Tiga meter, dua meter, satu meter...
Ulat es menyebalkan itu sudah merangkak sampai di samping tubuhku.
Dari jarak dekat, terlihat cacing es ini sangat mirip dengan ulat sutra, gemuk dan lembek.
Satu-satunya perbedaan adalah ulat sutra berwarna hijau, sedangkan cacing es ini berwarna biru pucat.
Cacing es berhenti pada jarak setengah meter dariku, tak bergerak lagi.
Aku menarik napas pelan-pelan, berhadapan langsung dengan cacing es itu.
Kurang dari setengah menit, cacing es itu tiba-tiba mulai bergerak lagi. Ia merangkak naik ke lenganku, kemudian menyusuri bahu dan mulai mendekati wajahku.
Aku panik dan marah, ingin mengangkat tangan untuk mengusirnya, tapi saat mencoba menggerakkan jari, ternyata lengan sama sekali tak bisa diangkat.
Hatiku berdebar kencang – tadi masih bisa bergerak sedikit, kenapa sekarang bahkan satu sentipun tak bisa digerakkan?
Saat menoleh, aku langsung terpaku.
Di lenganku ternyata mengkristal lapisan es putih yang sedang menyebar ke seluruh tubuhku. Kenapa tak bisa bergerak? Karena seluruh tubuhku sudah membeku!
Meski suhu di sini dingin, tidak mungkin sampai membuat orang membeku seperti ini. Aku tak mau menjadi manusia es!
Aku berjuang mati-matian, tapi aliran darah dalam tubuhku seperti membeku, benar-benar tak bisa bergerak.
Awalnya kepalaku masih bisa diputar, sekarang bahkan kepala sudah kaku, menatap lurus ke atas.
Saat cacing es itu merangkak sampai ke dahi aku, seluruh tubuhku tertutupi lapisan embun beku yang mengeluarkan asap dingin.
Cacing es itu sangatlah dingin, menempel di dahiku. Separuh kepalaku hampir mati rasa.
Aku hampir menangis panik: "Kak Cacing, turunlah! Ini tidak sopan! Turunlah! Aku mohon! Aku bersujud padamu!"
Sepertinya mendengar teriakanku yang putus asa, cacing es benar-benar turun. Tapi bukan turun dari wajahku, melainkan merayap dari dahi ke bawah. Tubuh lembeknya sampai di mulutku.
Merinding langsung menyebar ke setiap inci kulitku. Aku merasa sangat mual sampai harus memejamkan mata.
Tak disangka, cacing es itu malah makin menjadi. Dengan mudah membongkar mulutku yang kaku, lalu menggeliat masuk ke dalam.
Ya ampun!
Aku ingin berteriak jijik, tapi tenggorokanku seperti tersumbat. Sama sekali tak bisa mengeluarkan suara.
Saat cacing es masuk ke mulutku, lidahku juga segera dipenuhi embun beku. Tak bisa digerakkan, tapi masih bisa merasakan jelas. Cacing es itu seperti permen kapas lembek, merangkak perlahan di atas lidah licinku yang berlendir, terus sampai ke kerongkongan.
Lalu...
Sialan! Cacing es itu tiba-tiba melorot masuk ke kerongkonganku!
Aku bisa merasakan benjolan besar di tenggorokanku yang perlahan bergerak turun sepanjang leher.
Saat cacing es masuk ke tubuhku, seluruh tubuh menggigil kedinginan seolah organ dalam membeku. Dingin yang menusuk dari dalam keluar. Asap dingin menyembur dari mulutku yang kaku, mataku melotot bulat sebelum akhirnya tak sadarkan diri.
Ketika siuman, sinar matahari di luar sudah menghilang.
Tapi dari celah langit-langit gua, samar terlihat gemerlap bintang bertaburan.
Cahaya bintang yang masuk ke gua es memang tak seterang siang, tapi cukup untuk melihat sekitar.
Jari-jariku bergetar halus, diikuti pergelangan tangan. Tiba-tiba mataku terbuka lebar dan tubuhku melompat duduk sambil terengah-engah.
Kuraih kedua tangan, mengepal tinju. Aku terkejut menyadari: Aku bisa bergerak!
Saat ini bukan cuma anggota badan yang bisa digerakkan, tapi seluruh tubuh dipenuhi kekuatan bak disuntik stimulan. Setiap pembuluh darah dan otot berdenyut penuh vitalitas. Bahkan dalam cahaya remang-remang ini, mataku bisa melihat jelas setiap detail sekitar.
Transformasi total.
Inilah sensasi paling nyata yang kurasakan sekarang.
Aku tiba-tiba teringat ulat es yang sebelumnya masuk ke dalam tubuhku, rasa mual menggelora di hati. Aku berguling sambil muntah-muntah. Ulat sebesar itu masuk ke perut, sialan siapa yang akan merasa nyaman? Aku bertarung habis-habisan mengorek tenggorokan, tapi yang keluar hanya cairan asam. Apakah ulat itu sudah dicerna cairan lambungku?
Cih! Cih!
Aku meludah beberapa kali berturut-turut, rasa mual perlahan berkurang.
Sudahlah.
Aku mengusap keringat dingin di dahi, toh sudah tertelan, anggap saja sebagai suplemen protein tinggi.
Dari kondisi saat ini, ulat es itu pastinya tak beracun.
Kalau mengandung racun mematikan, seharusnya aku tak akan terbangun.
Aku bangkit dari tanah, berjalan perlahan menyusuri parit es.
Tak berapa jauh, perutku terasa panas membara bak bola api tak kasat mata yang menyala-nyala.
Sambil berjalan aku melepas pakaian, hingga hanya tersisa celana dalam.
Bagi orang biasa, pasti sudah membeku dalam kondisi seperti ini.
Tapi entah mengapa, aku masih merasa kepanasan, keringat bercucuran di wajah, sama sekali tak merasakan dingin.
Dan di dalam tubuhku bukan hanya ada panas, tapi juga aliran tenaga tak kasat mata yang bergerak cepat melalui meridian ajaib. Saat kukepalkan tinju ringan, sendi-sendi tulang berbunyi plak-plak seolah energi dalam hendak meledak keluar dari tubuhku.
Ah!
Pupil mataku memancarkan kilatan tajam, dengan teriakan keras tiba-tiba aku berlari kencang di palung es.
Kurasakan tubuhku bagai hendak meledak, harus segera meluapkan energi dalam yang menggelegak itu.
Setelah berlari kencang beberapa lama, kuhentikan langkah dan mulai mempraktikkan jurus Shaolin di atas es.
Setiap pukulan seperti harimau menghasilkan angin, suara hempasan angin dari tinju yang menembus udara terdengar jelas.
Kurasakan kekuatan pukulanku kini sepuluh kali lebih dahsyat, dengan stamina tak habis-habis. Kuulang terus jurus itu hingga basah kuyup keringat, tapi pikiran tetap segar tanpa rasa lelah.
Hatiku dipenuhi keheranan dan kegembiraan. Heran dengan mutasi aneh di tubuhku, namun girang karena perubahan ini meningkatkan kemampuan fisikku secara eksponensial. Seolah dalam semalam tenagaku meningkat sepuluh kali lipat - pencapaian yang mustahil diraih dalam sepuluh tahun kultivasi!
Setelah dua jam melampiaskan energi, barulah gejolak energi dalam tubuhku berangsur reda.
Kududuk di lantai es, merenungkan perubahan misterius yang terjadi pada tubuhku.
Sepanjang perjalanan ini, aku mengingat kembali apa saja yang pernah kumakan dan kulakukan sejak berangkat dari Dunhuang, berulang kali dengan sangat detail.
Satu-satunya kejadian aneh adalah bertemu dengan roh jahat Wei Ming Shouquan. Meski saat itu digigit hantu, aura hantu itu sudah dibersihkan oleh Gu Meidi. Jika aura hantu merasuk ke tubuh, pasti akan terjadi mutasi. Kalau benar begitu, mungkin aku sudah jadi mayat berjalan, mana mungkin masih segar bugar seperti ini?
Ada dua hal aneh yang pernah kuminum: ilmu santet terbang dan cacing es yang unik itu.
Ilmu santet terbang adalah racun mematikan yang hanya merusak tubuh. Jika terjadi mutasi, kemungkinan besar hanya akan berubah menjadi mayat.
Jadi, hal yang paling mungkin menyebabkan mutasi padaku sekarang adalah cacing es lembek itu.
Benarkah itu?
Jangan-jangan itu adalah harta karun?
Dulu aku sering baca novel online yang menulis tentang tokoh utama terjebak di area terlarang, lalu mendapatkan senjata spiritual, menelan ramuan suci alam semesta, sampai tenaga dalamnya melonjak drastis. Apa benar-bener cerita darah anjing seperti itu sekarang terjadi padaku?
Ah, sudahlah. Untuk sementara tak bisa kupahami. Yang penting aku masih hidup - ini sudah keberuntungan terbesar.
Aku teringat lagi pada Gu Meidi. Hati sedikit tersayat. Entah bagaimana kabarnya sekarang, apakah ia berhasil selamat dari bencana ini? Tapi kupikir, Gu Meidi itu orang yang luar biasa, seharusnya tak mudah mati.
Setelah mengeluarkan keringat panas, rasa kantukku perlahan menyerang. Aku terjengkang di atas permukaan es, tertidur dalam posisi itu.
Ini adalah hari yang terpanjang.
Ini juga hari yang penuh keunikan.
Keesokan subuh, sinar matahari menembus langit-langit gua dan menyinari mataku. Aku merasakan sakit menusuk di mata, lalu tersadar dari mimpi.
Aku berguling bangkit dari tanah. Tubuhku masih terasa penuh tenaga. Meski hanya berbaju tipis tidur di atas es, sama sekali tak kurasakan dingin atau gejala masuk angin. Kondisi fisikku seperkasa harimau kekar.
Belum jauh berjalan, samar-samar kudengar gemericik aliran air.
Setelah melewati sudut tikungan, terlihat sungai bawah tanah di samping parit es, airnya jernih bening.
Sungai bawah tanah semacam ini berasal dari lelehan salju. Di dalam tubuh gunung terdapat banyak jaringan sungai bawah tanah yang saling bersilangan, akhirnya mengalir keluar gunung salju, menyirami padang rumput dan semua makhluk sepanjang alirannya.
Begitu membelok di tikungan, aku membeku seketika. Bukan karena terkejut melihat sungai bawah tanah, tapi karena melihat sesosok tubuh jongkok di tepian. Punggungnya ramping, rambutnya sepanjang pinggang, siluetnya mirip sembilan fen dengan Gu Meidi.
"Gu Meidi!" Aku mendekati punggungnya, memanggil pelan.
“Yang membuatku bingung, Gu Meidi saat ini justru jongkok di tepi sungai bawah tanah sedang mencuci rambut. Rambut panjangnya terurai seperti air terjun. Ia tak merasa dingin, hanya memainkan jemarinya di sana.”
“Gu Meidi!” Teriakku lagi.
Orang itu berpaling, benar-benar Gu Meidi. Hanya matanya tak seterang biasanya. Kukira mungkin karena terlalu lelah, sehingga tatapannya kosong. Tak kuhiraukan itu.
“Syukurlah! Kau masih hidup!” Wajahku berseri, melangkah cepat dan memeluknya erat. Tubuhnya terasa dingin.
“Kedinginan, ya?” Kubelai punggung hitamnya. Hati yang hampa ini akhirnya merasa tenang.
Sepanjang hari kemarin aku dilanda kecemasan. Tak kubayangkan jika Gu Meidi tak lagi di sampingku.
Setelah beberapa saat berpelukan, perasaan hebohku perlahan mereda.
“Biar kuperiksa, kau baik-baik saja? Ada luka?” Kugenggam bahu harumnya, memandanginya seksama.
“Aku tak apa!” Gu Meidi menggeleng. Tiba-tiba bibir mungilnya menempel di mulutku.
