Kasus pembunuhan berantai menyimpang untuk sementara berakhir. Saya mengambil dokumen dari universitas dan kembali ke tim arkeologi, lalu mengurus prosedur pengunduran diri. Saat mengundurkan diri, para pemimpin tim arkeologi berusaha membujuk saya untuk tetap tinggal, namun saya sudah memiliki keputusan sendiri. Akhirnya saya menolak dengan halus niat baik mereka, membuat mereka sangat menyesali keputusan ini.
Malam hari saya mengajak Gu Meidi makan di Haidilao Hotpot. Gu Meidi bertanya mengapa saya lama kembali ke universitas. Saya menceritakan kasus pembunuhan berantai ini padanya. Ketika menyebut pelakunya adalah Murong Feng, Gu Meidi juga terlihat sangat terkejut.
Ia meletakkan sumpit: "Apa benar? Pembunuhnya Murong Feng?"
Saya menyesap arak: "Hasil penyelidikan sementara seperti ini! Tapi Cao Yue mengatakan yang dilihatnya adalah roh Murong Feng, sementara investigasi kami menunjukkan Murong Feng tidak mati - masih hidup sehat di Beijing, bahkan mendapat promosi dan gelar bangsawan!"
Gu Meidi mengerutkan alisnya: "Ini memang aneh. Sekalipun itu roh Murong Feng yang membunuh, tak ada alasan baginya menempuh seribu li ke Xi'an untuk membunuh. Kecuali universitas ini atau para korban memiliki dendam mendalam dengannya!"
Aku berkata: "Tim kasus besar sudah menyelidiki sepenuhnya, Murong Feng sama sekali tidak memiliki hubungan dengan sekolah maupun para korban tersebut. Riwayat hidupnya juga tidak rumit, lahir di Liaoning, pernah menjalani wajib militer di Gansu menjadi tentara khusus yang berbakat, lalu dipindahkan ke Beijing masuk ke Biro Keamanan Anti-Teror. Tak beberapa tahun kemudian dikirim menjadi mata-mata!"
Gu Meidi berkata: "Mendengar penjelasanmu, aku juga agak bingung dengan inti permasalahannya. Raga fisik di Beijing, roh di Xi'an, hei, ini memang terasa aneh. Menurutmu apakah mungkin..."
Sebelum Gu Meidi menyelesaikan kalimat, aku sudah tahu apa yang ingin dia katakan. Aku menyambung: "Aku tahu maksudmu. Kami juga sudah menyelidiki, Murong Feng adalah anak tunggal, tidak punya saudara kandung maupun kembar. Satu-satunya penjelasan logis adalah mungkin kami terlalu overthinking. Jika dipikir sederhana, mungkin roh ini bukan Murong Feng, hanya wajahnya yang sangat mirip dengan Murong Feng semasa hidup, sehingga menyesatkan kami. Perlu diketahui, di dunia ini setiap orang bukanlah satu-satunya, banyak orang yang memiliki kemiripan tinggi. Mungkin kali ini kami kebetulan bertemu hantu menyimpang yang mirip Murong Feng!"
Gu Meidi berkata: "Sudah, jangan dipikirkan lagi. Beberapa hal meskipun otak sampai retak memikirkannya, belum tentu ada jawabannya!"
Setelah makan di Haidilao Hotpot, aku dan Gu Meidi keluar dari restoran. Angin malam berhembus sejuk, lampu neon indah menyala di kedua sisi jalan.
"Besok aku akan kembali ke Desa Hezi!" kataku.
“Hmm, jadi mau ngapain malam ini?” Gu Meidi menatapku, matanya berbinar-binar penuh arti.
Jantungku berdegup kencang, maksud perkataan Gu Meidi ini apa? Tentu saja aku ingin menghabiskan malam bersamanya, tapi bagaimana mungkin mengatakannya langsung? Aduh, malu sekali! Tapi jangan-jangan Gu Meidi benar-benar bermaksud menemaniku? Kalau begitu, bukankah aku akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini?
“Kenapa diam?” tanya Gu Meidi.
Aku tergagap-gagap beberapa saat, akhirnya melontarkan: “Aku ingin nonton film bareng kamu!”
Begitu kata-kata itu meluncur, dalam hati aku langsung menampar diri sendiri. Sial, ini namanya kencan apa Tuoba Gu? Kok kamu tidak punya keberanian sedikitpun?
Gu Meidi langsung menyetujui: “Baik!”
Kami seperti sepasang kekasih, membeli camilan dan berondong jagung lalu masuk ke bioskop.
Sebenarnya aku sama sekali tidak memperhatikan isi filmnya, aku murni menikmati waktu bersamanya.
Tapi, film akhirnya selesai juga.
Saat lampu putih menyala, mimpiku indah itu pun tertutup kelambu.
Saat keluar dari bioskop, diam-diam aku menggenggam tangan Gu Meidi.
Sepanjang perjalanan, kami sama-sama diam dengan atmosfer agak aneh.
Kami menyusuri jalan perlahan menuju apartemen Gu Meidi.
Di sebelah kiriku muncul malaikat, di kanan muncul setan.
Malaikat berkata: "Tuoba Gu, kau pria baik, jangan jorok seperti ini, jangan mengajukan permintaan tak pantas pada Gu Meidi! Kalau orang lain tak setuju, perasaan yang sudah terkumpul susah payah mungkin bisa runtuh dalam semalam!"
Setan membisik: "Tuoba Gu, kalau kau pria sejati, harus berani! Ragu-ragu bukan sikap pria. Gu Meidi jelas menyukaimu, langsung katakan ingin nginep bersamanya malam ini, pasti tak akan ditolak. Ini kesempatan langka, jangan sampai terlewat!"
Debat malaikat dan setan semakin sengit, tanpa sadar sudah sampai di depan apartemen Gu Meidi.
"Aku sampai!" kata Gu Meidi.
"Oh, oh, istirahatlah cepat!" kataku.
"Baik, kau juga istirahatlah, besok pagi masih harus naik kereta!" Gu Meidi tersenyum manis, berbalik masuk ke apartemen.
"Eh, Gu Meidi!" Tanpa kusadari teriakku.
"Ada apa?" Ia berhenti.
"Tidak apa, istirahatlah, hehe, istirahatlah!" Hingga akhir, tetap tak kumiliki keberanian mengutarakan keinginan menginap. Tapi saat meninggalkan apartemen, rasa sesal yang kubayangkan tak muncul. Hal perasaan butuh waktu terkumpul, biarkan mengalir mungkin akan dapat akhir terbaik.
Malaikat memancarkan lingkaran cahaya, mengacungkan jempol: "Tuoba Gu, pria berwibawa sejati! Untukmu seribu pujian!"
"Setan menyembulkan bibirnya, memalingkan kepala, dan mengacungkan jari tengah ke arahku: 'Tuoba Gu, aku memandangmu dengan hina! Kau sungguh bukan pria sejati, pantas saja sudah 20 tahun lebih masih jadi perjaka, hng!'"
Keesokan harinya di pagi buta, aku bangun lebih awal dan sengaja menyantap semangkok roti kukus daging sapi. Membayangkan mungkin jarang bisa menikmati hidangan khas Barat Laut ini di masa depan, hatiku dipenuhi kerinduan dan kesedihan. Usai makan, aku pergi ke terminal bus dan naik bus menuju Sanmenxia.
Sepanjang perjalanan, pemandangan menara gerbang yang megah terus berlarian mundur. Selamat tinggal, Xi'an.
Perjalanan yang cukup panjang membuatku bosan di dalam bus. Saat sedang asyik memainkan ponsel, tiba-tiba mataku menangkap nomor telepon Murong Feng - nomor yang kami saling tukarkan saat berpisah di Hohhot, Mongolia Dalam. Tiba-tiba ada keinginan iseng untuk meneleponnya.
Deret bunyi 'tut-tut' terdengar setelah nomor terhubung. Suara Murong Feng mengudara: "Halo! Anda siapa ya?"
"Kepala Murong, masih ingat aku? Kukira setelah naik jabatan nomormu sudah diganti, tak disangka masih bisa tersambung!" kataku.
"Kamu... Oh, kamu Tuoba Gu, bukan?" Suara Murong Feng terdugar bersemangat: "Gimana? Kehidupanmu akhir-akhir ini baik?"
"Lumayan. Kamu sendiri?" Aku pura-pura basa-basi, padahal sedang mencoba menyelidiki sikapnya.
"Aku? Ah, kamu tahu sendiri kerja di Biro Kontra Teror itu seperti roda gila. Setiap hari sibuk tiada henti!" jawab Murong Feng.
Setelah bertukar salam basa-basi yang membosankan, aku menyadari cara ini tak bisa mendapatkan informasi berguna, lalu langsung mengubah arah pembicaraan: "Beberapa hari lalu aku kembali ke universitas untuk mengambil dokumen, ternyata terjadi pembunuhan di sana. Ada saksi mata yang membuat lukisan pelaku, dan yang tergambar di situ ternyata kau!"
Di ujung telepon terdengar hening sejenak, tak tahu ekspresi seperti apa yang sedang dibuat Murong Feng saat ini.
Beberapa saat kemudian, Murong Feng bertanya dingin: "Aku tahu kasus ini. Aku juga tahu unit kasus besar pernah menyelidikiku. Tuoba Gu, tujuanmu menelepon hari ini pasti untuk menanyakan hal ini!"
"Ada faktor itu!" Jawabku dengan tenang, tanpa menyangkal.
Murong Feng berkata: "Sejak sebulan terakhir aku selalu di Beijing, rekan kerja dan teman-teman bisa menjadi saksiku. Lagipula, kalau pun aku melakukan kejahatan, buat apa pergi ke Xi'an? Apa aku kelebihan tenaga? Menurutku mungkin wajah pembunuhnya mirip denganku!"
"Baiklah, aku hanya merasa penasaran saja jadi menelepon untuk bertanya. Bukan bermaksud meragukanmu!" Kataku.
Kami kembali mengobrol ngalor-ngidul beberapa saat. Saat hendak saling mengucapkan selamat tinggal dan menutup telepon, Murong Feng tiba-tiba mengatakan sesuatu yang aneh: "Kasus pembunuhan ini akan kutangani sendiri!"
Awalnya tak terasa ada yang aneh, tapi semakin kupikir semakin aku curiga. Jika kasus ini bukan ulah Murong Feng, mengapa dia mengajukan diri menanganinya? Lagipula, kasus pembunuhan biasanya ditangani tim kasus berat. Dia kan dari badan anti-teror, kasus seperti ini seharusnya di luar tanggung jawabnya. Apa ucapan ini cuma kebetulan, atau ada maksud tersembunyi?
Kurenungkan lama-lama, tapi tak juga ketemu jawabannya. Akhirnya aku tertidur dalam keadaan setengah sadar.
Saat terbangun, bus sudah tiba di Terminal Bus Kota Sanmenxia.
Setelah beberapa kali transit, akhirnya aku sampai di Desa Hezi lagi tepat saat senja.
Sejak masuk universitas, hampir tak pernah aku kembali ke Desa Hezi. Dulu kukira akan menetap di kota besar, tapi nyatanya kini tak cuma pulang, malah berencana tinggal lama di sini. Setelah bertahun-tahun berkeliaran di metropolitan, ternyata istirahat di desa cukup menyenangkan. Setidaknya di sini tak ada polusi udara atau kabut asap. Hidup sederhana sambil bertapa di sini cukup membuat hati tenang.
Baru sampai pintu desa, kulihat seorang pria berjalan sambil menunduk, kedua tangan terkantongi. Langkahnya diselingi tendangan-tendangan kecil ke batu kerikil di jalan. Seluruh gerak-geriknya menunjukkan beban pikiran yang berat.
Kudekati, dan ternyata dia adalah Liu Manchao, teman masa kecilku. Kulitnya legam, postur tubuhnya kekar. Kami biasa memanggilnya "Sapi Besar". Setelah lulus SMP, Da Niu memutuskan kerja serabutan di kota. Sementara aku melanjutkan ke SMA di kota, lalu kuliah. Bertahun-tahun kami tak berjumpa.
“Kakak Sapi!” Aku menyapa Liu Manchao dengan akrab, meski sudah bertahun-tahun tak bertemu, persahabatan masa kecil masih terjaga, pertemuan kali ini pun berlangsung penuh keakraban.
Da Niu mungkin sedang merenung, tiba-tiba mendengar namanya dipanggil, kaget lalu menengadah tajam memandangiku beberapa saat, kemudian berteriak dengan suara serak: "Wah, kukira siapa, ternyata Xiao Gu! Kenapa kau pulang?"
Kuberikan sebatang rokok pada Da Niu: "Justru itu yang ingin kutanyakan. Bertahun-tahun kau merantau, bahkan Tahun Baru Imlek jarang pulang, sekarang kenapa kembali?"
"Oh!" Da Niu tersenyum polos dengan kikuk: "Merantau bertahun-tahun tapi tak banyak uang didapat. Rasanya tak ada artinya, jadi ya pulang!"
