Braak!
Ketenangan Ngarai Jendral Ilahi pecah oleh dentuman senjata yang tiba-tiba.
Sebutir peluru melesat menerjang kami yang sedang berjalan berliku di dalam ngarai.
Dengan reflek Wan Juncheng menoleh, peluru itu menyambar pipi kirinya hingga meninggalkan goresan darah.
"Ada penyergapan! Cari perlindungan!"
Seseorang berteriak, kerumunan orang segera berpencar mencari tempat berlindung di balik batu-batu besar.
"Dasar! Siapa yang berani?!" Wan Juncheng mengusap bekas luka di pipinya sambil memaki dengan penuh amarah.
Ngarai sunyi senyap, tak ada jawaban dari pihak lawan.
Hati kami dipenuhi keraguan: Bagaimana mungkin ada orang lain di Ngarai Jendral Ilahi ini?
Logikanya, tempat terpencil seperti ini mungkin tak akan kedatangan manusia selama puluhan bahkan ratusan tahun.
"A Gou, kau maju ke depan untuk memata-matai!" Wan Juncheng melirik ke arah A Gou.
A Gou mengenakan headset nirkabel, lalu merayap pelan-pelan menyusuri tebing batu dengan hati-hati.
Tak lama kemudian, suara A Gou terdengar dari komunikator di tangan Wan Juncheng: "Mas, itu kelompok pemburu liar suku biadab!"
"Suku biadab?!" Wan Juncheng tertegun sejenak, bergumam: "Bagaimana mungkin mereka ada di sini?"
"Mereka lebih dari sepuluh orang, kekuatan tembakan mereka kuat! Kami tak bisa menerobos!" A Gou melanjutkan laporan situasi di depan.
"Dasar! Sampai di sini malah dihadang suku biadab!" Wan Juncheng mengumpat sambil mencoba mengintip, tapi dipaksa mundur oleh rentetan peluru yang memantul-mantul di antara batu gunung, memercikkan titik-titik cahaya api.
"Dasar kau! Berani menghalangi jalanku, mencari maut!" Kali ini Wan Juncheng benar-benar murka, berteriak ke anak buah berbaju hitam: "Serang mereka!"
Daaar! Daaar!
Dentuman senjata menggelegar di lembah, bergema bolak-balik bagai gemuruh petir, membuat gendang telinga berdengung.
Garis-garis api melesat saling silang, menghujani serpihan batu beterbangan.
Kedua belah pihak saling tembak cukup lama, masing-masing mengalami kerusakan parah.
Suku biadab tak bisa mengusir Wan Juncheng, sementara Wan Juncheng dan anak buahnya juga tak bisa menerobos, situasi kebuntuan.
"Mas, kita harus cari cara lain!" kata Han Jing.
Wan Juncheng mengangguk, bertanya pada ahli santet Thailand bernama A Bei: "A Bei, temukan cara untuk membunuh mereka!"
A Bei memiringkan kepala sambil berpikir: "Sepertinya harus memanfaatkan sumber daya yang ada di sini!"
Tiba-tiba A Bei mengeluarkan sebuah labu kecil berwarna merah darah dari dalam bajunya. Labu itu hanya seukuran telapak tangan, tampak antik dengan ukiran benang emas yang membentuk pola jimat dan mantra aneh di permukaannya.
A Bei meletakkan Labu Darah tersebut di tanah dengan hati-hati, lalu bersujud sambil menyatukan kedua tangannya. Ia memberikan tiga kali penghormatan khusyuk kepada labu itu sambil menggumamkan mantra-mantra tak jelas.
Kemudian ia membuka tutup labu tersebut. Segumpal asap berwarna merah darah yang aneh mulai mengepul keluar dari labu itu.
Aku dan Gu Meidi saling memandang, dalam hati bertanya-tanya: "Apa lagi yang sedang dilakukan orang aneh ini?"
Tak lama kemudian, terdengar suara berisik aneh dari segala penjuru - xi xi su su! Xi xi su su!
Awalnya suara itu hanya sedikit, tapi semakin lama semakin banyak dan keras, memenuhi seluruh lereng gunung.
Dengan perasaan takut dan heran, kami melihat ke sekeliling dan menemukan pemandangan mengerikan: RIBUAN serangga beracun merayap dari segala arah, membentuk pasukan besar yang bergerak menyerbu kelompok suku biadab di seberang. Pasukan itu terdiri dari ular, lipan, kalajengking, kodok raksasa, dan lain-lain - berwarna-warni memenuhi seluruh ngarai.
A Bei dengan sombong menyimpan kembali Labu Darah sambil berkata dengan senyum dingin: "Biarkan mereka merasakan kekuatan Wu Du Jiang (Ritual Lima Racun)!"
Aku bertanya pada Gu Meidi apakah dia tahu apa itu ilmu santet lima racun, Gu Meidi menjawab: "Ilmu santet lima racun adalah ritual gaib yang sangat kuat, bisa memanggil ular, lipan, kalajengking, kodok raksasa, dan laba-laba untuk menyerang lawan!"
"Aduh! Aduh! Aduh!"
Tak berapa lama, dari arah lawan terdengar jeritan-jeritan menyayat hati yang bertubi-tubi.
"Banyak sekali serangga beracun! Lari cepat! Ada siluman! Ada makhluk gaib!"
Puluhan suku biadab itu cerai-berai, berteriak ketakutan sambil berlarian pontang-panting.
"Kerja bagus!" Wan Juncheng memberi isyarat jempol pada Abei.
Sekitar setengah jam kemudian, dari arah lawan sudah tak ada suara sama sekali, ribuan serangga beracun di lereng gunung pun cepat-cepat menghilang seperti saat mereka muncul tadi.
Wan Juncheng menempelkan plester di wajahnya, lalu membawa senjata berjalan keluar dari balik batu gunung.
Setelah berjalan puluhan meter, terlihat tujuh delapan mayat suku biadab berserakan di antara bebatuan. Mereka semua tewas digigit pasukan serangga beracun, kondisinya mengerikan. Dua di antaranya sudah hancur tak berbentuk, satu lagi tubuhnya terkoyak menjadi daging hancur. Yang paling ujung masih menggelepar, seluruh tubuhnya menghitam, mulut berbusa, badannya membengkak lebih dari dua kali lipat - jelas keracunan mematikan.
“Dasar! Baru saja bukan sok jago? Mati kau!” Wan Juncheng mengangkat kakinya dan menendang keras, krak! Leher si biadab itu patah.
Menoleh ke belakang, terlihat A Bei berjongkok di depan mayat, entah sedang mengutak-atik apa.
“Hei! A Bei, kau ngapain?” tanya Wan Juncheng.
“Heihei! Tunggu sebentar, mayat-mayat ini masih segar, baru saja meninggal, cocok untuk kuhisap hun-po mereka buat memelihara si kecil!” A Bei memutar badan sambil menyeringai, senyumannya yang dingin dan mengerikan membuat bulu kuduk merinding.
A Bei mengeluarkan palu tembaga kuno dari tasnya, lalu sebuah labu hitam pekat, terakhir sebungkus jarum perak berpendar kilau dingin.
Dumdumdum! Dumdumdum!
A Bei mengangkat palu, menghantam titik Tianmen (ubun-ubun) mayat itu tepat di tengah. Setiap tiga kali pukulan ia berhenti sejenak, melantunkan mantra aneh. Tak lama, lubang berdarah terbentuk di ubun-ubun. Ia meletakkan palu, membalik labu hitam lalu menusukkan mulut labu ke lubang darah. Dengan tenang ia membuka bungkus jarum, mencabut satu per satu jarum perak dan menancapkannya di titik-titik vital tubuh mayat.
“Dia sedang apa?” bisikku pada Gu Meidi.
Gu Meidi mengerutkan alisnya, ekspresi jijik terpampang di wajah: "Brengsek ini sedang mengambil hun dari tubuh suku biadab! Mereka baru mati beberapa saat lalu, rohnya masih di dalam tubuh. Dia ingin mengusir roh itu dan memasukkannya ke labu kecil!"
Sekitar setengah batang hio kemudian, Ah Bei tiba-tiba mencabut labunya. Segumpal asap hitam berupa hantu menyembur keluar dari lubang darah di ubun-ubun, swiis! langsung tersedot masuk ke dalam labu.
Ah Bei mengocok labunya, terkekeh hehe, lalu berjalan ke mayat kedua dan mengulangi cara yang sama.
Aku menarik napas tajam. Ilmu hitam macam apa ini?!
Gu Meidi menggigit bibirnya: "Ini ritual pengambilan roh, sejenis ilmu hitam untuk merebut hun. Bisa digunakan pada mayat maupun manusia hidup, sangat jahat. Tak kusangka malah menyebar sampai Thailand!"
Setelah mengamati sebentar, rasa penasaranku mulai pudar. Aku merasa bosan dan berbaring di batu besar di pinggir, mengantuk. Bangun terlalu pagi, dikejar serigala, lalu perang melawan suku biadab - benar-benar melelahkan.
Saat Ah Bei selesai mengambil roh dari tujuh delapan suku biadab, sudah satu jam berlalu.
Wajah Ah Bei berseri-seri seperti mendapatkan harta karun.
Aku tak bisa memahami kepuasan menyimpang macam ini.
“Tuoba Gu, pergilah!” Gu Meidi memanggilku dari depan.
Rombongan melanjutkan perjalanan, sambil menguap aku bangkit. Baru melangkah dua langkah, tiba-tiba kurasakan ada tangan dingin mencengkeram pakaianku dari belakang.
“Jangan iseng!” Refleks kuulurkan tangan ke belakang, namun yang kuraba hanyalah hawa dingin menusuk.
Ada yang tak beres nih!
Semua orang sudah di depan, lalu siapa yang berada di belakangku ini?
Rasa dingin yang mengerikan merayap naik di tulang punggungku bagai ular yang menjulurkan lidah bercabang.
Badanku gemetar, kuputar tubuhku kasar: “Siapa kau?!”
Seketika aku membeku. Di belakangku ternyata berdiri seorang bocah laki-laki berkulit pucat. Anak itu sekitar lima-enam tahun, tampak menggemaskan dengan lengan dan betisnya seputih rebung muda, meski wajahnya agak pucat seperti kurang gizi. Dia bertelanjang kaki, mengenakan kutang merah, dengan kuncir kecil menjulang di kepalanya persis boneka Fuwa yang turun dari lukisan tahun baru.
Bocah merah itu memegang erat bajuku, tak mau melepas kepergianku.
Kugaruk-garuk kepala, heran bukan main. Di tempat angker di pedalaman terpencil ini, dari mana datangnya anak kecil tiba-tiba?
Tiba-tiba terpikir: Jangan-jangan ini anak suku biadab yang tertinggal? Mungkin mereka menculik atau memperdagangkan anak ini, membawanya selama ini, lalu meninggalkannya saat kabur tergesa-gesa tadi?
"Kalau tidak, dari mana anak kecil ini muncul ke permukaan?"
"Jangan-jangan dia terlahir dari celah batu?"
"Dia kan bukan Sun Wukong."
"Nak? Namamu siapa? Ayah dan Ibumu di mana? Tahukah alamat rumahmu?" Aku menyunggingkan senyuman ramah di wajah.
Anak laki-laki itu terus menggigit bibirnya tanpa bersuara, hanya mengangguk padaku.
"Kau tahu di mana rumahmu?" tanyaku.
Si bocah menunjuk ke belakang.
"Rumahmu di sekitar sini? Biar kakak antar pulang!" kataku.
"Rumahnya ada di bawah tanah, maukah kau mengantarnya kembali?" Gu Meidi tiba-tiba muncul di belakangku tanpa kusadari.
"Bawah tanah? Apa maksudmu?" Aku heran bertanya.
Gu Meidi tidak memandangku. Matanya tertuju pada si anak sambil meruncingkan alisnya yang seperti daun willow: "Pergi!"
Aku bingung memandangi Gu Meidi. Meski tak bisa dibilang lembut, biasanya dia baik hati. Kenapa hari ini begitu marah pada anak kecil yang tersesat?
Si anak terus menggigit bibirnya, kedua tangan mungilnya mencengkeram kuat pakaianku. Kelopak matanya berkilauan air mata, wajahnya penuh kesedihan seperti anak yatim piatu.
"Kukatakan sekali lagi, pergilah!" Suara Gu Meidi masih membeku seperti duri tajam.
Melihat keadaan si anak yang menyedihkan itu, hatiku tak tega: "Sudah! Sudah! Apa kau salah minum obat? Kenapa begitu kejam pada anak kecil?"
"Gu Meidi melirikku, tiba-tiba muncul kilau emas di telapak tangan kanannya. Ini pertanda dia akan mengeluarkan Panah Dewa Naga."
"Kalau kau tidak segera pergi, aku akan menghancurkanmu sampai jadi abu!" suara Gu Meidi menggelegar.
Anak kecil itu seperti mendapat kejutan, mengeluarkan suara melengking lalu berubah menjadi pusaran angin yang lenyap tanpa bekas.
