Dalam kegelapan, Gu Meidi berdiri anggun dengan siluet putih di Tebing Duan Long, memandang jalur kuno Sungai Kuning yang hitam pekat dengan tatapan kosong.
Melihat punggungnya yang molek, aku tiba-tiba merasa terikat.
Aku tak mengerti mengapa Gu Meidi datang ke Tebing Duan Long? Apakah benar dia datang memetik obat untukku? Ramuan obat apa yang tumbuh di tebing ini? Tapi... tapi dari caranya berjalan sepertinya bukan untuk memetik obat?
Tiba-tiba terpikir, jangan-jangan dia datang menyembah Dewa Sungai Kuning untuk memohon pemberkatan bagiku?
Tapi aku merasa tidak mungkin, Gu Meidi sebelumnya belum pernah datang ke Desa Hezi atau Tebing Duanlong, aku juga tak pernah menyebutkan tempat ini padanya. Bagaimana mungkin ia tahu ini adalah tempat suci untuk sembahyang dan pemberkatan?
Saat aku masih benar-benar tak bisa memahami, tiba-tiba terdengar suara memecah udara. Dari kegelapan di kejauhan, seberkas cahaya hijau pekat menyala-nyala melesat bagai kilat menuju punggung Gu Meidi.
Aku kaget bukan main, dengan reflek membuka mulut ingin mengingatkan Gu Meidi agar berhati-hati.
Namun punggung Gu Meidi seolah memiliki mata. Tanpa menoleh, dengan langkah anggun ia menghindar tepat sebelum cahaya itu menyentuhnya. Cahaya itu menyusuri tubuhnya dan menghilang dalam kegelapan di kejauhan.
Gu Meidi berbalik, wajahnya dingin membeku bagai embun beku.
Masih ada orang lain di Tebing Duanlong ini?!
Aku terkejut lagi, bereaksi cepat. Segera kututup mulutku dengan tangan, menelan ludah dalam-dalam. Menahan nafas dan memusatkan pikiran, bersembunyi diam-diam di balik batu besar. Hanya sepasang mataku yang mengintip, mengamati situasi di kejauhan.
Dari kegelapan di kejauhan, tiba-tiba terdengar tawa aneh dan mengerikan: "Cekikikan! Cekikikan!"
"Tawa itu terdengar samar-samar, namun seolah sangat dekat. Awalnya seperti suara pria, tapi bila didengar lebih seksama mirip wanita. Bukan manusia tapi juga bukan hantu, sungguh aneh. Aku menggigil, pori-pori kulitku tanpa sadar mulai merinding.
Bersamaan dengan tawa supernatural itu, sebuah bayangan orang menyergap keluar dari kegelapan, melesat menuju Gu Meidi.
"Mencari maut!" Gu Meidi membentak dingin. Ia mengangkat tangan kiri, kilau emas berkerlip di telapak tangan saat Panah Dewa Naga muncul di udara. Tanpa basa-basi, lengan kanannya menarik tali busur dengan sikap gagah, melesatkan sebuah panah yang menghujam ke arah sang pendatang.
Panah Dewa Naga berpendar cahaya keemasan yang menyilaukan, menembus udara dengan suara desisan tajam.
Hatiku berdebar. Dari situasi yang terlihat, tujuan Gu Meidi ke Tebing Terputus bukan untuk memetik obat atau ritual persembahan, melainkan untuk bertarung! Rupanya ia sudah mempersiapkan diri, menanti kemunculan makhluk aneh ini. Siapakah makhluk misterius ini? Dari mana asalnya? Apakah Gu Meidi telah membuat musuh di Desa Hezi?
Aku bersembunyi di balik batu, bahkan tak berani bernapas. Mataku membelalak mengamati gejolak di arena pertempuran.
Sang pendatang juga seorang ahli. Siluetnya bergerak gesit, menciptakan beberapa bayangan palsu yang menghindari Panah Dewa Naga, mendekati Gu Meidi hingga hanya berjarak tiga meter.
Terlihat orang itu mengenakan jubah hitam panjang, mengibaskan lengan bajunya dan seberkas cahaya hijau pekat kembali melesat tanpa ampun.
Gu Meidi menjejakkan ujung kaki ke tanah, melayang mundur secepat kilat sambil melukis beberapa lingkaran cahaya dengan Panah Dewa Naga di depannya, menghancurkan berkas sinar itu menjadi serpihan.
Sambil memutar tubuhnya dengan lentur, bagian atas badan Gu Meidi berputar 45 derajat. Satu panah melesat bagai meteor menyambar bulan menuju leher si jubah hitam.
Panah Dewa Naga berubah menjadi kilau emas, kecepatannya melebihi kilat. Orang biasa sama sekali tak bisa menghindar, bahkan tak sempat bereaksi.
Jelas terlihat, si jubah hitam itu bukan orang biasa, melainkan ahli di antara para ahli.
Aku sendiri tak yakin bisa 100% menghindari panah ini. Tapi si jubah hitam ternyata berhasil! Gerakannya melayang tak menentu seperti hantu, tubuhnya bergoyang-goyang dengan posisi sangat aneh - lebih tepatnya dengan postur yang tak wajar secara manusiawi - berhasil mengelak dari panah maut itu.
Penglihatanku cukup tajam, sehingga hampir seluruh proses ini kusaksikan dengan jelas.
Leher si jubah hitam itu secara paksa bergeser ke kiri lebih dari setengah inci, tulang lehernya seolah bergeser. Bagi orang biasa, ini pasti sudah fatal. Tepat di jarak setengah inci itu, ia nyaris terhindar. Begitu Panah Dewa Naga melintas, tulang lehernya langsung kembali ke posisi semula. Ilmu bela diri serupa hantu dan sehebat ini, baru pertama kali kusaksikan seumur hidupku.
Aku diam-diam terkejut, sebelumnya sosok paling hebat yang pernah kulihat adalah Gu Meidi. Rupanya, Gu Meidi belum tentu bisa mengalahkan orang berjubah hitam ini. Semula kupikir pertempuran mempertaruhkan nyawa seperti ini pasti akan berlanjut menjadi pertempuran sengit yang menggegerkan. Saat sedang berpikir apakah harus muncul membantu Gu Meidi, tiba-tiba kedua orang itu berhenti bertarung. Mereka berdiri berhadapan dalam jarak lima enam meter, bagai dua patung yang membeku.
Aku sedikit tertegun, penampilan mereka berdua saat ini benar-benar di luar perkiraanku.
Gu Meidi mengangkat Panah Dewa Naga-nya, sementara lengan panjang orang berjubah hitam itu pun berhenti berkibar. Keduanya bagai tiang kayu yang saling berhadapan dengan muka dingin.
Sepertinya mereka sedang berbicara, tapi karena jarakku terlalu jauh, suaranya tak jelas kudengar.
Melihat sekeliling, kuputuskan untuk merangkak diam-diam menyusuri tebing batu mendekati mereka, ingin mendengar percakapan mereka.
Sekarang seratus ribu rasa penasaranku berkecamuk, harus kuselidiki rahasia-rahasia tentang Gu Meidi sampai tuntas.
Seandainya aku tak peduli pada Gu Meidi, atau sama sekali tak punya perasaan padanya, biarlah rahasia sebesar langit pun tak jadi urusanku. Tapi Gu Meidi adalah orang yang kucintai. Banyak hal harus kujelaskan, karena kini kusadari: terhadap pasangan di sampingku ini masih terlalu banyak yang tak kuketahui. Bahkan kadang aku tak tahu, rupanya Gu Meidi ini termasuk orang baik atau jahat.
Aku menyelinap ke tepi jurang, membalikkan badan di tepian dengan tangan kosong seperti cicak yang menempel di tebing, lalu merayap dengan hati-hati menyusuri tebing gunung menuju tempat Gu Meidi dan kawanannya berada.
Arus sungai mengaum ganas di bawahku, menghantam tebing dengan gemuruh dahsyat hingga percikan air yang dingin membasahi tubuhku.
Kutahan napasku sambil bergantung di tebing batu. Dari posisi ini, dialog mereka sudah bisa kudengar jelas.
Saat itu awan di langit mulai menyebar, membiarkan cahaya bulan perak yang dingin menyinari Jurang Naga Terputus, menciptakan nuansa melankolis dan kesuraman.
Suara androgini itu tiba-tiba membentak: "Gu Meidi, kau pengkhianat!"
Gu Meidi menjawab dingin: "Siluman, jagalah tuturmu! Menentang atasan bisa kubuatkan hukuman mati untukmu!"
"Cekikikan!" Siluman itu menyeringai: "Bukannya kau yang memberontak? Sudah berbulan-bulan tak hanya gagal menyelesaikan misi, malah terlibat hubungan tidak jelas dengan si nak marga Tuoba. Kau jatuh cinta ya?"
Jantungku berdebar kencang. Si nak marga Tuoba? Bukannya aku? Siapa gerangan siluman ini? Bagaimana dia mengenaliku? Dari percakapan mereka, siluman ini sekutu Gu Meidi. Misi apa yang mereka bicarakan? Apakah misi itu menyasariku?
Pada saat ini, hatiku sangat rumit, naik turun tak karuan. Aku membusungkan telinga menyiapkan seluruh perhatian. Di satu sisi ingin mendengar perasaan Gu Meidi terhadapku, di sisi lain takut mendengar fakta kejam yang tak ingin kudengar.
"Aku... tak..." Gu Meidi terdiam sejenak, menyangkal perasaannya padaku.
Jantungku tiba-tiba terasa berat. Sebuah kepedihan yang tak terungkap mulai berakar di kedalaman hati, seperti tanaman rambat yang merambat cepat memenuhi seluruh ruang jantungku.
"Tak ada? Hehe!" Siluman itu tertawa meremehkan: "Kau bisa bohongi orang lain, tapi tak bisa menipuku. Selama dua tahun bersama dia, hampir saja kau lupa identitasmu. Untuk menyelamatkannya, kau sampai mengorbankan Luhundan milikmu. Masih berani menyangkal?"
Menyelamatkanku?!
Luhundan?!
Apa sebenarnya yang mereka bicarakan? Mengapa aku tak bisa memahami?
Gu Meidi bergumam kesal: "Dasar idiot kau! Berani-beraninya bicara! Kau ingin membunuhnya? Jika Tuoba Gu mati, bagaimana kami bisa menyelesaikan misi? Demi tugas, tentu aku harus melindunginya sekuat tenaga!"
Seperti semangkuk air dingin tumpah ke kepala. Seluruh tubuhku membeku hingga ke jantung, dada terasa hendak pecah.
Sepanjang perjalanan, tak terhitung kali Gu Meidi berkorban untukku. Aku sangat tersentuh. Tak disangka semua itu ternyata ada tujuannya. Perlindungan habis-habisan darinya hanyalah untuk menyelesaikan misi. Aku yang awalnya mengira ini... tanda bahwa ia mencintaiku...
Hehe, aku benar-benar si bodoh besar! Aku adalah si bodoh terbesar di dunia yang terlalu mengkhayal! Aku adalah tipe orang bodoh yang malah membantu menghitung uang saat dijual oleh orang lain!
Pengkhianatan? Penipuan? Keputusasaan? Ternyata dimanfaatkan dan dijual oleh orang yang paling kupercaya dan kucintai, sungguh menyakitkan!
Siluman berkata dengan nada dingin: "Aku melakukan sesuatu ada batasnya, aku takkan membiarkannya mati. Justru kau, aduh, lihat betapa kau mengkhawatirkannya. Aku cuma menaruh Jincan Gu padanya, kau sudah panik seperti ini, bahkan rela menggunakan pil roh rusa untuk menyelamatkannya, sampai berani melawanku..."
Jincan Gu?!
Aku tiba-tiba gemetar, aku kena Jincan Gu?
"Diam kau!" Gu Meidi membentak keras: "Jincan Gu di kakek Tuoba Gu, apa juga kau yang menaruhnya?"
Siluman tertawa sinis: "Kau sudah lama tahu, buat apa bertanya lagi?"
Gemuruh!
Seperti petir menyambar ubun-ubunku, aku langsung membeku bagai patung kayu.
Orang berjubah hitam ini ternyata adalah pembunuh kakek!
Mengapa dia melakukan ini?
Mengapa setelah menyakiti kakek, dia kini menyasariku?
Rupanya Gu Meidi sudah lama tahu siapa pelakunya, tapi sama sekali tidak memberitahuku!
“Jariku mencengkeram celah-celah batu dengan kasar, darah segar mengalir keluar, tapi aku tak peduli. Dalam pupilku adalah api kemarahan yang membara, buku-buku jari berderak krek-krek. Ada dorongan kuat di hatiku untuk membunuh. Pembunuh yang meracuni Kakek tua ada di depan mata. Aku harus membalas dendam untuk Kakek! Aku pasti akan membalas dendam untuk Kakek!”
Aku melonjak naik setinggi satu chi, tiba-tiba berhenti di tengah gerakan.
Aku tak bisa sembarangan menerjang keluar. Meski bisa membunuh siluman untuk membalas dendam Kakek, aku tetap tak bisa memahami tujuan sebenarnya mereka.
Kuhela napas dalam-dalam tiga kali, berusaha meredakan hati yang bergetar, memaksakan diri untuk tetap tenang.
Lalu aku tetap menempel di tebing tanpa bersuara, terus menyimak dialog mereka.
