Dasar!
Bajingan zaman sekarang benar-benar berani, di siang hari bolong berani menculik perempuan!
Dalam hati aku mengutuk, lalu menyusul sumber suara itu.
Tak lama, kulihat beberapa bayangan manusia muncul di jalan gunung depan.
Aku tak langsung keluar, tapi bersembunyi di semak-semak, mengikuti kelompok ini diam-diam.
Perampoknya cukup banyak, sekitar enam tujuh orang. Pakaian mereka aneh, malah memakai baju dan celana merah.
Sialan!
Bukannya seragam perampok harusnya hitam-hitam? Kelompok ini malah pakai merah-merah, mirip rombongan pengantar pengantin!
Hatiku mulai curiga, kupercepat langkah dan mendekat.
Baru sekarang kusadari, total ada delapan perampok berbaju merah ini.
Dua orang membuka jalan di depan, dua lagi menjaga belakang, sisanya empat orang menggotong sangkar besar di tengah. Sangkar itu terbuat dari kayu sebesar lengan, sangat kokoh. Tapi yang terkunci di dalam bukan binatang buas, melainkan manusia! Seorang gadis hidup-hidup! Usianya sekitar lima belas enam belas tahun, wajahnya tak cantik tapi segar khas gadis pegunungan.
Tubuh gadis itu ternyata mengenakan gaun panjang merah besar bermotif naga-phoenix yang melambangkan kemakmuran, dengan kaki telanjang, rambutnya agak berantakan, kedua tangan mencengkeram kandang kayu besar, suaranya serak karena berteriak: "Tolong! Tolong aku——"
"Ini bukan barisan pengantar pengantin, kan?" tanya Xiao Guoguo.
Aku berkata: "Pernahkah kau melihat pengantin dikirim dengan cara mengurungnya di dalam kandang?"
"Benar juga!" kata Xiao Guoguo: "Kalau begitu mereka penculik pengantin? Mungkin perampok gunung? Menculik gadis ini untuk dijadikan istri kepala kampung di sarang mereka?"
"Bisa jadi!" Tatapanku tertuju pada Xiao Guoguo.
Xiao Guoguo menyilangkan tangan melindungi dadanya: "Kenapa kau menatapku?"
"Wajahmu yang imut ini cukup bagus, tubuhmu juga berisi. Kalau mereka melihatmu, mungkin kau yang akan jadi istri kepala kampung!" Aku tersenyum kecut.
"Berani-beraninya mereka?!" Xiao Guoguo mendesah sambil mengepal tangan mungilnya: "Akan kuremukkan telur burung mereka!"
Ya!
Dasar jahat-jahat banget!
Tanpa kusadari tubuhku gemetar, kedua betisku mengatup erat.
Mungkin kesal dengan teriakan gadis kecil itu, seorang pria kuat berbaju merah di depan berhenti. Di tangannya ternyata menggenggam golok penyembelih babi. Dia mengibaskan pisaunya, swis! menghujam tepi kandang kayu, membuat gadis kecil itu menjerit ketakutan, segera melepaskan pegangan dan meringkuk gemetar di dalam kandang.
“Dasar teriak-teriak! Dengarkan, kau harus diam dan gembira! Kau akan menikahi Dewa Sungai jadi pengantin baru, ngapain wajahmu cemberut begini? Ini berkah untukmu! Setelah turun, kau harus melayani Dewa Sungai dengan baik, jangan sampai Desa Fengxian terkena malapetaka!” Pria berbaju merah mengacungkan golok penyembelih babi, nada bicaranya penuh ancaman.
“Dasar! Hewan! Berani-beraninya menyakiti seorang gadis!” Xiao Guoguo memaki marah dan hendak keluar dengan cepat.
Aku menghalangi Xiao Guoguo: “Jangan terburu-buru, kita amati dulu situasinya!”
Xiao Guoguo bertanya padaku: “Dewa Sungai yang mereka sebut itu siapa? Nama Raja Gunung ya?”
“Bukan!” Aku mengerutkan alis: “Mungkin dewa yang dipuja warga desa! Ayo ikuti mereka untuk tahu jawabannya!”
Setelah berjalan beberapa li, telinga mendengar gemericik air yang deras.
Tak jauh di depan terlihat air terjun pegunungan. Medan di sini berbentuk corong, di bawahnya ada kolam besar hijau kebiruan. Air sungai kecil dari pegunungan mengalir dari segala penjuru, berdesakan masuk ke kolam bawah dan menyemburkan kabut air. Tebing batu dipenuhi tumbuhan merambat dan vegetasi hijau yang membuat warna kolam terlihat hijau tua mengerikan.
Saat itu cahaya matahari terbenam memantul di permukaan kolam, terpantul melalui kabut air yang menciptakan kilauan indah berwarna-warni. Pemandangan pantulan cahaya di permukaan air sebenarnya cukup menakjubkan.
Tebing gunung itu memiliki ketinggian vertikal sekitar 20-30 meter dari kolam di bawahnya. Di tepi tebing berdiri prasasti batu persegi bertuliskan tiga karakter besar berwarna merah darah menggunakan Vermilion: HEI SHUI TAN (Kolam Air Hitam)!
Beberapa pria berbaju merah itu berhenti dan meletakkan kandang kayu besar di tanah, terus-menerus mengusap keringat di wajah sambil bergumam kesal.
Pemimpin pria merah itu menyelipkan golok penyembelih babi di pinggangnya, berteriak dengan suara serak: "Berhenti mengeluh! Jangan sampai kita bermusuhan dengan Dewa Sungai! Hari hampir gelap, cepat selesaikan tugas! Dewa Sungai sedang menunggu untuk masuk kamar pengantin dengan perempuan kecil ini! Heihei!"
Salah satu pria berjanggut lebat menoleh ke gadis kecil dalam kandang, terkekeh mesum: "Sebenarnya perempuan kecil ini cukup cantik, kalau kita..."
Sebelum kalimatnya selesai, pemimpin pria merah itu menendangnya sambil memaki: "Ini istri Dewa Sungai! Kau berani-berarI punya niat jahat? Mau mati ya?"
"Tak berani! Tak berani! Aku hanya bercanda!" Pria berjanggut itu cepat-cepat meminta maaf.
“Ngomong apa Ibumu! Lakukan pekerjaan!” Pria kuat berbaju merah yang memimpin memuntahkan butiran air liur sambil memaki.
Dua pria kuat berbaju merah melepas tas dari punggungnya, mengeluarkan berbagai benda aneh seperti lilin merah, rimpuh beras ketan, ayam panggang, dan arak enak. Seorang pria lain mengeluarkan stiker "" berwarna merah besar, lalu menempelkannya di kandang kayu besar.
Xiao Guoguo memandangku dengan bingung: "Mereka mau menikahkan gadis kecil ini dengan siapa? Dewa Sungai itu apa sih? Tinggal di bawah kolam air hitam?"
Aku diam seribu bahasa, mengawasi setiap gerak-gerik pria berbaju merah itu.
Tak lama, di tepi tebing terhampar tiga piring perak: satu berisi rimpuh beras ketan, satu ayam panggang, dan satunya lagi kendi arak.
Angin gunung berhembus, aroma daging itu masuk ke hidung kami.
Xiao Guoguo mengendus-endus dalam-dalam dengan hidungnya, wajah berbinar-binar bak orang mabuk: "Hmm, wangi! Benar-benar harum!"
"Goblok! Masak gak punya harga diri?" Baru saja menegur Xiao Guoguo, perutku malah menggeram memalukan. Aku meliriknya dengan malu.
Xiao Guoguo menunjukku: "Ini semua gara-gara kau pamer!"
Dua lilin merah menyala. Tertiup angin gunung, apinya menjilat-jilat tinggi.
Pria berbaju merah yang memimpin bersujud. Tujuh orang lainnya mengikuti, masing-masing dengan ekspresi khusyuk.
“Dewa Sungai yang terhormat, pengantin baru telah kami persembahkan untukmu! Mohon lindungi Desa Fengxian agar panen melimpah dan penduduknya hidup damai!” Pemimpin berbaju merah itu terus bergumam lama, lalu berseru gembira melihat lilin merah yang menyala terang: "Kata ahli ilmu gaib, jika lilin merah menyala kuat, berarti Dewa Sungai menerima pengantinnya. Ayo segera antar pengantin ke kamar pengantin!"
Dua pria berbaju merah berjongkok di tepi tebing. Gemuruh air terdengar saat mereka menyeret dua rantai besi hitam tebal dari bawah tebing. Rantai yang sudah terkikis kabut air itu mengilap legam, seperti dua ular piton raksasa.
Xiao Guoguo bingung: "Mereka mau melakukan apa ini?"
Beberapa pria berbaju merah sibuk mengikat rantai itu ke kandang kayu.
Gadis kecil dalam kandang sudah pasrah. Tubuh kurusnya menggigil sambil memeluk betis, bahkan tangisnya tak lagi keluar.
"Dasar! Mereka mau mengorbankan anak ini untuk 'Dewa Sungai'!" Akhirnya aku paham niat jahat mereka. Meski tak mengerti apa itu Dewa Sungai, tak mungkin aku membiarkan nyawa - apalagi anak kecil - lenyap di depan mataku.
Aku murka melihat kebodohan para pria merah ini. Di abad ke-21, masih ada yang mengorbankan manusia hidup? Sungguh keji dan gila!
"Semuanya hentikan!" Aku menerobos keluar dari balik semak.
Kemunculanku yang tiba-tiba membuat para pria berjubah merah terkejut, mereka menatapku dengan heran, mungkin tak menyangka di pedalaman terpencil ini tiba-tiba muncul orang asing.
"Dari mana datangnya anak liar ini? Pergi sana! Ini bukan urusanmu!" Pemimpin pria berjubah merah maju, menunjukkan golok penyembelih yang tajam. Dia pikir ini bisa mengancamku.
"Oh, pantas saja, pasangan mesra sedang bertempur di alam terbuka ya?" Si Janggut Lebat itu bicara sangat tak senonoh, biji matanya berkilat seperti serigala lapar, menatap Xiao Guoguo di belakangku dengan ganas, seolah ingin menelannya bulat-bulat.
"Lepaskan gadis dalam kandang itu!" Suaraku dingin.
"Hehe!" Si Janggut Lebat mendorongku keras: "Bocah sialan, tuli ya? Ini bukan urusanmu! Kalau mau hidup, cepat pergi! Tapi perempuan kecil ini harus tinggal!"
Tangannya menunjuk Xiao Guoguo, tatapannya memancarkan nafsu birahi.
Para pria gegabah di belakangnya juga terpikat oleh kecantikan Xiao Guoguo, air liur mereka menetes sambil mengeluarkan kata-kata cabul:
"Adik kecil, mau temani kakak-kakak bermalam ini?"
"Kamu yang main dengan kami, atau kami yang main denganmu?"
“Pergi sana! Jangan nakut-nakuti adik kecil! Sini, adik, Kakak traktir lolipop!” Si janggut lebat itu menjulurkan pantatnya, menonjolkan selangkangan, melakukan gerakan jorok.
Pupil Xiao Guoguo memancarkan kilau dingin. Aku tahu para bajingan tak senonoh ini akan celaka.
Tiba-tiba siluet Xiao Guoguo bergerak cepat, muncul di depan si janggut lebat, menendang tinggi tepat ke selangkangannya.
Tanpa sadar aku mengerutkan alis, karena kudengar suara telur pecah.
"Ohh—" Tendangan Xiao Guoguo begitu kejam. Si janggut lebat mendengus, matanya melirik putih lalu ambruk ke tanah. Tampaknya haknya sebagai pria sudah sirna untuk selamanya.
"Dasar! Perempuan busuk! Pilih jadi tamu terhormat atau terhukum!" Pemimpin pria berbaju merah mencabut golok penyembelih babi, mendekati kami dengan wajah beringas sambil berteriak ke dua anak buahnya: "Jangan cuma melongo! Segera turunkan pengantin ke Dewa Sungai!"
"Siap!" Dua pria merah itu mulai menurunkan kandang kayu berantai sepanjang tebing menuju kolam hitam.
"Pecundang!" Kutukku sambil berlari kencang ke tepi jurang.
"Si bocah nakal, MATI kau!" Pemimpin merah itu mengaum, mengayunkan goloknya ke arahku.
