Orang bijak adalah yang mengenali situasi!
Itulah pujian Siluman padaku.
Tapi bagi telingaku, pujian itu adalah penghinaan yang menusuk.
Demi nyawa seluruh warga desa, kuterima transaksi dengan setan itu.
Tak kuketahui apa sebenarnya yang ingin dipaksakan Siluman si iblis ini. Tapi sekarang, inilah satu-satunya cara menyelamatkan warga.
Aku bukan orang suci, tapi juga takkan egois mengorbankan nyawa seluruh desa hanya untuk selamatkan diri sendiri.
Bagaimanapun, ini hutang nyawa pad mereka.
Andai bukan karena aku, warga takkan jadi korban ilmu hitam Siluman.
"Siluman melakukan ini semua demi aku."
Dia sosok yang kejam, demi memerasku dengan aman, bahkan tega menyakiti seluruh desa beserta ribuan nyawa manusia.
Jika memungkinkan, aku rela menukar nyawaku sendiri demi keselamatan seluruh warga desa.
Satu nyawa untuk seribu nyawa, meski tak ada yang akan mengingatku.
Andai Kakek tua masih hidup, pasti dia akan mendukung keputusanku, pasti.
"Ayo, kita bersulang!" Siluman dengan gembira mengisi dua cawan arak, menyodorkan satu padaku.
Tanganku gemetar memegang cawan, bukan karena takut, tapi marah.
"Ada masalah?" Siluman menangkap ekspresiku, mengejek: "Loh, masa? Cuma minum arak enakmu satu botol, perlu segitunya?"
"Arak Hua Diao ini, bahkan Kakek semasa hidupnya tak tega meminumnya! Sekarang kau bunuh Kakekku, masih berani minum araknya..." Seluruh tubuhku gemetar geram, tapi tak berdaya. Aku tidak takut mati, ingin bertarung habis-habisan dengan siluman, tapi tak tega meninggalkan seribu lebih warga Desa Hezi.
"Aduh, cuma segelas arak sampai ngamuk-ngamuk! Ayo, mari kita bersulang untuk kerja sama yang baik!" Siluman mengangkat cawannya, meneguk dengan nikmat.
Andai Pak Yang tahu saat ini aku sedang minum di rumah bersama seorang pembunuh, apa reaksinya? Jangan-jangan mengira aku kaki-tangannya?
“Hng!” Siluman meletakkan cawan arak, berkata dengan penuh kepuasan diri: “Gu Meidi memang sangat cerdik, tapi ia tak pernah menyangka bahwa aku akan mengganti strategi! Haha, kali ini aku tidak memberimu ilmu santet, tapi menyantet warga Desa Hezi. Bukankah hasilnya sama saja membuatmu tunduk padaku? Ia bisa menyelamatkanmu sekali, takkan bisa kedua kalinya! Entah apakah sekarang ia menyesal telah menggunakan Pil Roh Rusa untuk menyelamatkanmu?”
“Sebenarnya apa itu Pil Roh Rusa? Apakah sangat berharga?” Sudah berkali-kali kudengar siluman menyebutkan Pil Roh Rusa, dan setiap kali ia berbicara dengan nada penuh penyesalan. Intuisiku mengatakan, pil itu mungkin adalah harta karun yang sangat bernilai.
“Oh? Dasar nak, kau bahkan tidak tahu apa itu Pil Roh Rusa? Gu Meidi tidak memberitahumu?” Siluman terlihat sangat heran.
Aku menggelengkan kepala: “Tidak!”
“Heihei!” Tiba-tiba siluman tertawa: “Tak kusangka ia adalah pejuang kebaikan masa kini yang tak mau disebut jasanya! Sudah, karena ia tidak memberitahumu, aku pun malas menjelaskan. Jika kau masih punya kesempatan bertemu dengannya, tanyakan langsung saja!”
Masihkah aku memiliki kesempatan bertemu Gu Meidi lagi?
Aku tidak tahu!
“Baik! Urusan Pil Roh Rusa tidak usah dibahas! Bisakah kau memberitahuku, sebenarnya kalian ini siapa? Mengapa ingin mengalahkan Keluarga Tuoba kami? Dendam apa yang begitu mendalam antara kita?” Aku menatap tajam mata siluman, berharap ia mau memberikan jawaban.
“Tapi yang sangat mengecewakanku, siluman tidak menjawab pertanyaanku, hanya berkata singkat: ‘Ini rahasia! Aku tak akan memberitahumu! Cekikikan!’”
Tersenyum!
Tersenyum brengsek!
Aku benar-benar ingin menampar wajah selebar 42 inci milik siluman itu.
Siluman itu bersendawa arak, memukul-mukul dadanya dengan puas: “Karena kau sudah membuat transaksi denganku, kau harus patuh pada perjanjian! Kau tahu konsekuensinya jika melanggar! Aku pergi dulu, kau tinggal di rumah beberapa hari ini, tunggu pesan dariku!” Setelah berkata demikian, siluman itu membuka pintu kamar dan melenggang pergi.
“Berdiri!” Aku memanggil siluman: “Lalu bagaimana dengan santet kodok yang menimpa warga desa?”
“Wah! Nak, tajam juga matamu, sampai tahu mereka kena santet kodok!” Siluman itu menyeringai: “Tenang, besok akan kuberi penawar untuk sementara mengendali racun dalam tubuh mereka. Setelah urusan kita selesai, santet kodok dalam tubuh mereka akan kucabut sepenuhnya!”
“Kau harus menepati janji!” Aku menggigit gigi.
“Asal kau patuh pada instruksiku, kujamin warga desa takkan celaka!” Siluman itu melambaikan tangannya padaku, menghilang di pintu gerbang.
“Brengsek!” Kuhempaskan tinju ke pintu kamar, membuat debu di ambang pintu berhamburan.
Tidak menyangka setelah berputar-putar dalam lingkaran besar, akhirnya aku tetap dikendalikan siluman. Tidak hanya itu, nyawa seluruh warga desa pun ikut menjadi taruhan. Andai tahu akan seperti ini, malam itu Gu Meidi seharusnya tidak menyelamatkanku. Tapi ini jelas bukan kesalahan Gu Meidi, bagaimanapun niatnya tulus ingin menolongku, dan dia juga tidak menduga siluman bisa memerasku dengan cara hina seperti ini.
Namun siluman itu menepati janji. Entah cara ajaib apa yang dipakai brengsek itu, keesokan harinya saat menelepon Li Zi, kudengar tak ada pasien berperut besar yang datang berobat. Semua gejala kembung mereka telah hilang. Suara Li Zi di telepon terdengar begitu riang membicarakan hal ini.
Tahu bahwa Li Zi berjaga di puskesmas merawat pasien tanpa henti sejak kemarin, hatiku dipenuhi rasa hormat pada gadis kecil ini. Namun tetap ada rasa iba, kuperingatkan dia agar banyak istirahat dan jangan terlalu memaksakan diri.
Kondisi warga desa mulai stabil, bencana dahsyat di Desa Hezi akhirnya berlalu. Meski cuaca hari ini tak begitu cerah, tapi di mataku mentari tetap bersinar terang.
Pusat Pengendalian Penyakit juga gagal menemukan penyebab wabah ini. Mereka melakukan pemeriksaan disinfeksi menyeluruh di Desa Hezi, tapi tak mendeteksi adanya virus menular. Hanya dalam sehari, status blokir dan isolasi desa pun dicabut. Pasukan bersenjata yang berjaga juga ditarik mundur.
"Desa Hezi akhirnya kembali ke pemandangan semula. Ayam jago berkokok, anjing kuning menggonggong, asap dapur mengepul, menampilkan panorama desa baru yang makmur."
"Melihat warga tidak mengalami cedera serius dan kondisi fisik mereka telah pulih, tali hati yang tegang di dadaku pun mulai mengendur."
"Tim kasus besar pun telah dievakuasi. Kali ini mereka masih gagal menangkap pembunuh, membuat Lao Yang merasa frustrasi. Ternyata selama ini setiap kasus yang ditangani tim kasus besar pasti terpecahkan, namun kini dua kasus beruntun membuat mereka tak berdaya. Sebagai ketua regu, Lao Yang merasa reputasinya ternoda."
"Saat akan pergi, Lao Yang diam-diam mendekatiku: 'Saudara Tuoba, mari sering berhubungan. Kau memang ahli dalam kasus-kasus non-manusia. Mungkin nanti aku akan menemui kasus serupa dan membutuhkan bantuanmu!'"
"Aku tersenyum: 'Pasti! Kalau ada yang perlu bantuanku, langsung bicara saja!'"
"Baru setelah itu Lao Yang menunjukkan senyuman, mengucapkan ribuan terima kasih sebelum pergi."
"Dua hari kemudian, siluman muncul lagi di rumahku seperti hantu penggoda."
"'Siapkan beberapa set pakaian, ikut aku!' kata siluman."
"'Ke mana?' tanyaku."
"Siluman menjawab: 'Tak usah kau tanya, ikuti saja! Ngomong-ngomong, kau bisa mengemudikan perahu?'"
"Aku mengangguk: 'Bisa!'"
"Siluman mengangguk puas: 'Bagus! Sewa sebuah perahu, kita berangkat begadang!'"
"'Malam ini juga?' tanyaku terkejut."
"'Kenapa? Tak tega berpisah dengan suster kecilmu itu?' siluman bertanya sambil tersenyum nakal."
Pipiku sedikit memerah: "Kau mengawasiku?"
Subuh, Li Zi pergi kerja pagi, lewat depan rumah kami sambil membawakan sarapan. Bekal cinta buatannya sendiri, lalu menyuruhku menjemputnya pulang kerja malam ini, mengajakku main bersama. Kupikir orang sudah mengantarkan bekal cinta sampai depan rumah, tak enak hati menolak. Akhirnya kusetujui permintaannya. Tak disangka hal sederhana ini pun terlihat oleh siluman. Sialan siluman ini, keberadaannya mirip hantu! Kusorot siluman itu, gemetar dingin menggelayuti hatiku.
"Cepat kerjakan tugasmu! Aku tunggu di tepi Sungai Kuning!" Siluman itu menyelinap keluar pintu, lenyap tak berjejak.
Dari ucapan siluman tadi, sepertinya kita akan menempuh jarak jauh. Perahu kecil beratap hitam pasti tak memadai. Kukembali ke Rumah Tua mengambil kunci, menghidupkan perahu besi dengan suara tuk-tuk-tuk. Sejak kembali dari Ningxia waktu itu, perahu besi ini belum pernah dipakai. Kubersihkan secara sederhana, menyiapkan solar, bekalan dan air jernih.
Sebelum berangkat, kutelepon Li Zi. Kubuat alasan: Tim arkeologi provinsi menemukan makam kuno, perlu bantuanku segera. Meski sudah keluar dari tim, tak enak menolak permintaan orang. Karena waktunya mendesak, harus berangkat ke Xi'an malam ini. Maaf tak bisa menemani kencan malam ini.
Li Zi menghela napas, terdengar kecewa.
"Ia bertanya berapa lama aku pergi, kujawab mungkin butuh beberapa hari." Saat mengucapkan ini, hatiku terasa sedikit getir. Sebenarnya dalam perjalanan ini aku sendiri tak tahu apakah masih punya nyawa untuk kembali hidup-hidup, mungkin selamanya tak akan bertemu Li Zi lagi.
Li Zi cukup pengertian. Meski agak kecewa, tapi cepat ceria lagi. Ia menyemangatiku untuk bekerja serius, lalu memujiku habis-habisan, sekalian memuji ketepatan pilihannya sendiri.
Setelah mengobrol santai sebentar, aku berpura-pura sibuk lalu menutup telepon.
Langit mulai gelap. Perahu besi berbunyi tuk-tuk-tuk menyusuri jalur kuno Sungai Kuning, membelah ombak yang bergulung-gulung.
Angin malam berhembus. Siluman berbaju hitam berdiri seperti hantu di dek depan kapal.
"Kenapa buru-buru tutup telepon? Tak mau ngobrol lagi dengan kekasih kecilmu?" Siluman itu bersuara penuh senyum.
"Apaan sih!" Balasku kesal. "Lagipula, Li Zi itu sahabatku, bukan kekasih! Jaga mulutmu!"
"Kau memang master pamer! Kiri ada Gu Meidi, kanan Li Zi. Dipeluk kiri-kanan enak ya! Ck, aku tak mengerti. Dari sudut manapun kau ini konyol. Dua wanita itu pintar-pintar. Entah bagian mana yang mereka suka. Jangan-jangan sekarang wanita suka orang bodoh? Sungguh tak bisa dimengerti!" Siluman itu menggeleng melihat permukaan sungai yang hitam pekat.
“Dasar kau yang orang bodoh! Seluruh keluargamu orang bodoh!” Aku memaki dalam hati dengan kebencian.
