar pria itu. Benci sekali diperlakukan seperti ayam yang digantung terbalik, apalagi oleh orang tak dikenal. Dasar! Masa siang bolong di kamar masih pakai kacamata hitam kumal, sok agen rahasia! Pamer!
"A Gou, jangan kasar begitu pada tamu kita!" Suara familiar bergema dari ruang dalam.
Aku menoleh ke sumber suara, tubuhku langsung membeku seperti patung kayu.
Di dalam kamar berkerumun lebih dari sepuluh orang. Tujuh delapan pria kekar berbaju hitam lengkap dengan kacamata gelap, bahkan dua di antaranya menggenggam pistol berkilau. Salah satu senjata itu sedang menekan kepala Profesor Ye yang duduk kaku di sofa, tangan terlipat di lutut dengan alis berkerut. Liu Haohan dan Gan Hongxin terduduk lesu di tepi tempat tidur, masih mengenakan piyama—jelas baru diseret dari selimut. Melihat kedatanganku, mereka hanya mengangkat kepala sedikit lalu menggeleng pasrah.
Di samping sofa tunggal Profesor Ye, duduk seorang pria paruh baya beralis tebal dengan wajah persegi khas Tionghoa. Senyuman dingin mengembang di sudut bibirnya. Bukan orang lain, dialah musuh bebuyutan kami - Wan Juncheng.
"Halo Tuoba Gu anak kecil, kita bertemu lagi!" Wan Juncheng menyeringai sambil mematikan puntung rokok di asbak.
Melihat senyum menyeramkannya, tanpa sadar jantungku berdebar kencang.
Anak kecil?!
Kau sendiri yang anak kecil!
Seluruh keluargamu anak kecil!
Setelah mengutuk 18 generasi leluhur Wan Juncheng dalam hati, aku bertanya: "Kenapa kau bisa ada di sini?"
Sudah hampir sebulan sejak kami lolos dari makam kuno keluarga Wan. Kami bahkan sempat ke Gurun Lop Nur. Bagaimana mungkin begitu kebetulan, baru kembali ke Dunhuang langsung ditangkap pasukan Wan Juncheng? Bahkan nomor kamar hotel kami dia tahu, seolah ada kamera pengintai di tubuh kami.
"Kenapa bisa begini? Hehe, ada pengkhianat di barisan kita!" Liu Hanhao tertawa sinis, suaranya penuh amarah yang tak terbendung.
Plak!
"Diam!" Terdengar teriakan perempuan disusul tamparan keras yang menghantam wajah Liu Hanhao hingga kacamatanya terpental.
Aku terkejut menatap Han Jing. Tamparan tadi ternyata dari dia. Apakah ini Han Jing yang lembut dan seksi sebelumnya? Dulu Han Jing selalu bicara dengan suara halus, sekarang kenapa jadi... jadi seperti perampok wanita?
"Han Jing, kau yang menjual kami?" Gu Meidi melangkah maju, sorot matanya menyala-nyala penuh kemurkaan.
Pria kuat berbaju hitam yang dijuluki A Gou menghalangi langkah Gu Meidi sambil menepuk-nepuk bagian pinggangnya yang menggembung. Jelas ada senjata di sana, mengingatkan Gu Meidi untuk tidak bertindak gegabah.
"Menjual?" Han Jing tersenyum sinis dua kali, berkata datar: "Bukan menjual, hanya prinsip kami berbeda. Aku selalu di pihak Profesor Wan!" Sambil berkata demikian, Han Jing mendekati Wan Juncheng dan mesra memeluk lehernya bak burung kecil manja. Orang yang awas pasti tahu hubungan gelap Han Jing dengan kura-kura tua brengsek itu. Dua penipu selevel!
Hatiku mendidih campur penyesalan. Marah karena Han Jing ternyata terus menipu kami. Menyesal karena dulu di bawah Sumur Suci, aku bahkan mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkannya. Andai tahu dia pengkhianat, takkan kuselamatkan. Takkan sampai begini keadaannya.
"Tuoba Gu, apa kau tahu ekspresimu yang melotot sambil menggumam itu benar-benar menggelikan? Sebenarnya aku harus berterima kasih padamu, karena sepanjang perjalanan ini kau sudah tiga kali menyelamatkanku! Hehe, pasti sekarang kau menyesal sampai ususmu membiru?" Mata Han Jing berkilau tajam, seolah bisa menembus isi hatiku.
Dulu kupikir Han Jing itu cewek cantik, kalau saja tidak ada Gu Meidi, mungkin aku akan coba dekati dia. Lagipula ciuman pertamaku diberikan padanya. Tapi sekarang, ketika kusadari yang kucumbui ternyata ular berbisa cantik, itupun ular bekas peliharaan kakek-kakek setengah baya, rasa mual langsung menyergap. Sampai-sampai ingin kusobek mulutku sendiri.
Aku juga bukan tipe yang suka berpura-pura. Karena Han Jing sudah bertanya terang-terangan, kupamerkan kebencian dalam hatiku tanpa kamuflase: "Benar! Aku sangat menyesal! Sangat-sangat menyesal! Menyesal sudah buta mata!"
"Aduh!" Menghadapi permusuhanku yang meluap, Han Jing malah tersenyum manis: "Jika kau membenciku, kau justru takkan pernah bisa melupakanku! Oh ya, ngomong-ngomong, ada satu hal harus kusampaikan! Tuoba Gu bocah kecil, eh salah, perjaka kecil, teknik ciumanmu payah sekali! Bibirku sampai lecet karenamu!"
“Ha ha ha!” Para pria kuat berbaju hitam di sekeliling tertawa terbahak sambil memeluk lengan. Meski memakai kacamata hitam, aku masih bisa merasakan tatapan meremehkan dari balik lensa, terutama saat menyebut kata "perjaka kecil". Ekspresi wajah mereka dipenuhi cibiran.
Dasar, masyarakat sekarang ini bagaimana? Tidak bolehkah seseorang tetap murni? Apa salahnya aku perjaka? Aku perjaka dan bangga, menghemat kondom untuk negara! Sialan!
Wajahku memerah. Aku memalingkan kepala sambil berkata: "Siapa yang ciuman denganmu? Itu aku memberikanmu napas buatan, dasar gangguan mental!"
Gu Meidi berbisik dari belakang: "Gimana? Sekarang malu sampai ke ubun-ubun? Bukannya tadi terkesan mendalam ya?"
Ah! Seandainya ada celah tanah di sini, pasti akan kumasuki tanpa ragu.
"Profesor Ye, bawahanmu memang lucu. Hehe, pemuda bodoh memang banyak sukanya!" Wan Juncheng mengalihkan pandangan dariku lalu menatap Profesor Ye: "Sudah, mari kembali ke urusan serius. Mana barangnya?"
Aku bingung memandang Profesor Ye, tak mengerti apa yang diminta Wan Juncheng darinya.
Profesor Ye bahkan tak mau menatap Wan Juncheng, berkata dingin: "Barang apa? Aku tak tahu maksudmu!"
"Jangan pura-pura bodoh!" Sorot mata Wan Juncheng tiba-tiba tajam, nada bicaranya membeku: "Aku tak punya waktu untukmu di sini! A Gou!"
Di samping, pria kuat berbaju hitam bernama Ah Gou dengan cepat mengeluarkan pistol, moncong senjata menekan kepala Gu Meidi.
Sial!
Dasar bajingan tak tahu menghargai keindahan! Wanita secantik ini berdiri di depan, langsung main tarik senjata. Kerennya minta ampun, pasti jadi nekat seumur hidup!
Melihat Gu Meidi ditodong senjata, mataku langsung merah. Dengan emosi aku berteriak ke Ah Gou: "Ngapain todongin wanita? Memalukan! Kalau ada urusan, hadapin aku!"
"Oke!" Ah Gou tak lagi sopan. Ia memutar moncong senjata ke kepalaku. Sensasi dingin menusuk menyebar lewat kulit kepala. Seketika kepalaku terasa seperti menahan batu raksasa, bahkan napas pun tak kuasa kuhela.
Dalam hati kuumpat: Pantas dijuluki "Anjing". Taat perintah betul, cocok benar julukan "Ah Gou" itu!
Wan Juncheng mengacungkan tiga jari, berkata tenang: "Aku hitung sampai tiga. Jika belum menyerahkan barang, muridmu akan pecah kepalanya! Pernah lihat semangka meledak? Tempurungmu akan terbelah seperti kulit semangka, cairan otak berceceran di dinding dan karpet!"
Aku mendengar penuturannya yang hidup-hidup dari Wan Juncheng, keringat dingin mengucur deras, punggungku langsung basah kuyup. Dasar keparat tua, si kura-kura tua itu benar-benar menyimpang, sayang dia tidak menulis novel genre ekstrem.
"Apakah kau mengancamku?" Profesor Ye mengernyitkan alisnya, menyipitkan mata sambil menatap Wan Juncheng.
Wan Juncheng melambaikan tangan: "Ini bukan ancaman, ini sedang bernegosiasi denganmu! TIGA!"
Profesor Ye menggigit bibirnya diam.
"DUA!" Hitungan mundur Wan Juncheng tak terhentikan, jari Anjing sudah membuka pengaman senjata.
Pada saat ini, aku menahan napas dalam ketegangan, hati bagai 10 juta binatang buas sedang berlari kencang. Profesor Ye, sungguhkah kau tega melihatku jadi mayat di tempat ini?
Beruntungnya, tiba-tiba Profesor Ye bersuara: "Lepaskan dia, akan kuberikan barang itu padamu!"
Bikin aku mati ketakutan!
Aku menarik napas lega, melirik tajam ke Anjing sambil bergumam: "Nanti kalau ada kesempatan, pasti akan kuhabisi kau sendiri!"
"Nah begitu dong, kita semua warga baik yang menjunjung tinggi harmoni!" Wan Juncheng tersenyum sambil melambaikan tangan, Anjing menurunkan senjatanya.
“Sesuatu ada di dalam tas pertempuran di bawah lemari baju!” Profesor Ye menggigit bibirnya. Terlihat jelas dia sangat marah, tapi terus menahan diri. Bagaimanapun juga, banyak senjata yang mengarah ke kami. Kami pun tak berani bertindak gegabah. Kami bukan Iron Man, peluru yang menembus tubuh juga akan meninggalkan lubang.
Ah Gou berjalan mendekat, mengeluarkan tas pertempuran dari bawah lemari. Dengan kasar dia membuka resleting tas. Sambil memegang bagian bawah tas, dia menuangkan isinya Glekuk! ke tempat tidur. Di atas sprei putih bersalju, dua bola mata perunggu sebesar tinju itu terlihat sangat mencolok.
Melihat dua bola mata perunggu itu, mata Wan Juncheng langsung berbinar sampai menyipit: "Bagus sekali! Akhirnya kutemukan kalian!"
