Keesokan harinya di subuh buta.
Tukang kepala melapor ke komandan, mengatakan beberapa pekerja menghilang semalam dan tidak ditemukan di mana pun.
Awalnya komandan mengira mereka kabur. Pelarian adalah kejahatan besar - jika tertangkap akan dihukum sebagai pengecut.
Komandan marah, mengirim prajurit untuk menyelidiki hal ini dan memerintahkan agar pekerja yang hilang ditemukan.
Lewat satu hari lagi.
Tukang bangunan melapor lagi ke komandan, beberapa tukang menghilang lagi malam sebelumnya.
Komandan benar-benar marah, tidak hanya memaki tukang tersebut, tapi juga mengumpulkan semua tukang lain dan mengumumkan perintah militer: siapa yang berani lari akan dipenggal.
Tapi taktik komandan ini tidak memberi efek gentar. Di hari ketiga, masih ada yang menghilang.
Darah komandan mendidih. Jika tiap hari ada yang kabur, bagaimana pembangunan istana bawah tanah bisa dilanjutkan? Jika tidak selesai tepat waktu, pasti akan dihukum kaisar.
Komandan mengeluarkan perintah lebih keras: pelarian akan dihukum sembilan marga. Pasukan dikerahkan patroli siang-malam.
Tapi tetap saja tiap hari ada tukang kabur. Dalam 10+ hari, sudah ratusan orang hilang.
Dengan perintah sekeras ini, masih ada yang berani lari?
Lebih anehnya, pasukan yang patroli 24 jam tak pernah menangkap satu pun tukang kabur.
Artinya, mungkin mereka bukan kabur... tapi hilang secara misterius!
Setelah berpikir, komandan curiga ada keanehan. Setelah berdiskusi dengan bawahan, mereka mendatangkan Tuan ahli sihir untuk "mengobservasi lokasi" guna mencari penyebab sebenarnya.
Tuan ahli sihir mempersiapkan altar ritual sampai tengah malam. Konon dia punya kekuatan spiritual yang cukup.
Setelah membuka altar, dia menggunting Kertas Fu kuning menjadi boneka kecil, lalu mengucapkan mantra panjang sambil bersenandung, akhirnya mengangkat pedang kayu persik, menyemburkan arak keras ke ujung pedang, memainkan jurus pedang, lalu menuding langit sambil berteriak: "Duo!"
Boneka jimat itu langsung berdiri tegak bak memiliki nyawa, melompat dari meja ke tanah dan lenyap seketika di hamparan pasir.
Menjelang fajar, boneka jimat itu kembali.
Sang ahli sihir menyalakan hio ritual, membakar boneka jimat itu hingga menjadi segenggam abu.
Lalu dia menuangkan air jernih ke mangkuk, mencampurkan abu itu sambil diaduk dua kali, lalu menenggak habis cairannya.
Ahli sihir itu duduk bersila, perlahan menutup mata bagaikan biksu tua yang sedang samadi, tak lagi bersuara.
Hanya terlihat butiran keringat besar mengalir di pipinya, tak seorang pun berani mengganggu.
Di tengah proses, orang-orang melihatnya berbicara dengan udara sambil terpejam, mengucapkan kata-kata aneh yang tak dipahami.
Sekitar sepertiga jam kemudian, matanya perlahan terbuka. Ucapan pertamanya mengguncang semua yang hadir: "Kutemukan para tukang itu! Mereka bukan kabur, tapi ada di bawah Sungai Hitam!"
Kalimat ini membuat semua orang sampai hampir terjatuh ketakutan. Bukankah para tukang itu juga sangat ketakutan ketika menemukan begitu banyak tengkorak manusia mati mengapung di Sungai Air Hitam pada hari itu? Lalu mengapa mereka nekat menyelinap ke Sungai Air Hitam di tengah malam, bahkan silih berganti pergi menuju kematian? Apakah ada sesuatu yang aneh dalam hal ini?
Melihat sang ahli sihir memiliki kekuatan spiritual tertentu, sang Komandan pun tak berani menunda. Di bawah terangnya siang bolong, ia memimpin sekelompok prajurit menuju Sungai Underworld, lalu mengerahkan armada perahu untuk melakukan pekerjaan pemanenan di permukaan Sungai Air Hitam.
Hasilnya membuktikan kebenaran perkataan sang ahli sihir. Benar terdapat mayat-mayat tukang di dasar Sungai Air Hitam. Setelah menyingkirkan tengkorak-tengkorak manusia mati di permukaan sungai, jasad para tukang pun mengapung ke atas. Jumlahnya mencapai ratusan, berjejal memenuhi kabin kapal. Beberapa mayat telah mengembang seperti lobak raksasa, jelas terlihat telah terendam selama berhari-hari.
Meski pernah mengikuti pasukan besar Xia Barat bertempur di gurun pasir, sang Komandan belum pernah merasakan ketakutan sehebat ini. Ia tak paham mengapa para tukang bisa tenggelam di Sungai Air Hitam di tengah malam. Yang paling anehnya, prajurit patroli malam sama sekali tidak pernah menemukan seorang pun tukang yang keluar dari lokasi.
Dengan kejadian aneh di proyek megah ini yang telah merenggut puluhan nyawa manusia, sang Komandan jelas tak berani melapor kepada kaisar. Ia memerintahkan pemblokiran kabar ini, sekaligus mengajukan permohonan bantuan kepada sang ahli sihir.
Konon Tuan-tuan ahli sihir memerintahkan Komandan untuk membuat 49 buah cermin tembaga berbentuk delapan sudut yang unik. Kemudian, sesuai lokasi yang ditentukan oleh Tuan-tuan ahli sihir, ke-49 cermin tembaga ini ditanamkan satu per satu di dasar Sungai Air Hitam.
Anehnya, sejak 49 cermin ini ditanam di dasar sungai, tak ada lagi kasus tukang bangunan yang hilang atau tewas secara misterius. Semua pekerjaan berjalan lancar tanpa hambatan.
Sang Komandan merasa sangat bingung, lalu bertanya pada Tuan-tuan ahli sihir tentang rahasia tersembunyi di balik ini.
Tuan-tuan ahli sihir menjelaskan bahwa awalnya dasar Sungai Air Hitam dipenuhi tengkorak tak terhitung. Energi Yin di sana terlalu kuat, menjadikannya daerah perkumpulan siluman-siluman pengganggu. Orang yang energi api ubun-ubunnya lemah atau tidak stabil, saat bekerja di bawah mudah diganggu makhluk-makhluk ini. Kasus ringan menyebabkan linglung, sedangkan kasus berat akan kerasukan.
Adapun 49 cermin tembaga itu berfungsi sebagai pintu kehidupan di dasar sungai bagi siluman-siluman tersebut. Asalkan roh-roh ini mengikuti jejak 49 cermin, mereka bisa pergi ke neraka untuk menjalani reinkarnasi. Kini semua roh telah pergi bereinkarnasi di neraka, sehingga tak ada lagi yang mengganggu para tukang. Semua pun kembali damai.
Sejak saat itu, sungai ini mendapat julukan "Sungai Underworld".
Meski kami membenci Wan Juncheng, kisah yang diceritakannya sangat menarik. Kami semua terhanyut dalam alur ceritanya.
Wan Juncheng menyelesaikan ceritanya, tiba-tiba berdiri dan menatap kegelapan samar-samar di depan sambil berseru dengan sukacita yang meluap-luap: "Sampai! Akhirnya sampai!"
Kami tertegun sejenak. Sampai? Sampai di istana bawah tanah? Jangan-jangan istana bawah tanah itu berada di atas Sungai Underworld?
Berkat mengonsumsi Jiu Po Bing Can, penglihatanku jauh lebih baik daripada orang biasa, terutama dalam kegelapan. Kupusatkan penglihatan ke permukaan air di depan. Di ruang gelap itu muncul siluet raksasa menyerupai kompleks bangunan. Dari garis-garis siluet yang terlihat, bangunan ini sangat tinggi dan besar, seolah menutupi seluruh permukaan air serta ruang bawah tanah, tampak seperti bendungan raksasa yang membendung sungai.
Hatiku berdebar kencang. Apakah ini istana bawah tanah? Membangun istana bawah tanah dalam skala sebesar ini, sungguh luar biasa!
Semakin mendekat, bangunan megah itu perlahan tampak jelas di hadapan kami.
Astaga!
Semua orang di perahu mengeluarkan teriakan tak percaya dari relung hati terdalam. Mata setiap orang melotot bulat, seolah tak percaya dengan apa yang mereka lihat.
Tembok kota yang menjulang tinggi bagai monster raksasa membentang di atas Sungai Underworld. Seluruh tembok dibangun dari batu abu-abu yang dipotong memanjang dan disusun rapi, celah-celahnya disatukan dengan tembaga cair sehingga sangat kokoh. Ketinggian tembok mencapai lebih dari sepuluh zhang (≈33 meter), permukaannya begitu rata sehingga mustahil untuk dipanjat.
Di tengah tembok kota terdapat pintu gerbang perunggu raksasa, tingginya setidaknya mencapai 5 zhang. Di pintu tersebut terdapat tiga pola bola mata raksasa yang tersusun dalam formasi segitiga, menyerupai mata tiga iblis. Namun kelopak mata-nya kosong tanpa bola mata, memandangi dingin dengan energi yin kami para tamu tak diundang ini, penuh dengan nuansa misteri aneh.
Di tengah pintu raksasa terdapat platform seperti ceruk, di bawahnya ada tangga batu. Ini adalah satu-satunya jalan di atas seluruh tembok tersebut. Namun jalan ini hanya bisa mencapai platform setengah jalan, yaitu posisi pola bola mata.
Inikah Istana Bawah Tanah?
Inikah rahasia yang dijaga turun-temurun oleh Yipintang?
Inikah lokasi penyimpanan harta karun tertinggi Dinasti Xia Barat?
Megah, mengagumkan, monumental - aku benar-benar tak bisa menemukan kata lebih banyak untuk mendeskripsikan kompleks bangunan di hadapan ini.
Kami di bawah tembok ini bagaikan semut yang tak berarti, hampir tanpa eksistensi diri.
Aku mengaku aku terkejut, aku benar-benar terguncang hebat!
Bukan hanya aku, setiap orang di sini tergetar, bahkan sampai tak ada yang bersuara!
Aku seolah melihat ribuan tukang bangunan bekerja siang malam di ruang bawah tanah yang luas ini, membangun istana megah ini. Ada yang mengasah batu karang tajam hingga tangan mereka penuh lepuh darah; ada yang mengangkut mayat-mayat berat hingga punggung mereka melengkung; ada yang melelehkan tembaga cair hingga wajah mereka hangus menjadi arang oleh kompor. Juga terlihat banyak prajurit berbaju zirah membawa cambuk panjang, berteriak-teriak lalu mencambuki para pekerja tanpa ampun hingga pakaian mereka compang-camping dan darah mengalir deras.
Dua perahu karet berhenti di bawah pintu gerbang raksasa. Wan Juncheng langsung melompat turun dan mulai merangkak naik melalui tangga batu itu.
Wan Juncheng merangkak dengan gesit. Jelas terlihat betapa besar keinginannya.
Kami mengikuti dari belakang, sampai ke atas platform.
Di tengah platform terukir tiga aksara Xia Barat yang simetris. Wan Juncheng menunjuk tulisan itu sambil berkata: "Panggung Terbang! Konon roh manusia bisa terbang ke negeri dewa dari sini setelah mati!"
Gu Meidi menyeringai mengejek: "Terbang ke negeri dewa? Li Yuanhao si tiran yang serakah dan kejam itu, membunuh orang-orang baik, melakukan begitu banyak kejahatan melanggar hukum alam. Roh semacam itu pantaskah naik ke surga? Mimpi kali!"
Gu Meidi berbisik pelan sehingga hanya aku yang mendengar. Jika sampai didengar Wan Juncheng, pasti akan terjadi masalah besar.
“Apa itu?” Gu Meidi menyodok titik vital pinggangku.
“Sepertinya... tengkorak...” Aku terdiam terpana, sungguh aneh! Mengapa ada tengkorak di altar penerbangan ke surga? Itu pun beberapa sekaligus, kerangka putih mengerikan berhamburan di tanah, dikelilingi beberapa senjata. Apa yang terjadi di sini? Siapa pemilik tengkorak-tengkorak ini? Apakah mereka para tukang bangunan atau prajurit zaman dulu?
Saat aku masih berpikir demikian, tiba-tiba terdengar dentang memekakkan telinga. Wan Juncheng mengangkat kaki dan menginjak tengkorak di depannya hingga remuk. Ia menunduk, tersenyum sinis, dan mengucapkan kalimat yang sangat ganjil: "Sahabat-sahabat, lama tidak bertemu!"
Persis di saat yang sama, kulihat dari sudut mata Profesor Ye tiba-tiba mengepal tinju, pupil matanya menyala kilatan cerdik, memancarkan ekspresi kemarahan yang luar biasa.
Sahabat-sahabat?!
Mengapa Wan Juncheng menyebut tengkorak-tengkorak itu sebagai sahabat-sahabat?
Selain itu, mengapa Profesor Ye begitu marah?
Apa yang membuatnya marah?
Tiba-tiba Gu Meidi mengambil sesuatu dari tanah dan menyodorkannya padaku: "Tuoba Gu, lihat!"
