Dengan napas tersengal-sengal kami memanjat sampai puncak gunung. Telapak kaki sudah lecet semua. Tapi para penjaga makam, mungkin karena sering berlari di pegunungan, stamina mereka luar biasa. Setelah naik ke gundukan tanah, bahkan tidak terengah-engah sama sekali. Bahkan Paman Liu Er yang sudah sepuh itu hanya menghela napas pendek.
"Tuoba Gu, bukannya kau sudah menemukan pintu masuk istana bawah tanah?" tanya Lao Yang padaku.
“Sst!” Aku memberi isyarat pada Lao Yang untuk diam, lalu menengadah fokus menatap rasi Bintang Biduk. Sesuai arah ujung sendok, kakiku bergerak perlahan: “Hmm, pintu masuk istana bawah tanah pasti di sekitar sini. Mari kita cari berpisah-pisah!”
Orang-orang mulai menyebar. Tak lama kemudian, terdengar teriakan Chen Hongzhou: “Cepat kemari! Ada lubang pencuri di sini!”
Paman Liu Er berkomentar: “Selama ribuan tahun, pencuri makam berduyun-duyun datang. Gundukan tanah ini punya ratusan lubang pencuri. Bukan hal aneh!”
“Bukan itu!” Chen Hongzhou membantah, “Lubang ini seperti baru digali?”
Lubang pencuri baru?!
Kami merasakan keanehan. Langkah kaki bergegas mendekat.
Tiga meter di depan, benar-benar ada lubang gua selebar bahu manusia. Kegelapan menyelimuti dalamnya, desir angin yin bergema di mulut gua. Tumpukan tanah masih segar di tepinya. Dengan hati-hati kumendekati, jelas terlihat tanah itu baru saja digali.
“Ternyata Chen Hongzhou benar. Lubang ini memang baru!” Kubicara pada kerumunan sambil memutar badan.
Paman Liu Er berkata dengan nada merenung: “Jangan-jangan ada gerombolan pencuri makam baru datang?”
“Belum tentu!” Xiao Guoguo menggelengkan kepala, “Menurutku, mungkin itu pasukan bayaran!”
Kubuka lampu mata serigala. Sorotan putih menyapu tajam ke dasar gua.
Pemandangan di bawah membuatku terkesiap. Dengan heboh kuteriakkan: “Lorong Makam! Di bawah gua ada Lorong Makam!”
Di bawah gua yang gelap gulita ini, terdapat Lorong Makam batu hijau yang menjulur ke bawah.
Lorong Makam batu hijau itu dalam tanpa dasar, sorotan cahaya mata serigala hanya mampu menerangi sekitar 20 meter ke bawah, di bawahnya kegelapan pekat menyelimuti segalanya.
Sebuah lorong makam muncul di gundukan tanah, dan lokasinya persis sesuai petunjuk rasi Bintang Biduk. Hampir bisa dipastikan, inilah pintu masuk istana bawah tanah!
Kerumunan orang bersorak gembira, "Akhirnya kami menemukan pintu masuk istana bawah tanah!"
"Jangan melamun, buru-buru turun!" Lao Yang mendorongku.
"Tunggu!" Alisku berkerut saat aku kembali berjongkok di mulut gua.
"Ada masalah apa?" Paman Liu Er bertanya.
Menatap kegelapan gua, aku perlahan berkata: "Aku teringat sesuatu! Jika lubang ini digali para prajurit bayaran, berarti mereka juga berhasil menemukan pintu masuk istana. Mengapa... bagaimana mungkin mereka tahu lokasinya?"
Sorak-sorai mereda. Ucapanku bagai duri tajam yang menusuk dada orang-orang.
Benar! Bagaimana para prajurit bayaran ini mengetahui lokasi pintu masuk? Mereka bahkan sudah masuk lebih dulu! Sebelumnya kukira mereka akan gagal menemukan pintu masuk di gundukan tanah ini. Tapi ternyata mereka berhasil, bahkan sudah masuk duluan. Pasti latar belakang mereka tidak biasa!
Wajah Paman Liu Er dan para penjaga makam berubah suram. Makam kekaisaran yang mereka jaga ribuan tahun ternyata sudah didahului musuh, membuat mereka geram.
Tiba-tiba, bayangan manusia menyergap keluar, mendorongku ke samping, lalu menghindar dan melompat masuk ke dalam gua.
"Hei! Jangan gegabah!" Aku mengangkat lampu serigala. Bayangan itu membawa pisau kepala hantu, menundukkan kepala dan terus menerjang ke bawah.
"Itu Chen Hongzhou!" Paman Liu Er mengentakkan kakinya.
Zi Yun berkata: "Pasukan bayaran mungkin ada di bawah. Bukankah terlalu berbahaya kalau dia nekat menerjang begitu saja?"
Paman Liu Er menatapku: "Tak bisa ditunda lagi, kita harus turun!"
Aku mengangguk: "Masuklah ke lorong makam satu per satu. Tingkatkan kewaspadaan!"
Lao Niao menggeretakkan pelatuk senjatanya dengan gemerisik, lalu melompat pertama kali sebagai perintis.
Aku mengeluarkan Tianxie Qiang, mengikuti dari belakang Lao Niao.
Begitu aku melompat, Cao Yi langsung hendak menyusul. Tapi Xiao Guoguo tiba-tiba menyambar dari samping, mendorong Cao Yi ke pinggir sambil menyeringai: "Aku baru merasa aman kalau mengikuti Kakak Xiao Gu!" Usai bicara, dia meluncur masuk ke lorong makam dan melompat-lompat di belakangku.
Cao Yi wajahnya membiru karena marah, lalu melompat turun tanpa sepatah kata.
"Xiao Guoguo, si Nizi ini masih sengaja memprovokasi Cao Yi: "Kakak Polisi, jangan ikut terlalu dekat! Aku baru makan biskuit kompresi, perutku mual, pengen banget kentut. Nanti kalau sampai bau, maaf ya!"
Aku menarik lengan Xiao Guoguo, berbisik dengan nada menegur: "Jangan berisik, ngomong apaan sih!"
Xiao Guoguo memegangi perutnya, mengernyitkan hidung: "Kenapa? Kentut aja nggak boleh?"
"Kayaknya kamu udah mulai kentut dari tadi!" Cao Yi menyahut dengan nada datar.
Xiao Guoguo tersenyum sinis: "Kakak Polisi, lebih baik tutup mulutmu rapat-rapat. Nanti kalau aku terlalu keras, takut ada kotoran terbang masuk ke mulutmu!"
Lao Yang yang baru turun mendengar percakapan dua wanita ini, "Hm? Dua cewek cantik, ngobrolnya kok vulgar banget sih?"
"Bagaimana kalau aku maju ke depan? Aku ikut di belakang Xiao Guoguo. Aku nggak takut bau kentut!" Fang Weiran tertawa kekanakan.
Lao Yang langsung menamparnya dengan keras: "Diam! Lagi edan apa sih?!"
Setelah Liu Ershu dan Hu Ling Wei masuk ke Lorong Makam, kelompok kami perlahan mulai menyusuri lorong ke bawah.
Mengingat waktu eksplorasi makam yang belum pasti, untuk menghemat sumber listrik kami hanya menyalakan dua lampu mata serigala. Lao Niao yang memimpin dan Yue Xiaojun yang bertugas di belakang masing-masing membawa satu, memberikan penerangan untuk jalan di depan dan belakang kami.
Aku berjalan sambil menengadah mengamati lingkungan di Lorong Makam. Lorong ini dibangun seperti cerobong asap panjang, dilapisi batu hijau di keempat sisinya - di lantai, kedua sisi, hingga langit-langit. Persis seperti saluran air yang terkubur dalam gundukan tanah. Tanah di gundukan itu sangat gembur, sehingga harus diperkuat di semua sisi agar Lorong Makam tidak runtuh.
Ketinggian Lorong Makam sekitar lima meter dengan lebar tiga meter, cukup untuk dua orang berjalan berdampingan. Tapi untuk mengantisipasi situasi darurat, kami membentuk barisan ular panjang. Seluruh rombongan bergerak berkelok-kelok layarkan ular di atas lorong berliku ini. Batu-batu hijau itu diukir dengan motif bunga tersamar, menambah kesan dekoratif.
Lorong Makam dimulai dari puncak gundukan tanah, lalu berkelok turun terus menerus. Setiap beberapa meter ada kelokan. Kuperkirakan bentuk lorong ini seperti huruf "S" yang bertumpuk-tumpuk. Lebih tepatnya, gabungan banyak huruf "S" yang saling menyambung. Lorong ini mungkin menembus vertikal seluruh gundukan tanah hingga Istana Bawah Tanah di dasarnya. Mengingat ketinggian gundukan mencapai ratusan meter, berarti ketinggian vertikal lorong ini juga ratusan meter. Sulit dibayangkan betapa dahsyatnya proyek pembuatan lorong menuju istana bawah tanah ini!
Meski Kaisar Qin Shihuang mewariskan keajaiban kedelapan dunia ini untuk generasi mendatang, bagi rakyat Dinasti Qin saat itu, ini benar-benar sebuah bencana!
Jadi sambil takjub melihat Makam Kaisar Qin Shihuang, kami juga menghela napas sedih untuk rakyat jelata yang tewas, sekaligus mengutuk keras tindakan sang kaisar.
Ada syair berbunyi "Betapa dalamnya pekarangan bertingkat-tingkat", kurasa cocok digunakan di sini: "Betapa dalamnya lorong makam ini!"
Dalam kesunyian lorong makam yang bisu, langkah kaki kami yang terpecah-pecah bergema. Semakin turun, kegelapan semakin pekat. Suhu sekitar perlahan menurun, dingin menusuk membuat suasana terasa sangat yin. Sesaat, aku bahkan merasa lorong ini bukan menuju istana bawah tanah kaisar, melainkan pintu neraka di dunia!
Dalam ruang tertutup dan gelap seperti ini, manusia akan kehilangan orientasi arah dan persepsi waktu.
Kami tak tahu sudah berapa lama berjalan di lorong makam. Menurut perkiraanku, mungkin sudah masuk ke dalam gundukan tanah makam, sekitar 50-60 meter vertikal ke bawah.
Tiba-tiba, Lao Niao yang berada di depan berhenti, diikuti seluruh barisan.
Semua orang langsung tegang bertanya dengan gugup: "Ada apa?"
Lao Niao mengarahkan sorot mata serigalanya ke tanah tak jauh di depan: "Lihat!"
Kupandang seksama, bulu kudukku merinding. Di tanah tak jauh itu tergeletak genangan darah segar.
Genangan merah itu terlihat begitu siluman dan menyilaukan dalam kegelapan lorong makam!
“Kalian jangan bergerak dulu, aku yang periksa!” Lao Niao mengangkat lampu serigala dengan tangan kiri, mencabut pistol tipe 54 menggunakan tangan kanan, menyusuri dinding lorong makam dengan hati-hati sambil meraba-raba. Setelah jongkok memeriksa jejak darah, dia berbalik dan berteriak ke arah kami: "Darahnya belum kering, pasti baru saja tertinggal!"
"Sial! Pasti itu darah Chen Hongzhou!" Paman Liu Er dan yang lain berteriak panik.
Dalam hati aku menghela napas. Chen Hongzhou terlalu gegabah. Kekhawatiran terbesarku ternyata terjadi - pasti dia diserang diam-diam di lorong makam ini.
Kami mempercepat langkah, terus menuruni lorong makam yang semakin dalam.
Semakin turun, semakin mengerikan pemandangannya. Jejak darah di tangga batu semakin pekat membentuk pola tertarik-diseret. Yang lebih membuat bulu kuduk merinding, percikan darah bertebaran di dinding lorong, mengalir perlahan seperti air mata merah.
Hati kami semakin tenggelam ke dasar jurang. Sudah pasti terjadi sesuatu pada Chen Hongzhou. Dari pola darah ini, hampir tak ada harapan dia masih hidup.
"Tunggu!" Lao Niao tiba-tiba menegakkan telapak tangan, berbisik: "Ada orang di depan!"
Tanganku refleks mencengkeram Tianxie Qiang. Saat sorot lampu serigala menyinari siluet itu, terdengar desisan terkejut dari barisan. Sosok itu tak lain adalah Chen Hongzhou sendiri.
Chen Hongzhou bersandar di dinding lorong makam, duduk di atas genangan darah, dadanya naik turun dengan dahsyat, mengeluarkan suara nafas yang berat.
Hati kami berdebar kencang, kami segera mendekati Chen Hongzhou.
Lao Niao mendekat dan mengamati dengan seksama: "Sepertinya tak ada luka di tubuhnya!"
Tak ada luka?!
Lalu darah di tanah itu bukan milik Chen Hongzhou?!
Kami akhirnya bisa lega, aku menghela napas panjang sambil menepuk-nepuk bahu Chen Hongzhou: "Syukurlah kau baik-baik saja..."
Tiba-tiba, aku membatalkan kata-kata selanjutnya karena menyadari ada sesuatu yang... tak beres pada Chen Hongzhou...
