Saat kami keluar dari restoran hot pot, lampu-lampu kota sudah mulai menyala.
Aku dan Cao Yi berjalan berdampingan di bawah kerlip lampu neon. Cao Yi memang cantik luar biasa, apalagi setelah berganti pakaian kasual. Banyak pejalan yang melintas memandang kami dua kali, mungkin beberapa pria dalam hati sedang memakiku.
Kami mengobrol santai sambil berjalan. Tiba-tiba Cao Yi menyelipkan lengannya ke siku ku.
Jantungku berdebar tanpa alasan. Alih-alih bahagia, justru ada perasaan sedih yang menggelora.
Adegan ini terasa sangat familiar. Dulu, aku pun pernah berjalan-jalan dengan seorang perempuan di bawah gemerlap lampu kota.
"Tuoba Gu, boleh kutanya? Kau punya pacar?" Di bawah cahaya lampu jalan, Cao Yi menengadahkan wajah mungilnya menatapku.
"Tidak!" Kugelengkan kepala, menjawab jujur.
"Kalau... Bolehkah aku menjadi pacarmu?" Cao Yi langsung to the point. Ia menggigit bibirnya yang memerah sambil menatapku tajam. Di matanya kulihat harapan yang membara.
Kuhela nafas panjang. Kedua tanganku menekan pundak lembutnya. "Cao Yi," kataku dengan wajah serius, "Kau perempuan baik, cantik, dan bajik hati. Tak ada pria normal yang akan menolakmu. Tapi maaf... Aku... tidak bisa menerimamu."
"Mengapa?" Tatapan Cao Yi tiba-tiba menjadi suram, menunjukkan kekecewaan yang mendalam.
"Karena... karena di hatiku masih selalu tinggal seseorang!" Aku menunjuk ke jantungku sendiri: "Sudah larut, biar kuantarkan kau pulang!"
Kembali ke hotel penginapan, setelah mengantar Cao Yi ke kamarnya aku segera berbalik pergi. Aku tak ingin dan tak tega menyaksikan tatapan kecewa di matanya.
Saat itu juga, suara Cao Yi terdengar dari belakang: "Tuoba Gu, aku takkan menyerah! Suatu hari nanti, aku pun akan tinggal di hatimu!"
"Nona kecil bodoh!" Aku menghela napas getir sambil menggeleng-gelengkan kepala, dalam hati berbisik pelan.
Kembali ke kamar, langsung merebahkan diri di tempat tidur.
Perjalanan panjang selama beberapa hari terakhir hampir membuat tubuhku remuk redam. Secara logika, seharusnya begitu menyentuh dipan langsung tertidur lelap.
Tapi entah mengapa, begitu kelopak mata terpejam justru sama sekali tak bisa tidur. Bayangan-bayangan indah terus menari-nari di kegelapan.
Sesaat wajah Cao Yi, sesaat wajah Li Zi, bahkan Gu Meidi yang sudah lama tak muncul pun bermunculan. Wajah tiga wanita ini saling silang menari di hadapanku, lalu bertumpuk-tumpuk bagai tiga gunung raksasa yang menindih hingga napasku tersengal-sengal.
Esok paginya, kami berpamitan dengan Lao Yang dan kawan-kawan. Li Tienan menyetir untuk mengantar kami.
Atas performaku di Bukit Kulit Kuning, Li Tienan memandang dengan mata baru. Bahkan mengundangku menjadi polisi kehormatan tak bernama untuk tim investigasi kriminal mereka, berjanji akan meminta bantuanku jika ada kasus aneh lagi di kemudian hari.
Saat akan pergi, Lao Yang menanyakan nomor kartu ATM saya sambil menepuk bahu saya: "Meski kali ini kita belum berhasil menangkap pembiak mayat, tapi performamu sangat luar biasa! Nanti akan kusampaikan ke atasan, pasti akan kau dapatkan bonus yang besar!"
"Terima kasih banyak!" Aku tak menolak. Ini hadiah yang pantas kudapat, hasil pertaruhan nyawa.
"Ngomong-ngomong!" Lao Yang berbisik di telingaku: "Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Cao Yi si nona kecil tadi malam?"
"Biasa saja, cuma makan hot pot!" jawabku dengan santai.
Lao Yang tertegun: "Apa? Cuma makan hot pot? Tak ada aktivitas lain?"
Kucibirkan mulut: "Lao Yang, kau terlalu jahat!"
"Hah? Pikiranmu ke mana? Maksudku, tak ajak nonton film atau jalan-jalan?" Lao Yang memandangiku seperti melihat monster.
"Tidak!" Jawabku jujur.
"Masak sih? Sudah susah-susah kami ciptakan kesempatan, kau sungguh mengecewakan!" Lao Yang menggeleng sambil menghela napas.
"Jangan bahas aku. Bagaimana denganmu? Sudah lama jomblo, tak ada rencana lain?" Kutatap Lao Yang dengan senyum manis.
Dulu pernah kudengar Lao Yang bercerita, dia pernah menikah. Tapi sifat pekerjaannya yang selalu mengembara, penuh risiko dan jarang bertemu keluarga, membuat istrinya tak tahan hidup dalam ketakutan tanpa kehangatan. Akhirnya sang istri mengajukan cerai.
"Sebenarnya Lao Yang sangat tak tega berpisah dengan istrinya, tapi dia berhati lapang. Jika memang tak bisa memberikan kebahagiaan bagi yang dicintai, jangan halangi hak orang lain mengejar kebahagiaan. Maka Lao Yang menyetujui perceraian, dan tetap melajang sampai sekarang."
Mendengar perkataanku, muka Lao Yang memerah: "Pergi sana! Kenapa kau bahas aku? Kau kan tahu sifat pekerjaanku ini. Lagipula sudah terbiasa hidup lajang, tak sempat memikirkan itu semua!"
Ku melirik Li Tienan di belakang, menyenggol Lao Yang dengan siku: "Hei, katanya Kapten Li juga masih lajang. Kalian berdua sudah tak muda lagi, satu cerai satu belum menikah, tak punya anak dan ikatan. Tak mau pertimbangkan?"
Lao Yang menggigil: "Apa? Kau mau aku menikahi harimau betina itu? Jangan bercanda!"
"Hehe!" Aku terkekeh: "Awalnya aku juga merasa Kapten Li tidak istimewa, tapi setelah beberapa hari bersama, kudapati dia sebenarnya baik. Cantik pula, meski usianya agak matang tapi masih terlihat menawan! Hatinya bajik, gerakannya pun lincah..."
"Cukup, cukup! Tiba-tiba kenapa kau promosikan dia? Sebenarnya aku juga merasa dia baik, tapi tahukah kau, yang paling kutakuti justru kelincahannya. Bayangkan kalau kami bercinta dan dia tak senang, bukankah bisa menendangku jatuh dari ranjang? Membayangkannya saja sudah bikin ciut nyali!" Lao Yang menggosok dadanya, tak bisa menahan diri menggigil.
"Nggak mungkin segitunya yang kau bilang! Setelah dikaji secara Ilmu Pengetahuan, biasanya wanita yang terlihat tegas di luar, sebenarnya semakin lemah di dalam. Jangan lihat Kapten Li yang galak di luar, siapa tahu di rumah jadi domba jinak yang bisa kau sembelih! Pertimbangkan, jangan sampai kehilangan kesempatan!" Aku mengedip-ngedipkan mata ke Lao Yang.
"Tuoba Gu!" Cao Yi tiba-tiba muncul di belakangku, membuatku kaget.
"Hai!" Kali ini menghadapi Cao Yi, aku agak malu dan bingung mau bicara apa.
"Kalian lanjutkan! Cao Yi, aku tunggu di gerbong kereta!" Lao Yang cari alasan pergi.
"Aku harus pergi," kata Cao Yi.
"Hmm..." Aku masih bingung, akhirnya keluarkan ucapan: "Semoga lancar perjalanannya!"
Cao Yi bruk tertawa: "Nggak perlu tegang gitu, aku kan nggak mau makan kau! Aku yakin kita akan bertemu lagi, dan saat itu nanti, aku pasti sudah menempel di jantungmu!" Sambil bilang begitu, Cao Yi menyentil jantungku dengan jarinya yang ramping, lalu berbalik pergi.
Nona kecil ini!
Gaya bertarung Cao Yi benar-benar bikin aku antara ingin tertawa dan menangis.
Melihat punggung Cao Yi yang menjauh, sejujurnya hatiku masih terasa kosong.
Cinta benci dunia fana, siapa yang bisa jelaskan? Siapa yang bisa terangkan?
Li Tienan mengatur mobil dinas untuk mengantarku kembali ke Desa Hezi.
Sampai di Desa Hezi sudah senja, perutku keroncongan kelaparan.
Aku tiba-tiba teringat sudah lama tidak minum arak dan ngobrol dengan Da Niu, lalu meneleponnya untuk mengajak minum. Da Niu dengan senang hati menyetujui.
Di pintu desa, aku membeli sebotol arak, sekaligus membeli kacang tanah, daging rebus bumbu, dan tahu kering sebagai lauk pendamping.
Tak lama Da Niu keluar, lalu berjalan bersama menuju rumahku.
"Bagaimana kabarmu belakangan ini?" tanyaku pada Da Niu.
Da Niu menjawab: "Baik! Sebenarnya seluruh keluargaku harus berterima kasih padamu. Kalau bukan karena kau menyembuhkan penyakit Ting Ting, mana mungkin kami bisa punya bayi sekarang!"
"Kita kan saudara, tak perlu terlalu sopan. Belakangan aku juga cukup sibuk. Nanti kalau ada waktu, aku akan menyempatkan diri menjenguk keponakanku!" kataku sambil tersenyum.
Kami berbincang-bincang dengan riang sambil pulang ke rumah. Kuminta Da Niu duduk sebentar di ruang tamu sementara aku ke dapur untuk membuat telur orak-arik dan beberapa hidangan kecil.
Da Niu menyetujui, lalu aku segera sibuk di dapur.
Telur belum sempat dimasak, tiba-tiba terdengar teriakan Da Niu dari ruang tamu: "Ibuuu!!!"
Hatiku berdebar kencang. Kulempar telur dan berlari seperti pusaran angin keluar dari dapur: "Kak Daniu, ada apa? Terjadi apa?"
Sesampainya di ruang tamu, aku langsung terpaku di tempat.
Karena di ruang tamuku berdiri seseorang - seorang wanita.
Bukan Li Zi, apalagi Gu Meidi, melainkan wanita yang sama sekali asing.
Lebih tepatnya, seharusnya disebut seorang gadis.
Karena penampilannya terlihat seperti baru berusia 16-17 tahun, dengan wajah oval ala klasik, tinggi badan sekitar 165-170 cm, dan sangat cantik. Ya, sangat, aku harus menekankan kata sifat ini. Fitur wajahnya sempurna tanpa cela, sorot matanya yang menggoda memancarkan aura siluman yang merampas roh. Ia mengenakan gaun panjang biru langit yang memperlihatkan dada yang putih lembut dan kenyal, kulitnya lebih putih dari salju, dengan tubuh yang sangat seksi. Aku sampai terdiam terpana melihatnya.
Da Niu menggosok-gosok matanya dengan keras, bangkit sambil meneteskan liur: "Wah Xiao Gu, rupanya kau yang terlihat polos seperti perjaki ini diam-diam menyimpan bunga di rumah!"
Aku kebingungan: "Kak Daniu, jangan asal ngomong. Aku... aku benar-benar tidak kenal dia..."
"Tidak kenal? Lalu kenapa dia keluar dari kamar tidurmu? Xiao Gu, masak urusan begini kau masih mau bohongi Kakak?" Sambil berkata demikian, Da Niu berbisik di sampingku: "Pantasan kau menolak Li Zi, ternyata di rumah masih ada yang lebih cantik! Jujur saja, Li Zi sudah cukup cantik, tapi yang ini lebih lagi. Biasanya kau terlihat konyol dalam urusan cinta, kok bisa dapat keberuntungan bunga persik begini? Bikin Kakak iri!" Da Niu terus mengeluarkan suara 'hapr-hapr' sambil menelan liurnya.
Aku mengumpulkan keberanian dan berkata tegas: "Hei, Adik kecil, siapa kau? Kenapa bisa ada di rumahku? Apa kau salah pintu?"
"Cewek cantik itu malas-malas mengusap rambutnya, di usia muda, posisinya sangat seksi sampai aku hampir memuntahkan darah hidung."
"Kau akhirnya pulang ya? Aku lapar, ada makanan?" tanya si cantik.
"Ada! Ada! Pasti ada! Kakak akan buatkan telur orak-arik untukmu!" Da Niu berbalik gembira sambil melompat-lompat ke dapur, pria melihat cewek cantik memang suka merayu, saat lewat di sampingku dia berkata: "Nak, jangan pura-pura! Dari cara dia bicara, sudah jelas kalian ini kenalan lama!"
Aku ingin menangis tetapi tak ada air mata. Gadis kecil di depanku memang cantik, tapi... tapi aku benar-benar tidak mengenalnya!
