Glekuk!
Ombak berhamburan, Yunhai pun melepaskan seluruh pakaiannya dan meloncat telanjang bulat ke danau.
Melihat Zhao Sanlang bersenang-senang begitu gembira, Yunhai pun tak bisa menahan diri.
Ditambah lagi beberapa perempuan genit nan mempesona itu sepertinya tidak bermaksud menolak mereka, maka Yunhai pun memberanikan diri.
Daging ada tapi tidak dimakan, itu tidak sopan!
"Aiyoyo, datang lagi cowok ganteng kecil!"
"Aiyo, dia milikku!"
"Milikku!"
Tiga empat perempuan mengerumuni Yunhai, bermesraan erat dengannya.
Yunhai menyipitkan mata, hatinya sudah melayang sampai ke ujung langit.
Tangan-tangan mungil putih mulus menjelajahi tubuhnya, nafsu membuat matanya membara. Dengan napas berat, ia memeluk erat para perempuan itu sambil mencium dan meraba, menikmati kebahagiaan dan keanggunan sepuasnya.
Pada malam itu juga, di pedalaman terpencil ini, di bawah cahaya bulan yang terang benderang, Zhao Sanlang dan Yun Hai mengorbankan keperawanan mereka untuk pertama kalinya pada tujuh wanita cantik. Ketujuh perempuan itu bagaikan bidadari penuh nafsu, bergantian bermain hingga fajar menyingsing, seolah ingin menghisap habis tenaga Zhao Sanlang dan Yun Hai.
Setelah puas, ketujuh wanita cantik itu tak buru-buru pergi. Mereka malah mengundang Zhao Sanlang dan Yun Hai mengunjungi rumah mereka.
Zhao Sanlang dan Yun Hai sudah termabuk kepayang oleh pesona ketujuh wanita. Ujian imperial? Gelar juara? Membanggakan leluhur? Semua ambisi mulia itu telah luntur tersapu nafsu birahi. Mereka hanya ingin terus bersenang-senang dengan para wanita, tak ada lagi yang penting.
Entah dari keluarga kaya raya atau bukan, ketujuh gadis itu ternyata memiliki perkebunan megah di kedalaman hutan. Paviliun dengan sudut atap yang melengkung indah, kolam hias dikelilingi bunga, bagaikan Surga Bunga Persik yang terisolasi. Banyak pelayan cilik berbusana tipis bergaun transparan, dada yang putih lembut terlihat, tertawa genit penuh godaan. Setiap gerakan mereka memancarkan aura siluman rubah yang memabukkan. Mereka pun sama bebasnya dengan ketujuh gadis tuan rumah, membiarkan Zhao Sanlang dan Yun Hai menggoda, meraba, bahkan mencium dan menjatuhkan diri mereka ke hamparan kasur.
Sejak saat itu, Zhao Sanlang dan Yun Hai menjalani kehidupan sehari-hari di Kerajaan Para Putri ini, sudah lupa akan kampung halaman. Setiap hari mereka dihabiskan dengan nyanyian merdu dan tarian indah, bersenang-senang tanpa henti. Perkembangannya semakin menjadi-jadi, Zhao Sanlang setiap malam selalu mencari belasan wanita untuk menemani, sampai tenaga hampir habis setiap malam. Bahkan kaisar yang memiliki ratusan selir di istana pun mungkin tak sehebat ini.
Hari berganti hari, keluarga Zhao kehilangan kabar tentang Zhao Sanlang. Ketika mengetahui Zhao Sanlang tidak pergi ke ibu kota untuk ujian, seluruh keluarga panik. Mereka mengira Zhao Sanlang mungkin mengalami nasib malang dalam perjalanan ujian. Sebagai anak bungsu keluarga Zhao yang cerdas dan berprestasi akademik, Sang Patriark Zhao sangat menyayanginya, berharap suatu hari Zhao Sanlang lulus ujian kerajaan dan menjadi pejabat. Kini bukan hanya gagal ke ibu kota, Zhao Sanlang bahkan menghilang dalam perjalanan. Sang Patriark Zhao yang gelisah mengerahkan seribu ons emas, mengirim beberapa regu pasukan untuk menyisir setiap jejak perjalanan Zhao Sanlang.
"Hidup harus ditemui mayatnya, mati harus dilihat jenazahnya!" Ini perintah baja Sang Patriark Zhao.
Akhirnya suatu hari, sekelompok pasukan memasuki Bukit Kultit untuk mencari Zhao Sanlang. Pemimpinnya bernama Murong Tian, mantan polisi yang mendirikan biro pengawal sendiri. Kali ini Sang Patriark Zhao membayar mahal agar Murong Tian turun langsung. Murong Tian juga ingin mengeruk keuntungan besar, tak ingin mengecewakan Sang Patriark Zhao.
Murong Tian membuktikan dirinya sebagai mantan polisi yang berpengalaman. Setelah melakukan investigasi mendalam, dia menyimpulkan bahwa Zhao Sanlang dan Yun Hai mungkin mengambil jalan pintas melalui Bukit Huangpizi menuju ibu kota. Dia pun memimpin anak buahnya untuk menyisir kawasan tersebut.
Ini menjadi harapan terakhir Murong Tian. Jika Zhao Sanlang tak ditemukan di Bukit Huangpizi, terpaksa dia dan anak buahnya harus pulang dengan tangan hampa.
Setelah tiga hari tiga malam menyisir, mereka memasuki jantung Bukit Huangpizi. Suatu pagi, mereka menemukan seorang kakek beruban sedang memancing di tepi danau pegunungan.
"Bagaimana mungkin ada orang memancing di pedalaman pegunungan ini?"
"Dilihat dari uban dan auranya, jangan-jangan dia pertapa sakti yang mengasingkan diri di sini?"
Dengan penuh khidmat, Murong Tian memberi hormat ala Tiongkok. Sambil menunjukkan lukisan Zhao Sanlang, dia bertanya apakah sang kakek pernah melihat orang tersebut.
Jawaban kakek itu membuat Murong Tian tertegun: "Siapa kau? Untuk apa kau mencariku?"
Murong Tian tersentak: "Kau... Zhao Sanlang?!"
Awalnya Murong Tian mengira ini sekadar kesamaan nama. Namun setelah sang kakek menyebutkan kampung halaman, anggota keluarga, bahkan nama ayahnya Sang Patriark Zhao dengan detail, barulah Murong Tian yakin: pria sepuh ini adalah Young Master ketiga keluarga Zhao yang hilang dua bulan silam.
Murong Tian membandingkan orang tua beruban di hadapannya dengan pemuda tampan dalam lukisan. Zhao Sanlang yang jelas-jelas adalah seorang pemuda tampan nan rupawan, bagaimana... bagaimana bisa berubah menjadi orang tua beruban?
Baru dua bulan lebih, Zhao Sanlang seolah melompat dari usia belasan dua puluhan langsung ke enam tujuh puluh tahun. Rambut, alis, bahkan janggutnya semua memutih, tatapannya keruh, lingkaran mata kehitaman, samar mengeluarkan aura energi Yin jahat. Hal ini membuat Murong Tian sangat terkejut.
"San Shaoye, kau... bagaimana bisa tiba-tiba menjadi sep tua ini?" Murong Tian dan anak buahnya takjub bukan main.
Namun yang lebih membuat mereka heran, Zhao Sanlang melemparkan kail pancingnya, berkaca pada permukaan danau, lalu malah membalikkan badan dan memaki: "Kau sendiri yang tua! Tidakkah kau lihat aku semakin awet muda?"
Murong Tian merasa ada keanehan, menyuruh Zhao Sanlang pulang bersamanya, mengatakan bahwa Sang Patriark Zhao sedang mencarinya ke seluruh penjuru.
Tak disangka Zhao Sanlang malah berkata: "Di sini aku makan enak tinggal nyaman, setiap malam berpesta, bahagia tiada tara! Suruh ayahku berhenti mencariku. Aku takkan pulang, apalagi mengikuti ujian di ibu kota!"
Bagaimanapun bujukan Murong Tian, Zhao Sanlang tetap bertekad bulat menolak pulang. Hingga akhirnya kesal, ia memukuli dan memaki Murong Tian dengan kail pancing, menyuruh mereka semua pergi dan jangan mengganggu latihan spiritualnya lagi.
Murong Tian pasrah, terpaksa melakukan perjalanan siang-malam tanpa henti dan segera kembali ke Keluarga Zhao untuk melaporkan semua yang dilihat dan didengarnya secara detail kepada Sang Patriark Zhao.
Mendengar kabar bahwa Zhao Sanlang masih hidup, Sang Patriark Zhao sangat heboh. Namun saat mendengar Zhao Sanlang menolak pulang bahkan wajahnya telah berubah drastis, Sang Patriark Zhao menjadi kaget dan marah hingga gelas teh di tangannya terjatuh ke lantai dan pecah.
Murong Tian berkata: "Sang Patriark Zhao, izinkan saya bicara yang tak pantas. Menurut saya, Young Master Ketiga... mungkin kerasukan roh jahat... Saya tak bisa membantu dalam hal ini. Mungkin Tuan perlu mencari orang sakti untuk memeriksanya!"
Setelah mendengar laporan Murong Tian, Sang Patriark Zhao juga merasa ada yang tidak beres. Maka dia mengeluarkan banyak uang untuk memanggil seorang biksu senior.
Biksu itu bertubuh gemuk, mengenakan jubah abu-abu, dengan untaian manik-manik hitam pekat tergantung di lehernya. Setiap butir tasbih berukuran besar dan bulat, terlihat sangat berat, diukir dengan simbol "" Buddhis.
Biksu senior tersebut memiliki nama Dharma "Dishi", dikabarkan berasal dari Kuil Kuda Putih Luoyang yang termasyhur.
Sang Patriark Zhao menyampaikan perkataan Murong Tian kepada biksu senior itu, lalu secara pribadi memimpin rombongan biksu dan para pelayan menuju Bukit Huangpizi.
Mengikuti penanda lokasi yang ditunjukkan Murong Tian, rombongan Sang Patriark Zhao menemukan danau di lereng gunung tersebut.
Saat mereka tiba di sana dalam keadaan letih setelah menempuh perjalanan panjang, benar-benar terlihat seorang kakek beruban sedang memancing di tepi danau.
"Sanlang!" Sang Patriark Zhao memanggil lembut.
Si Kakek itu menoleh ke belakang, mengerutkan alisnya dengan suara parau lemah: "Ayah?!"
Mendengar panggilan "Ayah" dari kakek di seberang, Sang Patriark Zhao langsung banjir air mata, memukul kepala dan menghentak kaki: "Anakku, bukankah kau pergi ke ibu kota untuk ujian kekaisaran? Mengapa ada di sini? Bagaimana bisa berakhir seperti ini?"
Menghadapi ratapan Sang Patriark Zhao, Zhao Sanlang justru terlihat bingung: "Aku di sini makan enak tinggal nyaman, ada masalah apa? Persetan dengan jabatan dan kekayaan! Aku tak peduli!"
Sang Patriark Zhao menangis tersedu-sedu. Dulu ia mencurahkan seluruh usaha untuk anak bungsu ini, menaruh harapan besar pada Zhao Sanlang. Tak disangka berubah menjadi makhluk setengah manusia setengah hantu. Gabungan amarah, kecemasan, dan kepedihan membuatnya bertanya pada Biksu Dishi.
Biksu Dishi menatap Zhao Sanlang lama-lema: "Menurutmu wajahmu sangat tampan?"
Zhao Sanlang menggoyangkan rambut uban, menarik sudut bibirnya: "Menurutmu? Tidakkah kau lihat? Sejak tinggal di sini, wajahku semakin hari semakin tampan!"
Saat mengucapkan ini, Zhao Sanlang memandang pantulan dirinya di permukaan air. Terpantul wajah pria sangat rupawan.
Tapi bagi orang-orang sekitar, pemandangan kakek beruban yang mengagumi bayangan sendiri sambil mengklaim diri sebagai pria tampan, terasa sangat mengerikan.
Biksu Dishī juga tidak berbicara. Ia tersenyum tipis, lalu berjalan langsung ke tepi danau. Melepas tasbih dari lehernya, ia merendam tasbihnya ke dalam air sambil membatin mantra Buddhis. Simbol "" pada tasbih itu tiba-tiba memancarkan kilau emas, menerangi seluruh permukaan danau seketika. Saat cahaya Buddha itu menyala, kerumunan orang terkejut menemukan lapisan kabut hitam pekat bergelayut di atas permukaan danau yang jernih bening.
"Penembusan!" Biksu Dishī tiba-tiba berteriak keras.
Cahaya Buddha berubah menjadi lingkaran cahaya emas yang terus meluas dan berubah, menyebar ke seluruh permukaan air bagai riak.
Di setiap tempat yang disentuh kilau emas, kabut hitam itu menghilang dengan sendirinya.
Ketika kabut hitam telah sirna sama sekali, permukaan air kembali tenang tanpa riak sedikit pun, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Saat itu, Biksu Dishī menyatukan kedua tangan dan melantunkan "Amitabha": "Young Master Zhao San, sekarang lihatlah lagi ke permukaan danau. Masihkah kau seorang remaja tampan nan rupawan?"
Zhao Sanlang menunduk. Di permukaan air terpantul wajahnya kini: kerutan seperti kulit pohon, bola mata abu kematian, lingkar mata kebiruan, serta pelipis seputih salju. Penampilannya persis seorang kakek berusia 60-70 tahun!
Zhao Sanlang gemetar. Tangannya meraba pipinya sendiri sambil bertanya pada biksu itu siapakah bayangan manusia di danau itu.
Biksu Dishī berkata datar: "Bayangan di danau itu adalah dirimu sendiri!"
