"Hng, keangkuhan!"
Sudut bibir siluman sedikit berkerenyit, memancarkan ekspresi merendahkan yang ekstrem. Dia sama sekali tidak menganggapku berarti.
Ekspresi siluman itu kembali memancing kemarahanku. Kukepalkan tinju besi, mengumpulkan sepenuh kekuatan dalam sekejap. Meski tanpa Tianxie Qiang di tangan, pukulanku sanggup membelah gunung dan memecahkan batu, dengan mudah menghancurkan kepala siluman itu.
Tinjuku melesat mendekati siluman, hembusan angin dari pukulan itu menyobek udara.
Mungkin siluman itu sampai beku ketakutan, atau tak sempat bereaksi. Dia berdiam seperti tiang kayu, tak bergerak sedikitpun.
Seolah sudah kulihat kepala siluman itu meledak bak semangka, percikan darah bercampur cairan otak putih beterbangan.
"Kakek tua, Xiao Gu telah membalas dendam untukmu!" bisik hatiku dalam diam.
Tapi, rupanya aku terlalu cepat bergembira.
Dan salah menilai kemampuan siluman itu.
Siluman itu bukan takut atau lambat bereaksi, tapi sengaja tak mau memberikan respons apapun.
Tiba-tiba bayangan hitam berkelebat di depan mata. Raga fisik siluman itu ternyata berubah menjadi gumpalan asap hitam, menghilang tanpa jejak.
Tinjuku melayang masuk ke dalam asap hitam itu, ternyata hanya memukul udara kosong.
Sepenuh kekuatan yang kulepaskan ke udara kosong memicu ledakan bak suara petasan, priiiit-praaaak!
Aku kaget, menengadah melihat sekeliling. Saat itu aku baru menyadari asap hitam pekat berkeliaran di sekitar, asap hitam itu seperti tinta kental yang tak bisa larut. Aku terbungkus dalam tinta itu, tak bisa melihat apa pun meski meraba-raba.
"Siluman! Kau di mana? Beraninya kau keluar! Bermain trik kotor macam ini, pantaskah disebut heroik?!" Aku berteriak sambil memaki-maki, sambil diam-diam mengangkat tinju melindungi dada, bersiap untuk bertahan.
Tiba-tiba angin siluman berhembus kencang di sekeliling, menderu seperti lolongan serigala, tapi siluman itu tetap tak terlihat.
Secara tiba-tiba, kilau emas menembus kegelapan. Sebuah Panah Dewa Naga menembus kabut hitam, cahaya keemasannya seketika menyinari posisi persembunyian siluman.
Bersamaan dengan menyalanya cahaya emas, aku terkejut melihat siluman ternyata sudah berdiri tepat di hadapanku. Tangannya yang seperti tulang kering menjulur, hendak meraih leherku.
Cahaya emas yang tiba-tiba muncul membuat siluman tertegun sejenak. Hampir secara instingtif, aku langsung menghujamkan tinju.
Siluman menginjakkan ujung kakinya, melayang mundur. Bersamaan itu, dua lengan bajunya yang hitam berkibar-kibar seperti dua bunga Datura hitam yang mekar mendadak.
Reaksiku cepat, reaksi siluman pun tak kalah. Tinjuku tak menyentuh tubuhnya, hanya hembusan angin pukulan yang menyapu dadanya. Tapi aku yakin ini membuat peredaran darah dan energinya bergolak cukup lama.
Melihat siluman mundur kalang-kabut, aku memutuskan mengejar dalam kemenangan, tubuhku berkelebat, melangkah maju satu langkah, tinjuku menerobos lengan baju yang berkibar-kibar.
Di saat itu, kedua lengan baju hitam yang berputar dan berkibar tiba-tiba berubah menjadi dua ekor ular piton raksasa yang menari-nari di udara, badan ular berkelok-kelok, melontarkan jejak "S" di udara, Swis! langsung membelit lenganku.
Aku langsung merasakan dingin yang menusuk tulang sumsum menyebar dari bahu ke seluruh tubuhku.
Ular raksasa itu melilit lenganku, cepat-cepat melingkari naik ke atas, lalu Wuuk! membuka mulut berdarah lebar-lebar. Kepala ular yang buruk rupa bergoyang-goyang tak karuan, lidah merah menyala berkelebat bagai kilat, taring tajam memancarkan cahaya pucat tulang putih, Awwuuu! menggigit ke arah bahuku.
Seluruh tubuhku dipenuhi ketakutan, seolah jatuh ke gudang es, untuk sesaat aku benar-benar lupa untuk bergerak.
Saat ini, aku tak bisa bergerak karena ular raksasa ini melilitku mati-matian.
Memandang mulut ular yang menderu turun, aku putus asa menutup mata, dalam hati berpikir lengan ini hari ini pasti jadi pesan terakhirku.
Di saat genting ini, sebatang Panah Dewa Naga menderu datang, Swis! menembus kepala ular piton itu.
Segumpal asap hitam beterbangan, ular raksasa yang tadi masih ganas bagaikan setan, seketika berubah kembali menjadi lengan baju hitam. Pada lubang lengan tersisa sebuah lubang tembus Panah Dewa Naga, anehnya bahkan masih mengeluarkan darah yang menetes keluar.
"Siluman brengsek-brengsek mundur beberapa langkah, menunjuk Gu Meidi yang tak jauh dan memaki: 'Brengsek! Kau berkali-kali membantu Tuoba Gu menyergapku, pengkhianat! Kau malah membela keluarga Tuoba, aku pasti akan melaporkan ke Dewan Sembilan Tetua, tunggu saja hukumannya!'"
Gu Meidi berkata: "Meski kau laporkan ke Dewan Sembilan Tetua, aku tetap harus lakukan ini. Misi kita belum selesai, aku tak izinkan kau menyakitinya!"
Siluman mendesah dingin: "Jangan banyak bicara! Kau anggap aku anak tiga tahun? Tanya hati nuranimu, benarkah kau menyelamatkannya demi misi? Hng, kurasa kau jelas-jelas melindunginya! Berhentilah bersikap kaku, jangan lupa identitasmu! Serahkan dia, aku tak akan sakiti sebelum misi selesai!"
"Bukankah tadi kau hendak menyakitinya? Bagaimana jika dia mati? Misi kita bagaimana? Tidak! Dengan sifat kejammu, aku takkan menyerahkannya!" kata Gu Meidi.
"Hng! Tadi aku cuma ingin memberinya pelajaran. Aku hitung sampai tiga, cepat serahkan!" Siluman melangkah maju, mengacungkan jari: "Satu!"
Gu Meidi menyingkir menghalang di depanku, matanya menyorotkan permusuhan: "Kubilang tidak berarti tidak! Aku tak pernah mengakui statusmu sebagai Utusan Suci. Sampai sekarang, akulah Utusan Suci yang menentukan arah misi ini!"
"Minggir!"
"Minggir!"
Kalimat pertama diucapkan siluman.
Kalimat kedua kubicarakan sendiri.
Aku berbicara sangat keras, hampir seperti mengaum. Aku tidak pernah menggunakan nada kasar seperti ini kepada Gu Meidi sebelumnya.
Tubuh mungil Gu Meidi jelas-jelas bergetar. Ia berbalik tiba-tiba, menatapku dengan tatapan kosong: "Tuoba Gu, kau..."
"Aku menyuruhmu minggir!" Aku menatap dingin matanya. Tiba-tiba pupil matanya terasa dipenuhi kejahatan, tipu muslihat, dan pengkhianatan.
"Tidak! Aku takkan izinkan siapa pun menyakitimu!" Gu Meidi menyangga tatapanku, dada dibusungkan, berkata dengan tegas.
"Hehe!" Aku tertawa, tawa dingin yang menyayat hati: "Kau tak ingin orang lain menyakitiku? Atau tak rela jasa-jasamu direbut? Setelah lama bersembunyi di sampingku, kau rela menyerahkan prestasi ini begitu saja? Pasti tak rela, kan?"
Sebenarnya hatiku tak ingin mengucapkan ini. Tapi entah mengapa, melihat kilau di mata Gu Meidi, dadaku sesak seperti ditusuk pisau. Kata-kata yang keluar menjadi kejam tak berperasaan.
Tubuh Gu Meidi kembali bergetar, kali ini gemetar hebat.
Matanya membelalak, wajahnya menunjukkan ekspresi seperti melihat orang asing: "Tuoba Gu, apa maksudmu? Di hatimu, beginikah caramu memandangku?"
“Benar! Begitulah caraku memandangmu! Aku benar-benar membenci diri sendiri yang buta mata, sebelumnya bagaimana bisa tidak menyadari tipu dayamu!” kataku dengan penuh kebencian.
Aku juga tidak tahu mengapa bisa mengucapkan kata-kata melukai seperti ini. Yang kuketahui hanyalah ada aliran kemarahan di hati, tapi tak tahu cara melampiaskannya, akhirnya semua berubah menjadi ucapan jahat, setiap kata bagai jarum, bahkan kupun merasa nyaring menusuk telinga saat mendengarnya sendiri. Aku bukanlah orang yang kasar sejak dulu, entah mengapa kini bisa mengeluarkan perkataan seperti ini. Rasanya diriku saat ini membuatku sendiri merasa asing.
Wajah Gu Meidi memucat, tubuh anggunnya bergetar hebat, limbung mundur dua langkah.
Rambut panjangnya terurai, cahaya bulan menyinari wajahnya yang dipenuhi kesedihan dan kesepian.
Kulihat di sudut matanya, ternyata ada sesuatu yang berkilau seperti kristal.
Jantungku tersayat pedih, sakitnya hampir membuatku menitikkan air mata, tapi kutahan, kutahan mati-matian.
Perempuan di hadapanku ini, tak pantas lagi kutungisi!
Dalam hati kuberi diri sendiri peringatan keras.
“Dengar? Masih saja berdiri kaku di situ? Minggir! Mengganggu! Ingat identitasmu, kau tak boleh mencintainya! Tapi mencintainya pun percuma, karena orang lain tak mencintaimu, haha, orang lain tak mencintaimu!” Siluman tertawa gembira, tawanya penuh ejekan.
"Diam!" Gu Meidi mengangkat kepalanya, rambut panjangnya berkibar-kibar, menatap siluman sambil berkata satu per satu dengan penekanan: "Aku tidak mencintainya. Jika kau berani mengucapkan satu kata lagi, akan kupotong lidahmu!"
Aku sama sekali belum pernah melihat ekspresi Gu Meidi yang begitu beringas sebelumnya, hatiku tiba-tiba berdesir ketakutan.
Aku juga tak tahu mengapa, diriku sendiri ternyata merasa takut melihat kemurkaan Gu Meidi.
Ekspresi marahnya bukanlah kebengisan atau keganasan, melainkan wajah tanpa ekspresi.
Namun di balik ketiadaan ekspresi itu, tersembunyi suatu horor yang tak terungkapkan dengan kata-kata, yang mampu dengan mudah membuat siapapun merasakan ketakutan.
Maka, bukan hanya aku yang merasakan ketakutan ini, bahkan siluman yang biasanya sombong sekalipun ikut merasakannya, hingga tanpa sadar menutup mulutnya rapat-rapat, terdiam tanpa berani mengucapkan sepatah kata pun.
Gu Meidi memutar badan menatapku, wajahnya dipenuhi ekspresi penuh luka hati: "Di hatimu, apakah aku benar-benar seorang penjahat?"
Sejujurnya, aku tidak terlalu membenci Gu Meidi. Aku juga tak tahu harus membenci siapa, atau harus marah kepada siapa. Mungkin pada diriku sendiri, karena tak mau dipermainkan seperti orang bodoh. Kukira diriku sudah cukup kuat, namun fakta memberiku tamparan keras. Ternyata aku hanya bidak catur di papan permainan orang lain. Perasaan ini membuatku sangat tersiksa.
"Sebenarnya aku tak merasa Gu Meidi orang jahat, setidaknya dibanding siluman jahat seperti itu, dia bahkan bisa dibilang malaikat. Meski dalam hati tak berpikir demikian, tapi ucapan yang keluar tetap pedas: 'Masih perlu ditanya? Kau tentu orang jahat! Wanita jahat yang keji!'"
Usai mengucapkan itu, dalam hati aku menampar diri sendiri keras-keras.
Saat menyakiti Gu Meidi, apakah aku juga termasuk orang jahat?
"Wanita keji?! Aku wanita keji?!" Gu Meidi menunduk bergumam, ekspresi hancur hatinya membuat siapa pun yang melihat ikut remuk.
Hatiku remuk berkeping-keping seperti serpihan kaca berdarah yang berserakan, masih ada bekas merah darah di atasnya.
Siluman itu menyilangkan lengan dengan penasaran, seolah menyaksikan pasangan bertengkar: "Sudah cukup kalian ribut?"
Setelah bertanya, dia menoleh ke Gu Meidi: "Hei! Jangan rendahkan diri seperti sampah, memalukan suku kita! Pria tak berarti si miskin itu, pantaskah kau berbuat begitu?"
"Tak pantas! Sungguh tak pantas! Aku menyesal!" Gu Meidi tiba-tiba angkat kepala, raut wajahnya berubah dingin membeku.
Sebelum sempat bereaksi, Gu Meidi tiba-tiba melangkah maju, kedua tangan menghantam dadaku dengan kekuatan penuh.
Aduh!
Aku terkejut, tak menyangka Gu Meidi tiba-tiba menyerangku. Dada terasa seperti dipukul benda berat, tubuhku terlempar ke belakang melayang di udara, keluar dari Tebing Naga Terputus, bagai layang-layang putus tali yang menderu jatuh ke arus deras Sungai Kuning.
Mengapa?
Ini semua mengapa?
Tak percaya, otakku kosong membeku.
Saat mata terpejam sejenak, kulihat bayangan manusia melompat mengikutiku ke jurang.
