Esok harinya, aku terbangun dengan kepala berdenyut-denyut.
Cuaca di luar bagus. Aku terduduk lesu di depan pintu, bingung tak tahu harus berbuat apa.
Kuracik secangkir teh untuk meredakan mabuk.
Mengenai kejadian semalam, yang kurasakan bukan penyesalan, melainkan trauma pasca kejadian yang terus menerpa.
Andaikan semalam aku benar-benar mengambil Li Zi, lalu apa yang harus kulakukan setelahnya?
Hatiku masih belum bisa melepaskan Gu Meidi. Memaksakan diri bersama Li Zi seperti ini sungguh tak adil baginya.
Aku tak ingin menyakiti Li Zi.
Sejujurnya, masih ada secercah khayalan tentang Gu Meidi dalam diriku, meski hanya sekadar ilusi.
Pintu gerbang terdorong, seorang lelaki beruban masuk.
"Paman Li?" Jantungku berdebar kencang. Aku buru-buru berdiri, jantung kecilku tak henti berdegup.
Paman Li adalah ayah Li Zi. Kenapa dia tiba-tiba datang? Apa... apa dia sudah tahu kejadian semalam?
Jantungku semakin panik, meski aku tidak melakukan apa-apa pada Li Zi, tapi tetap ada rasa bersalah di hati, seolah aku adalah penjahat. Di desa dengan pemikiran feodal seperti ini, andaikan orang tua keluarga Li tahu perbuatanku terhadap Li Zi kemarin, konsekuensinya akan sangat mengerikan.
"Paman Lao Li, kenapa kau datang? Cepat masuk dan duduk, kubuatkan teh untukmu!" Ekspresi wajahku memaksakan senyuman kaku.
"Tak perlu, aku cuma mau ngobrol sebentar!" Paman Lao Li melambaikan tangan, menyodorkan sebatang rokok padaku.
Diam-diam kuperhatikan ekspresi Paman Lao Li sambil gemetar ketakutan menerima rokok itu.
Dari raut wajahnya, tak terlihat maksud menghukumku. Perlahan hati mulai tenang.
Paman Lao Li menyalakan rokok: "Langsung ke pokok persoalan, aku orang yang tanpa basa-basi. Menurutmu, bagaimana putriku?"
"Ha?!" Aku tertegun sebentar, tak mengerti maksud kedatangannya. Dengan canggung kuucap: "Paman, kenapa... kenapa tiba-tiba menyinggung hal ini?"
Paman Lao Li menghembuskan lingkaran asap: "Jawab, bagaimana pendapatmu tentang putriku?"
"Cukup... cukup baik..." Pipiku memerah, bayangan dada putih lembut Li Zi dan betis jenjangnya muncul di depan mata.
"Cukup baik? Putriku cuma cukup baik?" Jawabanku jelas tak memuaskan Paman Lao Li.
"Tentu saja aku bisa menangkap makna dalam ucapan Paman Li!" Aku segera membenahi ucapanku: "Cantik! Sangat cantik! Lagipula hatinya baik, seorang suster, benar-benar gadis yang baik!"
Barulah Paman Li menunjukkan senyuman puas: "Nah! Putriku ini di desa dalam radius puluhan kilometer juga terkenal sebagai calon kecantikan! Jujur kubilang, sejak Lizi kembali ke Desa Hezi, setiap hari orang berduyun-duyun datang melamar, hampir saja menginjak-injak ambang pintu rumah kami sampai rusak. Banyak di antaranya orang kaya dan pejabat, tapi putriku ini terlalu tinggi hati, tak satu pun yang dianggapnya layak. Semua perantara dan pelamar ditolaknya. Kau tahu mengapa?"
Paman Li menyipitkan matanya memandangiku.
Jantungku berdebar kencang. Kurasakan ada maksud tersembunyi dalam ucapan Paman Li. Tentu saja aku tahu jawabannya, tapi mana mungkin kuungkapkan? Aku hanya bisa pura-pura tidak tahu: "Oh, Lizi memang cantik, pekerjaannya bagus, pasti akan memilih pria baik dengan teliti!"
"Heihei!" Paman Li tertawa: "Aku juga tak tahu kau ini benar-benar bodoh atau pura-pura. Tidakkah kau sadar putriku Lizi menyukaimu?"
"Aku..." Kujilat bibirku gugup: "Paman sedang bercanda. Itu kan urusan masa kecil, tak bisa dianggap serius..."
Paman Li menghela napas: "Dulu, aku juga selalu mengira sifat kekanak-kanakan Lizi itu tidak serius. Siapa sangka anak ini ternyata tulus padamu, sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu, tetap masih menyukaimu. Perasaannya tak pernah berubah. Seorang gadis bisa menyukaimu sejak usia beberapa tahun hingga dua puluh tahun, sejujurnya, ketulusan ini membuat semua orang kagum!"
Wajahku memerah padam, tak tahu harus berkata apa.
"Lizi datang mencarimu lagi tadi malam, kan?" tanya Paman Li.
Hati kecilku berdebar kencang, Ya Ibu, jangan-jangan ini inti permasalahannya?
Biarlah, bagaimanapun juga, aku memang tak melakukan apa-apa pada Lizi.
"Benar! Lizi memang datang ke tempatku tadi malam, tapi Paman, dengarkan penjelasanku..."
Aku hendak menjelaskan kejadian semalam, tapi Paman Li tiba-tiba melambaikan tangan: "Putriku pulang larut malam, pasti habis mencarimu! Mereka malah berbohong bilang lembur di puskesmas! Kau tak perlu menjelaskan apapun, urusan kalian anak muda biar kalian yang atur, kami tak akan ikut campur!"
Sial!
Kuhela napas lega, rupanya cuma ini masalahnya. Aku hampir saja mengaku bersalah seperti orang bodoh.
"Terlihat jelas, anak perempuanku sangat menyukaimu! Sebenarnya, kami keluarga Li cukup menyukaimu. Nak, kau memang tampak cerdas, lagi pula seorang mahasiswa berprestasi. Anakku bisa memilihmu, itu memang pilihan yang tepat. Aku datang hari ini ingin memberitahumu, jangan kecewakan anakku. Usiaku sudah senja, hanya punya satu anak perempuan ini. Kuharap di sisa umurku bisa melihatnya bahagia. Tentu saja, lebih baik lagi jika bisa menggendong cucu gemuk! Hahaha!" Paman Li menepuk-nepuk bahuku dengan keras, seolah sedang memberikan misi revolusi yang berat.
Dari nada bicara Paman Li, sepertinya dia sudah menganggapku sebagai menantunya. Sekarang aku serasa terjepit, mau menyetujui bukan, menolak pun bukan. Kok rasanya seperti menunggang harimau sulit turun?
Paman Li... Paman Li... Andai kemarin malam di saat krusial aku tidak bisa mengendalikan diri, mungkin keinginanmu punya cucu gemuk akan segera terwujud.
"Kak Xiao Gu!"
Baru saja menyebut Cao Cao, Cao Cao pun datang. Li Zi berlari kecil menuju pintu gerbang rumah.
Kulihat sepasang "kelinci putih" yang bergoyang di dada Li Zi. Wajahku memerah, sampai tak berani menatap langsung.
"Hmm? Ayah, kenapa Bapak di sini?" Li Zi memandang Paman Li dengan takjub.
"Oh? Aku baru cari Paman Kedua main catur, lewat sini sekalian ngobrol bentar sama Xiao Gu!" Paman Li cukup lihai, dengan beberapa kalimat langsung bisa ngeles: "Ngomong-ngomong, sekarang kan jam kerja? Kenapa kau nggak di puskesmas malah cari Xiao Gu? Kalian anak muda pacaran saya nggak larang, tapi jangan sampai urusan asmara ganggu kerja..."
"Ayah, ngomong apa sih!" Li Zi memerah muka: "Aku... aku kan nggak pacaran sama Kak Xiao Gu..."
"Ayah ngomong sembarangan?" Paman Li mengangkat alis: "Kalau gitu jelasin, jam kerja begini ngapain kau cari Xiao Gu?"
"Aku ada urusan sama Kak Xiao Gu!" Li Zi mengelap keringat halus di pipinya: "Kak Xiao Gu, katanya dulu kamu pernah menyembuhkan penyakit aneh istri Kak Da Niu ya?"
"Iya! Da Niu yang bilang?" Aku mengerutkan kening, dalam hati kesal Da Niu si mulut besar ini, padahal sudah dibilangin jangan bocorin.
"Betul!" Kata Li Zi: "Kak Xiao Gu, tolong ikut aku ke puskesmas yuk! Dua hari ini entah kenapa banyak warga yang sakit!"
Paman Li berkata: "Ini memang aneh. Xiao Gu kan bukan dokter, kalau warga sakit harusnya ke dokter, ngapain cari dia?"
Li Zi menjawab: "Ayah nggak tahu, penyakit mereka bukan sakit biasa, tapi semacam penyakit aneh!"
Dadaku berdebar: "Penyakit aneh? Penyakit apa?"
"Gejalanya mirip dengan kondisi Kak Tingting sebelumnya, semua perut mereka mengembang besar, disertai muntah dan diare, tapi perut tak kunjung kempes. Kami sudah memeriksa warga desa tapi tak menemukan kelainan apa pun. Desa sudah melaporkan ke rumah sakit di kota. Aku ingat Kak Xiao Gu berhasil menyembuhkan penyakit aneh Kak Tingting waktu itu, makanya aku sengaja datang mencari Kak Xiao Gu untuk memeriksanya, siapa tahu bisa menemukan solusi!"
"Pasiennya dari kalangan mana saja?" aku mengernyitkan alis bertanya.
"Semua kalangan! Orang dewasa, anak kecil, laki-laki, perempuan, ada semua! Sudah lebih dari sepuluh orang yang datang dengan gejala persis sama!" kata Li Zi panik.
"Ini memang aneh. Cepat antarkan aku ke puskesmas!" Sekarang aku tak berani melanjutkan obrolan dengan Paman Lao Li. Karena Li Zi memintaku menangani kasus ini, kucari alasan untuk pergi.
Saat pergi, Paman Lao Li masih menyipitkan matanya padaku: "Xiao Gu, urusan yang kubicarakan tadi, kau harus buru-buru pertimbangkan!"
Di perjalanan, Li Zi bertanya: "Kak Xiao Gu, apa yang Ayahku bicarakan tadi? Mau kau pertimbangkan apa?"
Aku tersenyum: "Biasa saja!"
"Mustahil! Pasti ada sesuatu! Dia datang membicarakan apa?" desak Li Zi.
Mana mungkin kuceritakan pada Li Zi. Kubenar-benar menyangkal: "Benar tidak ada! Sungguh! Hanya obrolan biasa!"
"Li Zi mendengus: \"Bahkan jika kau tidak mengatakannya, aku tahu pasti Ayahku sudah berbicara denganmu tentang kita!\""
Aku tidak bersuara, sama saja dengan membenarkan secara diam-diam.
"Kak Xiao Gu, aku tidak akan memaksamu. Sudah kukatakan akan menunggumu! Dan harap jangan salah paham, tindakan Ayahku hari ini murni keinginannya sendiri, bukan kusuruh dia datang! Aku bersumpah!" Li Zi mengangkat tangan mungilnya dengan serius.
"Nona kecil bodoh! Tentu saja aku percaya padamu!" Kuulurkan tangan mengusap pelengkung hidung Li Zi dengan lembut: "Cepat pergi!"
Sebelum sempat memasuki puskesmas, kami melihat seorang warga desa yang dikenal sedang ditopang keluarganya bergegas masuk.
"Kakek Li Kedua, ada apa ini?" tanyaku.
Terlihat perutnya membesar seperti bola, menggembung tinggi hingga hampir merobek bajunya, mirip ibu hamil sepuluh bulan, tampak sangat menggelikan.
Wajah Kakek Li memerah dengan urat leher menegang, bahkan napasnya tersengal-sengal, tak bisa bicara sejenak.
Istrinya bercerita: "Entah bagaimana, pagi tadi masih baik-baik saja. Dia makan semangkok besar bubur millet dan dua roti panggang, lalu pergi ke sawah. Tapi siang tiba-tiba dipulangkan orang dalam kondisi begini!"
"Sudah, Tante, jangan banyak bicara. Cepat bawa Kakek Li masuk!" Li Zi segera membantu menopang Kakek Li memasuki puskesmas, aku pun mengikuti.
