"Siap!"
"Setelah membersihkan cat merah, kedua orang berbaju hitam itu menyelipkan sekop zeni ke bagian kepala dan ekor peti mati sesuai instruksi Wan Juncheng."
"Satu dua tiga! Bangkit!"
"Dengan teriakan keras dari dua pria kuat berbaju hitam, tutup peti mati langsung terbalik ke tanah mengeluarkan suara 'Braak!' yang berat."
"Keduanya terkejut, yakin pasti akan dimaki."
"Bodoh! Ngapain pakai tenaga segitu? Ini pekerjaan teknis, tidak bisakah lebih hati-hati? Kalau tutup petinya rusak, kuharuskan kalian ikut mati!" Wan Juncheng menunjuk kedua pria hitam itu dengan wajah kejam.
"Dua orang berbaju hitam itu gemetar melapor: 'Masih ada peti dalam di dalamnya!'"
"Kalian mundur ke pinggir!" Wan Juncheng memutar badan sambil tersenyum aneh ke Profesor Ye: "Profesor Ye, Anda kan ahli membuka peti mati. Bantu aku di sini!""
"Dengan ekspresi datar, Profesor Ye langsung berjalan mendekat."
"Aku dan Gu Meidi mengikuti di belakang Profesor Ye, mendekati peti mati kayu yin."
"Samar-samar terlihat kilauan emas dari dalam peti mati."
"Dengan penasaran aku menjulurkan leher mengintip ke dalam: 'Gila!'"
Di dalam peti mati ternyata terdapat sebuah peti mati emas murni yang berkilauan keemasan.
Kilau emas itu seperti riak air, memantulkan lingkaran-lingkaran cahaya di permukaan peti mati, sungguh sangat megah.
Aku belum pernah melihat peti mati yang terbuat dari emas murni, untuk sesaat aku terpana memandangnya.
Hanya saja otakku masih belum bisa mencerna - Balai Renzitang yang merupakan tingkatan terendah dari tiga aliran, tapi mengapa makam dan peti mati Ketua Balai Renzitang begitu mewah, sementara Makam Balai Tianzitang dan Dizitang sama sekali tidak bisa dibandingkan. Setelah dipikir-pikir, Makam Balai Tianzitang yang seharusnya paling tinggi tingkatannya justru yang paling sederhana di antara ketiganya.
Peti emas ini sangat megah, para pengukir ahli menghiasi permukaannya dengan awan keberuntungan dan binatang suci, bahkan memperindah mata binatang tersebut dengan batu permata langka beraneka warna. Kilau batu permata dan cahaya emas saling berpendar, membuat bagian dalam peti bersinar gemilang penuh kemewahan.
Tidak perlu jauh-jauh, seandainya saja kita mengeruk beberapa batu permata itu, kembali nanti pasti bisa membeli dua rumah bergaya Eropa.
Begitu pikiran ini muncul, segera kuhilangkan. Astaga, aku ini arkeolog profesional yang sah, bagaimana bisa memiliki pikiran serakah seperti itu. Yaah, sepertini gara-gara terlalu lama bergaul dengan Tujuh Hantu Pencuri Makam di Lop Nur, tanpa sadar sudah terkontaminasi sifat bandit.
Di tengah tutup peti emas, tertulis tegak deretan aksara Xia Barat yang berbentuk persegi sempurna. Kami tidak mengerti artinya, menduga mungkin tulisan semacam "Makam Si Fulan" atau sejenisnya.
Wan Juncheng terdiam lama, tangannya gemetar menyentuh rangkaian tulisan Xia Barat itu, tiba-tiba air matanya menitik.
Sepanjang perjalanan, kesan ku pada Wan Juncheng adalah rubah tua licik dan beringas. Ini pertama kalinya aku melihatnya linglung, kehilangan roh seperti orang tak bernyawa.
"Apa yang dia tangisi?" bisik Gu Meidi.
"Entahlah! Mungkin merasa dosa berat hingga malu pada para leluhur!" jawabku.
"Kau pikir si pecundang tua Wan Juncheng ini punya rasa bersalah?" Gu Meidi menyanggah.
Ku mencibir sinis: "Sama sekali tidak!"
"Mau membuka peti mati?" Profesor Ye bertanya dingin pada Wan Juncheng yang masih tak bereaksi.
"Tentu!" Wan Juncheng mengusap air mata, membungkuk mengamati peti dengan matang.
Profesor Ye berkata: "Tak perlu diperiksa lagi. Peti emas ini struktur pengaitnya seperti koper digembok. Cukup buka gemboknya maka peti akan terbuka!"
"Ketajaman mata yang hebat!" puji Wan Juncheng sambil acungkan jempol.
"Tapi kurasa mungkin perlu kode," Profesor Ye menunjuk gembok di tepi tutup peti.
"Kode?!" Wan Juncheng mendekat, menggenggam gembok itu memeriksanya.
Di gembok terdapat deretan ceruk berisi angka berbeda. Hanya dengan menyusun kombinasi angka benar, peti emas baru bisa terbuka. Sistem ini mirip koper berkode modern, hanya lebih sederhana - bisa dibilang koper berkode paling kuno di dunia.
Wan Juncheng mengusap dagu sambil berpikir sejenak, lalu dengan cepat memutar-mutar gembok. Plak plak plak! Deretan kode berhasil dibuat. Saat angka terakhir diputar masuk ke dalam ceruk, terdengar suara jernih "Krek!" dari gembok, lalu kunci tersebut terpental sendiri. Tutup peti mati perlahan naik ke atas.
Profesor Ye mengangkat alisnya: "Profesor Wan sungguh hebat, dengan mudah memecahkan sandinya!"
"Hehe!" Wan Juncheng menepuk-nepuk tangan dengan wajah santai: "Sederhana, kodenya adalah tanggal berdirinya organisasi Yipintang!"
"Sungguh bijaksana!" puji Profesor Ye.
Percakapan mereka seperti teka-teki bisu, tak ada yang tahu apakah pujian tulus atau ejekan sinis.
Aku merasa ucapan mereka aneh, tapi tak bisa menangkap poin utamanya.
Tutup peti mati terbuka, menampilkan mayat kuno di dalamnya.
Mayat itu mengenakan baju zirah berat berkilauan seperti perak, pasti seorang yang sangat berwibawa semasa hidup.
Wajahnya tersembunyi di balik topeng hantu perunggu yang misterius, menambah aura mistis.
Mayat dalam peti kayu yin bisa bertahan ratusan bahkan ribuan tahun tanpa membusuk.
Mayat kuno ini pun demikian. Tubuhnya tidak mengerut, masih terlihat berisi seolah baru saja meninggal.
Bagian dalam peti mati terlihat jelas, tanpa barang kuburan tambahan.
Wan Juncheng mengenakan sarung tangan steril, memasukkan tangannya ke bawah mayat kuno. Gerakannya meraba harta karun sangat terampil, cepat selesai memeriksa seluruh bagian. Namun ekspresi wajahnya berubah muram, jelas tidak ada yang dia cari di bawah mayat itu. Tanpa jeda, kedua tangannya segera beralih memeriksa bagian depan mayat dengan gesit, tetap tak menemukan apapun.
Wan Juncheng mulai tampak gelisah. Dengan hati-hati dia membuka mulut mayat kuno dengan paksa, berharap menemukan sesuatu di dalam rongga mulutnya.
Di dalam mulut mayat itu memang terselip suatu benda - sepotong giok lemak domba seukuran ibu jari, mungkin barang yang dipakai semasa hidup.
Tapi giok itu bukan yang dicari Wan Juncheng. Dia menarik kembali tangannya, berdiri di tepi peti mati dengan kepala tertunduk lesu, diam seribu bahasa seolah merenungkan sesuatu.
Aku tahu persis target pencarian Wan Juncheng. Yang dia incar bukan harta karun bernilai fantastis, melainkan bola mata perunggu ketiga. Bola mata dari Ruang Langit dan Balai Dizi sudah dia dapatkan, tinggal bola mata Balai Renzi yang belum. Jejaknya mengikuti kami hingga Dunhuang pun semata untuk memaksa kami menyerahkan kedua bola mata itu. Rupanya benda-benda perunggu ini menyimpan rahasia organisasi Dinasti Xia Barat atau Yipintang.
"Bagaimana bisa tidak ada? Bagaimana mungkin?" Gumam Wan Juncheng sambil menggaruk-garuk kepala dan telinga, wajahnya dipenuhi kecemasan yang tak terbendung.
Ketika dia mengangkat kepalanya, tiba-tiba dia terpaku, kedua matanya menatap tak berkedip ke langit-langit ruang makam.
Melihat Wan Juncheng begitu terpesona, aku pun mengikuti arah pandangannya ke langit-langit ruang makam.
Di langit-langit ruang makam terdapat patung kepala naga yang diukir, taring naganya berkerenyit tampak hidup. Desain kepala naga itu sangat tidak biasa, seolah-olah muncul menembus dari langit-langit ruang makam dan tepat mengarah ke peti emas di bawahnya. Tampak seperti relief tiga dimensi, bak seekor naga terbang yang bersembunyi di atap kuil lalu mengeluarkan kepalanya untuk mengawasi peti emas di bawah.
Pada pandangan pertama, hatiku sempat berdebar kaget, merasa itu naga sungguhan yang siap menerkam kapan saja.
Meski ukiran kepala naga ini memang unik, selain itu aku tidak melihat keanehan apa pun. Sungguh tak mengerti mengapa Wan Juncheng bisa termangu begitu lama, apa sebenarnya yang sedang dia pelajari?
Beberapa saat kemudian, Wan Juncheng perlahan mengalihkan pandangan dan memerintah dua pria berbaju hitam di belakangnya: "Kemarilah, coba kalian dorong peti mati ini!"
Mendorong peti mati?!
Meski bingung dengan perintah Wan Juncheng, dua orang berbaju hitam itu tetap melaksanakannya.
Peti mati berat itu perlahan berputar searah jarum jam saat didorong mereka, sementara dari bawah tanah terdengar suara "krek-krek" seperti mekanisme jebakan yang sedang bergerak.
Alis Wan Juncheng bergetar halus menahan gejolak, tak kuasa mendesak: "Cepat! Lekas!"
Sambil terus memacu anak buahnya, matanya tak henti menatap ke langit-langit makam seolah akan jatuh harta karun.
Kami saling pandang bingung, mata jelalatan mencari asal suara mekanisme jebakan yang tiba-tiba aktif.
Tepat di detik itu, gemerisik halus "kreek" menggema di ruang makam yang sunyi. Seketika seluruh ruang utama berpendar biru pucat menusuk, mengubah kuil angker ini jadi lebih mistis.
Tatapan kami berputar kalut. Delapan patung dewa-dewi di dinding tiba-tiba menyala biru di matanya. Arca-arca itu seakan hidup kembali, memandang dingin membuat bulu kuduk merinding.
Tiba-tiba Si Kucing menjerit sambil menunjuk ke atas: "Lihat! Mulut naga di langit-langit... terbuka!"
Ha?!
Di titik itu kami baru sadar, ukiran kepala naga di puncak makam benar-benar menganga.
Ini sungguh mengerikan!
Patung batu naga bisa membuka mulut?!
Aku ingat betul sebelumnya mulut naga itu terkunci rapat. Kini celahnya menganga lebar, seolah hendak memuntahkan sesuatu.
Di bawah tatapan terkejut kami, sebutir manik-manik memancarkan cahaya redup perlahan menggelinding keluar dari mulut Naga, lalu jatuh tepat ke dalam peti emas.
Aduh!
Biji mata ku hampir copot dari soketnya, Naga ilahi memuntahkan mutiara?! Sungguh luar biasa!
Meski aku tahu ini cuma mekanisme jebakan canggih buatan pengrajin kuno, harus kuakui aku tetap terpana, jenius macam apa yang bisa merancang perangkap sehebat ini!
"Akhirnya kutemukan kau! Hahaha! Akhirnya kutemukan!" Wan Juncheng berdiri heboh, menahan manik-manik yang keluar dari mulut naga, tertawa nyaring yang bergema di ruang makam, nyaring menusuk telinga.
Kuperhatikan baik-baik, manik-manik itu bukan mutiara malam, bukan pula permata giok, melainkan - bola mata perunggu!
Benar!
Sebuah wadah mata sebesar tinju dari perunggu, persis seperti dua bola mata perunggu yang kami temukan sebelumnya.
Ini adalah bola mata perunggu ketiga!
