Menjelang malam, suara ketukan akhirnya terdengar.
Kuumpat dalam hati si Da Niu ini baru datang. Hanya pakai celana dalam, kuseret sandal ke pintu.
Tapi baru saja pintu terbuka, kudengar teriakan rendah seorang wanita.
Kaget, kupandang wanita di depan pintu. Ternyata itu Li Zi!
Aku terdiam terpana berdiri di situ, angin malam menerpa pantatku hingga dingin menusuk: "Lizi... Kok... Kok bisa kau?"
Pandangan Lizi cepat beralih dari bagian bawah tubuhku, wajahnya memerah darah: "Kak Xiao Gu, aku... Aku datang mengantarkan obat untukmu..."
Sebagai seorang suster, seharusnya Lizi sudah terbiasa melihat tubuh pria. Mungkin karena ada perasaan khusus padaku, ditambah lagi melihatku dalam keadaan seperti itu di depan pintu tanpa persiapan, membuatnya jadi malu-malu.
"Kau duduk dulu, aku masuk dulu pakai celana!" Aku tersenyum kecut, kedua tangan menutupi selangkangan, masuk ke kamar untuk memakai celana sebelum keluar lagi.
"Lizi, kok malah kau yang mengantarkan obat? Si Daniu yang kemana? Bukannya aku tadi menelepon dia?" Kurasakan lagi-lagi dikhianati oleh si Daniu.
Tepat seperti dugaan, Lizi menjawab: "Kak Daniu meneleponku bilang kau sakit, muntah-muntah dan diare, menyuruhku segera ambil obat dari puskesmas. Kebetulan aku kan suster di sana, jadi lebih mudah ambil obatnya. Lagipula aku cukup paham ilmu medis, sekalian bisa memeriksa kondisimu! Ada masalah? Kecewa melihatku?"
"Jangan ngawur! Aku senang bukan main melihatmu!" Kataku sambil tersenyum.
Dalam hati aku menghela napas. Daniu memang mati-matian ingin menjodohkanku dengan Lizi, tak menyia-nyiakan sedikit pun kesempatan.
“Kak Xiao Gu, kau muntah parah? Aku lihat ekspresi wajahmu sangat buruk, bagaimana kalau ke ruang dalam dulu untuk berbaring, aku akan ambilkan obat!” Li Zi menopangku masuk ke ruang dalam. Aku berbaring di tempat tidur, melihat Li Zi sibuk keluar-masuk.
Tak lama kemudian, Li Zi membawa secangkir ramuan hangat dan beberapa pil: “Kak Xiao Gu, minum obat dulu, ini untuk menghentikan muntah!”
“Terima kasih!” Aku mengulurkan tangan untuk mengambil pil, tapi Li Zi berkata: “Eh, jangan bergerak. Kau tetap berbaring saja, biar aku yang menyuapi!”
Aku hanya bisa tersenyum kecut, patuh bersandar di tepi tempat tidur.
Saat menyuapi obat, bibirku tersentuh telapak tangan Li Zi. Tangannya yang mungil terasa halus.
Kemudian Li Zi memintaku berbaring lagi, mengeluarkan bungkusan obat, dan mengukur suhu tubuhku.
“Aneh, Kak Xiao Gu, suhumu normal. Seharusnya bukan karena kedinginan! Apakah kau makan sesuatu yang tidak cocok?” tanya Li Zi.
Aku tersenyum malu: “Aku tidak makan malam, hanya makan siang di rumahmu. Tentu saja aku tidak menyalahkanmu, makanan di rumahmu bersih. Semua orang makan dengan baik, pasti bukan karena makanan!”
Li Zi menopang dagunya sambil berpikir: “Jangan-jangan kau alergi makanan tertentu?”
Kujawab: “Sepertinya tidak. Perutku sekuat baja, seumur hidup belum pernah alergi makanan apapun!”
“Untuk saat ini, memang belum ditemukan penyebab penyakitnya. Begini, kau istirahat dulu. Jika besok belum membaik juga, datang saja ke puskesmas untuk diperiksa!”
Setelah minum obat, perutku masih terasa tidak nyaman. Badan yang sudah lemas akibat kelelahan, ditambah efek obat yang mulai bekerja, membuatku merasa pusing-pusing. Aku bersandar di tepi tempat tidur dengan mata terpejam setengah sadar.
Dalam keadaan setengah sadar, kurasakan ada sepasang tangan mungil yang melepas pakaian dan celanaku, lalu menyelimutiku. Aku tahu itu Lizi.
Tak lama kemudian, ia kembali membawa baskom berisi air panas. Dengan handuk, ia mengusap keringat dingin di wajah dan punggungku. Sambil membersihkan tubuhku, ia bergumam pelan: "Kak Xiao Gu, apa kau sudah tertidur?"
Kuujarkan erangan parau. Ingin membuka mata tapi rasa kantuk terlalu berat. Meski begitu, samar-samar masih kudengar suara Lizi.
"Kak Xiao Gu, sebenarnya ada banyak hal yang ingin kusampaikan. Tapi setiap bertemu, keberanian itu selalu menghilang. Karena aku takut... takut kau akan menolak, takut hubungan kita jadi canggung jika semua perasaan ini diungkapkan.
Masih ingat waktu kecil dulu? Aku sering mengejarmu sambil berteriak 'Kak Xiao Gu, Kak Xiao Gu!'. Saat itu, sangat kusukai caramu. Kau berbeda dengan anak-anak lain di desa. Lebih tampan, lebih pintar, dengan aura misterius yang membuatku tak bisa berpaling.
Saat itu aku berjanji dalam hati, kalau sudah besar pasti akan menikahimu jadi istri. Orang-orang dewasa saat itu menertawakanku, menyebutku sebagai calon istrimu. Setiap kali itu, aku tersenyum bahagia, lalu melihatmu tersipu malu hingga wajahmu merah seperti pantat monyet.
Seiring waktu kami tumbuh dewasa, masing-masing punya masa depan dan kehidupan. Kau sekolah di kota, sayangnya nilai raporku tak cukup bagus untuk terus mengikutimu. Akhirnya aku masuk sekolah kesehatan. Pertemuan kami semakin jarang.
Lalu kabarnya kau diterima di universitas di Xi'an. Selama bertahun-tahun kami hampir tak pernah bertemu.
Tapi tahukah kau? Di manapun kau berada, berapa pun lama kami tak bertemu, hatiku selalu merindukanmu.
Saat sekolah, banyak anak laki-laki ingin pacaran. Kutolak semua. Kukatakan padanya aku sudah punya pacar bernama Tuoba Gu. Hehe, apakah ini kebodohan? Apakah ini keinginanku sendiri? Apa kau tak senang? Teman-teman sekosku menyebutku gila bunga. Hanya aku yang tahu, ini bukan kegilaan, tapi perasaanku padamu yang tak berubah selama belasan tahun.
Kemudian aku belajar dengan gila-gilaan, berusaha keras mempelajari ilmu perawatan pasien, berjuang menjadi suster berbakat. Aku ingin setelah lulus pergi ke Xi'an mencari kau. Jika kau bekerja di Xi'an, aku akan mencari rumah sakit di sana. Setiap subuh kita bisa bersama mendengarkan Bunyi Lonceng kota kuno. Setiap senja kita bisa berjalan-jalan di atas tembok kota kuno, menatap sisa cahaya senja yang menebar bayangan lapuk di tembok kuno.
Aku lulus, pergi ke Xi'an, tapi tak menemukanmu. Sebenarnya ada banyak kesempatan kerja di kota besar, tapi semua kulepaskan. Sejujurnya, alasan utama aku kembali ke Desa Hezi adalah karena berharap bisa bertemu denganmu di sana.
Takdir langit tidak mengkhianati orang yang berniat jahat, mungkin karena perasaanku padamu mendapat belas kasihan langit, aku benar-benar bertemu denganmu di Desa Hezi, bahkan tahu kau tidak jadi ke Xi'an dan memilih menetap di sini. Tahukah kau, saat mendengar kabarmu dari mulut Kak Daniu, rasanya aku hampir menjadi gila karena senang, nyaris berlari sepanjang jalan untuk mencarimu. Sayangnya kau tidak ada di rumah, aku pun berdiri di luar pintu rumahmu terus menunggu, menunggu tanpa henti.
Kakak Xiao Gu, malam itu akhirnya aku bisa bertemu lagi denganmu. Belasan tahun tak berjumpa, wajahmu masih persis seperti dalam mimpiku.
Malam itu setelah pulang, aku terlalu bersemangat sampai tidak bisa tidur semalaman.
Belakangan banyak orang datang ke keluarga kami untuk menjodohkanku, sungguh menyebalkan! Semua kutolak karena selama bertahun-tahun ini perasaanku padamu tak pernah berubah. Aku hanya ingin menjadi istrimu seorang.
Tapi, tapi aku sangat tidak percaya diri, aku tidak tahu apakah kau akan menerimaku, aku tidak tahu apakah penantian bertahun-tahun ini hanyalah perasaanku sendiri yang sia-sia. Aku juga tahu hal perasaan tak bisa dipaksakan, tapi jika kau benar-benar menolakku, kurasa aku pun tak tahu seberapa dalam lukaku nanti!"
Li Zi terus berkata-kata panjang lebar, lalu ia mengulurkan tangan menyentuh pipiku, terakhir mencium lembut di dahiku: "Kak Xiao Gu, tidurlah nyenyak, besok aku akan datang lagi menjengukmu!"
Pintu kamar tertutup, di bawah cahaya lampu jingga, perlahan kubuka mataku.
Sebenarnya aku sudah terbangun saat Li Zi membersihkan punggungku, saat kudengar pengakuannya, aku sengaja tidak membuka mata. Entah mengapa aku melakukan ini, mungkin karena khawatir akan rasa malu, atau mungkin dalam kesamaran juga ingin mendengar isi hati sang gadis. Tapi kuakui, setelah mendengarnya hatiku benar-benar tersentuh sangat dalam, tak ada pria yang tak akan tersentuh. Karena tak kusangka perasaan Li Zi padaku ternyata begitu membara, awalnya kukira hanya celoteh kekanak-kanakan, tak disangka setelah belasan tahun berlalu, ia masih teguh padaku.
Mencintai seseorang itu mudah, setahun, sebulan, sehari, sejam, bahkan semenit, sedetik pun kau bisa jatuh cinta. Tapi mempertahankan cinta itu sulit, coba tanyakan pada dirimu: Berapa lama kau bisa mencintai seseorang? Sehari? Sebulan? Setahun? Ataukah seumur hidup?
Di hadapanku muncul siluet Li Zi, dengan mata besar berkilauan yang memancarkan pesona, seolah bisa menyedot roh orang. Siluet Li Zi berputar perlahan, saat ia berbalik lagi, wajahnya berubah menjadi Gu Meidi, rambut panjangnya berkibar-kibar, kecantikannya mempesona bak dewi yang turun dari dongeng.
Dua siluet perempuan itu saling bertumpang tindih dan bergantian, kepalaku serasa mau meledak.
Saat pikiranku masih melayang, pintu kamar terbuka dan bayangan seseorang masuk.
Kukira Li Zi lupa membawa sesuatu, kusambar bertanya: "Li Zi, kenapa kau kembali?"
"Li Zi? Oh, dia sudah pergi!" suara lembut itu menjawab.
Seluruh tubuhku gemetar, terpantul bangkit seperti tersengat listrik, mataku melotot menatap tak percaya, dagu hampir copot: "Gu Meidi?! Kenapa kau di sini? Kau... bagaimana kau bisa datang?"
Melihat Gu Meidi di hadapanku, hatiku dipenuhi kejutan dan sukacita.
Astaga, Dewata benar-benar menghargaiku, dalam hati kumemikirkan Gu Meidi, lalu Sang Dewata pun mengantarkannya ke sampingku.
Gu Meidi memeluk bahunya, tersenyum tipis menatapku: "Kenapa? Jangan-jangan aku mengganggu 'urusan baikmu'?"
Mukaku memerah: "Jangan ngawur! Li Zi itu suster, dia cuma mengantarkan obat untukku!"
“Aduh!” Gu Meidi menggelengkan kepala, tersenyum kecut: "Sungguh suster yang penuh kasih! Aku dengar semua pengakuan tulusnya padamu di luar pintu. Jujur saja, aku sampai tersentuh. Tak kusangka kau punya daya tarik sehebat ini. Kurasa aku meremehkanmu. Hei, suster itu cantik lho, tubuhnya semampai, apalagi ketulusannya padamu. Takkan kau pertimbangkan?"
