Akhirnya, kemurkaan di mata Lao Yang berangsur surut. Ia menghela napas berat dan menurunkan pistolnya.
Melihat Lao Yang menurunkan pistol, dadaku langsung lega. Krisis perpecahan internal sementara teratasi.
Li Tienan menganggukkan dagu ke arah Lin Weiyang. Keduanya pun menyimpan pistol.
Lao Niao juga memberi isyarat tangan ke Fang Weiran dan Cao Yi. Trio itu pun menurunkan senjata.
Suasana tegang akhirnya sedikit mengendur. Aku tidak tahu perasaan dan reaksi orang lain, yang jelas kaus oblongku sudah basah kuyup oleh keringat dingin. Dasar, tadi hanya sekitar satu menit lebih, tapi terasa seperti seabad yang panjang. Dan kenapa lebih menegangkan daripada duel satu lawan satu dengan siluman darah lipan itu!
"Maaf! Barusan aku terlalu emosi!" Lao Yang mengusap air mata yang menggenang di kelopak matanya, wajahnya berlinang kesedihan.
Dulu aku pernah dengar Lao Niao bercerita, di seluruh tim kasus besar, Lao Yang paling mengagumi Cao Yi, Li Yuwen, dan Fang Weiran ketiga pemuda ini. Di antara mereka, Lao Yang paling memprioritaskan Li Yuwen, selalu menjadikannya sebagai penerus utama yang dilatih khusus. Tapi sekarang Li Yuwen sudah mati, dan dengan cara yang begitu mengenaskan, bisa dibayangkan betapa hancurnya Lao Yang.
Li Tienan menghampiri Han Xu, mendorongnya kasar: "Masih melamun? Cepat ceritakan apa yang terjadi tadi!"
Li Tienan juga kesal dengan performa Han Xu. Masa anggota penyelidik kriminal sampai ketakutan seperti ini, rasanya benar-benar mempermalukan tim.
Han Xu baru tersadar, tiba-tiba berteriak kencang ke arahku dan Lao Yang: "Cepat naik! Ulat! Ulat!"
Dadaku berdebar kencang, ulat?! Ulat apa?!
Han Xu dengan ekspresi heboh: "Kristal di atas tulang itu bukan fosfor tulang, tapi ulat, ulat yang mematikan!"
Aku dan Lao Yang serentak kaget, saling memandang, lalu menunduk melihat kaki kami.
Kristal biru pucat di atas kerangka itu perlahan mulai merayap. Gerakan ribuan kristal itu menciptakan gelombang biru yang bergoyang aneh ketika dilihat dari atas kuburan mereka, terlihat sangat mistis.
"Lao Yang, cepat pergi!" Wajakuku berubah. Aku berteriak lalu melompat ke tepi kuburan.
Lao Yang yang lincah segera mengikutiku naik. Dengan wajah trauma, dia menoleh melihat ke dalam kuburan.
Kristal biru itu semakin jelas bergerak. Empat kuburan mereka berubah seperti kolam biru dengan gelombang yang terus bergulung.
"Ulat macam apa? Kau bilang kristal itu ulat?" Aku memandang Han Xu dengan heran.
Han Xu mengangguk, menyerahkan kamera ke kami dengan suara serak: "Aku juga tak bisa jelaskan, lihat sendiri!"
Kami mendekat. Han Xu memutar rekaman tadi yang menampilkan Li Yuwen. Dengan tangan kiri memegang ruas jari tulang, tangan kanannya menggaruk kristal di atasnya sambil berkata: "Cantik sekali, tapi ini benda apa ya?"
Tiba-tiba suara Han Xu terdengar: "Sini! Aku akan ambil close-up!"
Kamera perlahan mendekat, tepat pada saat itu, benda berbentuk lensa di atas ruas jari tulang itu tiba-tiba menggeliat. Semburan tinta hitam menyembur ke wajah Li Yuwen. Li Yuwen melemparkan ruas jari tulang itu, kedua tangan menutupi wajahnya, mengeluarkan jeritan menyayat hati.
Melihat ini, hati kami sangat sedih. Pemuda yang dulu penuh semangat itu kini telah berubah menjadi mayat dingin. Terkadang, perubahan antara hidup dan mati terjadi terlalu cepat.
"Putar ulang!" kataku.
Han Xu mengangguk, memutar ulang rekaman. Saat adegan benda berbentuk lensa itu bergerak, kusuruhnya menekan tombol pause. Gambar yang diperbesar memperlihatkan struktur permukaan yang sebenarnya dari benda itu.
Seperti yang dikatakan Han Xu, itu adalah seekor ulat aneh seukuran kelingking. Tak terlihat fitur wajah, bentuknya mirip belatung. Perbedaannya adalah tubuh ulat ini memancarkan cahaya biru pucat seperti fosfor tulang. Yang paling mengerikan adalah bisa yang dimuntahkannya, korosif seperti asam kuat. Hanya setetes bisa saja telah menghancurkan seluruh wajah Li Yuwen bahkan merenggut nyawanya, sungguh menggetarkan jiwa.
Aku teringat pada jenis ulat kuno: Cacing Gua.
Aku belum pernah melihat langsung makhluk misterius ini, tapi pernah membaca tentangnya dalam literatur kuno.
Cacing gua, sesuai namanya, adalah jenis belatung yang hidup di dalam gua, telah ada di planet ini sejak ribuan tahun lalu.
Konon saat Kaisar Kuning berperang melawan Chiyou di Zhuolu, Chiyou pernah memanggil cacing gua untuk bertempur, menyebabkan kerusakan parah pada pasukan Kaisar Kuning.
Belatung ini memakan mayat, sehingga virus kematian masuk ke tubuh mereka dan berubah menjadi bisa yang mengandung racun mematikan. Bisa ini memiliki keasaman tinggi dengan daya penghancur dahsyat, menjadikannya makhluk yang sangat mengerikan.
Namun makhluk menakutkan ini dikatakan telah punah secara bertahap, tak disangka kini kami justru menemukan makhluk hidupnya.
Tiba-tiba aku menyadari maksud lubang pengorbanan ini. Ada dua tujuan: sebagai tradisi ikut mati dan tempat pemeliharaan cacing gua. Tuan makam menggunakan puluhan ribu mayat untuk membesarkan cacing gua, lalu memanfaatkannya kembali untuk melindungi makamnya. Cara ini sangat cerdik namun sekaligus jahat.
Rasa penasaranku tentang identitas tuan makam semakin membara. Siapakah sebenarnya pemilik makam ini?
Jantungku terasa diremas sakit. Penilaianku sebelumnya salah total. Kukira kristal-kristal itu fosfor tulang, ternyata itu adalah cacing gua mematikan. Andai kusadari lebih awal, Li Yuwen takkan mati. Tampaknya aku harus memikul setidaknya separuh tanggung jawab atas kematiannya.
“Cao Yi seakan membaca isi hatiku, mendekat dan berbisik: 'Kematian Li Yuwen bukan salahmu. Kau tak perlu menyalahkan diri sendiri, juga tak harus memikul semua tanggung jawab ini di pundakmu!'"
Walau kata-kata itu benar dan prinsipnya kumengerti, tapi ketika benar-benar terjadi padaku, hatiku tetap sesak. Penderitaan seperti ini tak bisa dipahami orang lain.
Li Tienan berkata pada Lao Yang: "Kapten Tim Yang, di dalam makam ini ada puluhan ribu belatung penyembur racun. Anda sudah lihat bagaimana anak buahmu mati mengenaskan. Menurutku kita tak perlu masuk lebih dalam lagi, saatnya mundur!"
"Benar! Melanjutkan perjalanan hanya akan jadi pengorbanan sia-sia!" sambung Lin Wei.
Lao Niao terdiam sejenak: "Tapi jika kembali lewat jalan yang sama, ke mana kita akan pergi? Sungguh dilema!"
Lao Yang menoleh memandangku, matanya menanyakan pendapatku. Sejujurnya dalam situasi sekarang, aku pun bingung. Maju terus, makam penuh cacing gua dengan tingkat kematian 90%. Tapi mundur, seperti kata Lao Niao, ke mana kita akan pergi?
Setelah berpikir panjang, demi keamanan semua, akhirnya kukatakan pada Lao Yang: "Mari kita keluar sementara dari makam ini. Aku tak ingin ada korban lagi!"
“Lao Yang memiringkan kepala melihat mayat Li Yuwen yang sudah diselimuti ribuan cacing gua. Hanya dalam hitungan menit, mayat Li Yuwen telah membusuk total, berubah menjadi rangka putih mengerikan dengan sisa-sisa daging dan darah bergelantungan. Cacing-cacing gua menempel di tulang-belulangnya, memancarkan cahaya biru suram.”
“Lao Yang mengentakkan kaki, memberi hormat ke arah tulang Li Yuwen sambil menggigit gigi: "Kami mundur!"”
“Rombongan kami berbalik arah menyusuri lorong makam. Tak berapa lama, terdengar suara aneh dari dalam makam.”
“Xi xi su su! Xi xi su su!”
“Awalnya kami mengira itu suara cacing gua merangkak, tapi setelah didengarkan baik-baik, bunyinya lebih seperti gesekan benda dengan tanah - padat dan nyaring, membuat bulu kuduk merinding.”
“"Suara apa ini?"”
“Kami saling memandang bingung. Gemerisik itu semakin keras, bergema dari segala penjuru makam, sungguh mengerikan.”
“"Jangan dipikirkan! Pasti bukan hal baik. Cepat pergi!" Lao Yang memimpin rombongan mundur. Suara misterius itu membuat kami tegang. Dari berjalan cepat, akhirnya kami berlari.”
“Saat mulut gua sudah terlihat, Lao Yang tiba-tiba menegakkan telapak tangan: "Jangan mendekat! Berhenti! Cepat berhenti!"”
Nada suara Lao Yang terdengar mendesak, dengan sentuhan kegelisahan. Anggota tim berhenti melangkah dan bertanya dengan tegang: "Ada apa?"
Lao Yang menelan ludah, menjulurkan tangannya menunjuk ke depan, suaranya gemetar: "Ular! Banyak sekali ular!"
Beberapa lingkaran cahaya putih dari lampu 'mata serigala' menyinari mulut gua. Pemandangan dalam lingkaran cahaya itu membuat hati kami berdebar-debar, seluruh tubuh menggigil. Bahkan ada yang spontan menutup mulut dengan panik.
Tak terhitung ular hitam mengalir dari segala penjuru, bagai arus hitam yang membanjiri lubang penguburan korban yang penuh tulang-belulang. Dalam sekejap, tulang-tulang putih mengerikan itu tertutupi, bersamaan dengan cahaya biru pucat yang memancar dari permukaan tulang.
Ketika kami melihat jelas wajah ular hitam itu, bulu kuduk kami langsung berdiri dan gemetar ketakutan. Bentuk ular-ular hitam ini ternyata... Ternyata persis sama dengan ular jengger ayam pada relief Lorong Makam!
Ular-ular hitam ini bertubuh ramping dengan panjang sekitar satu meter. Seluruh tubuhnya hitam legam mengilap, bagian perutnya terdapat pola belah ketupat yang jelas. Kepala ular berbentuk segitiga mengerikan dengan lidah panjang merah darah yang terus menjulur, mengeluarkan desisan "zii-zii". Di atas kepala ular hitam itu terdapat jengger ayam aneh yang menyala-nyala, begitu mencolok sekaligus menjijikkan dan menyeramkan, sampai kami gemetar di kedua betis dan tak bisa melangkah lagi.
Kami mundur ketakutan, gerombolan ular telah memblokir lubang gua. Jalan mundur kami terputus. Satu-satunya cara keluar adalah membuka jalan darah di tengah lautan ular - siapa yang sanggup? Cukup membayangkan: jengger merah di kepala mereka pasti pertanda racun mematikan yang bisa membunuh hanya dengan sentuhan.
Memandang sekeliling, gelombang ular bergerak seperti tsunami masuk ke lubang pengorbanan. Jengger ayam di kepala ular-ular itu merekah bak bunga setan, memenuhi seluruh ruang makam dengan hamparan merah yang berdesakan.
Di tengah pemandangan mengerikan ini, wajah kami pucat bagai abu mayat. Kedua betis bergemetar tak terkendali, seolah bukan lagi bagian dari tubuh sendiri.
Sudah mati!
Kali ini benar-benar tamat!
