"'Gu Meidi! Gu Meidi!'"
"Aku berteriak histeris ke kamar yang kosong, suaraku bergema di ruangan."
"Hatiku tiba-tiba panik. Apakah Gu Meidi pergi? Ke mana dia?"
"Aku buru-buru meletakkan kaldu ayam, tergesa-gesa keluar dari kamar. Baru kulihat pintu gerbang ruang tamu terbuka, dan Gu Meidi sudah tak berjejak."
"'Gu Meidi! Gu Meidi!' Tak sempat mengganti pakaian, aku menerjang keluar rumah."
"Kabut pagi masih belum hilang. Desa Hezi tidak besar tapi juga tak kecil. Aku berlari ke arah pintu desa, kemudian mengitari permukiman. Di jalan kuantar beberapa warga yang beraktivitas pagi, tak ada yang melihat Gu Meidi. Lalu kuteruskan ke tepi Sungai Kuning, bahkan mendaki Tebing Naga Terputus, tetap tak menemukan bayangannya."
"Fakta mengatakan: Gu Meidi telah pergi!"
"Jika dia sengaja menghilang, mustahil bagiku menemukannya."
"Tapi... mengapa dia meninggalkanku?"
"Hatiku sakit sekali."
"Rasanya sepuluh kali, seratus kali lebih menyakitkan daripada kepergiannya yang dulu."
Saat terakhir Gu Meidi meninggalkanku, masih ada sedikit rasa kesal padanya karena telah menipuku. Tapi kali ini, rasanya seperti benar-benar kehilangan pasangan hidup. Ia menyelamatkanku dengan luka di tubuhnya, dan sekarang malah berkhianat pada Jiu Lao Hui. Mereka takkan membiarkannya pergi. Bagaimana jika ia menghadapi bahaya lagi? Mampukah ia menghadapi ini sendirian?
Saat cahaya senja menyapu langit, kutyeret tubuh yang lemas bagai kehilangan roh dan jiwa pulang ke rumah.
Kubuka pintu kamar, berharap Gu Meidi sedang berbaring di tempat tidur lalu berkedip-kedip sambil berkata: "Dasar tolol, aku cuma main petak umpet sama kamu!"
Tapi tidak. Semua itu hanya khayalanku.
Kenyataannya, kamar masih kosong melompong, seprai tempat tidur masih seperti semula.
Sup ayam di meja samping tempat tidur sudah dingin, tak tersentuh sama sekali.
Kutarik napas panjang. Di udara masih terasa aroma Gu Meidi yang samar.
Baru kusadari ada secarik catatan kertas di meja samping tempat tidur. Coretannya sangat kusut tapi tetap anggun, pasti tulisan Gu Meidi. Mungkin ia menulisnya sembari ku sibuk di dapur, ambil kertas dan pulpen di meja seenaknya.
Isinya singkat, hanya beberapa kalimat. Tapi catatan itu terasa sangat berat, bagai ribuan kati menghunjam hingga tanganku gemetar:
"Xiao Gu, aku pergi. Aku tahu perasaanmu padaku, tapi aku sudah berubah menjadi seperti ini sekarang. Aku benar-benar tidak punya keberanian untuk terus bersamamu."
"Mata Sungai sudah ditutup, Sembilan Sesepuh tidak akan mengganggumu lagi. Tapi aku telah mengkhianati Sembilan Sesepuh, mereka takkan membiarkanku. Jika aku bersamamu, hanya akan membuatmu terkontaminasi."
"Sebenarnya aku juga sangat ingin berjalan berpegangan tangan ke ujung dunia bersamamu, tapi aku tidak bisa lagi. Lupakanlah aku! Mungkin di hidup ini kita takkan bertemu lagi!"
"Jangan juga mencari-cari aku, karena kau mustahil menemukanku. Dendam Kakek tua juga jangan kau balas. Kau takkan pernah tahu organisasi mengerikan seperti apa yang sedang kau hadapi."
"Di meja ada Pil Roh Rusa. Giling menjadi bubuk dan larutkan sebagai obat, maka santet kodok warga desa akan sembuh. Maafkan kepergianku tanpa pamit. Jika ada kehidupan berikutnya, aku akan menunggumu!"
Tetes! Tetes!
Butiran air mata besar jatuh menetes di atas kertas surat itu, cepat meresap dan mengaburkan coretan-coretan di atasnya.
"Tolol! Gu Meidi, dasar kau tolol!" Tinjuku perlahan mengepal, menempelkan erat kertas surat itu di dada. Dada ini diterpa hempasan air mata.
Tolol, tahukah kau? Tak peduli kau menjadi tua jelek atau beruban seluruhnya, dalam hatiku kau tetap dewi tercantik!
Tolol, kau mengkhianati organisasi dan alam semesta demi aku, bagaimana bisa disebut mencelakakanku?
Tolol, apakah orang yang pernah saling mencinta bisa melupakan begitu saja? Kau tahu tidak, ramuan Meng Po itu diciptakan untuk memutuskan cinta dan keterikatan umat manusia.
Tolol, seumur hidup terlalu panjang, aku tak bisa menunggu kehidupan berikutnya. Jika di kehidupan nanti wajahmu berubah, rupaku berganti, mampukah kita saling mengenali? Bagaimana jika di kehidupan depan kita hanya bersinggungan? Bagaimana jika kita tetap melewatkannya lagi?
Tolol!
Tolol!
Kau benar-benar tolol kelas kakap!
Di senja ini, air mataku bercucuran bagai hujan lebat, sedih yang tak terucap menggenang di hati.
Selama tiga hari tiga malam Gu Meidi tak sadarkan diri, kutatap wajah setengah tertutupnya, berulang kali bersumpah dalam hati: seumur hidup ini, apapun rintangan yang menghadang, aku akan tetap menemani perempuan ini. Akan kugunakan seluruh nyawa untuk melindunginya. Tapi aku ingkar janji. Tak lagi ada kesempatan melindunginya, menemani langkahnya, apalagi bersamanya melawan seluruh dunia!
Aku tak tahu harus berbuat apa. Seperti anak pengecut, meringkuk di sudut gua sambil menangis pilu.
Bulan sabit gigi serigala, Sang Sang letih lesu
Kuteguk habis angin dan salju dalam cawan
Siapa yang membongkar lemari kehidupan lampau hingga debu kebenaran-salahan beterbangan
Mantra takdir berputar dalam roda reinkarnasi
Alismu mengerut, tangisanmu tak mampu memanggil kembali kecantikan yang sirna
Biarpun sejarah resmi telah menjadi abu
Cintaku takkan padam, megah bagai tiga ribu aliran timur
Kuambil seciduk cinta untuk memahami, hanya kupuja kupu-kupu penjelmaanmu
Rambutmu seputih salju memperindah perpisahan yang pedih
……
Di komputer, lagu Zhou Jielun "Rambut Seperti Salju" terus diputar berulang-ulang. Aku menyeret botol arak dan mabuk berat.
Rambut seputih salju, memperindah perpisahan yang menyakitkan.
Hehe, tak kusangka kisah dalam lagu ini benar-benar terjadi padaku.
Kilasan gambar masa lalu melintas di depan mataku, setiap frame menyisakan bayangan Gu Meidi.
Seperti menonton film singkat namun terasa panjang, aku termangu menyaksikan adegan-adegan ini berganti layar demi layar.
Saat pertama kali Gu Meidi mengikutiku ke Desa Hezi, di stasiun kereta tangannya kugenggam, jantungku berdebar kencang.
Gu Meidi minum arak bersama kakek, mengaku sebagai pacarku. Sang kakek tersenyum lebar menyuruh kami segera menikah.
Bersama Gu Meidi menikmati matahari terbenam di Sungai Kuning, bernyanyi riang di atas perahu.
Bertemu hantu perempuan di hutan huai, rambut panjang Gu Meidi berkibar-kibar, Panah Dewa Naga mengintimidasi gerombolan mayat.
Juga di pagoda terbalik, Gu Meidi dengan sabar menjahit lukaku.
Di Saibeibao, kami berdua bertempur sengit melawan mayat baja perunggu.
Di Kota Iblis, bersama melawan roh jahat sang ratu.
Juga ketika Gu Meidi berduel dengan siluman demi diriku.
Terlalu banyak kenangan. Setelah merenung panjang, baru kusadari Gu Meidi telah memenuhi seluruh relung hidupku.
Tak tahu sudah berapa lama aku terduduk diam. Ketika akhirnya sadar, cahaya fajar telah menembus jendela dan menyinari wajahku. Mataku terasa perih menusuk karena bengkak kemerahan.
Aku bangkit dengan limbung dan melangkah ke kamar mandi.
Cermin di kamar mandi memantulkan wajahku yang kini compang-camping. Hanya semalam, jenggot tumbuh liar seperti rumput gurun. Kedua mataku bengkak seperti buah persik, bola mata cekung dengan lingkaran hitam bak panda. Rambutku acak-acakan seperti sarang burung. Aku termenung lama di depan cermin - benarkah ini wajahku? Bukankah lebih mirip gelandangan di bawah jembatan? Bahkan lebih lesu daripada pengemis kelaparan?
Aku berdiri di bawah shower, menggosok wajahku hingga merah. Setelah mencukur jenggot, meski masih terlihat letih, setidaknya ada sedikit kesegaran. Begadang semalaman membuatku ingin rebah. Tapi aku belum bisa tidur - masih ada misi penting: menyembuhkan ilmu santet warga desa. Ini juga wasiat terakhir Gu Meidi sebelum pergi. Aku harus menuntaskannya untuknya.
Dua hari sebelumnya aku masih khawatir tentang hal ini, siluman yang kami lukai tak tahu kapan akan muncul lagi, bagaimana dengan ilmu santet yang menjangkiti warga desa? Ternyata Gu Meidi juga memikirkan hal ini, sehingga sebelum pergi secara khusus meninggalkan satu butir pil Roh Rusa.
Dulu beberapa kali mendengar siluman menyebut-nyebut pil Roh Rusa, sekarang akhirnya kulihat wujud aslinya.
Itu adalah manik-manik seukuran anggur, permukaannya memancarkan kilau emas samar, terlihat sangat berharga.
Kubawa di telapak tangan, kuhirup aromanya dengan hidung - ada keharuman aneh yang bahkan sekali hirup saja bisa membuat orang segar bugar.
Entah benda pusaka apa sebenarnya pil Roh Rusa ini, ternyata mampu menetralkan segala jenis ilmu santet, benar-benar hebat.
Kugenggam perlahan pil itu, dalam hati berbisik: "Gu Meidi, aku mewakili warga Desa Hezi berterima kasih padamu!"
Masuk ke dapur, kuhaluskan pil Roh Rusa menjadi serbuk, lalu mengelilingi Desa Hezi sambil menaburkan sedikit bubuk ke setiap sumur. Kini warga sudah lupa kejadian ini, mengira penyakit mereka sudah sembuh. Untuk menghindari masalah dan kepanikan yang tidak perlu, kugunakan cara sama seperti ketika siluman menyebarkan santet - menaruh penawarnya di sumur. Setelah minum air sumur, warga akan sembuh total.
Sebagian serbuk kukirim ke Lao Yang dan kawan-kawan dengan pesan harus diminum setelah dicampur air.
Lao Yang heran bertanya padaku: "Bukankah penyakit aneh ini sudah terkendali?"
Kujawab: "Aku tak akan menjelaskan detail alasannya. Kalian semua waktu itu juga minum air sumur Desa Hezi, pasti terkena ilmu santet. Jangan beri tahu siapa-siapa, sembunyikan serbuk ini di dispenser air kantor, biarkan semua orang meminumnya!"
"Oke! Terima kasih Xiao Gu!" Lao Yang terus-menerus mengucapkan terima kasih padaku.
Setelah semua ini selesai, aku pulang ke rumah dan langsung terlelap.
Entah karena kelelahan mental, berbaring di tempat tidur kurasakan dunia berputar, seakan-akan semesta mau terbalik.
Saat Gu Meidi pertama kali pergi, hatiku masih menyimpan harapan. Kuyakin pasti masih ada kesempatan bertemu lagi. Tapi kali ini, hatiku dipenuhi keputusasaan. Secara naluriah kurasakan, mungkin aku dan Gu Meidi benar-benar tak akan bertemu lagi.
Dengan getir kupikir, inikah yang disebut takdir bermain-main dengan manusia?
Aku bermimpi berdiri di sebuah jembatan yang terbuat dari batu hitam. Di bawahnya mengalir sungai darah deras berisi ribuan arwah penasaran yang menjerit-jerit kesakitan. Tulang-tulang tangan pucat mengapung di permukaan. Di ujung jembatan berdiri prasasti raksasa bertuliskan tiga karakter merah darah: JEMBATAN NAIHE!
Di bawah prasasti batu, seorang nenek renta dengan pelipis beruban sedang memasak ramuan obat beraroma aneh yang mengepul. Di hadapan nenek itu berdiri Gu Meidi yang mengenakan gaun putih, masih membawa mangkuk obat di tangannya.
"Nenek Meng, kalau aku minum Sup Meng Po, apakah semua kenangan dunia fana ini akan kulupakan?" tanya Gu Meidi.
"Ya! Cepat diminum!" jawab Nenek Meng dengan senyum manis.
Aku panik, tiba-tiba berteriak: "Jangan! Gu Meidi, jangan kau minum itu, jangan kau lupakan aku—"
